Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Selasa, 27 September 2016

Karst Gombong Selatan Diusulkan Jadi Kawasan Konservasi

Selasa, 27 Sep 2016 11:21 WIB
Muhamad Ridlo Susanto


Ilustrasi. Unjuk rasa penolakan parbik semen di kawasan karst. Foto: Antara

Usul ini akan segera disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna melindungi kelestarian kawasan Karst Gombong.

Kebumen– Masyarakat Gombong bersama Pemerintah Daerah Kebumen, Jawa Tengah sepakat mengajukan penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong Selatan menjadi kawasan konservasi dan wisata alam. Usul ini akan segera disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna melindungi kelestarian kawasan Karst Gombong. 
Wakil Ketua Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag), Lapiyo mengatakan kesepakatan diperoleh dalam pertemuan antara Pemda Kebumen dengan masyarakat.
“Kemarin kan saya bertemu dengan Wakil Bupati Kebumen. Karena Bupati Kebumen tidak bisa hadir, maka diwakili oleh Wakil Bupati. Bahwa untuk Kebumen, terutama Kawasan Karst Selatan, itu sudah bersepakat dengan masyarakat bahwa itu harus dijaga. Begitu prinsipnya. Juga akan diajukan sebagai kawasan pariwisata. Sudah positif,” ujar Lapiyo, Selasa (27/9/2016)
Dalam pertemuan, kata Lapiyo, perwakilan pemda yang antara lain diwakili oleh Wakil Bupati Kebumen, Yazid Mahfudz, Kepala BAPPEDA, Sabar Irianto, Kantor BLH, Aden Andri dan Kepala Dinas SDA &ESDM yang diwakili oleh Endah Dwi menyatakan bahwa pegunungan karst selatan tidak layak ditambang.
Sementara, masyarakat diwakili oleh Ketua sekaligus pendiri Perpag, Samtilar, Wakil Ketua Lapiyo, Sekretaris, Supriyadi dan sejumlah pegiat lingkungan lainnya.
Lapiyo menambahkan, surat pengajuan penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong Selatan sebagai kawasan lindung akan segera dikirimkan kepada kepada KLHK dan presiden dalam waktu dekat.
Menurut Lapiyo, kesepakatan untuk membuat surat bersama itu sekaligus untuk menegaskan bahwa Pemda Kebumen tidak lagi merekomendasikan pembangunan pabrik semen di kawasan itu. “Keberadaan pabrik semen dipastikan akan merusak Pegunungan Karst Gombong Selatan.”
Menurut catatan Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong, kawasan karst Gombong Selatan sedikitnya memiliki 32 mata air yang dimanfaatkan oleh puluhan ribu orang di 11 kecamatan Kabupaten Kebumen. Selain itu, terdapat pula seratusan lebih gua bawah tanah yang berfungsi sebagai spon, atau penyimpan air bawah tanah yang baik.
Untuk melindungi KBAK Gombong Selatan, Pemkab Kebumen juga telah mengeluarkan surat keputusan menolak Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan melarang pendirian Pabrik semen di sekitar kawasan Karst.  Selain itu, pemda juga melarang penambangan liar yang dilakukan oleh masyarakat.
Editor: Malika 
Sumber: KBR.Id 

Jumat, 23 September 2016

Bupati “Cari Aman”, Perpag Kecewa



  AUDIENSI: Tiga kali desakan surat Perpag baru bisa mendorong dipenuhinya permohonan audiensi dengan Bupati, meski ternyata "hanya"ditemui dengan wakilnya. Perpag menyatakan kecewa dan menilai Bupati cuma "cari  aman" saja.

GOMBONG – Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) menyatakan kecewa dengan sikap Bupati Kebumen yang dinilai hanya “cari aman” dalam menyikapi tuntutan masyarakat. Hal ini terungkap saat Perpag diterima dalam audiensi (22/9) di Gedung F kompleks Setda Kebumen. Pun gelar audiensi ini dilaksanakan bukan dengan Bupati Ir. M. Yahya Fuad, SE; melainkan dengan Wabup KH. Yazid Mahfudz.

Audiensi yang sedianya membahas tuntutan Perpag paska Amdal pt Semen Gombong dinyatakan tidak layak, yakni mendesak pengembalian Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong Selatan, sesuai dengan aturan awalnya. Sebagaimana diketahui bahwa Perpag mensinyalir adanya manipulasi luasan KBAK sebagaimana termuat dalam dokumen Amdal pt Semen Gombong, yang telah dinyatakan tidak layak. 

Dugaan manipulasi KBAK ini, berakibat "hilangnya" luasan areal kawasan eco-karst Gombong selatan sebesar 9 kilometer persegi.

Hadir mendampingi Wakil Bupati pada kesempatan audiensi itu Drs H Sabar Irianto (Kepala Bappeda), Aden Andri (mewakili BLH) dan Endah Dwi (wakil Kadis SDA-ESDM). Sedangkan dari Perpag hadir H. Samtilar (Ketua Perpag), Kapiyo (Wakil Ketua), Supriyadi (Sekretaris), Tulus Wijayanto (Penasehat) serta beberapa Koordinator Desa. 


Pengembalian KBAK

Pada intinya Perpag menuntut pengembalian KBAK Gombong Selatan seperti ketentuan semula sebelum ditemukannya indikasi kuat adanya manipulasi data luasan KBAK.   

“Meskipun Pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup (LH) telah mengeluarkan surat penolakan operasional pabrik semen, Perpag belum puas bila pemerintah tidak mengembalikan KBAK ke ketentuan semula”, cetus H. Samtilar. Ditambahkan bahwa Pemkab, dalam hal ini Bupati Kebumen, harus segera menyurati Menteri PSDA-ESDM agar kembalikan luasan KBAK, sebelum muncul rekayasa lain dan propaganda dengan dalih mengatasnamakan kepentingan masyarakat.  

Senada dengan tuntutan itu, Sekretaris Perpag Supriyadi juga meminta pemerintah cepat tanggap dan mengambil tindakan tegas terhadap praktek penambangan liar di kawasan karst Gombong selatan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung eco-karst ini. Sehingga melindungi dan menyelamatkan kawasan karst dari kegiatan ekstraktif yang jelas mengancam kelestarian ekologi dengan hydro-karst; menjadi sangat penting artinya.

“Cadangan air dan kandungan lain yang terdapat di dalamnya, itu menyangkut keselamatan kehidupan masyarakat luas”, tegasnya.  
Kehidupan yang dimaksud Supri adalah juga menyangkut keselamatan dan kehidupan anak-cucu kelak. 


Kemungkinan Spekulasi

Menanggapi tuntutan Perpag, Aden Andri mewakili Dinas Pertambangan dan Sumber Daya Alam (PSDA) Kabupaten Kebumen, menjelaskan bahwa masalah pengembalian KBAK ini merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

“Prinsipnya, sesuai komitmen Pemkab Kebumen dengan telah dikeluarkan surat keputusan menolak Amdal, maka pabrik pt Semen Gombong tidak diijinkan berdiri di sekitar kawasan karst. Juga tidak diijinkan melakukan penambangan”, papar Aden.

