Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Minggu, 08 Desember 2019

Seruan Umum PEMBARU Indonesia untuk Merespon Hari HAM 2019


December 08, 2019

Pamflet menyongsong hari HAM 2019, Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulawesi Selatan

Salam Demokrasi!

Semoga surat ini menjumpai kawan-kawan dalam keadaan yang sehat dan terjaga semangatnya untuk menjalankan kerja politik dan organisasi demi demi perjuangan pemuda dan rakyat Indonesia untuk lebih adil dan sejahtera.

Peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional pada tanggal 10 Desember 2019 telah di depan kita semua. Selama ini pula, berbagai masalah atas perlindungan dan pemenuhan hak – hak rakyat secara ekonomi–politik maupun sosial–budaya belum dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Saat ini pemerintahan Joko Widodo jilid II baru saja dilantik pada bulan Oktober 2019, akan tetapi selama lima tahun sebelumnya maupun di tiga bulan pertamanya, Joko Widodo (Jokowi) sama sekali tidak menunjukan perlindungan atas hak–hak rakyat terutama klas buruh dan kaum tani. Bahkan dalam pidato kenegaraan saat pelantikan, Jokowi sama sekali tidak menyebutkan HAM dalam program prioritasnya.

Jokowi terbukti telah melakukan perampasan terhadap hak- hak rakyat. Selama berkuasa, Jokowi telah mengeluarkan serangkaian kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan yang semakin merampas dan menindas hak–hak rakyat. Melalui 16 jilid paket kebijakan ekonomi, Jokowi terbukti merampas hak rakyat untuk memberikan keistimewaan kepada investasi dan utang yang merusak lingkungan, merampas tanah rakyat dan menekan upah pada nilai yang semakin rendah. Sementara rakyat terus dipecah belah dalam berbagai stigma serta dipaksa untuk menerima doktrin–doktrin sempit atas nama nasionalisme hanya agar mendukung pembangunan yang hakekatnya hanya untuk keuntungan imperialisme, feodalisme maupun kapitalisme birokrat.

Massa aksi Pemuda Baru (PEMBARU) Indonesia

Bahkan diawal pemerintahannya yang kedua saat ini, Jokowi telah menunjukan bagaimana hak rakyat untuk sejahtera secara ekonomi maupun mendapatkan keadilan secara politik dan hukum tidaklah penting dibandingkan investasi dan pembangunan. Kenaikan iuran BPJS sebesar 100 persen, kenaikan TDL, kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat terus terjadi. Sementara buruh dan tenaga kerja di Indonesia dibayar dengan harga yang sangat murah.

Hal ini berbanding terbalik dengan ratusan juta rupiah yang akan diterima setiap bulan oleh masing–masing direksi BPJS atau pun pejabat negara yang mendapatkan gaji dan tunjangan super besar. Bagi – bagi jabatan untuk keluarga-keluarga borjuasi besar, tuan tanah maupun birokrat jelas menunjukan bahwa Jokowi hanya ingin mendapatkan dukungan dengan cara apapun, termasuk yang anti demokrasi sekalipun.

Sehingga perjuangan rakyat yang militant dan independen sangat penting disituasi hari ini. Mengajak rakyat untuk mengerti kondisi objektif hak – hak rakyat yang dirampas oleh negara dan bagaimana memperjuangkannya setahap demi setahap untuk menuju keadilan dan kesejahteraan.

Begitupun dengan gerakan pemuda, dengan memahami bahwa perjuangan atas hak rakyat adalah bagian dari perjuangan pemuda di Indonesia. Selain itu, hari HAM hanya momentum kampanye luas, akan tetapi perjuangan akan terus berlangsung di pedesaan, pabrik–pabrik, sekolah dan kampus maupun lingkungan tempat tinggal.

PEMBARU Indonesia sebagai bagian dari gerakan demokratis di Indonesia harus tampil aktif dan percaya diri dalam berbagai kampanye massa, termasuk dalam momentum hari HAM 2019 ini. PEMBARU Indonesia harus mampu tampil aktif dalam menggalang perjuangan pemuda dan menyatukannya dalam perjuangan rakyat. 

