Ruth Indiah Rahayu
Nenek-nenek Desa Tebat Pulau Menganyam Keranjang.
Kredit foto: Ruth Indiah Rahayu
PENETAPAN Hari Tani Nasional mempunyai kaitan historis
dengan pengundangan UU Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960. Tiga tahun
setelah UUPA tersebut diundangkan, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 169 Tanggal 26 Agustus 1963 untuk menetapkan “24 September”
sebagai Hari Tani Nasional.
Pada setiap peringatan ini (kecuali semasa Orde Baru)
masalah pokok yang disuarakan petani adalah tentang akses terhadap
sumber-sumber agraria, khususnya yang paling menonjol adalah tentang persoalan
tanah.
Menurut Gunawan Wiradi (2009), dimensi persoalan agraria yang paling utama
berkenaan dengan ketimpangan struktur penguasaan (sumber agraria termasuk
tanah), ketimpangan peruntukkan dan penggunaan tanah, tumpang tindih hukum
(hukum adat versus hukum formal) dan kebijakan agraria. Jika kita merujuk pada
dimensi persoalan agraria itu, maka persoalan agraria tampak hanya berorientasi
pada urusan produksi pertanian. Namun sesungguhnya di balik persoalan agraria
itu terdapat bentangan masalah yang berkaitan dengan strategi perempuan petani
yang mengelola rumah tangga mereka untuk membuat kehidupan dan penghidupan
petani itu tetap berlangsung (livelihood).
Dalam aksi-aksi di Hari Tani Nasional, masalah livelihood —sependek
pengetahuan saya– tidak pernah menjadi isu yang disandingkan dengan tuntutan
hak atas tanah (rights to land) dalam konteks
isu agrarian.
Dimensi livelihood pun
luas, yakni meliputi pelbagai aktivitas untuk mengadakan sumber-sumber hidup
yang mendasar, seperti makanan (baik untuk manusia maupun ternak), air, sarana
berlindung (perumahan), energi, pakaian, sarana transportasi dan dewasa ini
sarana komunikasi juga bagian yang dianggap penting dalam livelihood. Tentu saja corak livelihood berkorelasi dengan asset, dan asset
berkorelasi dengan corak produksi masyarakat (apa yang dimiliki suatu komunitas
untuk hidup?) Dalam konteks ini corak livelihood ditentukan
oleh posisi kelas, gender, geografi kawasan, etnis dan sistem religi, sehingga
karakter livelihood itu interseksional atas pebagai
faktor.
Tulisan akan mengangkat gambaran livelihood petani
transisi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan NTT, untuk membuktikan
bahwa isu livelihood dan keagrariaan
(tanah) merupakan satu kesatuan yang berdialektika.
Livelihood Dalam Kerangka
Feminis Sosialis
Aktivitas livelihood dalam pandangan
umum selalu dilokasikan pada ranah domestik rumah tangga dengan penanggungjawab
perempuan. Maka dari itu pembahasan tentang livelihood pada
mulanya didiskusikan melalui teori kerja domestik (domestic labour) dalam
tatanan masyarakat kapitalis yang banyak diperdebatkan oleh para feminis
sepanjang kurun 1960-1970an.
Teori kerja domestik itu pada mulanya dilontarkan oleh feminis sosialis
dari Amerika Utara yang kemudian dikembangkan oleh feminis Inggris. Pada
1960an, Lise Vogel (1984) menceriterakan bahwa para feminis sosialis
menganalisis kerja domestik perempuan yang tak berbayar (unpaid labour)
dalam kerangka analisa ekonomi-politik Marxis, yang kemudian diikuti oleh feminis
radikal.
Pertanyaan yang mereka ajukan: apakah keseluruhan kerja perempuan
untuk mengurus anggota keluarga, yaitu kerja pengasuhan anak (childcare), menyediakan makanan, perawatan rumah
tangga, adalah kerja produktif? Apabila kerja domestik adalah proses kerja,
lalu apakah yang diproduksi? Orangkah? Tenaga kerjakah? Komoditaskah? Apakah
produk itu mempunyai nilai? Apakah relasi kerja domestik tersebut dengan
reproduksi tenaga kerja?
