Penulis Dianto
Bachriadi - 24 Februari 2019
Persoalan “ketuantanahan” (landlordism) dan penguasaan
tanah skala raksasa muncul secara lebih terbuka. Menariknya kali ini hal itu
muncul bukan akibat kampanye-advokasi dari kalangan aktivis atau pun ilmuwan
pengusung keadilan agraria. Tapi akibat debat putaran kedua calon presiden. Di
sana disebutkan bahwa salah satu calon presiden memiliki tanah dalam jumlah
yang sangat mencengangkan.
Tulisan ini tidak bermaksud membela atau menyalahkan
salah satu kandidat presiden Indonesia periode lima tahun ke depan. Meskipun
demikian, ada banyak hal yang perlu diluruskan, agar diskusi di media—khususnya
yang menggila di media sosial—dapat lebih tepat dalam penggunaan istilah dan
meletakkannya dalam konteks yang benar, untuk perubahan kehidupan berbangsa
yang lebih baik. Tidak sekedar saling menuding dan menuduh.
Apakah bisa seseorang memiliki tanah dalam jumlah sangat
besar, hingga lebih dari ratusan ribu hektar? Secara teknis mungkin saja.
Tetapi yang sering disebut sebagai tuan tanah di Indonesia sekarang ini atau
yang disebut “memiliki” tanah dalam jumlah raksasa tersebut adalah para pemilik
badan usaha yang memegang konsesi pengusahaan lahan, baik untuk perkebunan atau
usaha kehutanan dan pertambangan. Konsesi-konsesi tersebut bukanlah hak
kepemilikan individual atas tanah, melainkan hanya hak-hak terbatas untuk
mengusahakan tanah dan sumber daya alam tertentu, dalam skala luasan tertentu,
pula yang berada dalam satu areal yang disebut Tanah Negara.
Bentuk-bentuk haknya beragam. Dapat berbentuk Hak Guna
Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) dan izin-izin pengusahaan kawasan
kehutanan (IUK) maupun pertambangan (IUP dan dalam beberapa kasus masih ada
yang berbentuk Kontrak Karya). Mesti dicatat pula, IUK dan IUP (atau Kontrak
Karya) bukanlah sejenis “hak atas tanah”, tapi hanya hak untuk mengelola sumber
daya terkait, yang berada dalam satu area atau ruang geografis tertentu. Yang
pasti, secara hukum tanah-tanah dalam skala yang luas tersebut hanya dikuasai
dalam satu periode waktu tertentu—biasanya antara 25-30 tahun. Jadi bukan
dimiliki, atau bukan tanah Hak Milik.
Jika bukan tanah milik, lalu siapa pemilik tanah-tanah
tersebut? Dalam hukum agraria Indonesia berdasarkan UUD 1945, khususnya Pasal
33 ayat 3, disebutkan pemiliknya adalah seluruh bangsa Indonesia. Kata “seluruh
bangsa Indonesia” berarti merujuk pada segenap warga negara Indonesia atau
orang-orang yang pernah lahir di bumi pertiwi Indonesia atau menjadi warga
negara yang sah secara hukum, juga termasuk “calon-calon” warga negara yang
belum atau akan lahir di kemudian hari. Kata “seluruh bangsa Indonesia” sudah
jelas menunjuk pada siapa, walaupun jadi anonim dalam pengertian bukan si pulan
atau si polan.
Selanjutnya perlu diingat bahwa konstitusi dan hukum
agraria menegaskan, negara menjadi wakil bangsa yang menguasai tanah-tanah
tersebut demi kesejahteraan rakyat. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan, “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Dua pasal pertama Undang-Undang Pokok Agraria 1960 lebih
memperjelas makna pasal 33 UUD 1945 ini dengan penegasan, bahwa yang dimaksud
dengan negara adalah “organisasi kekuasaan seluruh rakyat” yang diberi tugas
untuk “mengatur dan menentukan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan juga hubungan-hubungan serta akibat-akibat hukum yang timbul dari
penguasaan, penggunaan, dan pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam” tersebut
di atas. Konstitusi kita menegaskan bahwa negara Republik Indonesia dibentuk
untuk melindungi dan menyejahterakan warga negara serta mewujudkan keadilan
sosial.
