Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Kamis, 27 September 2018

Problem Livelihood Yang Tak Dicatat Dalam Hari Tani Nasional

Ruth Indiah Rahayu

Nenek-nenek Desa Tebat Pulau Menganyam Keranjang. Kredit foto: Ruth Indiah Rahayu

PENETAPAN Hari Tani Nasional mempunyai kaitan historis dengan pengundangan UU Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960. Tiga tahun setelah UUPA tersebut diundangkan, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 169 Tanggal 26 Agustus 1963 untuk menetapkan “24 September” sebagai Hari Tani Nasional.
Pada setiap peringatan ini (kecuali semasa Orde Baru) masalah pokok yang disuarakan petani adalah tentang akses terhadap sumber-sumber agraria, khususnya yang paling menonjol adalah tentang persoalan tanah.

Menurut Gunawan Wiradi (2009), dimensi persoalan agraria yang paling utama berkenaan dengan ketimpangan struktur penguasaan (sumber agraria termasuk tanah), ketimpangan peruntukkan dan penggunaan tanah, tumpang tindih hukum (hukum adat versus hukum formal) dan kebijakan agraria. Jika kita merujuk pada dimensi persoalan agraria itu, maka persoalan agraria tampak hanya berorientasi pada urusan produksi pertanian. Namun sesungguhnya di balik persoalan agraria itu terdapat bentangan masalah yang berkaitan dengan strategi perempuan petani yang mengelola rumah tangga mereka untuk membuat kehidupan dan penghidupan petani itu tetap berlangsung (livelihood). Dalam aksi-aksi di Hari Tani Nasional, masalah livelihood —sependek pengetahuan saya– tidak pernah menjadi isu yang disandingkan dengan tuntutan hak atas tanah (rights to land) dalam konteks isu agrarian.

Dimensi livelihood pun luas, yakni meliputi pelbagai aktivitas untuk mengadakan sumber-sumber hidup yang mendasar, seperti makanan (baik untuk manusia maupun ternak), air, sarana berlindung (perumahan), energi, pakaian, sarana transportasi dan dewasa ini sarana komunikasi juga bagian yang dianggap penting dalam livelihood. Tentu saja corak livelihood berkorelasi dengan asset, dan asset berkorelasi dengan corak produksi masyarakat (apa yang dimiliki suatu komunitas untuk hidup?) Dalam konteks ini corak livelihood ditentukan oleh posisi kelas, gender, geografi kawasan, etnis dan sistem religi, sehingga karakter livelihood itu interseksional atas pebagai faktor.

Tulisan akan mengangkat gambaran livelihood petani transisi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan NTT, untuk membuktikan bahwa isu livelihood dan keagrariaan (tanah) merupakan satu kesatuan yang berdialektika.

Livelihood Dalam Kerangka Feminis Sosialis

Aktivitas livelihood dalam pandangan umum selalu dilokasikan pada ranah domestik rumah tangga dengan penanggungjawab perempuan. Maka dari itu pembahasan tentang livelihood pada mulanya didiskusikan melalui teori kerja domestik (domestic labour) dalam tatanan masyarakat kapitalis yang banyak diperdebatkan oleh para feminis sepanjang kurun 1960-1970an.

Teori kerja domestik itu pada mulanya dilontarkan oleh feminis sosialis dari Amerika Utara yang kemudian dikembangkan oleh feminis Inggris. Pada 1960an, Lise Vogel (1984) menceriterakan bahwa para feminis sosialis menganalisis kerja domestik perempuan yang tak berbayar (unpaid labour) dalam kerangka analisa ekonomi-politik Marxis, yang kemudian diikuti oleh feminis radikal. 
Pertanyaan yang mereka ajukan: apakah keseluruhan kerja perempuan untuk mengurus anggota keluarga, yaitu kerja pengasuhan anak (childcare), menyediakan makanan, perawatan rumah tangga, adalah kerja produktif? Apabila kerja domestik adalah proses kerja, lalu apakah yang diproduksi? Orangkah? Tenaga kerjakah? Komoditaskah? Apakah produk itu mempunyai nilai? Apakah relasi kerja domestik tersebut dengan reproduksi tenaga kerja?
Vogel lalu menceritakan bahwa pada 1970an teori kerja domestik ini banyak ditinggalkan para feminis karena tidak memiliki kestabilan sebagai teori. Teori kerja domestik terlalu kabur. Ketika membahas tentang reproduksi tenaga kerja, teori ini menjadi bias dengan pandangan esensialis tentang prokreasi (reproduksi biologis). Sementara proses reproduksi tenaga kerja dapat berlangsung di dalam rumah tangga, di tempat kerja maupun di pasar, sehingga reproduksi tenaga kerja bukan khas sebagai pekerjaan domestik. Maka pada dekade 1980an, sejumlah feminis berusaha untuk merekonstruksi teori yang melampaui (beyond) teori kerja domestik yang disebut reproduksi sosial.

Vogel merupakan salah seorang feminis yang merekonstruksi kesatuan teori produksi dan reproduksi sebagai konsep yang tidak beroposisi biner antara publik versus domestik. Argumen Vogel itu merujuk pada pandangan Marx bahwa pusat reproduksi tenaga kerja itu ada di situs reproduksi sosial. Maka Vogel menyusun argumen: pertama, reproduksi tenaga kerja adalah kegiatan sehari-hari untuk memulihkan tenaga kerja produktif. Kedua, kegiatan serupa juga untuk merawat anggota keluarga yang tidak produktif seperti anak-anak dan lansia. Ketiga, kegiatan serupa untuk menggantikan tenaga kerja yang mati, sehingga terbit tenaga kerja baru (pengasuhan anak). Ketiga argumen Vogel itu diharapkan dapat mengatasi perspektif esensialis dalam memandang reproduksi tenaga kerja, dan mengatasi oposisi biner antara produksi dan reproduksi.

Dalam pembahasan tentang livelihood di masyarakat kapitalis ini, penulis merujuk pada Vogel untuk melokasikan livelihood sebagai wujud aktivitas reproduksi sosial. Tiga argumen Vogel di atas, dalam praktik sosialnya, adalah aktivitas perempuan mencari nafkah (produksi) untuk mereproduksi tenaga kerja (reproduksi). Argumen pertama bahwa kegiatan reproduksi sosial adalah pekerjaan sehari-hari untuk memulihkan tenaga kerja terjadi melalui praktik penyediaan makanan bagi keluarga. Kegiatan penyediaan makan menciptakan cara makan yang tersistem (foodways system) yang tidak saja menjadi kultur tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menciptakan bentuk relasi dengan alam dan pasar serta peta jalan dalam mengakses sumber makanan, air dan energi. 

Argumen kedua, selain menyediakan makan bagi semua anggota keluarga baik yang produktif maupun nonproduktif, kegiatan reproduksi sosial adalah merawat (caring and nursering) anak-anak dan lansia. Bentuk kegiatan ini meliputi pengasuhan dan sosialisasi anak, menjaga lingkungan agar tetap sehat, menyediakan obat-obatan, merawat kebersihan tubuh, yang dapat menciptakan kultur pendidikan, kesehatan, dan sanitasi air bersih. Argumen ketiga, kegiatan reproduksi sosial adalah menggantikan tenaga kerja yang mati dengan yang baru. Wujudnya adalah menangani orang mati (prosesi kematian) dan menangani manusia baru (prosesi kelahiran) yang dapat meciptakan pelbagai macam ritus sosial.

Tetapi dalam masyarakat kapitalis, hanya kelas borjuasi yang dapat menyelenggarakan proses reproduksi sosial itu secara berkualitas. Adapun kelas pekerja (petani, buruh dan nelayan) yang penghasilannya tidak menentu, tidak memadai, dan rapuh dalam permainan fluktuasi pasar, tidak dapat menyelenggarakan kegiatan reproduksi sosial secara berkualitas. Dalam praktiknya, livelihood yang dilakukan perempuan kelas pekerja ini meliputi kegiatan mencari nafkah baik dengan cara meramu (mengumpulkan) dari sumber-sumber agraria yang tersedia di lingkungannya, menganyam maupun menjadi buruh guna dapat menghidangkan makanan untuk reproduksi tenaga kerja.

