Kamis, 20 September 2018

Belajar Konservasi Air dari Nglanggeran yang Dulu Gersang

Kamis 20 September 2018 - 16:21

Sobat Air ADES Conservacation Yogyakarta dan warga menyimak materi konservasi. (Foto: Sabar/kumparan)

Pendopo Nglanggeran Wetan menjadi lokasi Sobat Air ADES untuk belajar konsep konservasi air. Dalam sesi ini, Ades Conservacation juga mengundang warga Nglanggeran untuk ikut bergabung.
Semilir angin yang masuk tetap membuat suasana nyaman meski kursi pendopo penuh. Karena bentuknya ruang terbuka, peserta bisa melihat hamparan sawah dan perkampungan.
Dewi Damayanti dari The Nature Conservancy Indonesia yang beraliansi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara menjadi pengisi materi pertama. Dewi memaparkan pentingnya konservasi.
Dewi menyampaikan beberapa bukti bahwa alam telah tercemar dan butuh konservasi, mulai dari fenomena laut yang tercemar hingga hewan makan sampah. Bukti-bukti tersebut diharapkan membuka kesadaran akan pentingnya konservasi lingkungan.

“Mengapa kita harus melindungi orang utan?” tanya Dewi.
 “Karena orang utan adalah penebar benih terbaik,” jawab Alfit Saputro, Sobat Air ADES asal Depok, Jawa Barat.

Bambang Prastistho
Bambang Prastistho menjelaskn tentang siklus air di Conservacation Yogyakarta. (Foto: Sabar/kumparan)
Dewi menegaskan konservasi penting karena manusia harus berbagi sumberdaya dengan yang lain karena belum ada bumi lain. Setiap orang berhak mendapatkan akses air, akan tetapi tetap harus tanggung jawab untuk menjaga kualitas air.
Dedik Widianto (27), warga Nglanggeran yang mengikuti sesi ini merasa mendapat ilmu baru tentang lingkungan. Dia mendapat pemahaman baru soal pentingnya konservasi bagi kelangsungan lingkungan tempat tinggalnya.
“Menarik karena membuat saya belajar tentang mengapa harus menjaga alam,” ujar Dedik.
 Setelah mendapat paparan konservasi, Sobat Air ADES dan warga mendapatkan materi siklus air dari akademisi Universitas UPN Yogyakarta, Bambang Prastistho. Sebelum menyampaikan materi, Bambang mengajak peserta untuk menyanyikan Indonesia Pusaka.

“Lagu Indonesia Pusaka adalah lagu wajib konservasi,” ujar Bambang.
Lagu ini menceritakan betapa kayanya Indonesia dan kita harus menjaganya, tidak terkecuali air. Dalam materi siklus air, Bambang menyoroti pembuatan septic tank. Terlalu banyak septic tank bisa menyebabkan terganggunya air tanah.

 Puji Pratiknyo di Conservacation Yogyakarta
Pemaparan hasil penelitian bebatuan dan mata air oleh Puji Pratiknyo di Conservacation Yogyakarta. (Foto: Sabar/kumparan)
“Berapa radius yang aman antara septic tank dan sumur agar tidak mencermari air tanah?” tanya Basuki, warga Nglanggeran.
 Bambang menjelaskan jarak sumur dan septic tank tergantung porositas (lubang tanah). Kalau lempung (porositas sedikit) bisa dekat. Tetapi kalau pasir, tidak boleh dekat-dekat.
Materi terakhir, penelitian tentang air dan bebatuan di Nglanggeran, disampaikan oleh Puji Pratiknyo dari Universitas UPN Yogyakarta.

“Nglanggeran dulunya adalah laut, tapi jutaan tahun yang lalu,” ujar Puji.
 Dalam penelitian, Puji memetakan jenis bebatuan yang ada di Nglanggeran yang didominasi oleh batuan gamping. Selain itu, Puji dan timnya juga memetakan sumur dan aliran air tanah di Nglanggeran. Sepuluh titik sumur sudah dianalasis tetapi belum dibuatkan laporan karena masih ada penelitian yang berlangsung.

Bagi Taufikqulhakim, Sobat Air ADES asal Kabupaten Sigi, materi sumur ini spesial.

“Buat saya materi cara mencari sumber mata air yang disampaikan menarik air karena materi ini harapannya bisa diaplikasikan di Palu,” ujar Taufiqulhakim.
Sumber: Kumparan.Com 

0 komentar:

Posting Komentar