Kesatuan pengertian “kepemilikan, penguasaan, peruntukan,
penggunaan dan pengelolaan tanah serta kekayaan alam milik seluruh bangsa ini
dan kewajiban Negara untuk menyejahterakan rakyat dengan segala kewenangan yang
dimilikinya untuk memberikan kuasa kepemilikan, penggunaan dan pengelolaan atas
kekayaan alam” tersebut dalam sistem hukum agraria kita dikenal dengan istilah
Hak Menguasai Negara (HMN).
Beberapa persoalan pokok timbul dari konsepsi HMN ini.
Pertama, apakah warga negara tidak bisa memiliki tanah?
Jawabannya: jelas bisa. Konsepsi HMN tidak bermakna ditutupnya kemungkinan
warga negara untuk memiliki tanah sebagai properti hak milik individu.
Tanah-tanah yang bisa dibuktikan secara hukum merupakan milik seseorang dan/atau
secara fisik telah dikuasai oleh seseorang dalam jangka waktu tertentu, dapat
didaftarkan untuk menjadi tanah milik dan memperoleh sertifikat hak milik.
Sudah menjadi keharusan dan tugas pemerintah secara
pro-aktif untuk memperbanyak warga negara memiliki tanah. Begitu juga dengan
tanah-tanah yang secara legal, sosial maupun kultural, yang selama ini dikuasai
dan dimiliki oleh seseorang maupun oleh sekelompok orang secara kolektif, sudah
seharusnya ditegaskan menjadi “milik” mereka dan tidak diganggu-gugat oleh
negara. Sebaliknya, negara harus melindungi hak-hak mereka atas tanah tersebut
ketika ada pihak lain yang hendak menguasai atau mengambil-alih penguasaannya.
Pemerintah selaku pemegang otoritas negara harus betul-betul ingat bahwa bagi
sebagian besar rakyat Indonesia menguasai dan memiliki tanah yang dilindungi
adalah conditio sine qua non untuk keberlangsungan hidup dan
kesejahteraan mereka.
Dengan kata lain, penerapan konsepsi HMN bukan berarti
kesewenang-wenangan pemerintah atas nama negara untuk menguasai hak-hak rakyat
atas tanah dan kekayaan alam.
Meskipun salah satu turunan makna dari konsepsi HMN
adalah adanya tanah-tanah yang disebut Tanah Negara atau tanah-tanah yang
“dikuasai oleh negara”, yakni tanah-tanah selain tanah yang dimiliki oleh seseorang.
Kata “dimiliki oleh seseorang” dan pembuktiannya secara hukum inilah yang
kemudian banyak menimbulkan masalah, yang berkait dengan persoalan kedua yang
mau kita bahas.
Persoalan kedua ini berangkat dari pertanyaan benarkah
kewenangan yang besar tersebut selama ini telah dijalankan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat dan untuk mewujudkan keadilan sosial?
Dari kenyataan yang sudah banyak sekali diungkap oleh
kajian-kajian ilmiah maupun terungkap dalam proses-proses persidangan, banyak
Tanah-tanah Negara merupakan hasil “rampasan” dari tanah-tanah yang sebelumnya
dikuasai oleh rakyat setempat. Kewenangan yang sangat besar yang melekat pada
negara telah disalahgunakan untuk mengambil alih tanah-tanah milik atau yang
dikuasai oleh komunitas setempat.
Banyak tanah-tanah yang selama ini dikuasai atau dimiliki
secara sosial dan kultural oleh masyarakat. Tetapi tanah-tanah itu belum
didaftarkan dan belum memperoleh sertifikat, diambil alih begitu saja oleh
pemerintah, lalu diserahkan kepada pihak lainnya yang mendapat izin untuk
menggarap, mengusahakan atau mengelolanya. Penduduk setempat kehilangan
kepemilikan, penguasaan juga akses terhadap tanah dan kekayaan alam di areal
tersebut.
Jadi, banyak Tanah Negara sebetulnya adalah hasil
mengambil-alih kuasa dari tangan penduduk setempat. Ini adalah penyebab utama
konflik agraria yang tidak berkesudahan di Indonesia, khususnya sejak masa Orde
Baru hingga sekarang. Banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh tuan tanah besar
dalam skala raksasa dalam bentuk berbagai hak guna (HGU dan HGB, misalnya) atau
hak-hak mengambil kekayaan alam di atas atau di dalam tanah-tanah yang disebut
Tanah Negara sesungguhnya adalah hasil “rampasan” tanah rakyat.