Gambaran Livelihood Petani Transisi

Penelitian etnografi yang dilakukan peneliti (perempuan) muda di bawah koordinasi Sajogyo Institute (SAINS), menggambarkan kondisi kontemporer petani transisi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Istilah petani transisi saya pinjam dari Atsushi Kitahara (2005) yang berpendapat bahwa masyarakat pedesaan di Asia dewasa ini bukan masyarakat petani yang mengandalkan sumber nafkahnya dari pertanian semata. Terjadi mobilitas penduduk dan diversifikasi sumber nafkah akibat sumber pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) tidak memadai lagi untuk melangsungkan proses reproduksi sosial. Selain itu biaya produksi pertanian sangat mahal karena sedikit tenaga kerja (akibat program KB atau migrasi ke kota) dan biaya reproduksi sosial juga sangat mahal karena menyesuaikan dengan standar gaya hidup global yang seragam dan “yang modern”. Contohnya adanya pengeluaran untuk bensin (alat transportasi sepeda motor), listrik dan pendidikan yang tidak murah sehingga membuat peningkatan biaya hidup rumah tangga. Itu artinya problem livelihoodmencakup berkurangnya tenaga kerja pertanian dan penyesuaian perempuan terhadap pasar global yang memonopoli bahan makanan.

Pemicu perubahan di pedesaan adalah globalisasi industri yang menembus jantung masyarakat pedesaan dan mengubahnya menjadi urban. Menjadi urban artinya masyarakat pedesaan dibentuk melalui mekanisme disiplin pasar agar menjadikan pasar sebagai pusat livelihoodnya (bukan lagi berpusat pada sumber agraria). Derajat transisi keurbanan itu berbeda-beda seturut lokasi dimana masyarakat petani itu hidup. Makin terpencil lokasi mereka hidup, makin rendah kualitas livelihoodnya.

Apabila kita mengikuti jalur livelihood melalui aktivitas kerja perempuan, kondisi petani transisi itu dapat kita lihat pada pekerjaan menganyam tikar dan keranjang (pelbagai ukuran dan kegunaan). Saat ini penganyam tikar dan keranjang hanya dikerjakan oleh orang tua (nenek). Bahan tikar umumnya dari pandan, sedangkan keranjang untuk kerja pertanian dan alat dapur berbahan dari bambu. Maka memudarnya kerja menganyam dewasa ini berkorelasi dengan hilangnya bahan-bahan tersebut di lingkungan perempuan itu bermukim akibat industrialisiasi ekstrasi (tambang dan perkebunan tanaman komoditas). 

Contoh itu diceritakan oleh Fadhila (2018) yang meneliti tentang keberadaan penganyam tikar di Mukim Menggamat, sepanjang Sungai Menggamat di Kluet, Aceh Selatan. Begitu pula di Betaua, Sulawesi Tengah, saat ini menyisakan sedikit penganyam tikar dari bahan pandan lambori (Ramlah Laki 2018). Hal serupa saya jumpai di Desa Tebat Pulau, Kecamatan Curug Selatan, Kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu). Memudarnya kerja menganyam dapat menjadi indikator kondisi petani transisi, dimana generasi muda keluarga petani tidak berminat dengan pekerjaan menganyam karena tidak memberi penghasilan sepadan dengan proses kerja yang dikeluarkan. Meski hal itu bisa terjadi bahwa para perempuan (ibu) telah meniadakan ketrampilan menganyam dalam proses sosialisasi anak (tenaga kerja baru).

Tentu saja memudarnya menganyam sebagai kegiatan livelihood berkorelasi dengan globalisasi plastik yang menggantikan semua bahan dasar dari sumber agraria. Pada saat yang sama mencari sumber protein dari sungai kecil, rawa atau sawah, dan pelbagai pucuk daun untuk diolah sebagai menu makan anggota keluarga atau pun dijual ke pasar juga mulai memudar. Ketersediaan ikan di sungai-sungai di Gunung Pongkor, Sukabumi, Jawa Barat diceritakan oleh Indra Agustiani (2008) semakin sedikit dan kecil-kecil setelah gunung itu menjadi pusat penambangan emas. Di kalangan masyarakat sungai yang hidup di mandaan (rumah apung) Sungai Mahakam, menurut cerita Rassela Malinda (2018), kini telah dipaksa mendarat di Desa Liang Buaya, Kabupaten Kutai Kartanegara. Mereka pun makin sulit memperoleh ikan di Sungai Mahakam, padahal ikan adalah sumber pokok nafkah mereka. Akibatnya, nafkah perempuan Sungai Mahakam dari mengasin ikan menjadi berkurang. Lalu para perempuan itu harus mengeluarkan uang untuk belanja sumber protein di pasar, sekali pun hanya pada saat tertentu ketika mempunyai cukup uang.

Memudarnya sumber-sumber agraria untuk livelihood petani transisi itu mendorong diversifikasi mata pencaharian. Para perempuan masuk ke dalam diversifikasi kerja yang meliputi pertanian, buruh (tani dan jasa) serta pedagang makanan ataupun barang-barang dan sembako. Sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki masuk ke dalam diversifikasi kerja sehingga mereka tak lagi menjadi full-timer dalam kerja pertanian. Tentu saja bahwa di wilayah tertentu full timer kerja di pertanian masih terjadi, jika apa yang mereka tanam jenis tanaman komoditas. Contoh petani kopi di desa-desa Kabupaten Rejang Lebong dan Kapahiyang di Provinsi Bengkulu masih full timer sebagai petani kopi. Tetapi, hanya mengandalkan tanaman kopi tetaplah tidak mencukupi kebutuhan hidup, maka dari itu mereka pun melakukan diversifikasi tanaman di dalam perkebunan kopinya, seperti lada, jengkol, cabai, dan pinang.

Pendeknya terdapat pola livelihood yang hampir sama terjadi di kalangan petani transisi di Indonesia, bahwa mereka harus menciptakan strategi diversifikasi dalam hal tanaman ataupun kombinasi petani/nelayan dan buruh. Petani perempuan di Desa Banjaroya, Kecamatan Kali Bawang, Kabupaten Kulon Progo (DIY), rata-rata mempunyai 4-5 diversifikasi kerja. Mereka mengatakan bahwa apapun jenis kerja akan dijalaninya sepanjang menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk menyediakan makanan, uang pendidikan, uang transport buat sekolah anaknya, menyumbang hajatan, membeli alat-alat untuk aneka perawatan dan ritual.

Sistem Makan Petani Transisi

Reproduksi tenaga kerja yang utama diperoleh dari makan dan minum. Air dan bahan makanan kemudian dimasak oleh sumber energi seperti kayu ataupun gas. Ketiga elemen bahan makanan, air dan energi membentuk jaringan dalam kesatuan sistem makan (foodways system).

Sistem makan di kalangan petani transisi masih berkarakter keluarga (family foodways). Sistem makan meliputi cara mengakses sumber bahan makan, mengolah (memasak) dan frekuensi memasak dalam sehari, menu, penyajian di meja makan dan frekuensi makan dalam sehari. Sumber bahan makan diperoleh dari sumber agraria (pucuk-pucuk sayur, cabe, aneka ikan sungai atau keong sawah) dan pasar (beras, minyak goreng, garam, gula, bawang merah). 
Dalam rumah tangga petani transisi menu makan untuk ibu, ayah, anak dan lansia adalah sama. Menu pokok adalah nasi dan menu turunanya adalah sayur yang terdiri dari pucuk-pucuk sayur yang dicampur lauk, seperti tempe, tahu, teri, dll, lalu dimasak dengan cabe pedas. Menu makan itu tidak beragam, melainkan ditekankan pada pokoknya, yaitu karbohidrat (beras) dan sayur dengan rasa pedas. Rata-rata mereka makan sehari tiga (3) kali dan memasak sehari dua (2) kali.

Menurut analisa Susenas (2013) porsi makan di dalam rumah tangga miskin rata-rata menurun seiring meningkatnya pengeluaran belanja untuk nonmakan (15%). Rumah tangga miskin mengalokasikan belanja untuk makan mencapai 60 5. Sebuah survey yang dilakukan di Lombok, Flores dan Kupang (Pikul ) menunjukan bahwa pada saat periode lapar (siklus paceklik antara 3-6 bulan) adalah meminjam uang atau mengurangi porsi makan.

