Anggalih
Bayu Muhammad Kamim - Dec
5
Sumber: http://www.pdamtirtabenteng.co.id/berita/ruu-sumber-daya-air-sampai-hari-ini-belum-jelas
Pendahuluan
Tulisan ini ingin menggali terkait keberhasilan langkah
reforma agraria yang dilaksanakan oleh pemerintah desa dan masyarakat di Desa
Karangrejek, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul dalam mendorong peningkatan akses,
kontrol dan penguasaan terhadap sumber daya air. Upaya peningkatan akses,
kontrol dan penguasaan sumber daya air secara mandiri di Karangrejek telah
menunjukan adanya reforma agraria dari bawah (agrarian reform by leverage) yang
mendukung adanya kelembagaan sosial yang mendorong munculnya perbaikan
kesejahteraan masyarakat setempat. Penggalian terkait keberhasilan di
Karangrejek penting untuk dijadikan sebagai bentuk pembelajaran tentang sebuah
transformasi dari masyarakat petani dengan masalah ketersediaan air menjadi
memiliki pengelolaan air secara mandiri bahkan membuka manfaat kesejahteraan
yang lebih luas melalui kelembagaan badan usaha milik desa.
Kasus reforma agraria di Karangrejek berbeda dengan upaya
reforma agraria dari bawah pada umumnya yang menekankan pada langkah
redistribusi, okupasi maupun pembukaan akses petani terhadap tanah pertanisan
akibat ketimpangan kepemilikan lahan (Wiradi, 2003; Rachman, 2008, 2009, 2012;
Sokoastri and Soetarto, 2012; Fatimah, 2015). Reforma agraria dari bawah yang
sering disorot selama ini ialah keberhasilan di Ngandagan yang kemudian ditiru
oleh desa sekitarnya seperti Karanganyar dan Prigelan dalam distribusi hak
garap pada petani gurem lewat fasilitasi pemerintah desa (Sohibuddin and
Luthfi, 2010; Nugroho et al., 2013; Nugroho, Suharno and Subroto, 2016).
Reforma agraria dari bawah yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut memiliki
pola integrasi yang menunjukan adanya sinergi antara pemerintah desa, masyarakat
petani dan pemangku kepentingan lain.
Kasus lain pola integrasi dalam reforma agraria dari
bawah misalnya terjadi di Desa Genteng, Sukasari, Kabupaten Sumedang yang
menunjukan adanya sinergi antara masyarakat petani, Perum Perhutani dan
pemerintah desa dalam memberikan akses tanah untuk peningkatan kesejahteraan.
Para pemangku kepentingan di Genteng menyepakati pemberian akses pada petani
untuk menanam komoditas kopi di kawasan hutan milik Perhutani (Adiansah, Apsari
and Raharjo, 2019). Kasus lain di Mendiro, Ngawi langkah reforma agraria dari
bawah dilakukan melalui redistribusi lahan dari hak guna usaha perusahaan
kepada masyarakat petani (Soetarto, Sihaloho and Purwandari, 2007). Pola
reforma agraria dari bawah yang terjadi pada kasus-kasus di atas pada umumnya
diawali dengan tuntutan dari organisasi tani yang mendorong adanya pemberian
akses pada para petani gurem.
Berbeda dengan pengkajian sebelumnya, kasus di
Karangrejek akan memperlihatkan bagaimana masyarakat petani dengan organisasi
tani bersinergi dengan pemerintah desa dalam mencari sumber daya air dan
mengelolanya untuk kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan. Dengan
demikian, kasus di Karangrejek akan menjadi pembelajaran penting tentang
bagaimana distribusi akses dan pengelolaan sumber daya agraria berupa air
secara mandiri bermanfaat langsung bagi pemberdayaan komunitas.
Desa (yang kini)
Memanen Air
Kondisi Desa Karangrejek sebelum dilakukan proses
iniasiasi pengelolaan sumber daya air dihadapkan pada masalah kekeringan semasa
musim kemarau, sehingga petani hanya beraktivitas secara musiman dan berdampak
pada tingginya angka kemiskinan. Pada tahun 1993 saja persentase penduduk
miskin di Karangrejek mencapai 68,8 %, meskipun pemerintah daerah
menggelontorkan berbagai program kenyataannya tidak meningkatkan kesejahteraan
disebabkan masih bertahannya problem kekeringan (Tama, 2013). Sebenarnya pada
tahun 1975, sudah dilaksanakan program untuk pembuatan sumur gali untuk tanaman
sayur di musim kemarau melalui Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT).