Karena itu, Pimpinan Komite Eksekutif PEMBARU Indonesia menyerukan kepada seluruh jajaran organisasi untuk segera mempersiapkan Kampanye Massa Hari HAM Sedunia 2019. PEMBARU Indonesia secara nasional di seluruh cabang untuk menyelenggarakan Aksi Puncak pada: Senin, 10 Desember 2019.

Kami juga menyerukan untuk menjadikan gerakan propaganda dan pendidikan serta perluasan organisasi sebagai elemen penting dalam menjelang hari HAM 2019. Kampanye ini akan di koordinasikan secara nasional, sehingga koordinasi antar pimpinan harus terus dijalankan dengan efektif. 

Demikian seruan ini diterbitkan agar menjadi perhatian bagi seluruh pimpinan dan anggota organisasi untuk dapat dijalankan.

Hormat kami


Catur Widi A                
Ketua                                                                          

Junaid Judda
Sekertaris Jendral

Kamis, 05 Desember 2019

Karangrejek: Dari Desa Menuju Daulat Air

Anggalih Bayu Muhammad Kamim - Dec 5

Sumber: http://www.pdamtirtabenteng.co.id/berita/ruu-sumber-daya-air-sampai-hari-ini-belum-jelas

Pendahuluan

Tulisan ini ingin menggali terkait keberhasilan langkah reforma agraria yang dilaksanakan oleh pemerintah desa dan masyarakat di Desa Karangrejek, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul dalam mendorong peningkatan akses, kontrol dan penguasaan terhadap sumber daya air. Upaya peningkatan akses, kontrol dan penguasaan sumber daya air secara mandiri di Karangrejek telah menunjukan adanya reforma agraria dari bawah (agrarian reform by leverage) yang mendukung adanya kelembagaan sosial yang mendorong munculnya perbaikan kesejahteraan masyarakat setempat. Penggalian terkait keberhasilan di Karangrejek penting untuk dijadikan sebagai bentuk pembelajaran tentang sebuah transformasi dari masyarakat petani dengan masalah ketersediaan air menjadi memiliki pengelolaan air secara mandiri bahkan membuka manfaat kesejahteraan yang lebih luas melalui kelembagaan badan usaha milik desa.

Kasus reforma agraria di Karangrejek berbeda dengan upaya reforma agraria dari bawah pada umumnya yang menekankan pada langkah redistribusi, okupasi maupun pembukaan akses petani terhadap tanah pertanisan akibat ketimpangan kepemilikan lahan (Wiradi, 2003; Rachman, 2008, 2009, 2012; Sokoastri and Soetarto, 2012; Fatimah, 2015). Reforma agraria dari bawah yang sering disorot selama ini ialah keberhasilan di Ngandagan yang kemudian ditiru oleh desa sekitarnya seperti Karanganyar dan Prigelan dalam distribusi hak garap pada petani gurem lewat fasilitasi pemerintah desa (Sohibuddin and Luthfi, 2010; Nugroho et al., 2013; Nugroho, Suharno and Subroto, 2016). Reforma agraria dari bawah yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut memiliki pola integrasi yang menunjukan adanya sinergi antara pemerintah desa, masyarakat petani dan pemangku kepentingan lain.

Kasus lain pola integrasi dalam reforma agraria dari bawah misalnya terjadi di Desa Genteng, Sukasari, Kabupaten Sumedang yang menunjukan adanya sinergi antara masyarakat petani, Perum Perhutani dan pemerintah desa dalam memberikan akses tanah untuk peningkatan kesejahteraan. Para pemangku kepentingan di Genteng menyepakati pemberian akses pada petani untuk menanam komoditas kopi di kawasan hutan milik Perhutani (Adiansah, Apsari and Raharjo, 2019). Kasus lain di Mendiro, Ngawi langkah reforma agraria dari bawah dilakukan melalui redistribusi lahan dari hak guna usaha perusahaan kepada masyarakat petani (Soetarto, Sihaloho and Purwandari, 2007). Pola reforma agraria dari bawah yang terjadi pada kasus-kasus di atas pada umumnya diawali dengan tuntutan dari organisasi tani yang mendorong adanya pemberian akses pada para petani gurem.