Energi pembakar di kalangan petani transisi masih mengandalkan kayu (baik mengambil dari lahan pertaniannya maupun membeli) dan gas (tabung gas berukuran 3 kg). Sedangkan air untuk minum, mandi dan mencuci sangat tergantung pada kondisi fisik wilayah tersebut. Tidak semua petani yang tinggal di pegunungan mempunyai air bersih dan berkecukupan, terutama di daerah pegunungan karst dan sungai. Tetapi di sejumlah desa, contohnya di Kabupaten Rejang Lebong, urusan air telah dikelola BUMDes atau ada pula yang dikelola komunitas. Pengguna air itu harus membayar kepada pengelola meskipun tidak terlalu mahal. Namun wilayah kering sabana atau stepa di NTT mengharuskan perempuan menempuh 1-2 kilomter untuk mengakses ke sumur-sumur air. 
Menurut laporan Human Developemnt Report (2006) bahwa dunia dalam keadaan krisis air, baik dalam arti ketersediaan maupun dalam wujud air bersih. Krisis air itu diperparah oleh kepentingan kapital dan kelas borjuasi dalam memonopoli sumber air dan pengelolaannya,

Dalam pembagian kerja secara gender di keluarga petani transisi, sistem makan sepenuhnya di bawah kendali (kontrol) perempuan, dan dalam pelbagai observasi laki-laki pasangan hidup mereka tidak ikut campur bahkan dalam menentukan menu makan. Pun tidak ada aturan table manner sebagaimana keluarga di Eropa pada abad 16 mengalami pendisiplinan ke dalam etiket di meja makan yang mengistimewakan laki-laki (Norbert Elias 2000). Tetapi pada generasi baru (anak-anak mereka yang berusia 6-12 tahun) keluarga petani transisi ini telah berhasil didisiplinkan oleh bisnis makanan kemasan di saat mereka sekolah dan pulang sekolah, sehingga apa yang mereka makan bersumber dari pasar.

Untuk dapat menyelenggarakan sistem makan dan uang jajan bagi anak sekolah, perempuan petani transisi itu mencari nafkah. Dengan demikian mereka telah mereproduksi tenaga kerja dan mempersiapkan tenaga kerja baru. Maka kegiatan mencari nafkah dan menyediakan makanan tidak membentuk oposisi biner, melainkan sebagaimana pendapat Vogel bahwa kegiatan itu merupakan kesatuan yang berdialektika, yang kemudian disebut livelihood. Rekonstruksi teoritik Vogel itu juga menjadi praktik di kalangan perempuan urban kota yang termobilisasi ke dalam model putting out system (menerima order kerja dari pabrik/juragan tetapi dikerjakan di rumah mereka masing-masing).

***
Tulisan ini saya tutup dengan pertanyaan bagi seluruh pemangku pengorganisasian petani dan reforma agraria: setelah membaca bukti livelihood sebagaimana diuraikan di atas, apakah status livelihood masih akan ditempatkan di luar perjuangan penguasaan atas sumber-sumber agraria?

Kepustakaan:
Elias, Norbert, The Civilizing Process, (London: Wiley-Blackwell, cetakan 2, 2000).
Fadhila, “Bengkuang, Sungai dan Tambang”, dalam Hidup Di Tengah Kemelut: Situasi Perempuan di 11 Situs Krisis Sosial Ekologis, (ed) Anna Mariana, Sapariah Saturi dan Ruth Indiah Rahayu, (Bogor: Sajogyo Institute Press, 2018).
Human Development Report, Beyond Scarcity: Power, Poverty and Global Water Crisis, 2006.
Laki, Ramlah, “Lambori Yang Terkoyak: Kisah Perempuan dan Perubahan Corak Produksi di Betaua, Sulawesi Tengah”, dalam Hidup Di Tengah Kemelut: Situasi Perempuan di 11 Situs Krisis Sosial Ekologis, (ed) Anna Mariana, Sapariah Saturi dan Ruth Indiah Rahayu, (Bogor: Sajogyo Institute Press, 2018).
Kitahara, Atsushi, “Agrarian Transformation and Rural Diversity in Globalising East Asia”, International Journal of Japanese Sosiologi, No 13, 2004.
Malinda, Rassela, “Kelapa Sawit Datang, Banjir Sungai Hilang:, dalam Hidup Di Tengah Kemelut: Situasi Perempuan di 11 Situs Krisis Sosial Ekologis, (ed) Anna Mariana, Sapariah Saturi dan Ruth Indiah Rahayu, (Bogor: Sajogyo Institute Press, 2018).
Tim Pikul, Food Security and Nutrition in Indonesia: Result and Analysis Three Surveys, (IFPRI-SNV Workshop Voice For Change Program, 2017).
Vogel, Lise, “Domestic Labour Revisited”, Science and Society, Vol 64, No 2, (Summer 2000).

Wiradi, Gunawan, Seluk Beluk Masalah Agraria, penyunting Mochamad Shohibuddin, (Bogor: STPN Press, 2009).

Sumber: IndoProgress 

Rabu, 26 September 2018

Hari Tani dan Simbol-simbol Agama

September 26, 2018 
Artikel Dandhy D. Laksono 

"Perusahaan-perusahaan tambang seperti Semen Indonesia dan Indocement yang menyengsarakan petani, adalah perusahaan yang sahamnya dinyatakan syariah".

Seorang petani sedang mengerjakan sawahnya di pagi hari. Foto: paktanidigital.com

Di lantai bursa ada yang disebut saham-saham syariah. Jika ada yang menganggap jual beli saham (modal) itu riba atau haram, maka label “syariah” mungkin dapat membuat hati tenang. Seperti saat Anda berurusan dengan “bank syariah”.

Tak peduli apakah mereka benar-benar menerapkan prinsip “bagi risiko” seperti Beng Mawah yang saya jumpai di Aceh, atau sebenarnya hanya “bagi hasil” seperti bank konvensional dengan embel-embel “syariah”.

Saham-saham “halal” ini bahkan dikelompokkan secara khusus dalam Daftar Efek Syariah (DES) atau untuk 30 saham yang paling laris disebut Jakarta Islamic Index (JII).

Kriteria saham syariah tentu saja jauh lebih kompleks dari urusan “alkohol” dan “daging babi”. Perusahaan itu juga harus menjalankan produksi dan distribusi yang tidak terkait dengan perjudian dan jasa keuangan ribawi seperti bank dan lembaga pembiayaan konvensional. Ia bukan perusahaan jual beli risiko seperti asuransi, dan tidak melakukan transaksi-transaksi yang mengandung suap.

Karena itu, dari 338 perusahaan yang masuk Daftar Efek Syariah, misalnya, Anda hanya akan menemukan Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi (JMAS) atau Bank BRI Syariah (BRIS), karena sebagai perusahaan yang berdiri sendiri, laporan keuangannya tak lagi tercampur dengan BRI konvensional.

Tapi jangan terkejut, jika dalam daftar saham “halal” itu justru bertabur perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak berkonflik dengan petani dan masyarakat.
Misalnya, PT Semen Indonesia (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa (INTP). Kedua perusahaan ini telah dan akan menambang karst di pegunungan Kendeng dan memicu perlawanan para petani di Rembang dan Pati sejak 2006 hingga sekarang. Bahkan sejak 1993 bagi sebagian petani di Tuban.

Kriminalisasi terhadap petani telah dilakukan sepanjang konflik dengan kedua perusahaan ini, baik di Pati, Rembang, hingga Kendal. Mereka ditahan atas tuduhan penyerobotan tanah di atas lahan yang sebelumnya telah mereka kelola selama bergenerasi, seperti menimpa tiga petani Surokonto Wetan yang divonis 3 tahun penjara.

Para petani sedang berjalan di pematang sawah. Sumber Foto: berbagitips.co

Tapi kedua saham semen “pribumi” dan “asing” ini tercatat sebagai 30 saham terlaris dalam Jakarta Islamic Index (JII).

Contoh lain saham “halal” adalah milik PT Merdeka Copper Gold yang memiliki kode perdagangan MDKA. Perusahaan tambang emas yang sebagian sahamnya dimiliki Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno ini berkonflik dengan warga dan petani di Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Seorang warga bernama Budi Pego dikriminalisasi dengan dalih menyebarkan “ajaran komunisme” dan divonis 10 bulan penjara.

Sandiaga sendiri memiliki saham di Merdeka Copper melalui PT Saratoga Investagama Sedaya (SRTG) yang juga termasuk saham syariah.
Maka dalam kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi, narasi ada “komunis” menolak perusahaan tambang PT Merdeka dan lembaga investasi “syariah” seperti PT Saratoga adalah narasi yang seksi untuk mendapat dukungan “umat” terhadap perusahaan tambang emas itu.

