Minggu, 22 September 2019

Cowong dan Eksistensi Leluhur Bumi


 COWONG: Penampilan Cowong dalam ritual "Slametan Suran" di pedukuhan Pagakwungu (21/9/2019) Desa Buayan, Kecamatan Buayan. Perhelatan hari kelima dari sepekan tradisi Cowongan ini mendapat apresiasi masyarakat luas [Foto: Arp]
 “Priito.. priito..  
Bojomu aseng pegatan.. bojomu aseng pegatan
Ayu endi, ayu endi
Kacek bagus karo sinome
 
Adang kupat mboya mendat 
Adang tumpeng mboya mateng
Sega mambu mboya kolu”

 “Kembang kelor.. kembang kelor..  
Sing ronce-ronce kembange  Sing ronce-ronce kembange 
Ana manuk.. ana manuk
Orok-orok.. orok ijo
Loro-loro, ana kembang widodokan
Sak lodhong wadhah lerekan
Ana sekul wayu kuning
Wertane nggolet panggonan
 
Gandrung Nini Cowong”
[Tembang Cowong Pagakwungu]

COWONG: Boneka "Nini Cowong" yang mencerminkan kecantikan perempuan sebagai "Ibu Buni" [Foto: Arp]

Selusin perempuan tetua, separuhnya masih berusia muda, melantunkan tembang-tembang yang tak cukup dengan sekali mendengar untuk sampai memaknainya. Ada elegi kegetiran, muatan satire; namun alih-alih melaruti suasana. Tembang-tembang itu malah terus mengalir dari sisi halaman sebuah rumah yang dikelilingi penonton pentas Cowongan (21/9) malam itu.

Bau asap kemenyan yang dibakar menebar ke seluruh halaman, tak pelak telah membangunkan suasana magis pelataran, namun penerangan lampu listrik dari beberapa arah agak mengurangi ritusnya.

Sesekali para perempuan pendendang menyela canda, sementara Sang Cowong sendiri dalam tuntunan dua orang perempuan lainnya tengah beranjak pergi dari arena saat rembulan mulai meninggi di angkasa. Tak ada pemujaan berlebih dalam muatan tembang-tembang Jawa, bahkan beberapa bernada seloroh jenaka namun tanpa pula menista..
“..Rembulane wis mencorong.. Nini Cowong digeol bokong..’  
Ungkapan “Nini Cowong” ini kental nuansa feminisnya. Partisipasi perempuan memang terasa dominan di pentas seni tradisi Cowongan. Bagi keseluruhan warga masyarakat dukuh Pagakwungu di desa Buayan, Cowongan telah jadi bagian dari kehidupan kebudayaannya. Dan itu tak ditemukan di 5 dukuh lainnya: Gandasuli, Gedur, Wanalela, Danasri.
“Sudah turun-temurun berlangsung disini..”, jelas Sanmarto salah satu pelestari. Ada Parto, Sardjan yang menambahkan bahwa Cowongan malam itu dihelat dalam rangka Slametan Suran.
“Kalau ritual mengundang hujan itu bisa nanti lain hari”, imbuh Parto.

Boneka Canthuk yang Cantik

Cowong adalah boneka canthuk yang dirias cantik menurut asumsi dan standar perempuan Jawa umumnya. Menurut pembuatnya, Rasman, 45, kepala Cowong terbuat dari tempurung kelapa yang sejak awal ditemukan memang sudah nggambar atau menunjukkan tampak pola raut wajahnya.

Rasman melukisinya dengan cat putih, beberapa garis berwarna hitam dibuat untuk menegaskan wajah cantiknya dan warna merah buat bibirnya. Ia mendandani boneka ini dengan pakaian dan aksesori perempuan, bahkan juga berbedak. Sedang untuk rambut yang digerai dibuat dari serpihan daun pisang raja hijau.   
“Tak ada perlakuan khusus dalam menyiapkannya selain dipertapakan selama semalam saja, sudah cukup”, terang Rasman dari balik saron yang jadi keahliannya menabuh gamelan.
Syarat dipertapakan ini dipercaya dapat menjadi musabab terjalinnya hubungan dengan indhang yang berasal dari leluhur nenek-moyang orang Pagakwungu.    
“Ini malam kelima dari pentas Cowongan kami di dukuh Pagakwungu”, Samijan menjelaskan di sela ia menjaga pentas dari sisi meja yang berisi aneka sesaji. Lelaki kelahiran desa Sikayu, tapi ayahnya asli Pagakwungu ini juga dikenal orang sebagai pawang ebeg.  

Hubungan dengan leluhur

Pelestarian tradisi Cowongan Pagakwungu ini nampak dipersiapkan dengan mulai melibatkan angkatan muda di desa yang berada di kawasan bentang alam karst wilayah Gombong selatan. Ada keinginan kuat untuk memelihara nilai kearifan yang dipedomani sebagai tata nilai kehidupan masyarakatnya.

Tata nilai itu adalah hubungan yang harmonis dan saling menjaga dengan alam sekitarnya, dengan bumi seisinya. Jika ada ungkapan dimana bumi itu diidentikkan dengan simbolisasi seorang ibu, maka Cowongan itu seperti cara orang mengaktualisasikannya. Boneka Nini Cowong menjadi media yang menghubungan dua dunia dengan dimensi yang berbeda.
Nini Kuning dan Nini Ireng adalah dua indang leluhur kami”, tutur Sanmarto didampingi para tetua koleganya.
Tak diketahui referensi sejarah yang mampu menjelaskan eksistensi kedua indhang yang dipercaya hadir mewarnai perhelatan Cowongan Pagakwungu. Perhelatan ini sendiri diwarisi sebagai tradisi tutur turun-temurun dari para leluhur warganya.

Namun tak jauh dari tempat perhelatan ada sebah pundhen bernisan yang terawat keberadaannya. Beberapa kali di malam perhelatan itu Nini Cowong menyeret dua penuntunnya bertakjim ke pusara cungkup di sisi jalan dukuh... [arp]

0 komentar:

Posting Komentar