Berbeda dengan pengkajian sebelumnya, kasus di Karangrejek akan memperlihatkan bagaimana masyarakat petani dengan organisasi tani bersinergi dengan pemerintah desa dalam mencari sumber daya air dan mengelolanya untuk kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, kasus di Karangrejek akan menjadi pembelajaran penting tentang bagaimana distribusi akses dan pengelolaan sumber daya agraria berupa air secara mandiri bermanfaat langsung bagi pemberdayaan komunitas.

Desa (yang kini) Memanen Air

Kondisi Desa Karangrejek sebelum dilakukan proses iniasiasi pengelolaan sumber daya air dihadapkan pada masalah kekeringan semasa musim kemarau, sehingga petani hanya beraktivitas secara musiman dan berdampak pada tingginya angka kemiskinan. Pada tahun 1993 saja persentase penduduk miskin di Karangrejek mencapai 68,8 %, meskipun pemerintah daerah menggelontorkan berbagai program kenyataannya tidak meningkatkan kesejahteraan disebabkan masih bertahannya problem kekeringan (Tama, 2013). Sebenarnya pada tahun 1975, sudah dilaksanakan program untuk pembuatan sumur gali untuk tanaman sayur di musim kemarau melalui Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT).

Selanjutnya, pada Tahun 1978 di Padukuhan Blimbing baru dapat giliran dibuatkan sumur dalam dari Proyek Pengembangan Air Tanah. Akan tetapi, realitasnya masih banyak masyarakat yang belum mampu membuat sumur gali secara mandiri. Pada tahun 1990-an, pemerintah daerah melalui PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) mencoba memberikan akses air pada warga, tetapi kenyataannya pelayanannya tidak maksimal (Tama, 2013).

Kondisi tersebut memaksa masyarakat Karangrejek terpaksa mengeluarkan uang banyak untuk kebutuhan airnya bagi konsumsi rumah tangga dan produksi pertanian. Apabila musim kemarau terjadi selama 5–6 bulan, masyarakat Karangrejek saat itu terpaksa harus membeli air seharga 75- 120 ribu rupiah setiap harinya untuk satu tangki sesuai dengan jarak yang ditempuh penyuplai. Penduduk bahkan harus menggadaikan dan menjual tanaman jati, perhiasan dan binatang ternaknya untuk membeli air, demi kebutuhan rumah tangga dan produksi pertanian. Akibatnya lama kelamaan, penduduk Karangrejek terjerat dengan para rentenir, demi memenuhi ketersediaan air saat musim kemarau. Kondisi tersebut akhirnya direspon oleh pemerintah desa dan masyarakat petani untuk mengadakan musyawarah untuk mengatasi problem ketersediaan air (Hasil Wawancara dengan Ketua BUMDES Karangrejek, Bapak Ton Martono pada 17 Agustus 2018).

Pemerintah desa bersama dengan perwakilan masyarakat petani mengadakan musyawarah pada akhir tahun 1990-an untuk menyelesaikan problem ketersediaan air. Masyarakat petani diwadahi aspirasinya bahkan dilihat penting daya tawarnya dalam penuangan gagasan dan masukan menjadi berbagai kebijakan publik. Solidaritas yang kuat antara masyarakat petani dalam upaya pengatasan masalah ketersediaan air di Karangrejek tidak didasarkan pada organisasi tani yang kuat, tetapi bersandar pada kesadaran akan kebutuhan untuk mengatasi kekeringan. Air telah menjadi identitas kebersamaan sekaligus common pool resource seperti dalam kelembagaan lokal Subak di Bali (Tarigan, 2016).