Apalagi belakangan Sandi dinobatkan sebagai “ulama” untuk melengkapi dan mengimbangi narasi politik identitas yang juga dimainkan kubu Joko Widodo yang memasang Ketua MUI Ma’ruf Amin.

MUI sendiri adalah lembaga yang sejak tahun 2001 turut memberikan stempel “halal” kepada berbagai produk pasar modal di Indonesia, termasuk saham syariah.

Hampir dipastikan, lembaga seperti MUI tak akan memasukkan pertimbangan etis kemanusiaan dan (apalagi) lingkungan ketika memutuskan “halal” dan “haram” sebuah emiten atau perusahaan yang menjual sahamnya di lantai bursa.

Padahal, dari 659 kejadian konflik tanah sepanjang 2017 saja, sebanyak 32 persen di antaranya (208 kasus) melibatkan industri perkebunan tanaman tunggal (monokultur), terutama kelapa sawit yang juga masuk dalam saham syariah seperti grup Wilmar, Indofood, London Sumatera, atau Providen.

Setelah perkebunan, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2017 properti adalah sektor berikutnya yang menyumbang konflik paling banyak dengan masyarakat (30 persen).

Tapi ini tak akan ada yang mengaitkan semua ini dengan moralitas dan
etis dalam perdagangan saham. Sebab perusahaan properti seperti Agung Podomoro Land (APLN) yang mengancam kehidupan nelayan dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta atau PT Jakarta International Hotel and Development yang anak perusahaan hendak menguruk Teluk Benoa di Bali, adalah emiten-emiten syariah yang sahamnya dinyatakan "halal" oleh MUI.

Sepanjang kedua perusahaan itu tidak berbisnis alkohol atau membungakan uang, tampaknya MUI atau Dewan Syariah Nasional tak akan mau pusing dengan urusan perusakan lingkungan atau peminggiran ekonomi kaum dhuafa.

Alat pertanian menjadi salah satu modal mendapatkan hasil yang maksimal. Sumber Foto: jitunews.com

Sama halnya dengan kelompok politik agama yang lebih sibuk dengan urusan “kriminalisasi ulama” yang tak lebih dari jargon politik dibanding kriminalisasi petani yang benar-benar ada, nyata, dan meluas di banyak tempat. Bahkan melibatkan pengusaha yang menjadi kawan koalisinya.

Sebenarnya gejala ini tak baru. Ketika mengkritik video Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendukung industri monokultur kelapa sawit, saya telah mengaitkannya dengan agenda-agenda dakwah monoteisme seperti terjadi dari Mentawai hingga Papua.

Tahun 2011, misalnya, Front Pembela Islam (FPI) tiba-tiba ribut dan meminta pemerintah melarang kegiatan Greenpeace. Alasannya, karena organisasi pengkampanye lingkungan ini sering menyerang pemerintah dengan “data-data palsu” dan menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri. Alasan berikutnya karena Greenpeace internasional juga mendapat donasi dari uang lotere (judi).

Setiap organisasi tentu berhak menentukan standar moralitasnya. Bahkan ada perusahaan media yang tak menerima iklan rokok.

Tapi alasan seperti FPI ini tentu memancing bahan tertawaan karena diikuti oleh desakan agar organisasi lain ditutup, dan di saat yang bersamaan, ia menutup mata pada banyak praktik perusahaan yang merusak lingkungan, melanggar hak asasi manusia, dan meminggirkan masyarakat.

Jika benar setiap hasil uang judi harus ditutup atau disingkirkan, maka meminjam sindiran Gubernur DKI Ali Sadikin, "jangan lewat jalanan di Jakarta, karena jalan-jalan itu dibangun dari uang judi."

Tahun-tahun itu, Greenpeace memang gencar mengkampanyekan kasus-kasus konflik dan perusakan lingkungan yang dilakukan industri kelapa sawit di Sumatera dan mendesak perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever tidak membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan bermasalah di Indonesia.

Suatu pagi di tahun 2013, Dompet Dhuafa mengundang berdiskusi tentang buku “Indonesia for Sale” yang pernah saya tulis 2009. Kami bicara bagaimana mempertahankan orang tetap sejahtera sejak di kampung halamannya, dan bukannya menunggu mereka menjadi miskin (dhuafa) untuk disantuni.

Gagasan yang mungkin tidak menarik minat donatur yang baru tergerak menyumbang jika melihat foto warga miskin dan penderitaannya.
Tapi ide ini tetap saya sampaikan karena lembaga yang dirintis para jurnalis pada 1993 ini sejatinya cukup terbuka dengan berbagai gagasan. Mereka menyalurkan bantuan modal untuk korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dampingan Kontras yang kerap dianggap sebagai “LSM kiri”.

Belakangan, mereka juga ikut membantu logistik petani Kendeng jika sedang berunjuk rasa ke Jakarta atau membiayai proyek-proyek pertanian di Tasikmalaya dan berbagai tempat.

Sejak peristiwa 1965, isu-isu petani dan konflik tanah kerap dianggap sebagai tema “kekiri-kirian”. Sementara Dompet Dhuafa memegang mandat para donatur yang mayoritas muslim. Sementara sebagian petani Kendeng justru penganut keyakinan “Sedulur Sikep” atau “Saminisme” yang mengosongkan kolom agama di KTP. Hal yang membuatnya dicap "kiri" di masa Orde Baru.

Mengotak-kotakkan sebuah permasalahan dari kacamata ideologi atau agama, tentu sebuah kesalahan berpikir yang fatal. Sebab pemberontakan petani Banten tahun 1926 melawan kolonial adalah kisah perlawanan para haji seperti Achmad Chatib atau Moehammad Madoen yang kemudian dibuang ke Boven Digoel.

Jika para ulama seperti ini masih hidup hari ini, barangkali merekalah yang akan menunjukkan apa itu “halal” dan “haram” secara substansi dalam sebuah praktik ekonomi. Bukan hanya simbol dan stempel “syariah”.

Mereka tidak akan memakai isu impor beras sebagai retorika politik untuk menyerang lawan politik --tapi lebih sibuk membela “ulama” daripada petani—namun benar-benar bergerak untuk ikut mewujudkan swasembada itu dengan advokasi-advokasi yang nyata.

Selamat Hari Tani.

Dandhy Dwi Laksono, Wartawan, Pembuat Film Dokumenter dan Pendiri Rumah Produksi Watchdoc

Artikel Dandy Dwi Laksono [Di Sini]
Source: Seluang.Id 

Kamis, 20 September 2018

Belajar Konservasi Air dari Nglanggeran yang Dulu Gersang

Kamis 20 September 2018 - 16:21

Sobat Air ADES Conservacation Yogyakarta dan warga menyimak materi konservasi. (Foto: Sabar/kumparan)

Pendopo Nglanggeran Wetan menjadi lokasi Sobat Air ADES untuk belajar konsep konservasi air. Dalam sesi ini, Ades Conservacation juga mengundang warga Nglanggeran untuk ikut bergabung.
Semilir angin yang masuk tetap membuat suasana nyaman meski kursi pendopo penuh. Karena bentuknya ruang terbuka, peserta bisa melihat hamparan sawah dan perkampungan.
Dewi Damayanti dari The Nature Conservancy Indonesia yang beraliansi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara menjadi pengisi materi pertama. Dewi memaparkan pentingnya konservasi.
Dewi menyampaikan beberapa bukti bahwa alam telah tercemar dan butuh konservasi, mulai dari fenomena laut yang tercemar hingga hewan makan sampah. Bukti-bukti tersebut diharapkan membuka kesadaran akan pentingnya konservasi lingkungan.

“Mengapa kita harus melindungi orang utan?” tanya Dewi.
 “Karena orang utan adalah penebar benih terbaik,” jawab Alfit Saputro, Sobat Air ADES asal Depok, Jawa Barat.

