Kamis, 05 Desember 2019

Karangrejek: Dari Desa Menuju Daulat Air

Anggalih Bayu Muhammad Kamim - Dec 5


Sumber: http://www.pdamtirtabenteng.co.id/berita/ruu-sumber-daya-air-sampai-hari-ini-belum-jelas

Pendahuluan

Tulisan ini ingin menggali terkait keberhasilan langkah reforma agraria yang dilaksanakan oleh pemerintah desa dan masyarakat di Desa Karangrejek, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul dalam mendorong peningkatan akses, kontrol dan penguasaan terhadap sumber daya air. Upaya peningkatan akses, kontrol dan penguasaan sumber daya air secara mandiri di Karangrejek telah menunjukan adanya reforma agraria dari bawah (agrarian reform by leverage) yang mendukung adanya kelembagaan sosial yang mendorong munculnya perbaikan kesejahteraan masyarakat setempat. Penggalian terkait keberhasilan di Karangrejek penting untuk dijadikan sebagai bentuk pembelajaran tentang sebuah transformasi dari masyarakat petani dengan masalah ketersediaan air menjadi memiliki pengelolaan air secara mandiri bahkan membuka manfaat kesejahteraan yang lebih luas melalui kelembagaan badan usaha milik desa.

Kasus reforma agraria di Karangrejek berbeda dengan upaya reforma agraria dari bawah pada umumnya yang menekankan pada langkah redistribusi, okupasi maupun pembukaan akses petani terhadap tanah pertanisan akibat ketimpangan kepemilikan lahan (Wiradi, 2003; Rachman, 2008, 2009, 2012; Sokoastri and Soetarto, 2012; Fatimah, 2015). Reforma agraria dari bawah yang sering disorot selama ini ialah keberhasilan di Ngandagan yang kemudian ditiru oleh desa sekitarnya seperti Karanganyar dan Prigelan dalam distribusi hak garap pada petani gurem lewat fasilitasi pemerintah desa (Sohibuddin and Luthfi, 2010; Nugroho et al., 2013; Nugroho, Suharno and Subroto, 2016). Reforma agraria dari bawah yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut memiliki pola integrasi yang menunjukan adanya sinergi antara pemerintah desa, masyarakat petani dan pemangku kepentingan lain.

Kasus lain pola integrasi dalam reforma agraria dari bawah misalnya terjadi di Desa Genteng, Sukasari, Kabupaten Sumedang yang menunjukan adanya sinergi antara masyarakat petani, Perum Perhutani dan pemerintah desa dalam memberikan akses tanah untuk peningkatan kesejahteraan. Para pemangku kepentingan di Genteng menyepakati pemberian akses pada petani untuk menanam komoditas kopi di kawasan hutan milik Perhutani (Adiansah, Apsari and Raharjo, 2019). Kasus lain di Mendiro, Ngawi langkah reforma agraria dari bawah dilakukan melalui redistribusi lahan dari hak guna usaha perusahaan kepada masyarakat petani (Soetarto, Sihaloho and Purwandari, 2007). Pola reforma agraria dari bawah yang terjadi pada kasus-kasus di atas pada umumnya diawali dengan tuntutan dari organisasi tani yang mendorong adanya pemberian akses pada para petani gurem.

Berbeda dengan pengkajian sebelumnya, kasus di Karangrejek akan memperlihatkan bagaimana masyarakat petani dengan organisasi tani bersinergi dengan pemerintah desa dalam mencari sumber daya air dan mengelolanya untuk kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, kasus di Karangrejek akan menjadi pembelajaran penting tentang bagaimana distribusi akses dan pengelolaan sumber daya agraria berupa air secara mandiri bermanfaat langsung bagi pemberdayaan komunitas.

Desa (yang kini) Memanen Air

Kondisi Desa Karangrejek sebelum dilakukan proses iniasiasi pengelolaan sumber daya air dihadapkan pada masalah kekeringan semasa musim kemarau, sehingga petani hanya beraktivitas secara musiman dan berdampak pada tingginya angka kemiskinan. Pada tahun 1993 saja persentase penduduk miskin di Karangrejek mencapai 68,8 %, meskipun pemerintah daerah menggelontorkan berbagai program kenyataannya tidak meningkatkan kesejahteraan disebabkan masih bertahannya problem kekeringan (Tama, 2013). Sebenarnya pada tahun 1975, sudah dilaksanakan program untuk pembuatan sumur gali untuk tanaman sayur di musim kemarau melalui Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT).