Vogel lalu menceritakan bahwa pada 1970an teori kerja domestik ini banyak
ditinggalkan para feminis karena tidak memiliki kestabilan sebagai teori. Teori
kerja domestik terlalu kabur. Ketika membahas tentang reproduksi tenaga kerja,
teori ini menjadi bias dengan pandangan esensialis tentang prokreasi
(reproduksi biologis). Sementara proses reproduksi tenaga kerja dapat
berlangsung di dalam rumah tangga, di tempat kerja maupun di pasar, sehingga
reproduksi tenaga kerja bukan khas sebagai pekerjaan domestik. Maka pada dekade
1980an, sejumlah feminis berusaha untuk merekonstruksi teori yang melampaui (beyond) teori kerja domestik yang disebut
reproduksi sosial.
Vogel merupakan salah seorang feminis yang merekonstruksi kesatuan teori
produksi dan reproduksi sebagai konsep yang tidak beroposisi biner antara
publik versus domestik. Argumen Vogel itu merujuk pada pandangan Marx bahwa
pusat reproduksi tenaga kerja itu ada di situs reproduksi sosial. Maka Vogel
menyusun argumen: pertama,
reproduksi tenaga kerja adalah kegiatan sehari-hari untuk memulihkan tenaga
kerja produktif. Kedua, kegiatan
serupa juga untuk merawat anggota keluarga yang tidak produktif seperti
anak-anak dan lansia. Ketiga,
kegiatan serupa untuk menggantikan tenaga kerja yang mati, sehingga terbit
tenaga kerja baru (pengasuhan anak). Ketiga argumen Vogel itu diharapkan dapat
mengatasi perspektif esensialis dalam memandang reproduksi tenaga kerja, dan
mengatasi oposisi biner antara produksi dan reproduksi.
Dalam pembahasan tentang livelihood di
masyarakat kapitalis ini, penulis merujuk pada Vogel untuk melokasikan livelihood sebagai wujud aktivitas reproduksi
sosial. Tiga argumen Vogel di atas, dalam praktik sosialnya, adalah aktivitas
perempuan mencari nafkah (produksi) untuk mereproduksi tenaga kerja
(reproduksi). Argumen pertama bahwa kegiatan reproduksi sosial adalah pekerjaan
sehari-hari untuk memulihkan tenaga kerja terjadi melalui praktik penyediaan
makanan bagi keluarga. Kegiatan penyediaan makan menciptakan cara makan yang
tersistem (foodways system) yang
tidak saja menjadi kultur tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menciptakan bentuk
relasi dengan alam dan pasar serta peta jalan dalam mengakses sumber makanan,
air dan energi.
Argumen kedua, selain menyediakan makan bagi semua anggota
keluarga baik yang produktif maupun nonproduktif, kegiatan reproduksi sosial
adalah merawat (caring and nursering) anak-anak
dan lansia. Bentuk kegiatan ini meliputi pengasuhan dan sosialisasi anak,
menjaga lingkungan agar tetap sehat, menyediakan obat-obatan, merawat
kebersihan tubuh, yang dapat menciptakan kultur pendidikan, kesehatan, dan
sanitasi air bersih. Argumen ketiga, kegiatan reproduksi sosial adalah
menggantikan tenaga kerja yang mati dengan yang baru. Wujudnya adalah menangani
orang mati (prosesi kematian) dan menangani manusia baru (prosesi kelahiran)
yang dapat meciptakan pelbagai macam ritus sosial.
Tetapi dalam masyarakat kapitalis, hanya kelas borjuasi yang dapat
menyelenggarakan proses reproduksi sosial itu secara berkualitas. Adapun kelas
pekerja (petani, buruh dan nelayan) yang penghasilannya tidak menentu, tidak
memadai, dan rapuh dalam permainan fluktuasi pasar, tidak dapat
menyelenggarakan kegiatan reproduksi sosial secara berkualitas. Dalam
praktiknya, livelihood yang dilakukan
perempuan kelas pekerja ini meliputi kegiatan mencari nafkah baik dengan cara
meramu (mengumpulkan) dari sumber-sumber agraria yang tersedia di
lingkungannya, menganyam maupun menjadi buruh guna dapat menghidangkan makanan
untuk reproduksi tenaga kerja.
Gambaran Livelihood Petani Transisi
Penelitian etnografi yang dilakukan peneliti (perempuan) muda di bawah
koordinasi Sajogyo Institute (SAINS), menggambarkan kondisi kontemporer petani
transisi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Istilah petani transisi
saya pinjam dari Atsushi Kitahara (2005) yang berpendapat bahwa masyarakat
pedesaan di Asia dewasa ini bukan masyarakat petani yang mengandalkan sumber
nafkahnya dari pertanian semata. Terjadi mobilitas penduduk dan diversifikasi
sumber nafkah akibat sumber pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) tidak
memadai lagi untuk melangsungkan proses reproduksi sosial. Selain itu biaya
produksi pertanian sangat mahal karena sedikit tenaga kerja (akibat program KB
atau migrasi ke kota) dan biaya reproduksi sosial juga sangat mahal karena
menyesuaikan dengan standar gaya hidup global yang seragam dan “yang modern”.