Bambang Prastistho
Bambang Prastistho menjelaskn tentang siklus air di Conservacation Yogyakarta. (Foto: Sabar/kumparan)
Dewi menegaskan konservasi penting karena manusia harus berbagi sumberdaya dengan yang lain karena belum ada bumi lain. Setiap orang berhak mendapatkan akses air, akan tetapi tetap harus tanggung jawab untuk menjaga kualitas air.
Dedik Widianto (27), warga Nglanggeran yang mengikuti sesi ini merasa mendapat ilmu baru tentang lingkungan. Dia mendapat pemahaman baru soal pentingnya konservasi bagi kelangsungan lingkungan tempat tinggalnya.
“Menarik karena membuat saya belajar tentang mengapa harus menjaga alam,” ujar Dedik.
 Setelah mendapat paparan konservasi, Sobat Air ADES dan warga mendapatkan materi siklus air dari akademisi Universitas UPN Yogyakarta, Bambang Prastistho. Sebelum menyampaikan materi, Bambang mengajak peserta untuk menyanyikan Indonesia Pusaka.

“Lagu Indonesia Pusaka adalah lagu wajib konservasi,” ujar Bambang.
Lagu ini menceritakan betapa kayanya Indonesia dan kita harus menjaganya, tidak terkecuali air. Dalam materi siklus air, Bambang menyoroti pembuatan septic tank. Terlalu banyak septic tank bisa menyebabkan terganggunya air tanah.

 Puji Pratiknyo di Conservacation Yogyakarta
Pemaparan hasil penelitian bebatuan dan mata air oleh Puji Pratiknyo di Conservacation Yogyakarta. (Foto: Sabar/kumparan)
“Berapa radius yang aman antara septic tank dan sumur agar tidak mencermari air tanah?” tanya Basuki, warga Nglanggeran.
 Bambang menjelaskan jarak sumur dan septic tank tergantung porositas (lubang tanah). Kalau lempung (porositas sedikit) bisa dekat. Tetapi kalau pasir, tidak boleh dekat-dekat.
Materi terakhir, penelitian tentang air dan bebatuan di Nglanggeran, disampaikan oleh Puji Pratiknyo dari Universitas UPN Yogyakarta.

“Nglanggeran dulunya adalah laut, tapi jutaan tahun yang lalu,” ujar Puji.
 Dalam penelitian, Puji memetakan jenis bebatuan yang ada di Nglanggeran yang didominasi oleh batuan gamping. Selain itu, Puji dan timnya juga memetakan sumur dan aliran air tanah di Nglanggeran. Sepuluh titik sumur sudah dianalasis tetapi belum dibuatkan laporan karena masih ada penelitian yang berlangsung.

Bagi Taufikqulhakim, Sobat Air ADES asal Kabupaten Sigi, materi sumur ini spesial.

“Buat saya materi cara mencari sumber mata air yang disampaikan menarik air karena materi ini harapannya bisa diaplikasikan di Palu,” ujar Taufiqulhakim.
Sumber: Kumparan.Com 

Sabtu, 08 September 2018

Ramai-ramai Merusak Karst Lindung

08 September 2018


Sejumlah perusahaan merusak kawasan lindung bentang alam karst di selatan Yogyakarta untuk proyek properti. Keraton Yogyakarta memfasilitasi terbitnya izin sewa pakai kawasan itu.

Kawasan karst di pantai selatan Yogyakarta. (Foto: Dokumentasi "Investigasi Bersama Tempo")

Kendaraan bermesin berat memapras dua lereng bukit karst pada kawasan lembah menuju Pantai Seruni. Kontur alam lereng bukit di wilayah Tepus, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah hilang, pada Juli lalu. Tak ada lagi batang pohon dan rerumputan.

Eskavator telah meratakan lahan, dan membentuk bidang miring bukit menjadi undak-undakan besar. Dari lahan bertingkat-tingkat artifisial ini, pada pandangan ke selatan, terhampar pantai berpasir putih. Gulungan ombak Samudera Hindia menghantam bibir pantai bagian selatan Pulau Jawa ini.
Penduduk setempat biasa memancing dan menjala ikan di sekitar pantai ini. Para perempuan juga biasa memetik rumput laut liar yang tumbuh di bebatuan basah. Gugusan batu karang lahan rumput laut ini menjadi pembatas ujung barat dan ujung timur pantai berpasir. 
“Sebagian warga kami mencari makan di Pantai Seruni,” kata Supardi, Kepala Desa Tepus.
Pantai Seruni juga tempat singgah dan bertelur penyu, hewan yang merupakan penjaga keseimbangan ekosistem laut. Remah-remah dari aktivitas penyu memakan ganggang laut, membantu ikan mendapatkan makanan sehingga hewan berinsang itu tumbuh besar.

Pada Pantai Seruni --yang heningnya hanya pecah oleh deburan ombak, angin, dan suara burung-- sedang dibangun proyek hotel dan resor bernama South Mountain Paradise. Proyek ini milik P.T. Gunung Samudera Tirtomas dengan bos Robinson Saalino. Ia merupakan direktur utama pada perusahaan yang bergerak dalam jasa konstruksi, properti dan pariwisata ini. 
Dalam master plan, Gunung Samudera Tirtomas akan membangun hotel dengan konsep tiga gedung dengan kolam renang utama di tengah, dikelilingi resor menghadap pantai.
Lembah karst ini sedang disulap menjadi bangunan megah mirip Atlantis Beach Tower Hotel di Paradise Island, Bahama. Proyek ini menempati lahan seluas 76 hektare. Maket, dan denah lokasi telah terpampang di Pantai Seruni.

Sejak Januari 2017 lalu, telah dibangun satu blok resor, pos penjagaan, dan gerbang menuju kawasan Pantai Seruni. Pada tembok gerbang yang kokoh, terpasang panel bertuliskan “South Mountain Paradise” warna emas.




Salah satu resor di Pantai Seruni. (Foto: Dokumentasi "Investigasi Bersama Tempo")


Meski masih pada tahap awal, proyek ini juga telah dipasarkan melalui jaringan online, baik dalam situs perusahaan pengembang, maupun perusahaan pemasaran properti lain. Situs www.gunungsamuderatirtomas.com misalnya menawarkan South Mountain Paradise sebagai properti yang cocok untuk investasi maupun dipakai sendiri.

Perusahaan ini menyebutkan bahwa properti ini menyajikan pemandangan pantai yang eksotis, cocok untuk melepaskan penat bersama keluarga, dan bulan madu. Dengan harga mulai dari Rp 700 juta per unit, perusahaan akan membangun 390 unit kondotel, 80 resor, dan 70 vila.

Robinson menginvestasikan Rp 200 miliar untuk proyek ini. Hingga saat ini, ia mengaku telah mengucurkan Rp 20 miliar untuk tahap awal. Ia merencanakan akan menyelesaikan proyek ini pada akhir 2019. 
“Pada tahun 2020, kami siap beroperasi,” katanya.
Di tengah gencarnya pemasaran South Mountain Paradise, proyek ini mendapat penolakan dari Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu. Koalisi yang beranggotakan di antaranya Walhi Yogyakarta, Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Yogyakarta, Ikatan Mahasiswa Gunungkidul, Jogja Darurat Agraria, Pondok Pesantren Kalijaga ini mengajukan somasi atas proyek ini kepada Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada 2 Agustus tahun lalu.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta Halik Sandera, Pantai Seruni berada di kawasan bentang alam karst Gunungsewu, suatu kawasan lindung geologi yang merupakan bagian dari kawasan lindung nasional. Proyek South Mountain Paradise, kata dia, berdiri di kawasan lindung, dan merusak lingkungan. 
“UNESCO dan Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkannya sebagai kawasan lindung geologi yang wajib dilestarikan demi keseimbangan alam dan pengembangan ilmu pengetahuan,” katanya.
Sesuai Undang-Undang nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Ruang, dan Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaran Tata Ruang, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan surat keputusan tentang kawasan ini. Surat bernomor 3045 tahun 2014 itu menyatakan bahwa kawasan bentang alam karst Gunungsewu merupakan kawasan lindung seluas 1.100,17 kilometer persegi yang meliputi wilayah Kabupaten Gunungkidul, Bantul, Wonogiri, dan Pacitan.

Sebelumnya, telah terbit Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 17 tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam karst. Penetapan kawasan bentang alam karst bertujuan untuk melindungi kawasan karst yang berfungsi sebagai pengatur alami tata air.

Selain itu, kata Halik, penetapan kawasan itu untuk melestarikan kawasan karst yang memiliki keunikan dan nilai ilmiah sebagai obyek penelitian. Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa kawasan karst digunakan untuk penyelidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Halik juga mengingatkan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerbitkan Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Provinsi DIY. Perda ini menyatakan Gunungsewu sebagai kawasan lindung suaka alam sehingga dilarang mengubah bentang alamnya.

