September 26, 2018
Artikel Dandhy D. Laksono
"Perusahaan-perusahaan
tambang seperti Semen Indonesia dan Indocement yang menyengsarakan petani,
adalah perusahaan yang sahamnya dinyatakan syariah".
Seorang petani sedang mengerjakan sawahnya di pagi hari. Foto: paktanidigital.com
Di lantai bursa ada
yang disebut saham-saham syariah. Jika ada yang menganggap jual beli saham
(modal) itu riba atau haram, maka label “syariah” mungkin dapat membuat hati
tenang. Seperti saat Anda berurusan dengan “bank syariah”.
Tak peduli apakah
mereka benar-benar menerapkan prinsip “bagi risiko” seperti Beng Mawah yang
saya jumpai di Aceh, atau sebenarnya hanya “bagi hasil” seperti bank
konvensional dengan embel-embel “syariah”.
Saham-saham “halal”
ini bahkan dikelompokkan secara khusus dalam Daftar Efek Syariah (DES) atau
untuk 30 saham yang paling laris disebut Jakarta Islamic Index (JII).
Kriteria saham
syariah tentu saja jauh lebih kompleks dari urusan “alkohol” dan “daging babi”.
Perusahaan itu juga harus menjalankan produksi dan distribusi yang tidak
terkait dengan perjudian dan jasa keuangan ribawi seperti bank dan lembaga
pembiayaan konvensional. Ia bukan perusahaan jual beli risiko seperti asuransi,
dan tidak melakukan transaksi-transaksi yang mengandung suap.
Karena itu, dari
338 perusahaan yang masuk Daftar Efek Syariah, misalnya, Anda hanya akan
menemukan Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi (JMAS) atau Bank BRI Syariah
(BRIS), karena sebagai perusahaan yang berdiri sendiri, laporan keuangannya tak
lagi tercampur dengan BRI konvensional.
Tapi jangan
terkejut, jika dalam daftar saham “halal” itu justru bertabur
perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak berkonflik dengan
petani dan masyarakat.
Misalnya, PT Semen
Indonesia (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa (INTP). Kedua perusahaan
ini telah dan akan menambang karst di pegunungan Kendeng dan memicu perlawanan
para petani di Rembang dan Pati sejak 2006 hingga sekarang. Bahkan sejak 1993
bagi sebagian petani di Tuban.
Kriminalisasi
terhadap petani telah dilakukan sepanjang konflik dengan kedua perusahaan ini,
baik di Pati, Rembang, hingga Kendal. Mereka ditahan atas tuduhan penyerobotan
tanah di atas lahan yang sebelumnya telah mereka kelola selama bergenerasi,
seperti menimpa tiga petani Surokonto Wetan yang divonis 3 tahun penjara.
Para petani sedang berjalan di pematang sawah. Sumber Foto: berbagitips.co
Tapi kedua saham
semen “pribumi” dan “asing” ini tercatat sebagai 30 saham terlaris dalam
Jakarta Islamic Index (JII).
Contoh lain saham
“halal” adalah milik PT Merdeka Copper Gold yang memiliki kode perdagangan
MDKA. Perusahaan tambang emas yang sebagian sahamnya dimiliki Calon Wakil
Presiden Sandiaga Uno ini berkonflik dengan warga dan petani di Tumpang Pitu,
Banyuwangi.
Seorang warga
bernama Budi Pego dikriminalisasi dengan dalih menyebarkan “ajaran komunisme”
dan divonis 10 bulan penjara.
Sandiaga sendiri
memiliki saham di Merdeka Copper melalui PT Saratoga Investagama Sedaya (SRTG)
yang juga termasuk saham syariah.
Maka dalam kasus
Tumpang Pitu di Banyuwangi, narasi ada “komunis” menolak perusahaan tambang PT
Merdeka dan lembaga investasi “syariah” seperti PT Saratoga adalah narasi yang
seksi untuk mendapat dukungan “umat” terhadap perusahaan tambang emas itu.
Apalagi belakangan
Sandi dinobatkan sebagai “ulama” untuk melengkapi dan mengimbangi narasi
politik identitas yang juga dimainkan kubu Joko Widodo yang memasang Ketua MUI
Ma’ruf Amin.
MUI sendiri adalah
lembaga yang sejak tahun 2001 turut memberikan stempel “halal” kepada berbagai
produk pasar modal di Indonesia, termasuk saham syariah.
Hampir dipastikan,
lembaga seperti MUI tak akan memasukkan pertimbangan etis kemanusiaan dan
(apalagi) lingkungan ketika memutuskan “halal” dan “haram” sebuah emiten atau
perusahaan yang menjual sahamnya di lantai bursa.
Padahal, dari 659
kejadian konflik tanah sepanjang 2017 saja, sebanyak 32 persen di antaranya
(208 kasus) melibatkan industri perkebunan tanaman tunggal (monokultur),
terutama kelapa sawit yang juga masuk dalam saham syariah seperti grup Wilmar,
Indofood, London Sumatera, atau Providen.
Setelah perkebunan,
menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2017 properti
adalah sektor berikutnya yang menyumbang konflik paling banyak dengan
masyarakat (30 persen).