Contohnya adanya pengeluaran untuk bensin (alat transportasi sepeda motor),
listrik dan pendidikan yang tidak murah sehingga membuat peningkatan biaya
hidup rumah tangga. Itu artinya problem livelihoodmencakup
berkurangnya tenaga kerja pertanian dan penyesuaian perempuan terhadap pasar
global yang memonopoli bahan makanan.
Pemicu perubahan di pedesaan adalah globalisasi industri yang menembus
jantung masyarakat pedesaan dan mengubahnya menjadi urban. Menjadi urban
artinya masyarakat pedesaan dibentuk melalui mekanisme disiplin pasar agar
menjadikan pasar sebagai pusat livelihoodnya
(bukan lagi berpusat pada sumber agraria). Derajat transisi keurbanan itu
berbeda-beda seturut lokasi dimana masyarakat petani itu hidup. Makin terpencil
lokasi mereka hidup, makin rendah kualitas livelihoodnya.
Apabila kita mengikuti jalur livelihood melalui
aktivitas kerja perempuan, kondisi petani transisi itu dapat kita lihat pada
pekerjaan menganyam tikar dan keranjang (pelbagai ukuran dan kegunaan). Saat
ini penganyam tikar dan keranjang hanya dikerjakan oleh orang tua (nenek).
Bahan tikar umumnya dari pandan, sedangkan keranjang untuk kerja pertanian dan
alat dapur berbahan dari bambu. Maka memudarnya kerja menganyam dewasa ini
berkorelasi dengan hilangnya bahan-bahan tersebut di lingkungan perempuan itu
bermukim akibat industrialisiasi ekstrasi (tambang dan perkebunan tanaman
komoditas).
Contoh itu diceritakan oleh Fadhila (2018) yang meneliti tentang
keberadaan penganyam tikar di Mukim Menggamat, sepanjang Sungai Menggamat di
Kluet, Aceh Selatan. Begitu pula di Betaua, Sulawesi Tengah, saat ini
menyisakan sedikit penganyam tikar dari bahan pandan lambori (Ramlah Laki
2018). Hal serupa saya jumpai di Desa Tebat Pulau, Kecamatan Curug Selatan,
Kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu). Memudarnya kerja menganyam dapat menjadi
indikator kondisi petani transisi, dimana generasi muda keluarga petani tidak
berminat dengan pekerjaan menganyam karena tidak memberi penghasilan sepadan
dengan proses kerja yang dikeluarkan. Meski hal itu bisa terjadi bahwa para
perempuan (ibu) telah meniadakan ketrampilan menganyam dalam proses sosialisasi
anak (tenaga kerja baru).
Tentu saja memudarnya menganyam sebagai kegiatan livelihood berkorelasi dengan globalisasi
plastik yang menggantikan semua bahan dasar dari sumber agraria. Pada saat yang
sama mencari sumber protein dari sungai kecil, rawa atau sawah, dan pelbagai
pucuk daun untuk diolah sebagai menu makan anggota keluarga atau pun dijual ke
pasar juga mulai memudar. Ketersediaan ikan di sungai-sungai di Gunung Pongkor,
Sukabumi, Jawa Barat diceritakan oleh Indra Agustiani (2008) semakin sedikit
dan kecil-kecil setelah gunung itu menjadi pusat penambangan emas. Di kalangan
masyarakat sungai yang hidup di mandaan (rumah
apung) Sungai Mahakam, menurut cerita Rassela Malinda (2018), kini telah
dipaksa mendarat di Desa Liang Buaya, Kabupaten Kutai Kartanegara. Mereka pun
makin sulit memperoleh ikan di Sungai Mahakam, padahal ikan adalah sumber pokok
nafkah mereka. Akibatnya, nafkah perempuan Sungai Mahakam dari mengasin ikan
menjadi berkurang. Lalu para perempuan itu harus mengeluarkan uang untuk
belanja sumber protein di pasar, sekali pun hanya pada saat tertentu ketika
mempunyai cukup uang.
