Rabu, 13 Januari 2016

Lapindo yang Kembali Tebar Ancaman

Patung dengan latar belakang semburan lumpur Lapindo di kolam penampungan lumpur yang menyembur 31 Mei 2006. Foto: Petrus Riski

Warga Desa Glagahharum, Kecamatan Porong dan sekitarnya resah, setelah PT. Lapindo Brantas mengumumkan rencana pengeboran migas di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lokasi itu, hanya dua kilometer dari pengeboran lumpur Lapindo sebelumnya, Sumur Banjar Panji 1, yang telah mengubur Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, 31 Mei 2006 silam.

Juru bicara Desa Glagaharum yang tergabung dalam Korban Lapindo Menggugat, Khobir mengatakan, warga yang berada dekat lokasi pengeboran sepakat menolak, karena trauma dampak semburan lumpur yang terjadi sembilan tahun terakhir.

Tidak hanya bahaya luberan lumpur panas, warga sudah pernah merasakan ketakutan akibat banjir air lumpur, tercemarnya air tanah dan sungai, serta bau tidak sedap. “Warga sangat tidak setuju karena trauma dan takut,” kata Khobir kepada Mongabay Indonesia, Senin (11/1/2015).

Tidak hanya itu, warga juga mengalami kerugian akibat rusaknya lahan pertanian hingga gagal panen petani tambak. Ikan mujaer, bandeng, dan udang milik warga mati, sejak ada luapan lumpur, sehingga kerugian ekonomi tidak terhitung. “Ini sama saja dengan racun. Belum lagi bandeng dan udang windu yang siap panen yang mati,” keluh Khobir yang meneruskan aspirasi petambak.

Sebelumnya, Minggu (10/1/2015), di lokasi pemadatan lahan yang akan dibor, sudah tidak ada lagi kegiatan setelah Gubernur Jawa Timur meminta aktivitas dihentikan. Aksi penolakan warga mendapat pengamanan ketat dari aparat kepolisian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara suasana di sekitar pengeboran di Desa Kedungbanteng cukup sepi. Menurut Khobir, meski situasi kondusif, warga takut bersuara di media karena merasa terancam oknum aparat maupun pihak Lapindo.


Bencana lumpur Lapindo yang hingga kini menyisakan kepedihan dan masalah. Foto: Petrus Riski

Tidak belajar

Keluarnya izin pengeboran dan izin lokasi di Desa Kedungbanteng menjadi bukti tidak sensitifnya pemerintah terhadap kondisi masyarakat. “Izin pengeboran itu menunjukkan pemerintah tidak belajar dari bencana sebelumnya. Pemerintah gagal mengawasi dan membiarkan operasi pertambangan migas di lokasi padat huni,” papar Rere Christanto, Koordinator Divisi Advokasi dan Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur.

Rere menambahkan, seharusnya pemerintah menuntaskan dulu persoalan lumpur Lapindo yang hampir 10 tahun tak terselesaikan. Seperti, pembayaran ganti tugi, sertifikat rumah penduduk, hingga pemulihan dampak lingkungan dan kesehatan akibat lumpur. “Persoalan sebelumnya belum kelar kok malah memberikan perizinan baru.”

Praktik pertambangan di kawasan padat huni di Jawa Timur bukan kali ini saja yang menyebabkan dampak buruk bagi masyarakat. Selain semburan lumpur Lapindo, kasus ledakan sumur migas Sukowati 5 di Bojonegoro yang menyebabkan 148 orang dirawat di rumah sakit dan ribuan lainnya mengungsi, harusnya jadi bukti nyata bahwa aktivitas pertambangan di kawasan padat huni sangat membahayakan dan merugikan.

Rere mengaskan, negara harus membela kepentingan rakyat, yang selalu dikalahkan pemodal besar. Selain itu, keselamatan ruang hidup rakyat harus menjadi pilihan bagi pemegang kebijakan, bila tidak ingin kerusakan lingkungan menyebabkan kepunahan makhluk hidup lain. “Negara harus melindungi warganya.”

Hingga kini, luapan lumpur panas Lapindo telah menimbun 15 Desa di 3 Kecamatan, yang terletak di sekitar 800 hektar kawasan padat penduduk. Sedikitnya, 75 ribu jiwa terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena terendam lumpur Lapindo.

0 komentar:

Posting Komentar