Kepada Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Halik juga mengecam karena proyek South Mountain Paradise melanggar aturannya sendiri. Peraturan Daerah Gunungkidul nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Gunungkidul menyebutkan bahwa wilayah karst Pegunungan Sewu masuk dalam kawasan lindung. Sehingga, tak boleh ada kegiatan yang merusak bentuk dan ekosistem karst.

Bos PT Gunung Samudera Tirtomas Robinson Saalino menampik tudingan adanya pelanggaran dalam proyek South Mountain Paradise. Ia mengklaim telah mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, yakni izin lokasi, izin prinsip, dan izin ruang.

Bagi Robinson, dengan berbekal izin tersebut, cukup untuk bisa membangun South Mountain Paradise. Ia mengakui belum memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal, dan Izin Mendirikan Bangunan. 
“Kami sedang mengurus izin Amdal dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Memang di lokasi sudah ada kantor. Di lokasi, infrastruktur sudah jadi, listrik dan air sudah masuk,” katanya.
South Mountain Paradise bukan satu-satunya proyek yang memapras kawasan karst di kawasan pantai selatan Gunungkidul, Yogyakarta. Masih di Kecamatan Tepus, persisnya di Desa Purwodadi, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menerbitkan rekomendasi tata ruang untuk PT Jogan Properti pada Juli 2016 lalu. Perusahaan ini membangun resor pada lahan seluas 1 hektare.

Berjarak sebelas kilometer ke arah barat dari Tepus pada South Mountain Paradise, pengusaha Enny Supiani menguasai kawasan Pantai Watukodok sejak 2011 lalu. Bos PT Suara Samudera Selatan ini hendak membangun resor di kawasan seluas tujuh hektare.




Resor milik Enny Supiani di Pantai Watukodok. (Foto: Dokumentasi "Investigasi Bersama Tempo")


Kedatangan Enny di Watukodok menimbulkan masalah dengan penduduk setempat karena klaim kepemilikan tanah. Suwarno, penduduk Desa Kemadang, lokasi Pantai Watukodok mengatakan, Enny akan mendirikan resor di tanah garapannya. Menurut dia, Enny menyatakan telah memiliki surat rekomendasi tata Ruang dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, dan Surat Kekancingan dari Penghageng Tepas Panitikismo yang biasa disebut Panitikismo. Dalam struktur Keraton Yogyakarta, Panitikismo berwenang mengurus Sultan Ground, atau tanah milik Keraton Yogyakarta.
 “Kami menolak tanah garapan kami diambil,” kata Suwarno. Di Watukodok, Suara Samudera Selatan telah memapras setidaknya satu hektare lahan karts di kawasan lindung Gunungsewu untuk menyiapkan desain lanskap.
Penghageng Tepas Panitikismo, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto --adik kandung Sultan Hamengkubuwono X--Hadiwinoto mengakui beberapa kali didatangi Enny Supiani untuk mengurus kekancingan di Watukodok. Menurut Hadiwinoto, Enny sudah mendapatkan kekancingan dengan nilai sewa Rp 160 juta untuk sepuluh tahun. “Dia mau bangun resor. Coba kalau di Bali harganya berapa puluh juta per tahun,” kata Hadiwinoto.

Tempo tiga kali mendatangi rumah Enny Supiani di Jalan Permata Timur, Pondok Kelapa, Duren Sawit Jakarta Timur. 
“Ibu sedang tak ada di rumah,” kata seorang yang mengaku sebagai pekerja rumah tangga Enny, dan menyampaikan surat permohonan wawancara. Tapi, Enny tak menjawab.
Ada lagi perusahaan lain yang mengelola kawasan wisata berbekal surat rekomendasi dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Gunungkidul. Perusahaan itu adalah PT Pantai Baron yang mendapatkan rekomendasi tata ruang untuk membangun hotel, vila, pondok wisata, dan bumi perkemahan pada Januari 2015 lalu.

Perusahaan milik pengusaha Dicky Tjokrosaputra ini mengembangkan bisnis wisata senilai Rp 336 miliar di kawasan Pantai Baron di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari dengan luas 28 hektare. Kepala Desa Kanigoro, Santoso mengatakan Dicky memang telah mengajukan izin tata ruang di lahan wilayah desanya. 
“Pak Dicky akan membangun hotel berbintang,” katanya.
Perusahaan lain, PT. Muncul Properti Group menggarap hotel di kawasan lindung seluas 12 hektare dengan membangun hotel di Girijati, Kecamatan Purwosari. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menerbitkan izin rekomendasi untuk Muncul yang dimiliki pengusaha Soekeno ini pada 5 Mei 2015 lalu. Pada Februari lalu, Tempo berhasil mengontak Soekeno. Lewat telepon, ia minta Tempo mengirimkan daftar pertanyaan ke alamat emailnya. “Ke mc_keno@indo.net.id,” katanya. Namun, setelah itu, Soekeno tak memberikan jawaban apa pun atas usaha konfirmasi dari Tempo.

Masih di Girijati, perusahaan lain, PT Garuda Parang Samudera juga mendapatkan rekomendasi tata ruang dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada Juli 2014 lalu. PT Garuda membangun hotel dan resor pada lahan seluas 6,5 hektare.

Adapun PT Argenta Persada Selaras mendapatkan rekomendasi tata ruang untuk membangun resor di Pantai Drini pada 2013 lalu. Argenta yang dimiliki pengusaha Agung Tobing ini membangun resor senilai hampir Rp 17,5 miliar. Menurut Joko, Ketua Kelompok Sadar Wisata Pantai Drini, Agung Tobing memanfaatkan lahan di sebalah timur pantai Drini sebagai bukti pengajuan izin ruang.




Lahan milik Agung Tobing di Pantai Drini. (Foto: Dokumentasi "Investigasi Bersama Tempo")


Tempo mencoba melihat lokasi lahan tersebut. Portal menghalangi masuk ke lahan itu. Di dekat portal terpampang desain perencanaan proyek. “Warga asli Drini pun dilarang masuk lahan ini,” kata Joko. Tempo sempat janjian bertemu dengan Agung Tobing untuk mengkonfirmasi perihal lahan ini. Ia menjanjikan menemui Tempo pada Mei lalu. Namun, hingga saat janjian bertemu, Agung membatalkannya. “Saya sedang di luar kota,” kata Agung.
Pada Januari 2016, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengeluarkan rekomendasi tata ruang untuk PT Anugerah Heha Jaya pada lahan seluas hampir 1 hektare. Perusahaan ini membangun gardu pandang di Patuk. 
“Perusahaan-perusahaan itu mengajukan permohonan rekomendasi untuk mendapatkan hak sewa pakai di Sultan Ground,” kata Bupati Gunungkidul Badingah.
Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu Adnan Pambudi menyatakan diobralnya rekomendasi oleh Pemerintah Kabupaten Gungkidul inilah yang mempercepat perusakan kawasan lindung karst Gunungsewu. Kegiatan pembangunan hotel, resor, dan sejenisnya di pantai selatan Gunungkidul, kata Adnan, melanggar konstitusi, dan melanggar aturan. 
“Proyek itu harus dihentikan. Status hukum karst Gunungsewu adalah kawasan lindung, dilarang mengubah bentuk dan ruangnya,” katanya.

Lokasi proyek-proyek di pantai kawasan karst di Yogyakarta (Klik ikon pohon kelapa untuk melihat keterangannya).

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menerbitkan rekomendasi pengelolaan kawasan lindung itu di atas tanah yang berstatus Sultan Ground, atau tanah kasultanan. Keraton berpatokan bahwa tanah kosong yang tidak dimiliki oleh penduduk di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan tanah milik kesultanan.