Memudarnya sumber-sumber agraria untuk livelihood petani
transisi itu mendorong diversifikasi mata pencaharian. Para perempuan masuk ke
dalam diversifikasi kerja yang meliputi pertanian, buruh (tani dan jasa) serta
pedagang makanan ataupun barang-barang dan sembako. Sebenarnya baik perempuan
maupun laki-laki masuk ke dalam diversifikasi kerja sehingga mereka tak lagi
menjadi full-timer dalam kerja pertanian. Tentu saja
bahwa di wilayah tertentu full timer kerja
di pertanian masih terjadi, jika apa yang mereka tanam jenis tanaman komoditas.
Contoh petani kopi di desa-desa Kabupaten Rejang Lebong dan Kapahiyang di
Provinsi Bengkulu masih full timer sebagai
petani kopi. Tetapi, hanya mengandalkan tanaman kopi tetaplah tidak mencukupi
kebutuhan hidup, maka dari itu mereka pun melakukan diversifikasi tanaman di
dalam perkebunan kopinya, seperti lada, jengkol, cabai, dan pinang.
Pendeknya terdapat pola livelihood yang
hampir sama terjadi di kalangan petani transisi di Indonesia, bahwa mereka
harus menciptakan strategi diversifikasi dalam hal tanaman ataupun kombinasi
petani/nelayan dan buruh. Petani perempuan di Desa Banjaroya, Kecamatan Kali
Bawang, Kabupaten Kulon Progo (DIY), rata-rata mempunyai 4-5 diversifikasi
kerja. Mereka mengatakan bahwa apapun jenis kerja akan dijalaninya sepanjang
menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk menyediakan makanan, uang
pendidikan, uang transport buat sekolah anaknya, menyumbang hajatan, membeli
alat-alat untuk aneka perawatan dan ritual.
Sistem Makan Petani Transisi
Reproduksi tenaga kerja yang utama diperoleh dari makan dan minum. Air dan
bahan makanan kemudian dimasak oleh sumber energi seperti kayu ataupun gas.
Ketiga elemen bahan makanan, air dan energi membentuk jaringan dalam kesatuan
sistem makan (foodways system).
Sistem makan di kalangan petani transisi masih berkarakter keluarga (family foodways). Sistem makan meliputi cara
mengakses sumber bahan makan, mengolah (memasak) dan frekuensi memasak dalam
sehari, menu, penyajian di meja makan dan frekuensi makan dalam sehari. Sumber
bahan makan diperoleh dari sumber agraria (pucuk-pucuk sayur, cabe, aneka ikan
sungai atau keong sawah) dan pasar (beras, minyak goreng, garam, gula, bawang
merah).
Dalam rumah tangga petani transisi menu makan untuk ibu, ayah, anak dan
lansia adalah sama. Menu pokok adalah nasi dan menu turunanya adalah sayur yang
terdiri dari pucuk-pucuk sayur yang dicampur lauk, seperti tempe, tahu, teri,
dll, lalu dimasak dengan cabe pedas. Menu makan itu tidak beragam, melainkan
ditekankan pada pokoknya, yaitu karbohidrat (beras) dan sayur dengan rasa
pedas. Rata-rata mereka makan sehari tiga (3) kali dan memasak sehari dua (2)
kali.
Menurut analisa Susenas (2013) porsi makan di dalam rumah tangga miskin
rata-rata menurun seiring meningkatnya pengeluaran belanja untuk nonmakan
(15%). Rumah tangga miskin mengalokasikan belanja untuk makan mencapai 60 5.
Sebuah survey yang dilakukan di Lombok, Flores dan Kupang (Pikul ) menunjukan
bahwa pada saat periode lapar (siklus paceklik antara 3-6 bulan) adalah meminjam
uang atau mengurangi porsi makan.
Energi pembakar di kalangan petani transisi masih mengandalkan kayu (baik
mengambil dari lahan pertaniannya maupun membeli) dan gas (tabung gas berukuran
3 kg). Sedangkan air untuk minum, mandi dan mencuci sangat tergantung pada
kondisi fisik wilayah tersebut. Tidak semua petani yang tinggal di pegunungan
mempunyai air bersih dan berkecukupan, terutama di daerah pegunungan karst dan
sungai. Tetapi di sejumlah desa, contohnya di Kabupaten Rejang Lebong, urusan
air telah dikelola BUMDes atau ada pula yang dikelola komunitas. Pengguna air
itu harus membayar kepada pengelola meskipun tidak terlalu mahal. Namun wilayah
kering sabana atau stepa di NTT mengharuskan perempuan menempuh 1-2 kilomter
untuk mengakses ke sumur-sumur air.