Sementara itu, Kepala Bappeda Kebumen Drs. H. Sabar Irianto menyikapi bahwa pihaknya akan selalu mengawasi apa yang menjadi keresahan masyarakat.

"Selagi saya masih hidup, hal yang dikhawatirkan Perpag tidak akan terjadi”, tegas Sabar. Pihaknya berharap peran serta masyarakat untuk tetap mengawasi dan melestarikan lingkungan sekitar KBAK, sembari menambahkan bahwa perubahan yang terjadi di kawasan karst lebih disebabkan karena adanya perubahan alam.

Di sisi lain, beredar spekulasi berkaitan dengan statement Bupati Ir. M. Yahya Fuad, SE pada event Kebumen Business Forum (26/08) sebulan lalu. “Untuk Semen Gombong saya masih memberikan kesempatan untuk maju lagi. Siapa tahu kesempatan (pengajuan ijin_Red) ini dapat berhasil”, begitu transkrip pidato sambutan Bupati. “Karena aneh, tahun 1994 Amdal oke, tiba-tiba sekarang gagal”, sambungnya.

Namun dalam audiensi dengan Perpag (22/9) melalui Wakil Bupati KH Yazid Mahfud mengemukakan bahwa potensi wilayah pegunungan karst seperti Buayan, Ayah dan Rowokele ini bisa dikembangkan untuk tujuan lain seperti pengembangan wilayah pariwisata. Bahkan bukan hanya mencakup wilayah Gombong saja, melainkan juga daerah lain seperti Karangsambung.

"Untuk Gombong dan sekitarnya memiliki potensi yang luar biasa. Insya Allah, Bupati akan melakukan pendekatan kepada pihak pabrik Semen Gombong bahwa tanah yang sudah dimiliki tidak digunakan untuk pendirian pabrik semen”, demikian KH Yazid Mahfud.

“Tapi kalau lahan yang dimiliki Semen Gombong digunakan untuk yang lainnya mungkin bisa. Yang penting tidak merusak lingkungan”, tegasnya.

Ibrahim, Hari Tani dan HKTI

| Harian Indoprogress
Ilustrasi oleh Alit Ambara (nobodycorp)
Pengantar

IBRAHIM (70 tahun), menggarap lahan seluas 9600 meter. Lelaki asal Desa Sukamantri, Kecamatan Tambelang, Kabupaten Bekasi itu dapat memperoleh sekitar delapan ton padi gabah kering sekali panen dari lahan yang digarapnya. Hasilnya dibagi dua dengan pemilik lahan, setelah dikurangi biaya penanaman, seperti beli pupuk, bibit, sewa traktor, bayar buruh tanam, dan obat pembasmi hama. Padahal, selama tiga kali menanam hingga panen, Ibrahim harus membeli atau merawat alat-alat kerja serta memelihara saluran dan pasokan air. Jika gagal panen, semua kerugian ditanggung Ibrahim.

Sekitar duapuluh tahun lalu, Ibrahim menggarap lahan seorang pensiunan tentara yang bertempat tinggal di Kabupaten Bogor. Ketika Kabupaten Bekasi ditetapkan sebagai zona ekonomi internasional dan tujuh kawasan industri raksasa dibuka, harga tanah di Bekasi melonjak. Lima tahun terakhir, sekitar 12.000 dari 58.000 hektar areal persawahan teknis di enam kecamatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, telah beralih fungsi menjadi kawasan nonpertanian (Kompas, 22/6/2010). 
Saluran-saluran irigasi pun disesuaikan dengan layout kawasan industri. Beriringan dengan itu, jumlah rumah tangga petani di Kabupaten Bekasi pun menyusut dari 202.999 jiwa pada 2003 menjadi 85.587 jiwa pada 2013. Menyusul penyempitan lahan daratan adalah berkurangnya kepemilikan hewan ternak, seperti sapi potong, sapi perah atau pun kerbau (BPS, 2013).

Entah apa yang terjadi jika pemilik lahan memutuskan menjual lahannya ke pihak lain. Beberapa tetangga Ibrahim yang telah melepas lahannya kini menjadi buruh tani, buruh bangunan, dan ada pula yang menjadi tukang ojek. Pastinya, Ibrahim tidak akan memiliki kekuasaan apapun untuk menolak kehendak sang pemilik lahan. Lagi pula tidak ada peraturan khusus ataupun perjanjian yang mengatur hubungan antara penggarap dengan pemilik lahan.

Sementara ini, dengan hasil panen itulah Ibrahim menghidupi istri, dua anak dan seorang cucu. Sisa panen biasanya disimpan untuk persiapan modal menanam. Untungnya, dua anak Ibrahim sudah bekerja; satu bekerja di pabrik dan satu lagi bekerja sebagai buruh rumah tangga di Dubai. Istrinya kerap diminta membantu tetangga kampung untuk memijat atau saat melahirkan. Terkadang, istri Ibrahim pun rajin beternak ayam atau bebek. Untungnya pula, Ibrahim memiliki 1.000 meter tanah warisan, yang sudah dibangun rumah dan ditanami pepohonan serta tanaman bumbu-bumbuan. Pengeluaran harian keluarga Ibrahim ditanggung bersama.

Jika musim tanam tiba, Ibrahim pasti kepayahan. Seisi rumah pontang-panting. Pasalnya, untuk menanam membutuhkan bibit dan pupuk yang harus dibeli serta buruh tanam yang harus dibayar. Belum lagi sewa traktor.

Ibrahim sudah tidak sanggup memikirkan menghadapi lebaran Idul Fitri, Idul Adha, acaran nikahan, atau undangan acara sunatan tetangga, yang semuanya memerlukan uang. Sementara Ibrahim butuh uang, tetangga kampung sudah menunggu untuk meminjamkan uang dengan pengembalian berlipat atau dengan jaminan tanah. Biasanya dengan sistem gadai, yang berarti hasil panen harus dibagi tiga dengan mekanisme yang sudah-sudah. Untuk itu, Ibrahim berupaya mengandalkan anaknya.

Ibrahim tidak sanggup menghubungi anaknya yang di luar negeri. November 2015, anak Ibrahim mengalami kekerasan dan pelecehan seksual di rumah majikannya. Ibrahim melaporkan kejadian yang dialami anaknya ke pemerintah bagian tenaga kerja Indonesia. Jawaban yang diterima tidak sesuai harapan. Ibrahim baru tahu, ternyata pengaduan ke pemerintah bukan untuk diselesaikan, tapi untuk dicatat.
Tumpuan selanjutnya adalah anak Ibrahim yang bekerja di pabrik. 
 Sayangnya, meski anak Ibrahim bekerja di pabrik dan memiliki pendapatan tetap, penghasilannya hanya cukup buat seorang lajang selama dua sampai tiga minggu. Biasanya, anaknya dengan caranya sendiri berupaya mencari pinjaman tanpa bunga.

Dari istrinya Ibrahim mengetahui bahwa anaknya sering berangkat ke Jakarta atau ke pemerintah daerah untuk berdemonstrasi. Ibrahim pun mengetahui tiap 1 Mei anaknya berdemonstrasi di Jakarta untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Jika anak Ibrahim selalu bersemangat menyambut 1 Mei, Ibrahim nyaris tidak mengetahui Hari Tani ataupun Hari Krida Pertanian.