Selanjutnya, pada Tahun 1978 di Padukuhan Blimbing baru dapat giliran dibuatkan sumur dalam dari Proyek Pengembangan Air Tanah. Akan tetapi, realitasnya masih banyak masyarakat yang belum mampu membuat sumur gali secara mandiri. Pada tahun 1990-an, pemerintah daerah melalui PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) mencoba memberikan akses air pada warga, tetapi kenyataannya pelayanannya tidak maksimal (Tama, 2013).

Kondisi tersebut memaksa masyarakat Karangrejek terpaksa mengeluarkan uang banyak untuk kebutuhan airnya bagi konsumsi rumah tangga dan produksi pertanian. Apabila musim kemarau terjadi selama 5–6 bulan, masyarakat Karangrejek saat itu terpaksa harus membeli air seharga 75- 120 ribu rupiah setiap harinya untuk satu tangki sesuai dengan jarak yang ditempuh penyuplai. Penduduk bahkan harus menggadaikan dan menjual tanaman jati, perhiasan dan binatang ternaknya untuk membeli air, demi kebutuhan rumah tangga dan produksi pertanian. Akibatnya lama kelamaan, penduduk Karangrejek terjerat dengan para rentenir, demi memenuhi ketersediaan air saat musim kemarau. Kondisi tersebut akhirnya direspon oleh pemerintah desa dan masyarakat petani untuk mengadakan musyawarah untuk mengatasi problem ketersediaan air (Hasil Wawancara dengan Ketua BUMDES Karangrejek, Bapak Ton Martono pada 17 Agustus 2018).

Pemerintah desa bersama dengan perwakilan masyarakat petani mengadakan musyawarah pada akhir tahun 1990-an untuk menyelesaikan problem ketersediaan air. Masyarakat petani diwadahi aspirasinya bahkan dilihat penting daya tawarnya dalam penuangan gagasan dan masukan menjadi berbagai kebijakan publik. Solidaritas yang kuat antara masyarakat petani dalam upaya pengatasan masalah ketersediaan air di Karangrejek tidak didasarkan pada organisasi tani yang kuat, tetapi bersandar pada kesadaran akan kebutuhan untuk mengatasi kekeringan. Air telah menjadi identitas kebersamaan sekaligus common pool resource seperti dalam kelembagaan lokal Subak di Bali (Tarigan, 2016).

Sikap pemerintah desa terbuka untuk bersama dengan masyarakat petani menyepakati pencarian sumber air secara mandiri. Akhirnya, pemerintah desa bersama dengan masyarakat petani Karangrejek meminta bantuan Fakultas Biologi untuk membantu pencarian titik air dan didapatkan lokasi di Padukuhan Karangduwet 1. Dinas Pekerjaan Umum DIY membantu masyarakat Karangrejek dalam melakukan pengeboran sungai bawah tanah sedalam 150 m dan pengembangan jaringan diserahkan kembali pada warga dan pemerintah desa. Inisiatif lokal yang didorong oleh masyarakat petani di Karangrejek telah menjadi keputusan bersama dengan pemerintah desa (Rachman, 2009). Inisiasi lokal ini berubah menjadi kelembagaan dalam bentuk jaringan kerja bakti untuk meneruskan pengadaan air.

Reforma agraria dari bawah Karangrejek memiliki kriteria yang sama dengan didalami oleh Wiradi (2009) di Ngandagan, Kabupaten Purworejo. Pengadaan sumber air di Karangrejek dapat terjadi disebabkan adanya kepemimpinan demokratis dan dukungan rakyat yang kuat. Akan tetapi, kasus di Karangrejek menunjukan upaya kolektif yang lebih kuat dibandingkan langkah redistribusi hak garap bagi petani gurem yang dipelopori oleh seorang kepala desa yang kharismatik dan demokratis (Wiradi, 2009).