Menurut laporan Human Developemnt Report (2006)
bahwa dunia dalam keadaan krisis air, baik dalam arti ketersediaan maupun dalam
wujud air bersih. Krisis air itu diperparah oleh kepentingan kapital dan kelas
borjuasi dalam memonopoli sumber air dan pengelolaannya,
Dalam pembagian kerja secara gender di keluarga petani transisi, sistem
makan sepenuhnya di bawah kendali (kontrol) perempuan, dan dalam pelbagai
observasi laki-laki pasangan hidup mereka tidak ikut campur bahkan dalam
menentukan menu makan. Pun tidak ada aturan table manner sebagaimana
keluarga di Eropa pada abad 16 mengalami pendisiplinan ke dalam etiket di meja
makan yang mengistimewakan laki-laki (Norbert Elias 2000). Tetapi pada generasi
baru (anak-anak mereka yang berusia 6-12 tahun) keluarga petani transisi ini
telah berhasil didisiplinkan oleh bisnis makanan kemasan di saat mereka sekolah
dan pulang sekolah, sehingga apa yang mereka makan bersumber dari pasar.
Untuk dapat menyelenggarakan sistem makan dan uang jajan bagi anak
sekolah, perempuan petani transisi itu mencari nafkah. Dengan demikian mereka
telah mereproduksi tenaga kerja dan mempersiapkan tenaga kerja baru. Maka
kegiatan mencari nafkah dan menyediakan makanan tidak membentuk oposisi biner,
melainkan sebagaimana pendapat Vogel bahwa kegiatan itu merupakan kesatuan yang
berdialektika, yang kemudian disebut livelihood.
Rekonstruksi teoritik Vogel itu juga menjadi praktik di kalangan perempuan
urban kota yang termobilisasi ke dalam model putting out system (menerima
order kerja dari pabrik/juragan tetapi dikerjakan di rumah mereka
masing-masing).
***
Tulisan ini saya tutup dengan
pertanyaan bagi seluruh pemangku pengorganisasian petani dan reforma agraria:
setelah membaca bukti livelihood sebagaimana diuraikan di atas, apakah status livelihood masih akan ditempatkan di luar
perjuangan penguasaan atas sumber-sumber agraria?
Kepustakaan:
Elias, Norbert, The Civilizing Process, (London: Wiley-Blackwell,
cetakan 2, 2000).
Fadhila,
“Bengkuang, Sungai dan Tambang”, dalam Hidup Di Tengah Kemelut: Situasi Perempuan di 11 Situs Krisis
Sosial Ekologis, (ed) Anna Mariana, Sapariah Saturi dan Ruth Indiah Rahayu, (Bogor:
Sajogyo Institute Press, 2018).
Human Development
Report, Beyond
Scarcity: Power, Poverty and Global Water Crisis, 2006.
Laki, Ramlah,
“Lambori Yang Terkoyak: Kisah Perempuan dan Perubahan Corak Produksi di Betaua,
Sulawesi Tengah”, dalam Hidup Di Tengah Kemelut: Situasi Perempuan di 11 Situs Krisis
Sosial Ekologis, (ed) Anna Mariana, Sapariah Saturi dan Ruth Indiah Rahayu, (Bogor:
Sajogyo Institute Press, 2018).
Kitahara,
Atsushi, “Agrarian Transformation and Rural Diversity in Globalising East
Asia”, International
Journal of Japanese Sosiologi, No 13, 2004.
Malinda, Rassela,
“Kelapa Sawit Datang, Banjir Sungai Hilang:, dalam Hidup Di Tengah Kemelut:
Situasi Perempuan di
11 Situs Krisis Sosial Ekologis, (ed) Anna Mariana, Sapariah Saturi dan Ruth Indiah
Rahayu, (Bogor: Sajogyo Institute Press, 2018).
Tim Pikul, Food Security and
Nutrition in Indonesia: Result and Analysis Three Surveys, (IFPRI-SNV Workshop Voice
For Change Program, 2017).
Vogel, Lise,
“Domestic Labour Revisited”, Science and Society, Vol 64, No 2, (Summer 2000).
Wiradi, Gunawan, Seluk Beluk Masalah
Agraria,
penyunting Mochamad Shohibuddin, (Bogor: STPN Press, 2009).
Sumber: IndoProgress
0 komentar:
Posting Komentar