Selanjutnya, pada Tahun 1978 di Padukuhan Blimbing baru
dapat giliran dibuatkan sumur dalam dari Proyek Pengembangan Air Tanah. Akan
tetapi, realitasnya masih banyak masyarakat yang belum mampu membuat sumur gali
secara mandiri. Pada tahun 1990-an, pemerintah daerah melalui PDAM (Perusahaan
Daerah Air Minum) mencoba memberikan akses air pada warga, tetapi kenyataannya
pelayanannya tidak maksimal (Tama, 2013).
Kondisi tersebut memaksa masyarakat Karangrejek terpaksa
mengeluarkan uang banyak untuk kebutuhan airnya bagi konsumsi rumah tangga dan
produksi pertanian. Apabila musim kemarau terjadi selama 5–6 bulan, masyarakat
Karangrejek saat itu terpaksa harus membeli air seharga 75- 120 ribu rupiah
setiap harinya untuk satu tangki sesuai dengan jarak yang ditempuh penyuplai.
Penduduk bahkan harus menggadaikan dan menjual tanaman jati, perhiasan dan
binatang ternaknya untuk membeli air, demi kebutuhan rumah tangga dan produksi
pertanian. Akibatnya lama kelamaan, penduduk Karangrejek terjerat dengan para
rentenir, demi memenuhi ketersediaan air saat musim kemarau. Kondisi tersebut
akhirnya direspon oleh pemerintah desa dan masyarakat petani untuk mengadakan
musyawarah untuk mengatasi problem ketersediaan air (Hasil Wawancara dengan
Ketua BUMDES Karangrejek, Bapak Ton Martono pada 17 Agustus 2018).
Pemerintah desa bersama dengan perwakilan masyarakat
petani mengadakan musyawarah pada akhir tahun 1990-an untuk menyelesaikan
problem ketersediaan air. Masyarakat petani diwadahi aspirasinya bahkan dilihat
penting daya tawarnya dalam penuangan gagasan dan masukan menjadi berbagai
kebijakan publik. Solidaritas yang kuat antara masyarakat petani dalam upaya
pengatasan masalah ketersediaan air di Karangrejek tidak didasarkan pada
organisasi tani yang kuat, tetapi bersandar pada kesadaran akan kebutuhan untuk
mengatasi kekeringan. Air telah menjadi identitas kebersamaan sekaligus common
pool resource seperti dalam kelembagaan lokal Subak di Bali (Tarigan,
2016).
Sikap pemerintah desa terbuka untuk bersama dengan
masyarakat petani menyepakati pencarian sumber air secara mandiri. Akhirnya,
pemerintah desa bersama dengan masyarakat petani Karangrejek meminta bantuan
Fakultas Biologi untuk membantu pencarian titik air dan didapatkan lokasi di
Padukuhan Karangduwet 1. Dinas Pekerjaan Umum DIY membantu masyarakat
Karangrejek dalam melakukan pengeboran sungai bawah tanah sedalam 150 m dan pengembangan
jaringan diserahkan kembali pada warga dan pemerintah desa. Inisiatif lokal
yang didorong oleh masyarakat petani di Karangrejek telah menjadi keputusan
bersama dengan pemerintah desa (Rachman, 2009). Inisiasi lokal ini berubah
menjadi kelembagaan dalam bentuk jaringan kerja bakti untuk meneruskan
pengadaan air.
Reforma agraria dari bawah Karangrejek memiliki kriteria
yang sama dengan didalami oleh Wiradi (2009) di Ngandagan, Kabupaten Purworejo.
Pengadaan sumber air di Karangrejek dapat terjadi disebabkan adanya
kepemimpinan demokratis dan dukungan rakyat yang kuat. Akan tetapi, kasus di
Karangrejek menunjukan upaya kolektif yang lebih kuat dibandingkan langkah
redistribusi hak garap bagi petani gurem yang dipelopori oleh seorang kepala
desa yang kharismatik dan demokratis (Wiradi, 2009).
Pemerintah desa dan masyarakat petani pada awalnya hanya
memiliki dana sejumlah 10 juta rupiah untuk pengadaan instalasi sambungan air.