Tapi ini tak akan
ada yang mengaitkan semua ini dengan moralitas dan
etis dalam
perdagangan saham. Sebab perusahaan properti seperti Agung Podomoro Land (APLN)
yang mengancam kehidupan nelayan dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta atau PT
Jakarta International Hotel and Development yang anak perusahaan hendak
menguruk Teluk Benoa di Bali, adalah emiten-emiten syariah yang sahamnya
dinyatakan "halal" oleh MUI.
Sepanjang kedua
perusahaan itu tidak berbisnis alkohol atau membungakan uang, tampaknya MUI
atau Dewan Syariah Nasional tak akan mau pusing dengan urusan perusakan
lingkungan atau peminggiran ekonomi kaum dhuafa.
Alat pertanian menjadi salah satu modal mendapatkan hasil yang maksimal.
Sumber Foto: jitunews.com
Sama halnya dengan
kelompok politik agama yang lebih sibuk dengan urusan “kriminalisasi ulama”
yang tak lebih dari jargon politik dibanding kriminalisasi petani yang
benar-benar ada, nyata, dan meluas di banyak tempat. Bahkan melibatkan
pengusaha yang menjadi kawan koalisinya.
Sebenarnya gejala
ini tak baru. Ketika mengkritik video Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang
mendukung industri monokultur kelapa sawit, saya telah mengaitkannya dengan
agenda-agenda dakwah monoteisme seperti terjadi dari Mentawai hingga Papua.
Tahun 2011,
misalnya, Front Pembela Islam (FPI) tiba-tiba ribut dan meminta pemerintah
melarang kegiatan Greenpeace. Alasannya, karena organisasi pengkampanye
lingkungan ini sering menyerang pemerintah dengan “data-data palsu” dan
menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri. Alasan berikutnya karena Greenpeace
internasional juga mendapat donasi dari uang lotere (judi).
Setiap organisasi
tentu berhak menentukan standar moralitasnya. Bahkan ada perusahaan media yang
tak menerima iklan rokok.
Tapi alasan seperti
FPI ini tentu memancing bahan tertawaan karena diikuti oleh desakan agar
organisasi lain ditutup, dan di saat yang bersamaan, ia menutup mata pada
banyak praktik perusahaan yang merusak lingkungan, melanggar hak asasi manusia,
dan meminggirkan masyarakat.
Jika benar setiap
hasil uang judi harus ditutup atau disingkirkan, maka meminjam sindiran
Gubernur DKI Ali Sadikin, "jangan lewat jalanan di Jakarta, karena
jalan-jalan itu dibangun dari uang judi."
Tahun-tahun itu,
Greenpeace memang gencar mengkampanyekan kasus-kasus konflik dan perusakan
lingkungan yang dilakukan industri kelapa sawit di Sumatera dan mendesak
perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever tidak membeli minyak sawit dari
perusahaan-perusahaan bermasalah di Indonesia.
Suatu pagi di tahun
2013, Dompet Dhuafa mengundang berdiskusi tentang buku “Indonesia for Sale”
yang pernah saya tulis 2009. Kami bicara bagaimana mempertahankan orang tetap
sejahtera sejak di kampung halamannya, dan bukannya menunggu mereka menjadi
miskin (dhuafa) untuk disantuni.
Gagasan yang mungkin tidak menarik minat donatur yang baru
tergerak menyumbang jika melihat foto warga miskin dan penderitaannya.
Tapi ide
ini tetap saya sampaikan karena lembaga yang dirintis para jurnalis pada 1993
ini sejatinya cukup terbuka dengan berbagai gagasan. Mereka menyalurkan bantuan
modal untuk korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dampingan Kontras yang
kerap dianggap sebagai “LSM kiri”.
Belakangan, mereka juga ikut membantu logistik petani Kendeng
jika sedang berunjuk rasa ke Jakarta atau membiayai proyek-proyek pertanian di
Tasikmalaya dan berbagai tempat.
Sejak peristiwa 1965, isu-isu petani dan konflik tanah kerap
dianggap sebagai tema “kekiri-kirian”. Sementara Dompet Dhuafa memegang mandat
para donatur yang mayoritas muslim. Sementara sebagian petani Kendeng justru
penganut keyakinan “Sedulur Sikep” atau “Saminisme” yang mengosongkan kolom
agama di KTP. Hal yang membuatnya dicap "kiri" di masa Orde Baru.
Mengotak-kotakkan sebuah permasalahan dari kacamata ideologi
atau agama, tentu sebuah kesalahan berpikir yang fatal. Sebab pemberontakan
petani Banten tahun 1926 melawan kolonial adalah kisah perlawanan para haji
seperti Achmad Chatib atau Moehammad Madoen yang kemudian dibuang ke Boven
Digoel.
Jika para ulama seperti ini masih hidup hari ini, barangkali
merekalah yang akan menunjukkan apa itu “halal” dan “haram” secara substansi
dalam sebuah praktik ekonomi. Bukan hanya simbol dan stempel “syariah”.
Mereka
tidak akan memakai isu impor beras sebagai retorika politik untuk menyerang lawan
politik --tapi lebih sibuk membela “ulama” daripada petani—namun benar-benar
bergerak untuk ikut mewujudkan swasembada itu dengan advokasi-advokasi yang
nyata.
Selamat Hari Tani.
Dandhy Dwi Laksono, Wartawan, Pembuat Film
Dokumenter dan Pendiri Rumah Produksi Watchdoc
Artikel Dandy Dwi Laksono [Di Sini]
Source: Seluang.Id
0 komentar:
Posting Komentar