Muhamad Ridlo Susanto
Usul ini akan segera disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna melindungi kelestarian kawasan Karst Gombong.
Weblog Dokumentatif Perjuangan Masyarakat Pejuang Eco-Karst
Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]
Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya
Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]
“bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakjat tani dapat membebaskan diri dari matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju kearah masjarakat adil dan makmur.”
Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa pertimbangan menetapkan Hari Tani berkenaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan sebagai landasan untuk membebaskan kaum tani dari bentuk-bentuk penghisapan feodal dan musim tanam merupakan upaya meningkatkan produksi dalam negeri.“bahwa tiap achir bulan September matahari melintasi garis chatulistiwa kearah selatan, musim labuh (turun kesawah) hampir datang waktunja, rakjat tani perlu bergembira dan bersjukur kepada Tuhan karena akan menerima rachmat-NJA jang berupa hudjan, perlu pula digerakkan agar daya kerdja dan daya tjiptanja berkembang untuk mentjapai produksi jang berlimpah-limpah, sebagai sjarat mutlak mentjapai masjarakat adil dan makmur.”
“Mereka (kaum tani, pen.) berkeyakinan, bahwa pelaksanaan UUPBH dan UUPA bukan urusan bupati, tjamat, lurah atau pedjabat-pedjabat lain, karena djika digantungkan pada mereka, sampai kiamatpun tidak akan ada pelaksanaannja,” lapor Dipa Nusantara Aidit (1964). Laporan yang disusun berdasarkan investigasi selama tujuh minggu di desa-desa Jawa Barat tersebut menemukan berbagai modus pemilik untuk menghindari pelaksanaan UUPA dan UUPBH.
“Kaum tuantanah djahat dengan keras melawan pelaksanaan UUPBH dan UUPA. Mereka buru2 “menghibahkan” tanah-lebihnya kepada sanak-keluarganja supaja tidak terkena UUPA. Bahkan ada tuantanah jang untuk mempertahankan tanahnja sampai mentjeraikan isterinja setjara formil dan dengan demikian “membagi” tanah miliknja,” tambah Aidit.
"Jadi 5 juta hektar tanah yang dimiliki satu orang itu boleh digusur, diambil sebagian oleh negara, dan dibagi ke kelompok miskin, yang sekarang ini Sinar Mas memiliki 5 juta hektar," kata Hafid saat diskusi mengenai kasus penggusuran DKI Jakarta, di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Kamis (15/9).
"Pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar. Kita 0,2 persen penduduk menguasai 74 persen tanah. Inilah satu distribusi lahan paling ekstrim di dunia," ujar Hafid.Penguasaan lahan oleh kelompok kecil penduduk ini berimbas pada maraknya penggusuran di beberapa kota, termasuk di Jakarta.
"Kalau pun dilakukan terpaksa sekali, atau sebagai alternatif terakhir," katanya.Penggusuran dapat diterima jika memiliki landasan hukum dan ditujukan untuk penataan kembali atau redistribusi lahan untuk membantu masyarakat miskin. Negara harus menunjukkan keberpihakannya kepada yang miskin.
"Boleh dilakukan penggusuran terhadap mereka yang memiliki tanah yang terlalu luas ini untuk dikasih ke orang miskin. Itu menurut panduan PBB, indah sekali," kata Hafid.Sumber: CNN Indonesia
“Ini sisanya masih banyak lagi di situ. Lumpur sampai seperti ini katanya ngecek-ngecek tapi apanya yang dicek? Lumpur hitam seperti ini. Ini lumpur yang saya ambil itu kalau satu meter masih ada ini. Katanya ramah lingkungan, tidak ada limbah sedikitpun yang meluap, yang mengalir ke laut ini apa?” kata Suyitno sambil menunjukan sisa lumpur yang ada di pinggir pantai.Dengan nada kesal, ia menyebut banjir lumpur jadi penyebabnya. Dan itu dampak dari penggundulan hutan di kawasan Gunung Tumpang Pitu untuk disulap menjadi tambang emas –yang mana dilakukan PT. Bumi Suksesindo (BSI).