Berbagai bank menolak memberikan kredit pada masyarakat Karangrejek untuk pengadaan
sambungan air disebabkan dianggap tidak menjanjikan bagi pengembalian modal.
Kemudian, para aparatur desa dan tokoh masyarakat di Karangrejek menggadaikan
sertifikat tanahnya sebagai agunan bagi pinjaman uang yang akan digunakan untuk
pengembangan jaringan sambungan air.
Jaringan kerja bakti yang terbentuk di Karangrejek
melanjutkan pengadaan instalasi distribusi air ke rumah warga secara
gotong-royong. Jaringan kerja bakti bahkan mendorong warga bahu membahu
menanggung konsumsi dan logistik untuk pembangunan instalasi secara swadaya.
Apabila dikalkulasikan bahkan logistik warga dalam pembangunan instalasi air
sebanyak 150 sambungan mencapai 400 juta rupiah untuk ukuran saat itu. Hingga
tahun 2018, pelanggan dari pengadaan air yang dikelola oleh kelembagaan rakyat
tersebut sudah mencapai 1312 rumah tangga. Upaya yang sukses dalam pengadaan
dan pengelolaan air secara mandiri tersebut menunjukan adanya daya dorong yang
kuat dari masyarakat Karangrejek dalam mendorong adanya akses, kontrol dan
penguasaan komunitas terhadap sumber daya agraria (Sulaiman et al., 2018).
Pada tahun 2008, jaringan kerja bakti di Karangrejek
bertransformasi menjadi badan usaha milik desa (BUMDesa) dalam pengelolaan air.
Pembentukan BUMDesa di Karangrejek telah mendorong adanya perubahan kelembagaan
tradisional menjadi semi-bisnis dalam pengelolaan dan pelayanan air. BUMDesa
pengelola air telah memiliki orientasi kegiatan berbasis
teknologi-bisnis-sosial dan peningkatan akuntabilitas kelembagaan (Pasaribu and
Heriawan, 2016).
Munculnya BUMDesa sebagai pengelola air semakin
meningkatkan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di Karangrejek.
Akses warga terhadap sumber daya air bahkan menyebabkan mereka bisa membuka
usaha di luar sektor pertanian seperti usaha laundry, bengkel, cuci
motor & mobil, dan lain-lain. Berbagai usaha yang baru dengan pemanfaatan
air juga didukung oleh lokasi Karangrejek yang merupakan jalur pariwisata 32
pantai di Kabupaten Gunungkidul. Dampaknya semenjak tahun 2011, Karangrejek
keluar dari statusnya sebagai desa termiskin, tertinggal dan terisolir (Hasil
Wawancara dengan Ketua BUMDES Karangrejek, Bapak Ton Martono pada 17 Agustus
2018).
Pelanggan dari air yang dikelola BUMDes datang dari luar
Karangrejek, seperti Desa Baleharjo, Desa Duwet, dan Desa Siraman.
Pada dasarnya air bagi masyarakat petani Karangrejek
tetap menjadi common pool resource sebab masih menjadi pengikat kuat
bagi insiasi dan kelembagaan lokal (Suradisastra, 2016). Upaya pengelolaan air
oleh BUMDes di Karangrejek kenyataannya mampu membawa kesejahteraan yang lebih
luas bagi masyarakat petani. Keuntungan dari pengelolaan BUMDes bahkan mampu
menyediakan kredit untuk pembelian bibit tanaman pertanian bagi petani,
pembelian ambulans bahkan memberikan asuransi kesehatan dan beasiswa pendidikan
bahi warga di Karangrejek.
Kesimpulan
Reforma agraria dari bawah yang terjadi di Karangrejek
terjadi dengan prasyarat sama seperti di Ngandagan yakni, melalui kepemimpinan
demokratis dan dukungan rakyat yang kuat. Reforma agraria di Karangrejek terjadi
dengan corak kolektivitas yang lebih kuat dibuktikan tidak adanya ketokohan
salah satu pihak yang mempengaruhi proses inisiasi lokal. Sinergi antara
masyarakat petani-pemerintah desa dan pemangku kepentingan lain dalam upaya
pengadaan, pengelolaan dan distribusi air di Karangrejek telah mampu
menumbuhkan kelembagaan lokal yang bertransformasi menjadi badan usaha milik
desa. Kelembagaan lokal berupa jaringan kerja bakti pada awalnya dan beralih
menjadi BUMDes telah menjadikan air sebagai common pool resource yang
membawa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat petani.