Justru karena para tuan tanah ini bukan pemilik tanah
dalam skala raksasa, tetapi hanya pemegang hak-hak tertentu untuk menggunakan
Tanah Negara, pemerintah saat ini atau ke depan sangat patut melakukan
pemeriksaan ulang asal-usul tanah-tanah yang mereka kuasai tersebut.
Pemerintahan demokratik yang sungguh-sungguh hendak menegakan keadilan,
khususnya keadilan transisi pasca rezim otoritarian, sudah semestinya
mengembalikan “tanah-tanah rampasan” kepada pemilik awal atau penduduk
setempat; atau memberikan restitusi yang tidak hanya sekedar layak, tapi suatu
penggantian yang memperhitungkan nilai tanah yang “dirampas”, berikut
kesempatan untuk memperoleh penghidupan layak yang hilang.
Masalah berikutnya dari tanah-tanah dengan status hak
guna—seperti HGU, misalnya—adalah hak tersebut bisa dipindah tangan alias
diperjualbelikan, termasuk untuk dijadikan jaminan kredit di bank. Ini cukup
aneh sebetulnya. Tanah-tanah dengan status hak guna sesungguhnya adalah tanah
pinjaman (pinjam-pakai) dari negara tanpa biaya. Bukan sewa.
Tak ada dan tidak boleh ada biaya sewa tanah atas Tanah
Negara. Pajak tanah yang dibayar oleh pemegang HGU bukan biaya sewa.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana peminjam barang yang diberikan sertifikat
peminjaman/pemakaian barang tersebut dapat memperjual-belikan atau menggadaikan
sertifikat barang pinjamannya? Jika tidak mengikuti logika komodifikasi (the
logic of commodification) dalam cara produksi kapitalis, maka sulit
memahami jalan pikir logis macam ini. Satu bentuk paling nyata dari
penerapan konsepsi akumulasi dengan cara pengambilalihan (accumulation by
dispossession) sebagaimana dikemukakan oleh Harvey (2003) jelas terlihat dalam
praktek ini.
Masalah lain dari keberadaan hak guna atas tanah seperti
HGU, misalnya, adalah lamanya periode menguasai. Satu periode sekitar 25 tahun,
dan dapat diperpanjang. Artinya 50 tahun. Setelah itu, menjelang habis masa
berlakunya, dapat diperbarui lagi, lalu nanti diperpanjang lagi. Begitu dapat
seterusnya.
Jadi, hanya dengan sedikit usaha administrasi setiap 25
tahun sekali, pemegang HGU dapat menguasai tanah lebih dari 50 tahun, bahkan
hingga 100 tahun. Atau mungkin lebih.
Dari dua hal ini saja—sertifikat hak guna yang dapat
diperjualbelikan dan lamanya waktu untuk menguasai—sudah menunjukkan bahwa
Tanah-tanah Negara yang hak gunanya diberikan kepada suatu badan hukum tertentu
sudah nyaris seperti tanah “hak milik”.
Jadi meskipun kurang tepat dikatakan bahwa para tuan
tanah pemegang hak guna tidak memiliki tanah-tanah yang berstatus Tanah Negara,
tetapi praktek penguasaannya mendekati kepemilikan.
Persoalan ketiga: Kebijakan negara yang minimal seperti
apa yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah agar keadilan agraria terwujud
dalam kondisi penguasaan tanah seperti di Indonesia saat ini; agar landlordism berkurang
dan penguasaan serta pemilikan tanah oleh masyarakat terjamin?
Pertama, tidak bisa tidak tanah-tanah yang status
formalnya adalah Tanah Negara tetapi sudah dikuasai cukup lama oleh masyarakat,
baik secara perorangan maupun kolektif, dan secara sosio-kultural juga diakui
oleh lingkungannya, segera dikukuhkan kepemilikannya. Jika di atas tanah-tanah
tersebut sudah “terlanjur” diterbitkan hak-hak baru seperti hak guna dan
sebagainya, maka ada dua pilihan yang bisa diambil: (i) jika masih digunakan
oleh masyarakat, maka areal masyarakat di-enclave atau dikeluarkan dari
areal hak guna, lalu dilindungi; (ii) jika masyarakatnya sudah tergusur, maka
harus disediakan pengganti atau restitusi yang sepadan dengan kehilangan yang
mereka alami.