“Bahwasanya ini masih bagian kecil daripada tambang sudah berdampak seperti ini, apalagi nanti ke depan kalau ini sudah benar-benar gundul dan sudah beroperasional? Karena alam ini tidak bisa diduga dan airnya meluap ke laut dan bercampur dengan zat-zat yang kita tidak inginkan. Ini jelas yang kita khawatirkan di situ,” kata Yogi Turnando.Khusni Tamrin, Ketua Rukun Nelayan Pelabuhan Pancer Banyuwangi pun kesal lantaran hasil tangkapan ikan menyusut drastis, malah kadang pulang dengan tangan kosong.
“Kalau dampaknya banyak, dari penghasilan teman-teman yang sekarang turun, dari ikan pancingan yang sekarang tidak ada. Ini kami sudah tidak melaut karena ada dampak dari PT BSI. Ini belum beroperasi sudah seperti ini lumpurnya, apalagi nanti kalau satu tahun, dua tahun sudah produksi tidak tahu. Sedangkan gunung ini sangat-sangat produktif," ucap Khusni Tamrin.Nelayan lainnya, Rahmat membenarkan hal itu. Tiap kali melaut tak ada satupun ikan nyangkut di jaringnya. Bahkan untuk sehari-hari, ia malah harus membeli ikan ke daerah lain. Sebab di Pelabuhan Pancer sudah tak ada lagi penjaja ikan.
“Lautnya sudah tidak bisa diharapkan karena tercemar dengan adanya lumpur yang datangnya dari Gunung Tumpang Pitu. Saya mohon untuk ke depan seperti pemerintah daerah jangan tinggal diam tolong dipikir tentang nasip nelayan. kalau dibiarkan ke depan gimana yang namanya perut kan butuh makan,” kata Rahmat.Belakangan, Bupati Abdullah Azwar Anas menegur langsung PT Bumi Suksesindo –perusahaan yang diberi kuasa menambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Kata dia, dalam teguran itu perusahaan diharuskan menyelesaikan pembangunan enam dam yang berfungsi menampung limbah penambangan emas dalam tiga bulan ke depan.
“Mulai saya menjabat baru sekarang saya mengantarkan surat sendiri, sekaligus saya ngecek dilapangan. Karena kasus hulu air yang coklat ini bagi sebagian orang dianggap pertama,” tegas Abdullah Azwar Anas.Menjawab hal itu, Direktur PT Bumi Suksesindo, Cahyono Seto menyatakan siap memenuhi tenggat tiga bulan. Perusahaannya pun, kata dia, bersedia memperbaiki pencemaran di Pantai Pulau Merah, menomarlisasi Sungai Katak dengan menyedot serta mengeruk lumpur, juga memasang jaring penahan lumpur di Sungai Katak.
“Dari kami yakin bahwa selama tiga bulan ini kami bisa menyelesaikan dam tersebut, ke depan kami juga akan melakukan perbaikan di dam ini. Mungkin dari teman-teman akan memberi tahukan kepada BLH untuk mengecek program daripada penyelesaian dam ini,” jelas Cahyono Seto.Tapi solusi atas pencemaran di Pantai Pulau Merah, rupanya tak sesederhana itu. Sejumlah LSM Pemerhati Lingkungan punya catatan dan data berbeda. Pasalnya, tambang emas di Gunung Tumpang Pitu hanya membawa bencana bagi warga sekitar.
”Sistem teknis pengelolaanya adalah sistim tumpukan atau heblict, tidak ada tailing. Karena tailing itu adalah lumpur. Punyak kita itu airnya seperti teh maka air itu bisa digunakan kembali namanya sistem recycle,” ucap Khusnul Hotimah.Bahkan dalam Analisi Dampak Lingkungan (Amdal) air yang digunakan dalam proses penambangan akan diolah kembali sehingga bisa dipakai ulang.