Sikap pemerintah desa terbuka untuk bersama dengan masyarakat petani menyepakati pencarian sumber air secara mandiri. Akhirnya, pemerintah desa bersama dengan masyarakat petani Karangrejek meminta bantuan Fakultas Biologi untuk membantu pencarian titik air dan didapatkan lokasi di Padukuhan Karangduwet 1. Dinas Pekerjaan Umum DIY membantu masyarakat Karangrejek dalam melakukan pengeboran sungai bawah tanah sedalam 150 m dan pengembangan jaringan diserahkan kembali pada warga dan pemerintah desa. Inisiatif lokal yang didorong oleh masyarakat petani di Karangrejek telah menjadi keputusan bersama dengan pemerintah desa (Rachman, 2009). Inisiasi lokal ini berubah menjadi kelembagaan dalam bentuk jaringan kerja bakti untuk meneruskan pengadaan air.

Reforma agraria dari bawah Karangrejek memiliki kriteria yang sama dengan didalami oleh Wiradi (2009) di Ngandagan, Kabupaten Purworejo. Pengadaan sumber air di Karangrejek dapat terjadi disebabkan adanya kepemimpinan demokratis dan dukungan rakyat yang kuat. Akan tetapi, kasus di Karangrejek menunjukan upaya kolektif yang lebih kuat dibandingkan langkah redistribusi hak garap bagi petani gurem yang dipelopori oleh seorang kepala desa yang kharismatik dan demokratis (Wiradi, 2009).

Pemerintah desa dan masyarakat petani pada awalnya hanya memiliki dana sejumlah 10 juta rupiah untuk pengadaan instalasi sambungan air. Berbagai bank menolak memberikan kredit pada masyarakat Karangrejek untuk pengadaan sambungan air disebabkan dianggap tidak menjanjikan bagi pengembalian modal. Kemudian, para aparatur desa dan tokoh masyarakat di Karangrejek menggadaikan sertifikat tanahnya sebagai agunan bagi pinjaman uang yang akan digunakan untuk pengembangan jaringan sambungan air.

Jaringan kerja bakti yang terbentuk di Karangrejek melanjutkan pengadaan instalasi distribusi air ke rumah warga secara gotong-royong. Jaringan kerja bakti bahkan mendorong warga bahu membahu menanggung konsumsi dan logistik untuk pembangunan instalasi secara swadaya. Apabila dikalkulasikan bahkan logistik warga dalam pembangunan instalasi air sebanyak 150 sambungan mencapai 400 juta rupiah untuk ukuran saat itu. Hingga tahun 2018, pelanggan dari pengadaan air yang dikelola oleh kelembagaan rakyat tersebut sudah mencapai 1312 rumah tangga. Upaya yang sukses dalam pengadaan dan pengelolaan air secara mandiri tersebut menunjukan adanya daya dorong yang kuat dari masyarakat Karangrejek dalam mendorong adanya akses, kontrol dan penguasaan komunitas terhadap sumber daya agraria (Sulaiman et al., 2018).

Pada tahun 2008, jaringan kerja bakti di Karangrejek bertransformasi menjadi badan usaha milik desa (BUMDesa) dalam pengelolaan air. Pembentukan BUMDesa di Karangrejek telah mendorong adanya perubahan kelembagaan tradisional menjadi semi-bisnis dalam pengelolaan dan pelayanan air. BUMDesa pengelola air telah memiliki orientasi kegiatan berbasis teknologi-bisnis-sosial dan peningkatan akuntabilitas kelembagaan (Pasaribu and Heriawan, 2016).

Munculnya BUMDesa sebagai pengelola air semakin meningkatkan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di Karangrejek. Akses warga terhadap sumber daya air bahkan menyebabkan mereka bisa membuka usaha di luar sektor pertanian seperti usaha laundry, bengkel, cuci motor & mobil, dan lain-lain. Berbagai usaha yang baru dengan pemanfaatan air juga didukung oleh lokasi Karangrejek yang merupakan jalur pariwisata 32 pantai di Kabupaten Gunungkidul. Dampaknya semenjak tahun 2011, Karangrejek keluar dari statusnya sebagai desa termiskin, tertinggal dan terisolir (Hasil Wawancara dengan Ketua BUMDES Karangrejek, Bapak Ton Martono pada 17 Agustus 2018).
Pelanggan dari air yang dikelola BUMDes datang dari luar Karangrejek, seperti Desa Baleharjo, Desa Duwet, dan Desa Siraman.