Hari Tani sebagai Hari Kemenangan Kaum Tani

26 Agustus 1963, Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 169 tentang Hari Tani. Terdapat dua alasan yang menjadi pertimbangan:
“bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakjat tani dapat membebaskan diri dari matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju kearah masjarakat adil dan makmur.”
“bahwa tiap achir bulan September matahari melintasi garis chatulistiwa kearah selatan, musim labuh (turun kesawah) hampir datang waktunja, rakjat tani perlu bergembira dan bersjukur kepada Tuhan karena akan menerima rachmat-NJA jang berupa hudjan, perlu pula digerakkan agar daya kerdja dan daya tjiptanja berkembang untuk mentjapai produksi jang berlimpah-limpah, sebagai sjarat mutlak mentjapai masjarakat adil dan makmur.”
Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa pertimbangan menetapkan Hari Tani berkenaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan sebagai landasan untuk membebaskan kaum tani dari bentuk-bentuk penghisapan feodal dan musim tanam merupakan upaya meningkatkan produksi dalam negeri.
Mengapa UUPA menjadi rujukan penting? UUPA baru bisa dikeluarkan pada 1960, setelah melalui berbagai upaya. Mulanya dibentuk Panitia Agraria Yogyakarta pada 21 Mei 1948. Panitia tersebut membicarakan rancangan peraturan yang dapat menggantikan praktik-praktik hukum pertanahan di zaman Belanda.

Kemudian dibentuk lagi Panitia Agraria Jakarta pada 19 Maret 1951. Panitia ini mulai membicarakan batas minimum dan batas maksimum kepemilikan lahan. Setelah itu, dibentuklah Panitia Soewahjo. Panitia ini menyimpulkan pentingnya menghapus asas-asas kepemilikan tanah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870.

Panitia Soewahjo digantikan oleh Panitia Soenario pada 24 April 1958. Panitia Soenario diteruskan oleh Panitia Sadjarwo. Pada 1959, di Panitia Sadjarwo lah keluar naskah yang menjadi dasar untuk menyusun Rancangan Undang-Undang.
RUU tersebut dibacakan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada 1 Agustus 1960. Pembahasannya menghabiskan waktu sebulan sampai disahkan menjadi UUPA pada 24 September 1960.

Menarik untuk mencermati proses penyusunan UUPA, apalagi jika dibandingkan dengan proses penyusunan undang-undang di era reformasi, semisal Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pertama, meski struktur pemerintahan Indonesia dan panitia penyusun berganti-ganti, rencana membuat hukum agraria nasional terus berlanjut. Kedua, proses penyusunannya sendiri tampaknya dilakukan secara serius. Hal tersebut terlihat dari komposisi kepanitiannya. Selain melibatkan pejabat-pejabat agraria, hampir seluruh kepanitian melibatkan organisasi tani dan serikat buruh perkebunan serta kalangan akademisi yang dianggap memiliki kemampuan di bidang agraria.

Sebagaimana tertulis di bagian Menimbang UUPA, terdapat empat alasan keluarnya UUPA. Pertama, masyarakat Indonesia masih bercorak agraris. Kedua, hukum agraria yang berlaku masih didasarkan dan dipengaruhi oleh sendi-sendi hukum kolonial. Ketiga, hukum agraria bersifat dualistik. Keempat, hukum agraria warisan penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.

Dengan alasan-alasan di atas, isi UUPA berupaya mengakui hak ulayat, menghapuskan hak-hak atas tanah yang diwariskan dari peraturan penjajah Belanda dan melindungi kaum tani miskin serta mengikis penghisapan manusia melalui alat tanah. Pemerintah di masa itu berupaya menyusun peraturan perundangan yang bersumber dari hukum-hukum yang berlaku dan menguntungkan masyarakat lemah.

Selo Soemardjan, dalam Land Reform di Indonesia (2008), menyebutkan bahwa UUPA mencakup prinsip tanah pertanian untuk petani penggarap, hak utama atas tanah untuk warga negara Indonesia, larangan kepemilikan tanah guntai (absentee) alias pemilik lahan yang berada di luar daerah, dan perlindungan bagi kaum tani yang lemah dari petani-petani yang lebih kuat.

Bagaimana UUPA dipahami? Peneliti Mubyarto Institute, Tarli Nugroho (2014) menyebutkan, keberadaan UUPA tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa lain, yaitu nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang terjadi sejak 1957 dan keberadaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Dengan demikian, UUPA menjadi tolak ukur bagi peraturan perundangan lainnya.
UUPBH dikeluarkan pada 1960. UU tersebut dirancang untuk melindungi para penyewa tanah di hadapan para pemilik tanah. Juga untuk mendorong para penggarap tanah agar dapat meningkatkan produksi.

Perlu penelitian lebih jauh tentang bagaimana Hari Tani diperingati dan dirayakan di era 1960-an. Berbagai laporan dan penelitian di periode 1960-an menyebutkan, UUPA, sebagaimana pelaksanaan UUPBH dan UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia, tidak berjalan mulus.

Jika perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk milik Inggris dan Jepang, setelah diduduki oleh serikat buruh malah dikuasai oleh jajaran tentara, pelaksanaan UUPA dan UUPBH terkendala birokrasi, bahkan disabotase oleh para pejabat yang berwenang. Aksi sabotase terhadap UUPA dan UUPBH mendorong ‘aksi sepihak’ kaum tani melawan ketidakikhlasan para pejabat dan penguasa tanah dalam membagikan kekayaannya kepada orang miskin.
“Mereka (kaum tani, pen.) berkeyakinan, bahwa pelaksanaan UUPBH dan UUPA bukan urusan bupati, tjamat, lurah atau pedjabat-pedjabat lain, karena djika digantungkan pada mereka, sampai kiamatpun tidak akan ada pelaksanaannja,” lapor Dipa Nusantara Aidit (1964). Laporan yang disusun berdasarkan investigasi selama tujuh minggu di desa-desa Jawa Barat tersebut menemukan berbagai modus pemilik untuk menghindari pelaksanaan UUPA dan UUPBH.

“Kaum tuantanah djahat dengan keras melawan pelaksanaan UUPBH dan UUPA. Mereka buru2 “menghibahkan” tanah-lebihnya kepada sanak-keluarganja supaja tidak terkena UUPA. Bahkan ada tuantanah jang untuk mempertahankan tanahnja sampai mentjeraikan isterinja setjara formil dan dengan demikian “membagi” tanah miliknja,” tambah Aidit.
sk
Surat kabar Sketsmasa No.16 Th. VII 1964. Menurunkan artikel mengenai kesulitan-kesulitan untuk melaksanaan UUPA karena hambatan geografis jika dilaksanakan di luar Jawa. Foto: Dokumentasi LIPS.