Dasar hukum keraton adalah Rijksblad Kasultanan atau Lembaran Kesultanan nomor 16 yahun tahun 1918 , dan Rijksblad Paku Alaman atau Lembaran Paku Alaman nomor 18 tahun 1918 . Dokumen Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Gunungkidul menyatakan hampir seluruh tanah di pesisir pantai merupakan tanah Sultan Ground. 
“Hampir sepanjang pantai di wilayah Gunungkidul adalah tanah Sultan Ground,” kata Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Gunungkidul Winaryo.
Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu Adnan Pambudi mencium gelagat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mudah memberikan rekomendasi karena tak berdaya menghadapi permintaan Panitikismo. Ia menduga, para pengusaha yang selama ini memang dekat dengan keraton, mengurus rekomendasi ke Pemerintah Kabupaten Gunungkidul setelah mendapat persetujuan dari pejabat keraton. 
“Kalau tak ada persetujuan dari keraton, saya kira Pemerintah Gunungkidul tak akan berani mengeluarkan rekomendasi,” katanya. 
Adnan menyatakan tak mengetahui proses detail pengusaha dan pejabat keraton melakukan lobi-lobi agar keluar izin pengelolaannya.

Pengakuan seorang utusan pengusaha menguatkan tudingan Adnan. Sumber ini mendapatkan tugas mengurus rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dari pengusaha yang akan memanfaatkan kawasan lindung di atas Sultan Ground. Ia mengurus rekomendasi setelah bosnya mendapatkan persetujuan atau kekancingan dari pejabat keraton yang mengurus pertanahan. 
“Kami ngasih (nyogok) mas. Kalau nggak, tak akan terbit rekomendasi dan kekancingan,” katanya.
Bos PT Gunung Samudera Tirtomas Robinson Saalino mengakui telah bertemu pejabat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk mengurus izin proyek South Mountain Paradise. Namun, ia tak menyebutkan nama pejabat yang ia temui. Robinson menjelaskan bahwa seluruh pantai di Gunungkidul itu merupakan milik Keraton, bukan milik negara. Perihal dugaan adanya sogokan di balik terbitnya rekomendasi tata ruang dan kekancingan dari keraton, Robinson membantah. Ia mengakui hanya mengeluarkan uang untuk, “Sekadar ngopi-ngopi dan buat transpor.”

Keterlibatan Hadiwinoto dalam urusan perizinan pengelolaan tanah milik keraton dengan status sewa pakai diungkapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Gunungkidul Achmad Suraya. 
“Akta perusahaan PT. Samudera Gunung Tirtomas pernah diminta oleh Kanjeng Gusti Prabu Haryo Hadiwinoto melalui utusannya,” kata Achmad.
Hadiwinoto membenarkan telah meminta akta perusahaan sebagai bukti keseriusan perusahaan untuk mengurus izin sewa-menyewa tanah kasultanan. Akta perusahaan ia minta untuk mengetahui pemilik dan direktur perusahaan yang sedang menjalin kerja sama dengan Kasultanan. 
“Ini supaya jelas,” kata Hadiwinoto.
Ia membantah kenal Agung Tobing, Soekeno, dan Dicky Tjokrosaputra yang telah mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk mengelola lahan lindung di atas Sultan Ground. 
“Saya enggak kenal. Belum ada permohonan dari mereka,” katanya. 
Hadiwinoto menyatakan, kekancingan akan dikeluarkan dengan syarat mengurus lebih dahulu rekomendasi tata ruang dari pemerintah kabupaten.

Gunungsewu atau Pegunungan Sewu merupakan kawasan bentang alam karts yang mempunyai karakteristik berbentuk bukit dengan lapisan tanah tebal. Ahli hidrologi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Tjahyo Nugroho Adji mengatakan, ada dua tipe karst Gunungsewu: eksokarst dan endokarst. Pada eksokarst terdapat mata air, bukit karts, dolina, uvala, polije. dan telaga. Sedangkan pada endokarst terdapat sungai bawah tanah.

Ilustrasi perbedaan endokarst dan eksokarst. (Sumber: Shutterstock)

Karst Gunungsewu tidak hanya berada kawasan perbukitan. Tapi, juga membentang di kawasan pantai di Gunungkidul. Cirinya adalah batuan gamping yang melekat di wilayah pesisir pantai. Secara ilmu pengetahuan, kata dia, kawasan karst itu batasnya sampai pantai. 
“Pantainya itu karst. Ada ciri karst seperti mata air. Ada gamping tapi tidak inti. Tebing pantai juga karst,” tutur Adji saat ditemui di kantornya, Februari lalu.
Badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa, Unesco (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations) pun menetapkan Gunungsewu sebagai kawasan Geopark. Setidaknya, di kawasan ini, telah ada temuan 11 geosite yang tersebar di beberapa kecamatan. Banyak juga ahli yang mengkaji Gunungsewu sehingga Unesco minta kawasan ini dilindungi. Keindahan karst Gunungsewu tidak hanya ada pada permukaan tanah, tapi juga di bawah tanah. Kandungan air yang melimpah tersembunyi di dalamnya.




Foto ilustrasi sungai bawah tanah. (Sumber: Shutterstock)


Tjahyo, dalam penelitiannya, menemukan 79 mata air. Debit air pada umumnya stabil, meski ada juga yang bersifat sesaat. Tjahyo mencatat, di Kecamatan Ponjong terdapat tujuh mata air, Semanu dan Paliyan masing-masing satu mata air, Playen dua mata air, Purwosari 27 mata air, Panggang 12 mata air, Tanjungsari lima mata air, Kecamatan Tepus 15 mata air dan Kecamatan Girisubo 12 mata air.

Tjahyo yang juga penelusur gua mengatakan, selain kaya debit mata air, Gunungsewu juga berlimpah ponor atau lubang masuknya aliran air ke dalam tanah, dan keanekaragaman hayati. Ponor ini membawa air ke dalam sungai ke bawah tanah yang kemudian dialirkan ke mata air yang berada di wilayah pesisir pantai. Ia menyatakan, ada 40 ribu bukit di Gunungsewu. Artinya, ada 40 ribu ponor juga di kawasan ini.




Contoh ponor yang ada di Serbia. (Sumber: Shutterstock)


Ia menjelaskan, ada skema perjalan air yang tidak banyak diketahui. Seperti mata air yang cendrung bersifat dinamis. Ketika musim kemarau tiba, cadangan air bisa dimanfaatkan masyarakat. Sebab, air secara alamiah tersimpan dalam perbukitan karts. Ada juga mata air yang bersifat menahun atau dikenal sebagai ferenial. Mata air yang seperti ini akan mengalir air terus menerus sepanjang tjahun. 
“Karts penyerap air yang potensial. Hujan itu disimpan di bukit itu yang di dalamnya banyak sumber air bawah tanah,” kata Adji.
Ribuan gua di Gunungsewu juga telah berhasil diidentifikasi oleh para peneliti, dan telah diberi nama. Tjahyo pernah menelusuri dan menjelajahi gua-gua itu. Ia menceritakan pengalamannya saat masuk ke dalam gua, baru-baru ini. Ia dan timnya menemukan keunikan speleologi berupa teratai karst yang sangat langka di dunia. Dalam kajiannya, teratai karst itu hanya ada di Gunungsewu.

Peneliti UGM lainnya, Widyastuti mengatakan, penanganan lingkungan karst, sangat berbeda dengan yang bukan karst. Sebab, kata dia, limbah yang tercemar di kawasan karst lebih berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan yang cukup signifikan. 
“Karst berbeda secara hidrologi dengan kawasan lain,” katanya.
Ia menjelaskan, biasanya limbah yang dihasilkan oleh industri perhotelan atau resort lebih cendrung banyak limbah domestic. Biasanya banyak kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) dan limbah mandi, cuci, dan kakus. Sehingga, kegiatan di kawasan karst tak boleh sembarangan. Apalagi, jika karst itu masuk kawasan lindung.




Contoh limbah rumah tangga yang ada di Bali. (Sumber: Shutterstock)


Widyastuti pernah melakukan riset kerentanaan air sungai bawah tanah di wilayah Bribin, Gunungkidul, yang juga masuk kawasan Gunungsewu. Hasilnya cukup mengagetkan. Sebab tingkat pencemaran air bisa mencapi 50 persen. Ini akibat limbah domestik dari masyarakat yang membuangnya melalui sungai, ponor, dan telaga. 
“Kami menemukan ada logam berat,” katanya.
Widyawati mendesak pemerintah agar memperhatikan risiko kerusakan alam di kawasan karst Gunungsewu. Menurut dia, jika pemerintah terlalu permisif memberikan tata ruang untuk investor, tapi tak memperhatikan aspek bawah tanah, maka kerusakan lingkungan bisa membahayakan siapa pun.