Pada dasarnya air bagi masyarakat petani Karangrejek tetap menjadi common pool resource sebab masih menjadi pengikat kuat bagi insiasi dan kelembagaan lokal (Suradisastra, 2016). Upaya pengelolaan air oleh BUMDes di Karangrejek kenyataannya mampu membawa kesejahteraan yang lebih luas bagi masyarakat petani. Keuntungan dari pengelolaan BUMDes bahkan mampu menyediakan kredit untuk pembelian bibit tanaman pertanian bagi petani, pembelian ambulans bahkan memberikan asuransi kesehatan dan beasiswa pendidikan bahi warga di Karangrejek.

Kesimpulan

Reforma agraria dari bawah yang terjadi di Karangrejek terjadi dengan prasyarat sama seperti di Ngandagan yakni, melalui kepemimpinan demokratis dan dukungan rakyat yang kuat. Reforma agraria di Karangrejek terjadi dengan corak kolektivitas yang lebih kuat dibuktikan tidak adanya ketokohan salah satu pihak yang mempengaruhi proses inisiasi lokal. Sinergi antara masyarakat petani-pemerintah desa dan pemangku kepentingan lain dalam upaya pengadaan, pengelolaan dan distribusi air di Karangrejek telah mampu menumbuhkan kelembagaan lokal yang bertransformasi menjadi badan usaha milik desa. Kelembagaan lokal berupa jaringan kerja bakti pada awalnya dan beralih menjadi BUMDes telah menjadikan air sebagai common pool resource yang membawa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat petani.

Kondisi Karangrejek telah mengalami transformasi secara sosial dan ekonomi pasca reforma agraria dari bawah. Insiasi lokal yang melibatkan partisipasi luas telah mendorong perbaikan kesejahteraan dan peningkatan akses ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat petani.
Sumber daya air yang dikelola oleh badan usaha milik desa telah mendorong munculnya usaha-usaha ekonomi baru di luar sektor pertanian. Hasil keuntungan dari pengelolaan air oleh BUMDes bahkan telah dapat memberikan kredit pembelian bibit tanaman, asuransi kesehatan, beasiswa pendidikan dan pelayanan sosial yang lebih luas bagi masyarakat Karangrejek. Keberhasilan reforma agraria di Karangrejek menunjukan bahwa pola landreform by leverage tergantung dengan permasalahan sumber daya agraria yang ada di suatu tempat dan tidak melulu menyoal redistribusi lahan.

Referensi

Adiansah, W., Apsari, N. C. and Raharjo, S. T. (2019) ‘Resolusi Konflik Agraria Di Desa Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang’, Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 1(1), pp. 1–10.

Fatimah (2015) ‘Reforma Agraria Dalam Konteks Peningkatan Akses Kaum Tani Miskin Terhadap Penguasaan Tanah Di Indonesia’, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 10(2), pp. 191–203.

Nugroho, A. et al. (2013) Resonansi Landreform Lokal: Dinamika Pengelolaan Tanah Di Desa Karanganyar. Edited by V. Arminah. Yogyakarta: STPN Press.

Nugroho, A., Suharno and Subroto, T. (2016) Relasi Kuasa Dalam Strategi Pertanahan Di Desa Prigelan. Yogyakarta: STPN Press.

Pasaribu, S. M. and Heriawan, R. (2016) ‘Kebijakan Investasi dan Peran Kelembagaan Mikro Sumber Daya Air di Sektor Pertanian’, in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, pp. 463–480.

Rachman, N. F. (2008) ‘Gelombang Baru Reforma Agraria di Awal Abad Ke-21’, in Seminar “Agenda Pembaruan Agraria dan Tirani Modal”, dalam Rangka Konperensi Warisan Toritarianisme: Demokrasi dan Tirani Modal, pp. 1–20.