***

Akhir 1965, Soeharto melikuidasi Soekarno. Selama berkuasa, Soeharto sama sekali tidak memperlihatkan niat untuk memajukan perekonomian dan melindungi kaum lemah. Tercatat, undang-undang yang pertama dikeluarkan adalah tentang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967. UU tersebut, diantaranya, mengembalikan jenis-jenis kepemilikan lahan sebagaimana terjadi di zaman Belanda. Tidak ada lagi batas minimum dan maksimum dalam pemilikan lahan serta lenyap sudah perlindungan hukum bagi para petani penggarap. Lebih canggih lagi, pemilik lahan luas telah bertransformasi menjadi institusi-institusi negara atau menjadi pejabat pemerintah. Ibrahim adalah satu di antara petani penggarap yang tidak mendapatkan perlindungan ketika berhadapan dengan pemilik tanah.

Di masa sebelum 1965, urusan agraria ditangani oleh sebuah departemen. Di era Soeharto, Menteri Pertanian dan Agraria dipisahkan. Bidang Agraria ditangani oleh Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi di bawah Departemen Dalam Negeri.

Selain itu, pengadilan Land Reform yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1960 sebagai pelaksana UUPA dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970. Pada 1980, dikeluarkan Keppres Nomor 55 tentang organisasi dan tata kerja pelaksanaan land reform. Dapat ditebak dengan jelas bahwa pembentukan organisasi land reform yang dimaksud beriringan dengan tingginya kebutuhan terhadap tanah untuk pembangunan kawasan industri dan infrastrukturnya. Sehingga tak jarang di kurun ini, pelepasan lahan dihargai murah dengan todongan senjata oleh tentara kepada kaum tani.

tani
Foto diambil dari www.mongabay.co.id
Hari Tani Bukan Hari Krida Pertanian
Budi Setiyono (2011) menuliskan bahwa pada perayaan Hari Tani 1972, Menteri Pertanian mengisyaratkan akan mengganti hari tani dengan hari dan nama yang lain.

Saat itu Menteri Pertanian adalah Thoyib Hadiwidjaja yang bekerja dari 1968 hingga 1978. Dia juga menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor periode 1966 hingga 1970. Tampaknya, Menteri Pertanian tidak kalah gesit dengan Menteri Tenaga Kerja periode 1966-1967, Awaloedin Djamin. Di peringatan Hari Buruh Internasional 1966, Awaloedin Djamin mengumumkan akan mengganti Hari Buruh Internasional dengan Hari Pekerja Nasional. Cita-cita Menteri Tenaga Kerja yang kemudian menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia periode 1978-1982 tersebut akhirnya tercapai pada 1991 dengan menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional.

Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I (Depdikbud, 1994) menyebutkan, pada 1973, dikeluarkan Keputusan Menteri Nomor 297 Tahun 1973. Isinya menyebutkan 21 Juni sebagai satu-satunya hari peringatan di sektor pertanian. 
Atas petunjuk Soeharto, hari tersebut dinamakan dengan Hari Krida Pertanian. Keputusan tersebut diteguhkan kembali pada 1983 melalui Keputusan Nomor 270 bahwa setiap tanggal 21 Juni harus diperingati dan dihayati oleh seluruh masyarakat sebagai Hari Krida Pertanian.

Sebenarnya, sebelum Hari Krida Pertanian ditetapkan sebagai pengganti Hari Tani Nasional, telah terbentuk organisasi petani yang disponsori pemerintah. Enam puluh lima hari setelah deklarasi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), terbentuk Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada 27 April 1973.

Cikal bakal HKTI dapat ditelusuri sejak 1957. Di tahun tersebut, setelah menempatkan para pemimpinnya di perusahaan-perusahaan yang diduduki oleh serikat buruh, Angkatan Darat membentuk Badan-Badan Kerjasama (BKS) dengan sipil. Dengan serikat buruh dinamakan BKS Buruh Militer (Bumil), dengan Pemuda BKS Pemuda Militer, dan dengan tani BKS Tani Militer (Tamil).
BKS Tamil bersatu padu membentuk Kesatuan Aksi Tani Indonesia (KATI) dan berkiprah menggulingkan Soekarno, membubarkan Partai Komunis Indonesia serta Kabinet Dwikora.

Setelah ‘berhasil’ mengganyang PKI dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya, Angkatan Darat melalui Presidium BKS Tamil membicarakan restrukturisasi organisasi massa (ormas) tani. Organisasi petani bikinan Soeharto dibangun di atas banjir darah orang-orang yang tidak bersalah.

Berikut uraian Budi Setiyono (2011) tentang pembentukan HKTI. Sampai 1968, terdapat lima belas organisasi massa (ormas) tani. Dari lima belas organisasi massa tani, hanya satu ormas tani yang menolak rencana penggabungan ormas tani, yakni Sarekat Tani Islam Indonesia (STII). STII merupakan ormas tani yang dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Empat belas organisasi yang menyetujui adalah:
  1. Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani) berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia (PNI)
  2. Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (Petanu) berafiliasi ke Partai Nahdlatul Ulama (Partai NU)
  3. Gerakan Tani Sarekat Islam (Gertasi) berafiliasi ke Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
  4. Petani Sarekat Islam Indonesia (Petisi)
  5. Kesatuan Tani Pancasila (Kata Pancasila) berafiliasi ke Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
  6. Persatuan Tani (Perta) berafiliasi ke Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba)
  7. Persatuan Tani Kristen Indonesia (Pertakin) berafiliasi ke Partai Kristen
  8. Ikatan Petani Pancasila (IP Pancasila) berafiliasi ke Partai Katolik
  9. Warga Tani Kosgoro (Koperasi Serba Guna Gotong Royong)
  10. Rukun Tani Indonesia-Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (RTI Soksi)
  • Gerakan Tani MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong)
  1. Gerakan Tani Indonesia (GTI) berafiliasi ke Partai Sosialis Indonesia (PSI)
  2. Sarekat Tani Indonesia (Sakti)
  3. Gerakan Tani Muslimin Indonesia (Gertami) berafiliasi ke Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
Setelah mendiskusikan restrukturisasi ormas tani, BKS Tamil membentuk Tim Sembilan. Tim sembilan melaksanakan rapat cepat selama 3-21 April di tempat milik Kolonel Sumardan dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), di Jalan Senopati, Jakarta.

Rapat Tim Sembilan berhasil membuat rancangan anggaran dasar dan nama organisasi, yakni Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Selain itu, Tim Sembilan pun memutuskan calon ketua umum organisasi tani tersebut, yaitu Martono. Martono berasal dari Warga Tani Kosgoro. Martono menjabat sebagai Ketua Umum HKTI dari 1973 sampai 1992. Dengan demikian, ketua pertama HKTI sebagai organisasi nasional hanya dipilih oleh segelintir orang.

Saat itu, Martono pun menjabat sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Golongan Karya periode 1968 hingga 1978. Kemudian menjadi Menteri Transmigrasi pada Periode 1983 hingga 1988.

Hasil-hasil rapat Tim Sembilan dilaporkan ke BKS Tamil. BKS Tamil menyarankan agar Tim Sembilan menyegerakan Musyawarah Top. Musyawarah Top dan Deklarasi HKTI dilaksanakan di Rumah Makan Galiga di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, pada 26-27 April 1973.