“Itu kan hutan lindung isinya pohon-pohon yang mencengkram tanahnya. Tanahnya yang dicengkram itu diledakkan. Pohon yang mencengkram tanahnya dihilangkan, jadilah banjir lumpur yang sekarang. Yang berikutnya sianidanya itu pasti ada di sana. Terus dia akan akan mengubah bentang lahan secara ekstrem, ya bentang lahan itu kalau diubah pasti akan ada perubahan yang cukup besar bagi manusia yang hidup di sekitarnya,” kata Rosdi Bahtiar Martadi.Dan setelah beroperasi, tambang tetap akan membuang tailing atau limbah –yang didalamnya terkandung sianida sebanyak 2.361 ton ke Teluk Pancer. Zat beracun itu akan mengalir setiap hari.
“Persoalanya dampak lingkungan itu tidak seperti pembunuhan, orang ditikam sekarang ya sekarang mati. Dampak lingkungan itu ditebang hari ini bisa jadi tiga tahun mendatang dampaknya. Apakah ada peledakan yang paling ekstrem itu. Peledakan itu kan akan mempengaruhi porositas tanah, kohesi tanah, daya rekat tanah dengan tanah yang lain,” sambungnya.Limbah atau tailing ini tidak saja akan membunuh biota laut di Teluk Pancer melainkan mencemari seluruh perairan Banyuwangi. Pencemaran akibat tailing sianida, kata Rosdi, juga mengancam kehidupan tiga taman nasional yang mengelilingi Banyuwangi; Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran. Dari tiga taman nasional tersebut, Meru Betiri paling terancam karena lokasinya berjarak sekitar 4,7 km dari batas luar wilayah kuasa pertambangan PT Bumi Suksesindo.
“Amdalnya tidak logis dan ini kegiatan di kawasan rawan bencana ketika pada tahun 2006, 2007 itu peta tata ruangnya provinsi menyatakan Tumpang Pitu itu kawasan konserfasi air. Jadi tahun 2005 tata ruang provinsi ngomong kalau Tumpang Pitu itu kawasan konserfasi air tingkat tinggi,” tegas Rosdi.Pada 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas hutan Pulau Jawa tinggal 11 persen. Sementara pada Agustus 2016, Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mendata jika luas hutan Pulau Jawa tinggal 3 juta hektar atau sekitar 4,3 persen.
“Tumpang Pitu adalah benteng terutama untuk menghadapi angin tenggara yang cukup kencang. Di sisi lain masih ada memori kolektif di masyarakat terkait tsunami tahun 1994, dimana setidaknya sampai mendekati 300 jiwa tewas pada waktu itu. Gunung Tumpang Pitu menjadi salah satu bagian yang sebetulnya memperkecil resikonya,” ungkap Rere Christanto.Melihat risiko-risiko itu, Pemkab Banyuwangi dinilai gagal melindungi warganya. Sebab belakangan diketahui, keputusan Menteri Kehutanan atas penurunan status Hutan Gunung Tumpang Pitu dilandasi usulan Bupati Abdullah Azwar Anas melalui surat No. 522/635/429/108/2012. Padahal dalam Amdal penambangan tersebut dikatakan Hutan Tumpang Pitu merupakan tempat bersarangnya ratusan hewan yang dilindungi.
“Dalam amdal itu tabel mamalianya itu menunjukan macan tutul, itu kan satwa dilindungi. Terus menunjukkan ada elang. Dan amdal itu menginventarisir fauna di dalam hutan itu dan dimunculkan bahwa itu ada. Berarti kalau itu ada, artinya masih berfungsi dong sebagai hutan lindung? Kok diturunkan Tumpang Pitu jadi pertanyaan,” tegas Rosdi.Masyarakat setempat tak ingin tanah kehidupan mereka porak-poranda karena tambang emas. Karena itulah, petisi pencabutan izin tambang emas dibuat oleh lima organisasi lingkungan; Banyuwangi Forum For Environmental Learning (BaFFEL), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Unair, Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Korda Jawa Timur, dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Mereka meminta Presiden Joko Widodo mendengar suara masyarakat. Sebab manusia bisa hidup tanpa emas, tapi tidak tanpa air.Editor: Quinawaty