Rachman, N. F. (2009) Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bogor: Sajogyo Institute, Akatiga, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Rachman, N. F. (2012) Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerjasama dengan Sajogyo Institute (SAINS).

Soetarto, E., Sihaloho, M. and Purwandari, H. (2007) ‘Land Reform by Leverage: Kasus Redistribusi Lahan di Jawa Timur’, Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, 1(2), pp. 271–282.

Sohibuddin, M. and Luthfi, A. N. (2010) Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tenuarial Adat Sebuah Desa Jawa, 1947–1964. Edited by O. Sitorus. Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Sajogyo Institute.

Sokoastri, V. and Soetarto, E. (2012) ‘Dampak Reforma Agraria Dari Bawah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Garongan Daerah Istimewa Yogyakarta’, Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(3), pp. 291–299.

Sulaiman, A. A. et al. (2018) Panen Air Menuai Kesejahteraan Petani. Edited by A. M. Fagi, I. Las, and Y. Sulaeman. Jakarta: IAARD PRESS.

Suradisastra, K. (2016) ‘Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Konteks Lembaga Lokal dan Birokrasi’, in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) (ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), pp. 392–415.

Tama, D. O. E. (2013) Dampak Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Bagi Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul. Universitas Negeri Yogyakarta.

Tarigan, H. (2016) ‘Manajemen Sumber Daya Air: Pembelajaran dari Kasus Subak di Bali’, in Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ed.) Sumber Daya Lahan dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, pp. 416–435.

Wiradi, G. (2003) ‘Mengapa Diperlukan Reforma Agraria’, in Diskusi Tentang Landreform, Kredit Mikro, dan Bank Dunia, pp. 1–6.

Wiradi, G. (2009) Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Edited by M. Sohibuddin. Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Sajogyo Institute.

Rabu, 20 November 2019

PBB dan IMF Peringatkan Jokowi soal Tambang


Rabu, 20/11/2019 20:09 WIB

Presiden Jokowi mengaku diperingati oleh PBB dan IMF soal tambang batu bara. (Setkab).

Jakarta -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku pejabat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memintanya berhati-hati dengan industri tambang, khususnya sebagai batu bara sebagai bahan pembangkit tenaga listrik.

Curhatan itu disampaikan Jokowi saat menghadiri acara bertajuk Indonesia Mining Award 2019 yang dihadiri para pengusaha tambang kelas kakap di Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (20/11).

Kepala negara mengisahkan peringatan itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guiterez di tengah pagelaran ASEAN Summit di Bangkok, Thailand pada 1-4 November lalu.

"Dia sampaikan kepada saya, Jokowi hati-hati dengan urusan pertambangan, hati-hati dengan batu bara. Dia mengajak saya agar Indonesia mengurangi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik," ungkap dia.

"Ternyata arahnya ke sana, tapi saya jawab, sekarang masih dibutuhkan. Nanti kami switch (alihkan) ke energi baru terbarukan, baik yang sudah kami coba, seperti angin di Sidrap dan Jeneponto atau hydropower di Mambamo, Sungai Kayang, atau geothermal," terang dia.

Peringatan lain, kata Jokowi, disampaikan oleh Managing Director IMF Kristalina Georgieva. "Saya kaget, kok dia katakan hal yang sama? Hati-hati penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik. Saya jawab sama, saya tahu, nanti akan kami arahkan ke penggunaan energi baru terbarukan," katanya.

Dari berbagai peringatan ini, Jokowi menekankan pemerintah sejatinya sudah tahu betul bahwa batu bara tidak bisa menjadi andalan satu-satunya dalam memenuhi bahan baku pembangkit listrik. Apalagi, pertambangan merupakan salah satu sektor yang kurang ramah lingkungan.