Melalui HKTI-lah program-program pembangunan Soeharto dilancarkan. Dari 1970 hingga 1980, Soeharto getol mengundang investor asing untuk mendanai infrastruktur pertanian. Sejumlah bendungan irigasi dan jalan tol dibangun. 
Diperkenalkanlah Panca Usaha Tani alias Revolusi Hijau, yaitu teknik pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan, pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Saat itu, hasilnya cukup memukau. Para petani mampu panen padi dari dua kali dalam setahun menjadi tiga kali setahun. Soeharto dibangga-banggakan karena mampu berswasembada beras.

Namun, hasil lain yang dipikul generasi sekarang adalah hilangnya pengetahuan penduduk tentang pemuliaan bibit sekaligus ketergantungan terhadap bibit dan pupuk pabrikan, penghancuran ekosistem karena penggunaan pupuk kimia, serta tersingkirnya kaum perempuan dari pekerjaan pertanian. Di luar itu, Revolusi Hijau adalah bisnis kelas dunia dalam jual beli bibit dan pupuk serta teknologi pertanian. Sudah diketahui secara luas bahwa swasembada beras ala Soeharto dibangun di atas penghancuran sistem agraria.

Setelah Soeharto digulingkan, desain pembangunan ala Soeharto terus berlanjut. Kawasan-kawasan industri dan infrastruktur yang rakus lahan terus dibangun, industri-industri berorientasi ekspor dengan ketergantungan terhadap bahan mentah impor membual tentang penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan.

Penutup

Sejak 1980-an, muncul organisasi-organisasi tani independen di berbagai daerah. Mereka memprotes perampasan tanah dan kriminalisasi di tengah berbagai kepayahan. Saat ini, beberapa diantara organisasi tersebut menjadi organisasi nasional dan yang lainnya mempertahankan lokalitasnya. Ada Serikat Tani Nasional (STN) yang berdiri pada 12 November 1993. Ada pula Serikat Petani Indonesia (SPI), yang dideklarasikan pada Juli 1998; ada Serikat Petani Pasundan (SPP), yang dideklarasikan pada 2000, dan ada Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) yang dideklarasikan pada 2004. Sampai di sini, kita dapat mengatakan kaum tani, seperti halnya buruh, berkepentingan terhadap demokrasi.

Di luar organisasi-organisasi di atas, HKTI masih memiliki pamor untuk mengatasnamakan kaum tani. HKTI mengaku membawahi 40 juta petani dan nelayan (Agrofarm.co.id, 30/3/2014). Sebagaimana halnya rezim serikat buruh yang dibangun untuk mendukung Soeharto, saat ini HKTI pun memiliki dua kepemimpinan, yakni HKTI Prabowo Subianto dan HKTI Oesman Sapta.

Konflik di HKTI melibatkan para politisi, pemilik tanah luas, sekaligus pengusaha. Dalam konflik tersebut terdapat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto versus Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Titiek Soeharto, dan Ketua DPP Partai Demokrat Jafar Hafsah.

Konflik tersebut tidak layak dan tidak menarik untuk diamati. Yang patut menjadi perhatian kita adalah politik pengatasnamaan kaum tani di pundak HKTI. Dua tahun sekali, HKTI mengadakan pertemuan mengatasnamakan kaum tani dan nelayan dalam bingkai Kontak Tani Nelayan Andalan. Baru-baru ini HKTI mengajukan kepada pemerintah agar setengah dana repatriasi dari Pengampunan Pajak digelontorkan untuk pertanian, peternakan dan perikanan. 
“HKTI siap siap bergandengan tangan dengan pemerintah dan stakeholder pertanian nasional lainnya melaksanakan dan mengawal masuknya 50 persen dana hasil repatriasi,” ujar Sekjen DPN HKTI, Ir Sadar Subagyo sebagaimana dilansir Tribunnews.com (5/8/2016).

Untuk beberapa persoalan seperti beras dan kedelai impor, HKTI memang tampak bersuara. Namun, mereka sama sekali tidak mempersoalkan lahan kaum tani yang kian tergusur oleh kawasan industri dan pembangunan infrastruktur, apalagi kriminalisasi kaum tani. Tentu saja, persoalan pupuk dan bibit yang mahal serta ketidakberdaulatan Ibrahim atas lahan garapannya tidak ada dalam kamus HKTI.

Selamat Hari Tani Ibrahim!

***
Syarif Arifin*), Penulis; aktif di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)
Kepustakaan:


Soemardjan, Selo. 2008. “Land Reform di Indonesia.” Dalam, Tjondronegero, SMP dan Wiradi, Gunawan. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Nugroho, Tarli. 2014. “Politik Nasionalisasi dan Ekonomi Berdikari.” Diunduh dari http://www.berdikarionline.com/politik-nasionalisasi-dan-ekonomi-berdikari/.

Ayatrohaedi, et.al. 1994. Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I. Departemen Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Setiyono, Budi. 2011. Persaingan Politik dalam Organisasi Massa: Studi Kasus Konflik dalam Organisasi HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro.

Aidit, DN. 1964. Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa:Laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat. Jajasan Pembaruan. Jakarta.

Kamis, 15 September 2016

Komnas HAM Minta Negara Ambil Tanah yang Dikuasai Konglomerat

Prima Gumilang, CNN Indonesia | Kamis, 15/09/2016 17:54 WIB

Sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Lahan yang dikuasai pengusaha kerap dijadikan lahan perkebunan sawit. (ANTARA FOTO/ Budi Candra Setya)

Jakarta -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hafid Abbas meminta pemerintah mengambil sebagian besar tanah yang dikuasai konglomerasi besar di Indonesia. Tanah itu, kata Hafid, harus dibagikan kepada kelompok masyarakat miskin.

Dia menyebut ada perusahaan yang didirikan pengusaha keturunan Tionghoa memiliki tanah 5 juta hektar. Bagi Hafid, tak ada alasan bagi seorang pengusaha menguasai tanah seluas itu.
"Jadi 5 juta hektar tanah yang dimiliki satu orang itu boleh digusur, diambil sebagian oleh negara, dan dibagi ke kelompok miskin, yang sekarang ini Sinar Mas memiliki 5 juta hektar," kata Hafid saat diskusi mengenai kasus penggusuran DKI Jakarta, di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Kamis (15/9).

Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, Hafid menyebutkan, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Termasuk penguasaan lahan 5 juta hektar oleh taipan yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya pertama di Indonesia.

Idealnya distribusi tanah mengikuti formula 1 juta untuk orang kaya, 2 juta untuk kelas menengah, dan 3 juta untuk masyarakat miskin.

Bagi Hafid, distribusi tanah yang terjadi saat ini menunjukkan negara telah dimiliki sekelompok kecil penduduk. Sementara orang miskin tidak memiliki celah untuk keluar dari kemiskinannya karena mereka tidak mempunyai tanah.

"Pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar. Kita 0,2 persen penduduk menguasai 74 persen tanah. Inilah satu distribusi lahan paling ekstrim di dunia," ujar Hafid.
Penguasaan lahan oleh kelompok kecil penduduk ini berimbas pada maraknya penggusuran di beberapa kota, termasuk di Jakarta. 