Kedua, diberlakukan aturan pembatasan penguasaan tanah.
Dalam bentuk penguasaan apa pun. Lalu dijalankan secara konsisten dengan
penegakan hukum yang juga tegas. Tanah dengan status Hak Milik yang melebihi
ketentuan hukum, baik yang berada di desa maupun di kota, diambil alih oleh negara
lalu dialokasikan untuk masyarakat yang tidak memiliki tanah (tuna kisma) tapi
sangat memerlukan tanah untuk keberlanjutan hidupnya.
Kebijakan ini juga berlaku untuk tanah-tanah absentee atau
tanah-tanah guntai. Aturan mengenai hal ini sudah ada, tetapi kurang lengkap
khususnya untuk tanah-tanah perkotaan dan non-pertanian. Maka aturan yang ada
dijalankan secara konsisten; aturan yang belum segera diadakan.
Penguasaan Tanah-tanah Negara melalui berbagai macam hak
guna dan bermacam hak usaha pengelolaan kekayaan alam, juga harus dibatasi
secara tegas. Batasan penguasaan tanahnya diberlakukan baik untuk unit usaha
induk (holding company) maupun unit-unit usahanya. Jika aturannya sudah ada,
harus dijalankan secara tegas dengan konsekuensi hukum yang juga tegas jika
dilanggar. Jika belum ada, atau baru ada sebagian, maka harus dilengkapi. Ke
depan kita tidak lagi akan menemukan kenyataan adanya satu atau beberapa
perusahaan besar yang menguasai tanah untuk perkebunan sawit hingga jutaan
hektar misalnya. Sementara jutaan petani hanya melongo, atau terpaksa membuka
hutan lalu kemudian dikriminalisasi.
Ketiga, Tanah-tanah Negara yang dikuasai secara tidak
aktif atau ditelantarkan atau bahkan cenderung ditelantarkan dengan berbagai
alasan, harus segera dicabut haknya. Lalu tanah-tanah itu segera dialokasikan
untuk menjadi obyek landreform. Jika aturannya sudah ada, maka harus dijalankan
secara tegas.
Unit-unit pencegahan korupsi harus mengendus sampai di sini,
karena banyak praktik penentuan status lahan hak guna Tanah Negara yang
dimanipulasi.
Keempat, seseorang atau suatu badan hukum dibatasi untuk
dapat menguasai (bukan memiliki) tanah dalam jumlah yang melebihi ketentuan
hukum. Misalnya menguasai tanah untuk kegiatan pertanian dengan cara bagi hasil
(sharecropping) atau menyewa lahan.
Kesempatan harus juga diberikan kepada petani atau pihak
lain yang sering kali harus kalah karena pasar kepenyakapan atau persewaan
tanah sudah dikuasai oleh segelintir orang. Aturan mengenai hal ini sudah
jelas, tetapi tidak lagi dijalankan.
Kelima, dilakukan penghitungan cermat mengenai
ketimpangan penguasaan tanah. Dilakukan kalkulasi kebutuhan tanah untuk
mengatasi ketimpangan itu serta berbagai kebijakan yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya rekonsentrasi. Baru kemudian diadakan program redistribusi
Tanah-tanah Negara serta tanah-tanah yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
individu yang berlebih atau berstatus absentee plus tanah-tanah
dengan status tanah swapraja atau eks-swapraja tanpa pengecualian. Tanah-tanah
diberikan kepada masyarakat, khususnya penduduk setempat, yang betul-betul
memerlukan tanah atau yang menggantungkan hidupnya dari tanah.
Mau mengkritik atau membasmi landlordisme? Ya, ini lima
langkah atau kebijakan afirmatif yang diperlukan. Kelimanya pada dasarnya
adalah sebagian dari kebijakan reforma agraria yang dibutuhkan Indonesia saat
ini. Reforma agraria yang dilandasi oleh prinsip Hak Menguasai Negara untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta demi keadilan sosial.
Siapa presiden yang berani menjalankan dan memimpin
operasinya secara langsung?
*) Penulis adalah Profesor Tamu di Pusat Kajian
Asia Tenggara, Universitas Kyoto, Jepang.
**) Versi ringkas artikel ini dimuat di Koran
Tempo, 21 Februari 2019.
Sumber: arc.or.id
0 komentar:
Posting Komentar