Sedangkan dunia, katanya, sudah bergerak ke penggunaan energi baru terbarukan yang jauh lebih ramah lingkungan. Selain itu, batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, sehingga akan habis suatu saat nanti.
"Ini semua sudah harus siap-siap dan hati-hati. Saya lihat masih banyak kerusakan lingkungan akibat kerusakan lingkungan akibat penggunaan sumber daya alam yang begitu cepat. Saya minta kita jaga kerusakan lingkungan akibat eksplorasi yang begitu banyak di negara kita," tuturnya.

Hanya saja, pengembangan energi baru terbarukan tidak bisa dilakukan dengan cepat. Selain itu, tidak bisa pula dilakukan oleh beberapa pihak saja.

Untuk itu, ia meminta para pengusaha tambang untuk ikut melestarikan lingkungan dari bisnis yang dilakukan. Tidak ketinggalan, juga melakukan hilirisasi agar komoditas yang diekspor ke luar negeri memiliki nilai tambah yang tinggi.

"Transformasi besar pada ekonomi Indonesia bisa dimulai dengan dunia pertambangan. Kalau tidak kita mulai, kapan lagi?" celetuknya.

7 LSM Kecam Rencana Pemerintah Hapus IMB dan Amdal


Rabu, 20 November 2019 12:34 WIB
Reporter: Muhammad Hendartyo
Editor: Rr. Ariyani Yakti Widyastuti

Pekerja tengah menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global bakal melambat menjadi 2,9 persen pada tahun 2019. Angka itu turun dibandingkan dari pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen pada 2018. TEMPO/Tony Hartawan

Jakarta - Ketua Bidang Kampanye Strategis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Arip Yogiawan menyatakan keberatan dengan rencana pemerintah menghapus syarat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam pengurusan perizinan investasi.

Pernyataan Arip itu mewakili tujuh lembaga swadaya masyarakat yakni YLBHI, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Yayasan Auriga Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA).

"Kami mengatakan keberatan dan jika betul rencana menghilangkan Amdal dan IMB dalam konteks pembangunan," kata Arip di Gedung YLBHI Jakarta, Rabu, 20 November 2019. "Ini proses mempercepat kerusakan ekologis dan sosial di Indonesia."

Karena bagaimanapun, kata Arip, IMB dan Amdal memiliki peran dalam keseimbangan ruang, ekologis dan budaya. IMB dan Amdal juga merupakan perangkat yang diamanatkan Undang-undang Dasar mensyaratkan bagi warga yang akan mengelola sumber daya alam.

Lebih jauh, Arip mengatakan sejumlah kegiatan eksplorasi alam yang menggunakan Amdal saja itu ada yang bermasalah bagi lingkungan.

"Bayangkan jika tidak perlu lagi membuat IMB dan Amdal. Ini memberikan dampak buruk pada lingkungan hidup dan partisipasi rakyat. Dan bisa menimbulkan konflik," ucapnya.

Perwakilan Jatam, Merah Johansyah, menilai pemerintah keliru jika bilang tidak diperlukan Amdal dan IMB. Karena, menurut dia, eksplorasi alam pas memiliki dampak terhadap lingkungan. "Eksplorasi dilakukan di lokasi, bukan hanya di atas meja, jadi pasti ada dampaknya kegiatan tambang itu," katanya.

Deputi Direktur ICEL Raynaldo Sembiring juga heran dengan pernyataan pemerintah ihwal rencana penghapusan IMB dan Amdal tersebut. Ia mempertanyakan referensi negara mana yang digunakan pemerintah dalam menerapkan aturan itu.

Pasalnya, kata Reynaldo, sejumlah negara seperti Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan Thailand memiliki Amdal dan KLHS.

"Saya malu dengar pernyataan menteri dan wakil menteri ATR. Sudah gak tahu, asal ngomong," ujar dia.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Surya Tjandra kompak menyebut IMB dan Amdal sebagai penghambat investasi. Itu sebabnya Kementerian ATR mengkaji kemungkinan menghapuskan syarat ini demi kemudahan investasi.

"Yang jelas dia menambah birokrasi, menambah proses lagi untuk orang mau investasi, rakyat mau mengembangkan tanahnya, jadi ketunda," kata Wakil Menteri ATR Sofyan Djalil di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 19 November 2019.