Berdasarkan panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kata Hafid, negara harus menghindari penggusuran semaksimal mungkin karena tindakan itu merupakan pelanggaran HAM. 
"Kalau pun dilakukan terpaksa sekali, atau sebagai alternatif terakhir," katanya.
Penggusuran dapat diterima jika memiliki landasan hukum dan ditujukan untuk penataan kembali atau redistribusi lahan untuk membantu masyarakat miskin. Negara harus menunjukkan keberpihakannya kepada yang miskin.

Dia menegaskan, penggusuran seharusnya betul-betul dimaksudkan untuk menguntungkan orang miskin, mereka yang menderita dan terisolasi.

"Boleh dilakukan penggusuran terhadap mereka yang memiliki tanah yang terlalu luas ini untuk dikasih ke orang miskin. Itu menurut panduan PBB, indah sekali," kata Hafid.
Sumber: CNN Indonesia 

Sabtu, 10 September 2016

Perpag (Persatuan Masyarakat Peduli Karst Gombong) Kecewa, Surat Kepada Bupati Kebumen Tidak Ditanggapi

redaksi -

SindoNewsToday.Com – KEBUMEN

Jum’at (9/9), Perpag (Persatuan Masyarakat Peduli Karst Gombong) untuk kedua kalinya menyurati Bupati Kebumen untuk dapat bertemu(audensi) membicarakan tentang lingkungan yang ada di sekitar Karst Gombong Selatan. Adapun untuk surat yang kedua kalinya ini dilayangkan oleh pihak Perpag tertanggal 7 September 2016 yang diterima oleh pihak jajaran Pemkab Kebumen.

Lapiyo : Demi Menyelamatkan  Air Kars Gombong,Sampai Kemana Pun Kami Siap.

Lapiyo, kepada SindoNewsToday.com, menjelaskan bahwa hingga sampai saat ini Perpag akan tetap berkeyakinan bahwa Bupati Kebumen adalah Bupati yang pro akan Rakyat. Surat yang kami layangkan adalah bertujuan mengajak kepada Bupati Kebumen utnuk sama-sama membahas keadaan lingkungan yang saat ini terjadi disekitar kawasan Karst Gombong. Tutur Lapiyo seraya melanjutkan, Kawasan Karst Gombong harus tetap dilindungi dan di jaga kelestariannya. Dimana Karst Gombong inilah yang memberikan kehidupan bagi masyarakat terutama pada air jernih yang melimpah ruah mengalir mencukupi kebutuhan masyarakat di 10 Kecamatan. 
Tidak hanya itu saja, lanjut Lapiyo, bisa disaksikan langsung bahwa kawasan Karst Gombong memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Inilah yang harus diketahui oleh para pejabat-pejabat yang ada di Kebumen terutama kepada Bupati Kebumen.

Dikatakannya, Tidak ada kata tawar-menawar, Kawasan Karst Gombong harus dilindungi dari para oknum-oknum pengusaha yang tujuannya merusak.
Kami harapkan kepada Bupati Kebumen untuk serius menanggapi keinginan masyarakat tentang Kawasan Karst Gombong yang harus dilindungi dan tetap dijaga kelestariannya serta melakukan pengembalian KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst) ke posisi semula “Demi menyelamatkan Air Karst Gombong,sampai kemanapun kami siap” tegas Lapiyo yang juga merupakan Wakil Ketua Perpag.


Hal senada juga dikatakan oleh, Tulus Wijayanto “Bahwa untuk mencari sebuah solusi dari permasalahan ini harus dengan cara yang santun dan berwibawa yakni duduk bersama-sama dalam pembahasan masalah tersebut. Sehingga pada akhirnya akan muncul lah solusi yang menguntungkan semua pihak. Maka dari itu sudah selayaknya Bupati Kebumen untuk segera menanggapi keinginan masyarakat wilayah Gombong dan sekitarnya” tuturnya.

Dalam pantauan SindoNewsToday.com melihat, bahwa masyarakat disekitar kawasan Karst Gombong diantaranya Kecamatan Ayah, Kecamatan Buayan dan Rawa Kele saat ini memiliki keinginan agar Pemerintah Kebumen dalam hal ini Bupati Kebumen untuk melindungi masyarakat disekitar kawasan Karst Gombong agar kawasan yang dimaksud benar-benar terlindungi dengan mengembalikan KBAK kepada posisi semula. Bagaimana selanjutnya respon pihak Pemerintah dalam hal ini,akan terus dijajaki. (Ismail)

Kamis, 08 September 2016

Saga | Hutan Gunung Tumpang Pitu Digerus, Ancaman Smong Tak Terbendung

Kamis, 08 Sep 2016 12:00 WIB | Hermawan Arifianto 

Mereka meminta Presiden Joko Widodo mendengar suara masyarakat. Sebab manusia bisa hidup tanpa emas, tapi tidak tanpa air.

Sejumlah wisatawan menikmati suasana pantai Pulau Merah di Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (21/8). Pasca terjadinya banjir lumpur sejak seminggu terakhir di Pantai Pulau Merah, aktivitas wisata sudah r

Banyuwangi - Matahari begitu terik kala saya berjalan menuju Pantai Pulau Merah. Dan setelah hampir 2,5 jam menggunakan sepeda motor dari pusat kota Banyuwangi, saya pun tiba di pantai yang berada di kawasan Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran.

Sepanjang mata memandang, air laut berwana hijau dengan bukit kecil di tengahnya. Hangat pasir putih pantai pun masih terasa saat kaki saya terbenam. Inilah Pulau Merah –sebuah objek wisata yang kondang di Banyuwangi. Sebab di dekat bibir pantai, ada bukit kecil berwarna hijau bertanah merah. Bukit ini bisa didaki jika air laut surut.

Tak hanya itu, ada pula Pura yang kerap dijadikan lokasi upacara Mekiyis. Maka tak salah kalau Pemkab Banyuwangi gencar mempromosikan Pulau Merah hingga ke mancanegara.

Saking tenarnya, saban hari sekitar 700 pelancong dari dalam dan luar negeri berhamburan di pantai ini. Tapi, hampir sebulan Pantai Pulau Merah sepi. Kursi kayu yang terpasang payung besar di sepanjang pinggir pantai, kosong. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir dan beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari.

Salah satu warga, Suyitno bercerita, sunyinya pantai ini terjadi sejak 22 Agustus lalu. Sembari menunjukkan sisa-sisa lumpur yang mengendap di sebagian bibir pantai, ia mengenang peristiwa tiga pekan lalu itu. Kata dia, laut berubah jadi kolam lumpur raksasa.
“Ini sisanya masih banyak lagi di situ. Lumpur sampai seperti ini katanya ngecek-ngecek tapi apanya yang dicek? Lumpur hitam seperti ini. Ini lumpur yang saya ambil itu kalau satu meter masih ada ini. Katanya ramah lingkungan, tidak ada limbah sedikitpun yang meluap, yang mengalir ke laut ini apa?” kata Suyitno sambil menunjukan sisa lumpur yang ada di pinggir pantai.
Dengan nada kesal, ia menyebut banjir lumpur jadi penyebabnya. Dan itu dampak dari penggundulan hutan di kawasan Gunung Tumpang Pitu untuk disulap menjadi tambang emas –yang mana dilakukan PT. Bumi Suksesindo (BSI).