Kondisi Karangrejek telah mengalami transformasi secara
sosial dan ekonomi pasca reforma agraria dari bawah. Insiasi lokal yang
melibatkan partisipasi luas telah mendorong perbaikan kesejahteraan dan
peningkatan akses ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat petani.
Sumber daya air yang dikelola oleh badan usaha milik desa
telah mendorong munculnya usaha-usaha ekonomi baru di luar sektor pertanian.
Hasil keuntungan dari pengelolaan air oleh BUMDes bahkan telah dapat memberikan
kredit pembelian bibit tanaman, asuransi kesehatan, beasiswa pendidikan dan
pelayanan sosial yang lebih luas bagi masyarakat Karangrejek. Keberhasilan
reforma agraria di Karangrejek menunjukan bahwa pola landreform by
leverage tergantung dengan permasalahan sumber daya agraria yang ada di
suatu tempat dan tidak melulu menyoal redistribusi lahan.
Referensi
Adiansah,
W., Apsari, N. C. and Raharjo, S. T. (2019) ‘Resolusi Konflik Agraria Di Desa
Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang’, Jurnal Kolaborasi Resolusi
Konflik, 1(1), pp. 1–10.
Fatimah
(2015) ‘Reforma Agraria Dalam Konteks Peningkatan Akses Kaum Tani Miskin
Terhadap Penguasaan Tanah Di Indonesia’, Jurnal Hukum Samudra Keadilan,
10(2), pp. 191–203.
Nugroho,
A. et al. (2013) Resonansi Landreform Lokal: Dinamika
Pengelolaan Tanah Di Desa Karanganyar. Edited by V. Arminah. Yogyakarta: STPN
Press.
Nugroho,
A., Suharno and Subroto, T. (2016) Relasi Kuasa Dalam Strategi Pertanahan
Di Desa Prigelan. Yogyakarta: STPN Press.
Pasaribu,
S. M. and Heriawan, R. (2016) ‘Kebijakan Investasi dan Peran Kelembagaan Mikro
Sumber Daya Air di Sektor Pertanian’, in Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan
Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, pp. 463–480.
Rachman,
N. F. (2008) ‘Gelombang Baru Reforma Agraria di Awal Abad Ke-21’, in Seminar
“Agenda Pembaruan Agraria dan Tirani Modal”, dalam Rangka Konperensi Warisan
Toritarianisme: Demokrasi dan Tirani Modal, pp. 1–20.
Rachman,
N. F. (2009) Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bogor:
Sajogyo Institute, Akatiga, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Rachman,
N. F. (2012) Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional bekerjasama dengan Sajogyo Institute (SAINS).
Soetarto,
E., Sihaloho, M. and Purwandari, H. (2007) ‘Land Reform by Leverage: Kasus
Redistribusi Lahan di Jawa Timur’, Sodality: Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, 1(2), pp. 271–282.
Sohibuddin,
M. and Luthfi, A. N. (2010) Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inovasi
Sistem Tenuarial Adat Sebuah Desa Jawa, 1947–1964. Edited by O. Sitorus.
Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Sajogyo Institute.
Sokoastri,
V. and Soetarto, E. (2012) ‘Dampak Reforma Agraria Dari Bawah Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Garongan Daerah Istimewa Yogyakarta’, Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(3), pp. 291–299.
Sulaiman,
A. A. et al. (2018) Panen Air Menuai Kesejahteraan Petani. Edited
by A. M. Fagi, I. Las, and Y. Sulaeman. Jakarta: IAARD PRESS.
Suradisastra,
K. (2016) ‘Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Konteks Lembaga Lokal dan
Birokrasi’, in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan)
(ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), pp.
392–415.
Tama,
D. O. E. (2013) Dampak Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Bagi Kesejahteraan
Masyarakat Di Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Tarigan,
H. (2016) ‘Manajemen Sumber Daya Air: Pembelajaran dari Kasus Subak di Bali’,
in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ed.) Sumber Daya Lahan dan
Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, pp. 416–435.
Wiradi,
G. (2003) ‘Mengapa Diperlukan Reforma Agraria’, in Diskusi Tentang
Landreform, Kredit Mikro, dan Bank Dunia, pp. 1–6.
Wiradi,
G. (2009) Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian
Agraria. Edited by M. Sohibuddin. Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan
Sajogyo Institute.