07/02/2019
JAKARTA — Pembela HAM atas lingkungan (Environmental
Human Rights Defender/EHRD) terus mengalami berbagai bentuk pelanggaran HAM,
mulai dari pembunuhan, penembakan, penangkapan, hingga teror. Lemahnya
perlindugan hukum hanyalah salah satu faktor yang membuat pembela HAM atas
lingkungan terus terancam.
Hal ini terungkap dalam diskusi sekaligus peluncuran
laporan ELSAM tentang situasi pembela HAM atas lingkungan yang digelar di
Jakarta, Kamis (31/01) lalu.
Sepanjang November 2017 hingga Desember 2018, demikian
menurut laporan ELSAM, setidaknya 188 individu dan 586 kelompok pembela HAM
atas lingkungan menjadi korban.
Mereka mengalami beragam tindak kekerasan dan pelanggaran
HAM. Mulai dari sekedar ancaman, penangkapan, penembakan, hingga pembunuhan.
Ironisnya, sebagian besar pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh aktor
negara.
Perlindungan negara terhadap para pembela HAM dipertanyakan.
Menanggapi situasi tersebut Komisioner Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hairansyah mengatakan lembaganya telah memiliki
mekanisme pengaduan khusus untuk kasus pelanggaran HAM terhadap pembela HAM.
“Dalam beberapa kasus Komnas HAM malah turun melakukan investigasi atas kasus yang terkait dengan pembela HAM atas lingkungan,” kata Hairansyah dalam diskusi.
Ia mencontohkan investigasi yang dilakukan Komnas HAM
atas kasus pembunuhan Salim Kancil pada 2016 silam. Kendati demikian, peran
Komnas HAM dalam kasus tersebut menurutnya hanya terbatas memberikan saran
kepada pemerintah.
INFOGRAFIS Kondisi Pembela HAM atas Lingkungan Hidup
Periode November 2017-Juli 2018
Dalam kesempatan yang sama anggota Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtias mengatakan hal senada. LPSK memiliki
kewenangan melindungi saksi dan korban. Namun dalam kasus pembela HAM atas
lingkungan seringkali wewenang tersebut tidak bisa dipakai. Salah satu sebabnya,
kata Susilaningtias, serangan terhadap para pembela HAM atas lingkungan ini
seringkali menggunakan delik pidana.
Sementara perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) Yazid Nurhuda mengatakan KLHK segera mengeluarkan
Peraturan Menteri mengenai Perlindungan terhadap Pembela HAM atas Lingkungan
yang tak lain amanat Pasal 66 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hanya saja menurut Yazid permen tersebut tidak bisa
menjangkau semua kasus yang dihadapi oleh para pembela HAM atas lingkungan.
Permen tersebut, lanjutnya, hanya mengatur yuridiksi di
bawah KLHK. Ia mencontohkan kasus keterlibatan polisi hutan dalam pelanggaran
HAM terhadap Pembela HAM atas Lingkungan.
“Permen tersebut bisa sangat efektif untuk mencegah kasus semacam itu karena polhut berada di bawah yuridiksi KLHK. Tetapi untuk aktor yang lain permen tersebut memiliki keterbatasan,” ujarnya.
Tantangan para pembela HAM atas lingkungan tidak melulu
soal legal formal. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Nur Hidayati mencontohkan satu kasus represi pembela HAM di Banyuwangi yang
mengalami pemutusan layanan publik.
“Kasus-kasus semacam ini demikian banyak dan sayangnya kebanyakan justru tidak terekam,” ujarnya.
Dalam sesi diskusi Erasmus Cahyadi dari Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengkritik KLHK, Komnas HAM, dan LPSK yang
menurutnya belum melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum, terutama
kepolisian. Ketiadaan instrumen hukum yang kuat menurutnya bisa ditutupi, meski
tidak seluruhnya, dengan koordinasi yang baik antar-lembaga negara.
Kritik terhadap KLHK juga disampaikan oleh perwakilan
dari Serikat Tani Nasional (STN). Menurut wakil dari STN, salah satu faktor
yang membuat kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap pembela HAM atas
lingkungan tertutupi karena pemerintah sering terjebak pada paradigma yang
konspiratif.
Pemerintah menurutnya sering mengkaitkan perlawanan warga terhadap
berbagai proyek pembangunan atau investasi semata sebagai bagian dari
persaingan bisnis.
Penulis: Muhammad Azka Fahriza
Sumber: Elsam
0 komentar:
Posting Komentar