Gagal Panen Hingga Pulang Melaut dengan Tangan Kosong


Tak hanya Suyitno yang ketumpuan malang. Yogi Turnado, anggota kelompok masyarakat pengelola wisata Pulau Merah mengatakan, banjir lumpur menyebabkan 300 hektar tanaman jagung yang berada di sebelah selatan Gunung Tumpang Pitu, gagal panen. Padahal tanaman jagung itu sebentar lagi masuk musim panen. 
“Bahwasanya ini masih bagian kecil daripada tambang sudah berdampak seperti ini, apalagi nanti ke depan kalau ini sudah benar-benar gundul dan sudah beroperasional? Karena alam ini tidak bisa diduga dan airnya meluap ke laut dan bercampur dengan zat-zat yang  kita tidak inginkan. Ini jelas yang kita khawatirkan di situ,” kata Yogi Turnando.
Khusni Tamrin, Ketua Rukun Nelayan Pelabuhan Pancer Banyuwangi pun kesal lantaran hasil tangkapan ikan menyusut drastis, malah kadang pulang dengan tangan kosong.

Sebab, lumpur itu mengakibatkan terumbu karang di perairan Pancer rusak parah. Alhasil, ikan pun kabur ke tengah laut.
“Kalau dampaknya banyak, dari penghasilan teman-teman  yang sekarang turun, dari ikan pancingan yang sekarang tidak ada. Ini kami sudah tidak melaut karena ada dampak dari PT BSI. Ini belum beroperasi sudah seperti ini lumpurnya, apalagi nanti kalau satu tahun, dua tahun sudah produksi tidak tahu. Sedangkan gunung ini sangat-sangat produktif," ucap Khusni Tamrin.
Nelayan lainnya, Rahmat membenarkan hal itu. Tiap kali melaut tak ada satupun ikan nyangkut di jaringnya. Bahkan untuk sehari-hari, ia malah harus membeli ikan ke daerah lain. Sebab di Pelabuhan Pancer sudah tak ada lagi penjaja ikan. 
“Lautnya sudah tidak bisa diharapkan karena tercemar dengan adanya lumpur yang datangnya dari Gunung Tumpang Pitu. Saya mohon untuk ke depan seperti pemerintah daerah jangan tinggal diam tolong dipikir tentang nasip nelayan. kalau dibiarkan ke depan gimana yang namanya perut kan butuh makan,” kata Rahmat.
Belakangan, Bupati Abdullah Azwar Anas menegur langsung PT Bumi Suksesindo –perusahaan yang diberi kuasa menambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Kata dia, dalam teguran itu perusahaan diharuskan menyelesaikan pembangunan enam dam yang berfungsi menampung limbah penambangan emas dalam tiga bulan ke depan.

Sementara kini, PT Bumi Suksesindo baru bisa merampungkan tiga dam. Akibatnya, ketika hujan deras lumpur dan sampah terbawa hingga ke hilir termasuk ke Sungai Katak muaranya menuju Pantai Pulau Merah. 
“Mulai saya menjabat baru sekarang saya mengantarkan surat sendiri, sekaligus saya ngecek dilapangan. Karena kasus hulu air yang coklat ini bagi sebagian orang  dianggap pertama,” tegas Abdullah Azwar Anas.
Menjawab hal itu, Direktur PT Bumi Suksesindo, Cahyono Seto menyatakan siap memenuhi tenggat tiga bulan. Perusahaannya pun, kata dia, bersedia memperbaiki pencemaran di Pantai Pulau Merah, menomarlisasi Sungai Katak dengan menyedot serta mengeruk lumpur, juga memasang jaring penahan lumpur di Sungai Katak. 
“Dari kami yakin bahwa selama tiga bulan ini kami bisa menyelesaikan dam tersebut, ke depan kami juga akan melakukan perbaikan di dam ini. Mungkin dari teman-teman akan memberi tahukan kepada BLH untuk mengecek program daripada penyelesaian dam ini,” jelas Cahyono Seto.
Tapi solusi atas pencemaran di Pantai Pulau Merah, rupanya tak sesederhana itu. Sejumlah LSM Pemerhati Lingkungan punya catatan dan data berbeda. Pasalnya, tambang emas di Gunung Tumpang Pitu hanya membawa bencana bagi warga sekitar. 

Karyawan PT Bumi Suksesindo (BSI), perusahaan tambang di Tujuh Bukit, Banyuwangi, menyelesaikan pembuatan bronjong untuk menahan sedimentasi di Sungai Katak, Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (26/8). PT BSI melakukan pengerukan sungai Katak untuk mendukung pemulihan kawasan wisata Pantai Pulau Merah yang terkena banjir akibat tingginya curah hujan di kawasan tersebut. ANTARA FOTO 

Status Hutan Gunung Tumpang Pitu Diturunkan


Kawasan Hutan Gunung Tumpang Pitu, berada di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana, hidup sedikitnya 18 jenis flora seperti Jambu Hutan, Akasia, dan Ketangi atau Bungur. Keutuhan Tumpang Pitu juga penting bagi kelangsungan hidup babi hutan, monyet, kijang, rusa, dan jenis mamalia lainnya.

Dan sebagai hutan lindung, Tumpang Pitu menjadi kawasan resapan air yang krusial dalam menjamin ketersediaan air bawah tanah dan sungai-sungai di sekitarnya.

Tapi pada 19 November 2013, Menteri Kehutanan yang dipegang Zulkifli Hasan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 826/2013 yang menyetujui penurunan status hutan lindung Tumpang Pitu menjadi hutan produksi.

Kira-kira setahun setelahnya pada September 2014, Kementerian Kehutanan menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) lewat Surat Keputusan Nomor 812/Menhut-II/2014 seluas 1.942 hektar. Di lahan itulah, pertambangan terbuka dilakukan –dimana PT Bumi Suksesindo menjadi pengelolanya.

Saat ini PT Bumi Suksesindo tengah dalam pembangunan kantor, gudang, dam, dan fasilitas lainnya. Dan diperkirakan akhir tahun ini bakal dimulai ekplorasi tambang emas dengan target 2 juta ton per tahun selama 8-9 tahun mendatang. Satu ton batuan di area tersebut mengandung 0,9 gram emas.

Penambangan emas itu menggunakan sistem pengolahan heap leaching dan tak menyisakan tailing atau limbah dari pengerusan dan pemisahan (estraksi) emas. Cara kerja heap leaching ini dengan menumpuk batuan bijih emas di satu kolam yang di bawahnya dilapisi plastik. Tumpukan bijih besi itu lantas disiram dengan larutan kimia sianida –tujuannya melarutkan emas.