Senada dengan Widyawati, Tjahyo juga mendesak pemerintah melakukan pengawasan yang ketat agar kawasan karst tak dirusak. Kalau kawasan karst dikepras, maka akan ada dampak signifikan pada cadangan air. “Simpanan air bisa hilang,” katanya.

Kawasan bentang alam karst Gunungsewu berada di atas tanah milik Keraton Yogyakarta, atau Sultan Ground. Kawasan lindung yang ditetapkan pemerintah pusat itu, sebagian disewakan ke pengusaha melalui hak sewa pakai yang diterbitkan Keraton melalui surat yang disebut kekancingan.

Untuk menjawab sejumlah persoalan kawasan lindung di atas Sultan Ground, Abus Somad dari Tempo mewawancarai Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto. Ia adalah adik kandung Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hadiwinoto adalah anak Sultan Hamengkubuwono IX dari istri Windyaningrum.

Dalam struktur Keraton Kasultanan Yogyakarta, Hadiwinoto, menduduki jabatan Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Parastra Budaya dan Penghageng Tepas Panitikismo. Salah satu tugas utama dia dalam struktur keraton adalah mengurusi tanah Sultan Ground.

Berikut ini petikan wawancara yang berlangsung di kantor Hadiwinoto di Jogja City Mall, Jalan Magelang, Yogyakarta pada 27 Februari lalu.

Anda menjadi pejabat Keraton Yogyakarta yang mengurusi pertanahan. Bagaimana keraton memberlakukan Sultan Ground dan kekancingan?

Sebelum ada Undang-Undang Keistimewaan (UUK), sebelum adanya Peraturan Daerah Istimewa (Perdais), sebelum ada petunjuk teknis, Keraton sudah melaksanakan itu sudah sejak dulu, tapi bentuknya beda. Sebelum adanya UUK ini, kekancingan itu berupa pinjam pakai tanah Karaton. Judulnya ini beda. Nanti, ada tiga hak yang bisa diakses masyarakat maupun institusi. Hak magersasi yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan dan Keraton. Ada hak anggaduh untuk masyarakat, ini bisa dalam wujud tanah kosong yang nanti bangunannya adalah bangunan milik pemohon. Lalu hak anganggo, ini tanah dan bangunannya milik Kasultanan maupun Kadipaten.

Di DIY ini, sejak tahun 1920, data mengenai tanah Karaton sudah lengkap. Kalau di desa ada yang namanya leger. Peta desa yang berupa persil-persil tanah SG. Kalau di kota, data sudah lengkap dan dikeluarkan sertifikat atas tanah sejak tahun 1920. Baik untuk hak-hak barat. ada gebrai, ada RVO atau eigendom, dan hak-hak Timur Asing, biasanya untuk masyarakat keturunan Tionghoa.

Bagaimana cara untuk mengurus kekancingan?

Pemohon harus membawa identitias, KTP, Kartu Keluarga untuk perorangan. Kalau lembaga aktanya harus jelas. Aktanya kami minta selain data pengurus, nanti diatasnamakan siapa, dan direktur utama mewakili badan hukumnya. Ini supaya jelas, kalau yayasan ya aktanya harus jelas, untuk apa. Dipakai untuk apa, harus jelas.

Harus menggunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)?

Apa aku yo ngarang dewe harganya. Di Gunungkidul, misalnya, aku ya sik mumet, mau pakai dasar apa. Nilai strategis tanah kan beda-beda, pinggir jalan misalnya. Jalan pun jalan gede satu arah sama dua arah beda NJOP-nya, dari pada saya susah-susah ngarang.

Mengapa perusahaan yang akan menyewa Sultan Ground harus menyerahkan akta perusahaan?

Karena usahanya atas nama perusahaan. Saya enggak mau mengadakan perjanjian kucing dalam karung. Harus jelas, anda siapa. Lha ada rumor kan banyak yang orang Jakarta yang sudah borong 10 hektare, 20 hektare, katanya.

Bagaimana kalau tanah Sultan Ground ada di atas tanah lindung?

Pada dasarnya semua tanah milik Karaton. Aslinya tidak hanya Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul. Tapi juga Madiun, Kertosono, Blora, Banyumas, gitu lho. Jadi, itu berdasarkan Perjanjian Giyanti. Lalu berkurang sedikit karena ada Pakualaman. Derah Adikarto dan yang dulu Muntuk lapangan terbang, itu ya tanah Sulta Ground. Lereng Merapi yo tanah keraton.

Pada kawasan lindung, kan tidak boleh diubah bentuk dan ruangnya?

Boleh saja. Kami sama pemerintah itu saling mengisi. Ini kan setelah NKRI. Yang saya ceritakan tadi sebelum bergabung ke NKRI. Tak mungkin Keraton bertentangan dengan pemerintah. Justru kami menghindari benturan. Izin yang kami keluarkan dengan tata ruang atau keputusan pemerintah. Justru ini yang kami jaga. Misalnya mengenai penambangan karst Gunungkidul, sebelum kami izinkan, mana rekomendasi pemerintah Gunungkidul, tata ruang mengenai karst, mana izin dari ESDM tingkat satu, mana izinnya dari pusat. Harus lengkap dulu. Kalau gak ada, ya saya tolak.

Pemerintah telah menetapkan kawasan karst Gunungsewu sebagai kawasan lindung, tapi mengapa Panitikismo tak memperhatikan itu dalam memberikan hak sewa pakai?

Kurang tahu, kalau izin gitu kan izin pemerintah daerah. Kalau pemerintah daerah mengizinkan, ya sudah. Sebab, kewenangan saya pada lahannya. Kewenangan mendirikan hotel ada pada pemerintah daerah, bukan pada saya. Apakah izinnya untuk hotel, untuk restoran, untuk panti pijat itu, urusan pemerintah daerah, bukan urusan saya. Makanya saya memberikan izin, setelah rekomendasi dari pemerintah daerah dipegang.

Anda mengenal Eny Supiani yang akan membangun resor di Watukodok?

Kenal.

Anda pernah beberapa kali bertemu dengan Enny?

Iya.

Enny langsung mendapatkan kekancingan?

Iya.

Kami mendapatkan informasi untuk mengurus kekancingan harus membayar mahal, hingga ratusan juta?

Terus terang, Rp 160 juta di pantai, untuk bangun hotel untuk sewa pakai Bsepuluh tahun. Coba pantai di Bali, harganya berapa puluh juta…

Artinya semua kekancingan menuliskan nominalnya?

Tertulis nominalnya, tertulis jangka waktunya, dan itu untuk 10 tahun. Jadi setahun cuma berapa, Rp 160 juta 10 tahun, berarti Rp 15 jutaan setahun, coba.

Uang kekancingan untuk apa?

Keraton dari dulu kan mandiri. Urusan upacara adat, kami biayai sendiri. Mengurus aset, upacara adat, ada grebek, ada gunungan, ada sekaten, dari kekancingan.

Bukankah itu dianggarkan dari dana keistimewaan dari pemerintah pusat?

Enggak, saya tolak.

Mengapa Anda menolak?

Itu kewajiban keraton. Keraton punya duit sendiri. Kewajiban keraton buat gunungan, bukan pakai duit pemerintah. Kami punya harga diri dan kehormatan.

Artinya, dana kesitimewaan tidak dimanfaatkan keraton untuk aktivitas?

Ada, misalnya renovasi bangunan. Tapi tidak berupa dana, berupa poyek yang melaksanakan dinas.

Uang hasil kekancingan cukup untuk membiayai aktivitas Keraton?

Ya nggak, kalau untuk renovasi ya gak cukup. Paling per tahun hanya berapa yang kami terima.

Selain Enny Supeni, ada sejumlah investor lain seperti Agung Tobing, Soekeno, Dicky Tjokrosaputra yang juga akan menyewa Sultan Ground. Mereka pengusaha yang dekat Keraton sehingga pemerinta Gunungkidul tunduk pada tekanan Keraton?

Enggak.

Anda kenal mereka kan?

Enggak.

Mereka sudah menguasai lahan, sudah mengajukan kekancingan?

Belum. Belum ada.

Ada yang bilang harus menyogok untuk mengurus kekancingan?

Nggak.

Teks dan liputan : Abdus Somad 
Editor: Sunudyantoro 
Multimedia: Krisna Pradipta, Gadi Makitan, Sunardi Alunay 
Liputan ini terselenggara berkat kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.


Sumber: Tempo.Co