Pemerintah desa dan masyarakat petani pada awalnya hanya memiliki dana sejumlah 10 juta rupiah untuk pengadaan instalasi sambungan air. Berbagai bank menolak memberikan kredit pada masyarakat Karangrejek untuk pengadaan sambungan air disebabkan dianggap tidak menjanjikan bagi pengembalian modal. Kemudian, para aparatur desa dan tokoh masyarakat di Karangrejek menggadaikan sertifikat tanahnya sebagai agunan bagi pinjaman uang yang akan digunakan untuk pengembangan jaringan sambungan air.

Jaringan kerja bakti yang terbentuk di Karangrejek melanjutkan pengadaan instalasi distribusi air ke rumah warga secara gotong-royong. Jaringan kerja bakti bahkan mendorong warga bahu membahu menanggung konsumsi dan logistik untuk pembangunan instalasi secara swadaya. Apabila dikalkulasikan bahkan logistik warga dalam pembangunan instalasi air sebanyak 150 sambungan mencapai 400 juta rupiah untuk ukuran saat itu. Hingga tahun 2018, pelanggan dari pengadaan air yang dikelola oleh kelembagaan rakyat tersebut sudah mencapai 1312 rumah tangga. Upaya yang sukses dalam pengadaan dan pengelolaan air secara mandiri tersebut menunjukan adanya daya dorong yang kuat dari masyarakat Karangrejek dalam mendorong adanya akses, kontrol dan penguasaan komunitas terhadap sumber daya agraria (Sulaiman et al., 2018).

Pada tahun 2008, jaringan kerja bakti di Karangrejek bertransformasi menjadi badan usaha milik desa (BUMDesa) dalam pengelolaan air. Pembentukan BUMDesa di Karangrejek telah mendorong adanya perubahan kelembagaan tradisional menjadi semi-bisnis dalam pengelolaan dan pelayanan air. BUMDesa pengelola air telah memiliki orientasi kegiatan berbasis teknologi-bisnis-sosial dan peningkatan akuntabilitas kelembagaan (Pasaribu and Heriawan, 2016).

Munculnya BUMDesa sebagai pengelola air semakin meningkatkan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di Karangrejek. Akses warga terhadap sumber daya air bahkan menyebabkan mereka bisa membuka usaha di luar sektor pertanian seperti usaha laundry, bengkel, cuci motor & mobil, dan lain-lain. Berbagai usaha yang baru dengan pemanfaatan air juga didukung oleh lokasi Karangrejek yang merupakan jalur pariwisata 32 pantai di Kabupaten Gunungkidul. Dampaknya semenjak tahun 2011, Karangrejek keluar dari statusnya sebagai desa termiskin, tertinggal dan terisolir (Hasil Wawancara dengan Ketua BUMDES Karangrejek, Bapak Ton Martono pada 17 Agustus 2018).
Pelanggan dari air yang dikelola BUMDes datang dari luar Karangrejek, seperti Desa Baleharjo, Desa Duwet, dan Desa Siraman.

Pada dasarnya air bagi masyarakat petani Karangrejek tetap menjadi common pool resource sebab masih menjadi pengikat kuat bagi insiasi dan kelembagaan lokal (Suradisastra, 2016). Upaya pengelolaan air oleh BUMDes di Karangrejek kenyataannya mampu membawa kesejahteraan yang lebih luas bagi masyarakat petani. Keuntungan dari pengelolaan BUMDes bahkan mampu menyediakan kredit untuk pembelian bibit tanaman pertanian bagi petani, pembelian ambulans bahkan memberikan asuransi kesehatan dan beasiswa pendidikan bahi warga di Karangrejek.

Kesimpulan

Reforma agraria dari bawah yang terjadi di Karangrejek terjadi dengan prasyarat sama seperti di Ngandagan yakni, melalui kepemimpinan demokratis dan dukungan rakyat yang kuat. Reforma agraria di Karangrejek terjadi dengan corak kolektivitas yang lebih kuat dibuktikan tidak adanya ketokohan salah satu pihak yang mempengaruhi proses inisiasi lokal. Sinergi antara masyarakat petani-pemerintah desa dan pemangku kepentingan lain dalam upaya pengadaan, pengelolaan dan distribusi air di Karangrejek telah mampu menumbuhkan kelembagaan lokal yang bertransformasi menjadi badan usaha milik desa. Kelembagaan lokal berupa jaringan kerja bakti pada awalnya dan beralih menjadi BUMDes telah menjadikan air sebagai common pool resource yang membawa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat petani.