PT Bumi Suksesindo mengklaim, sistem tersebut ramah lingkungan. Hal itu didukung pula oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Banyuwangi, Khusnul Khotimah.
”Sistem teknis pengelolaanya adalah sistim tumpukan atau heblict, tidak ada tailing. Karena tailing itu adalah lumpur. Punyak kita itu airnya seperti teh maka air itu bisa digunakan kembali namanya sistem recycle,” ucap Khusnul Hotimah.
Bahkan dalam Analisi Dampak Lingkungan (Amdal) air yang digunakan dalam proses penambangan akan diolah kembali sehingga bisa dipakai ulang. 

Hanya saja, organisasi lingkungan BaFFEL atatu Banyuwangi Forum For Environmental Learning menyebut, metode heap leaching tetap membutuhkan air yang tak sedikit. Juru bicaranya, Rosdi Bachtiar mengatakan, bila menelisik dokumen Amdalnya, untuk melakukan pemisahan bijih emas, setiap harinya dibutuhkan air 2,038 juta liter. Itu artinya potensi air di Tumpang Pitu bakal terancam.
“Itu kan hutan lindung isinya pohon-pohon yang mencengkram tanahnya. Tanahnya yang dicengkram itu diledakkan. Pohon yang mencengkram tanahnya dihilangkan, jadilah banjir lumpur yang sekarang. Yang berikutnya sianidanya itu pasti ada di sana. Terus dia akan akan mengubah bentang lahan secara ekstrem, ya bentang lahan itu kalau diubah pasti akan ada perubahan yang cukup besar  bagi manusia yang hidup di sekitarnya,” kata Rosdi Bahtiar Martadi.
Dan setelah beroperasi, tambang tetap akan membuang tailing atau limbah –yang didalamnya terkandung sianida sebanyak 2.361 ton ke Teluk Pancer. Zat beracun itu akan mengalir setiap hari.

Lagipula, kata dia, dam –yang berfungsi menampung limbah tailing dianggap percuma. Selain karena tak cukup, jika kemarau dan debit air sedikit, maka dam akan menyedo air dari dalam tanah. 
“Persoalanya dampak lingkungan itu tidak seperti pembunuhan, orang ditikam sekarang ya sekarang mati. Dampak lingkungan itu ditebang hari ini bisa jadi tiga tahun mendatang dampaknya. Apakah ada peledakan yang paling ekstrem itu. Peledakan itu kan akan mempengaruhi porositas tanah, kohesi tanah, daya rekat tanah dengan tanah yang lain,” sambungnya. 
Limbah atau tailing ini tidak saja akan membunuh biota laut di Teluk Pancer melainkan mencemari seluruh perairan Banyuwangi. Pencemaran akibat tailing sianida, kata Rosdi, juga mengancam kehidupan tiga taman nasional yang mengelilingi Banyuwangi; Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran. Dari tiga taman nasional tersebut, Meru Betiri paling terancam karena lokasinya berjarak sekitar 4,7 km dari batas luar wilayah kuasa pertambangan PT Bumi Suksesindo.

Padahal Meru Betiri memiliki banyak fungsi ekologis, yakni daerah tangkapan air bagi Kabupaten Jember dan Banyuwangi. Juga tempat hidup ratusan jenis tumbuhan obat langka; tempat berbiaknya 4 jenis penyu; dan rumah terakhir bagi Harimau Jawa (Panthera Tigri Sondaica).


Smong Mengancam Warga Desa Pesanggaran

Hutan lindung Tumpang Pitu sesungguhnya termasuk kawasan resapan air. Hal itu dipertegas dalam buku “Mekanisme dan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) JAWA TIMUR 2002” yang menyebutkan , Tumpang Pitu merupakan kawasan potensi air bawah tanah tingkat tinggi dengan potensi debit di atas 30 liter per detik.

Dan bila fungsi Tumpang Pitu sebagai resapan air terganggu, maka vegetasi tanaman pertanian terancam mati. 
“Amdalnya tidak logis dan ini kegiatan di kawasan rawan bencana ketika pada tahun 2006, 2007 itu peta tata ruangnya provinsi menyatakan Tumpang Pitu itu kawasan konserfasi air. Jadi tahun 2005 tata ruang provinsi ngomong kalau Tumpang Pitu itu kawasan konserfasi air tingkat tinggi,” tegas Rosdi.
Pada 2006, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat luas hutan Pulau Jawa tinggal 11 persen. Sementara pada Agustus 2016, Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mendata jika luas hutan Pulau Jawa tinggal 3 juta hektar atau sekitar 4,3 persen.

Dengan hutan yang kian menyusut itu, hutan di Jawa harus menyangga kebutuhan pangan, air, dan oksigen untuk 4.600 desa. Menyusutnya hutan itu diperparah dengan diizinkannya alihfungsi hutan lindung untuk pertambangan.

Sementara itu, LSM WALHI Jawa Timur menyatakan, jika Gunung Tumpang Pitu ditambang bencana akan melanda Desa Sumberagung dan sekitarnya. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Rere Christanto menuturkan, smong menjadi ancaman paling nyata.

Pasalnya, Gunung Tumpang Pitu yang berada di pantai Laut Selatan menjadi benteng alami yang melindungi penduduk dari angin kencang dan gelombang smong.

Ia mengenang kejadian 3 Juni 1994 –dimana smong pernah menghantam kecamatan ini. Setidaknya 214 orang mati dan puluhan orang hilang. Karena itulah, kawasan Tumpang Pitu ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana tsunami. 
“Tumpang Pitu adalah benteng terutama untuk menghadapi angin tenggara yang cukup kencang. Di sisi lain masih ada memori kolektif di masyarakat terkait tsunami tahun 1994, dimana setidaknya sampai mendekati 300 jiwa tewas pada waktu itu. Gunung Tumpang Pitu menjadi salah satu bagian yang sebetulnya memperkecil resikonya,” ungkap Rere Christanto.
Melihat risiko-risiko itu, Pemkab Banyuwangi dinilai gagal melindungi warganya. Sebab belakangan diketahui, keputusan Menteri Kehutanan atas penurunan status Hutan Gunung Tumpang Pitu dilandasi usulan Bupati Abdullah Azwar Anas melalui surat No. 522/635/429/108/2012. Padahal dalam Amdal penambangan tersebut dikatakan Hutan Tumpang Pitu merupakan tempat bersarangnya ratusan hewan yang dilindungi.
“Dalam amdal itu tabel mamalianya itu menunjukan macan tutul, itu kan satwa dilindungi. Terus menunjukkan ada elang. Dan amdal itu menginventarisir fauna di dalam hutan itu dan dimunculkan bahwa itu ada. Berarti kalau itu ada, artinya masih berfungsi dong sebagai hutan lindung? Kok diturunkan Tumpang Pitu jadi pertanyaan,” tegas Rosdi.
Masyarakat setempat tak ingin tanah kehidupan mereka porak-poranda karena tambang emas. Karena itulah, petisi pencabutan izin tambang emas dibuat oleh lima organisasi lingkungan; Banyuwangi Forum For Environmental Learning (BaFFEL), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Unair, Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Korda Jawa Timur, dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). 
Mereka meminta Presiden Joko Widodo mendengar suara masyarakat. Sebab manusia bisa hidup tanpa emas, tapi tidak tanpa air. 
Editor: Quinawaty
Sumber: KBR.ID