Kondisi Karangrejek telah mengalami transformasi secara sosial dan ekonomi pasca reforma agraria dari bawah. Insiasi lokal yang melibatkan partisipasi luas telah mendorong perbaikan kesejahteraan dan peningkatan akses ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat petani.
Sumber daya air yang dikelola oleh badan usaha milik desa telah mendorong munculnya usaha-usaha ekonomi baru di luar sektor pertanian. Hasil keuntungan dari pengelolaan air oleh BUMDes bahkan telah dapat memberikan kredit pembelian bibit tanaman, asuransi kesehatan, beasiswa pendidikan dan pelayanan sosial yang lebih luas bagi masyarakat Karangrejek. Keberhasilan reforma agraria di Karangrejek menunjukan bahwa pola landreform by leverage tergantung dengan permasalahan sumber daya agraria yang ada di suatu tempat dan tidak melulu menyoal redistribusi lahan.

Referensi

Adiansah, W., Apsari, N. C. and Raharjo, S. T. (2019) ‘Resolusi Konflik Agraria Di Desa Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang’, Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 1(1), pp. 1–10.

Fatimah (2015) ‘Reforma Agraria Dalam Konteks Peningkatan Akses Kaum Tani Miskin Terhadap Penguasaan Tanah Di Indonesia’, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 10(2), pp. 191–203.

Nugroho, A. et al. (2013) Resonansi Landreform Lokal: Dinamika Pengelolaan Tanah Di Desa Karanganyar. Edited by V. Arminah. Yogyakarta: STPN Press.

Nugroho, A., Suharno and Subroto, T. (2016) Relasi Kuasa Dalam Strategi Pertanahan Di Desa Prigelan. Yogyakarta: STPN Press.

Pasaribu, S. M. and Heriawan, R. (2016) ‘Kebijakan Investasi dan Peran Kelembagaan Mikro Sumber Daya Air di Sektor Pertanian’, in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, pp. 463–480.

Rachman, N. F. (2008) ‘Gelombang Baru Reforma Agraria di Awal Abad Ke-21’, in Seminar “Agenda Pembaruan Agraria dan Tirani Modal”, dalam Rangka Konperensi Warisan Toritarianisme: Demokrasi dan Tirani Modal, pp. 1–20.

Rachman, N. F. (2009) Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bogor: Sajogyo Institute, Akatiga, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Rachman, N. F. (2012) Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerjasama dengan Sajogyo Institute (SAINS).

Soetarto, E., Sihaloho, M. and Purwandari, H. (2007) ‘Land Reform by Leverage: Kasus Redistribusi Lahan di Jawa Timur’, Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, 1(2), pp. 271–282.

Sohibuddin, M. and Luthfi, A. N. (2010) Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tenuarial Adat Sebuah Desa Jawa, 1947–1964. Edited by O. Sitorus. Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Sajogyo Institute.

Sokoastri, V. and Soetarto, E. (2012) ‘Dampak Reforma Agraria Dari Bawah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Garongan Daerah Istimewa Yogyakarta’, Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(3), pp. 291–299.

Sulaiman, A. A. et al. (2018) Panen Air Menuai Kesejahteraan Petani. Edited by A. M. Fagi, I. Las, and Y. Sulaeman. Jakarta: IAARD PRESS.

Suradisastra, K. (2016) ‘Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Konteks Lembaga Lokal dan Birokrasi’, in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) (ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), pp. 392–415.

Tama, D. O. E. (2013) Dampak Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Bagi Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul. Universitas Negeri Yogyakarta.

Tarigan, H. (2016) ‘Manajemen Sumber Daya Air: Pembelajaran dari Kasus Subak di Bali’, in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, pp. 416–435.

Wiradi, G. (2003) ‘Mengapa Diperlukan Reforma Agraria’, in Diskusi Tentang Landreform, Kredit Mikro, dan Bank Dunia, pp. 1–6.

Wiradi, G. (2009) Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Edited by M. Sohibuddin. Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Sajogyo Institute.

0 komentar:

Posting Komentar