Sementara Surya mengatakan, pemerintah saat ini sedang menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Jika RDTR sudah efektif, Surya mengatakan IMB dan Amdal tak perlu lagi lantaran sudah tercakup di dalamnya.

Meski begitu, dia pun mengakui perlu mitigasi lantaran tak semua daerah siap dengan RDTR. Kesamaan kualitas RDTR di setiap daerah pun belum bisa dipastikan.

"Jadi memang masih panjang prosesnya. Cuma ide itu penting supaya kita semua mulai mengerti posisi tata ruang dalam pembangunan kita seperti apa," ujar Surya yang juga politikus Partai Solidaritas Indonesia ini.

Menteri ATR Sofyan Djalil mengatakan kementeriannya masih berdiskusi ihwal rencana penghapusan IMB dan Amdal. Dia menyebut tujuan penghapusan ini berkaitan dengan percepatan penciptaan lapangan kerja. 

"Salah satu penciptaan lapangan kerja dilakukan melalui investasi, oleh sebab itu investasi harus dipermudah," kata Sofyan secara terpisah.

Minggu, 17 November 2019

3 Aktivis Penolak Tambang Pasir Besi Ilegal Bima Dipenjarakan oleh Pemerintah Sendiri


17 November 2019


Bima-Berjumlah tiga orang aktivis penolak tambang ilegal dipenjarakan oleh pemerintah Kabupaten Bima melalui KABAG HUMAS PEMDA BIMA, karena dinilai terlalu agresif hingga merusak fasilitas Kantor Camat Wera Bima NTB. Sabtu, (16/11/2019)

Ketiga aktivis tersebut masing-masing bernama Hasbul Fizai Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH), M.Natsir Mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP BIMA) dan Gendra Mahasiswa (STKIP TAMAN SISWA BIMA) telah ditahan oleh Polres Bima Kota pada hari Sabtu,16 November 2019 .

Menurut Mahyudin salah Satu aktivis tambang Bima, “kasus yang menimpah ketiga aktivis penolak tambang pasir besi ileal di Kec.Wera Kab.Bima ini merupakan langkah pemerintah kabupaten Bima untuk menghentikan gerakan mahasiswa dan masyarakat Bima agar tidak lagi menolak keberadaan tambang tersebut.


 Mahyudin menambahkan, sewalau pun ada pengerusakan fasilitas kantor camat Wera itu benar adanya, akan tetapi itu semua disebabkan karena pemerintah kecamatan Wera dan kabupaten Bima tidak pernah menyambut baik aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa penolak tambang ilegal tersebut yang di kelolah oleh PT. Jagat Mahesa Karya (JMK).


Sejauh ini yang kami pantau bahwa keberadaan penggarapan tambang pasir besi oleh PT.JMK tersebut memang sering meresahkan masyarakat Bima, pasalnya banyak masyarakat mengaitkan meletusnya gunung Sangiang api hampir setiap hari diduga akibat aktivitas penambangan tersebut, karena jaraknya yang cukup dekat, mengingat beberapa data yang dimiliki oleh mahasiswa penolak tambang menemukan bahwa ada dugaan tambang yang dikelola tersebut adalah ilegal.

Minggu, 22 September 2019

Cowong dan Eksistensi Leluhur Bumi


 COWONG: Penampilan Cowong dalam ritual "Slametan Suran" di pedukuhan Pagakwungu (21/9/2019) Desa Buayan, Kecamatan Buayan. Perhelatan hari kelima dari sepekan tradisi Cowongan ini mendapat apresiasi masyarakat luas [Foto: Arp]
 “Priito.. priito..  
Bojomu aseng pegatan.. bojomu aseng pegatan
Ayu endi, ayu endi
Kacek bagus karo sinome
 
Adang kupat mboya mendat 
Adang tumpeng mboya mateng
Sega mambu mboya kolu”

 “Kembang kelor.. kembang kelor..  
Sing ronce-ronce kembange  Sing ronce-ronce kembange 
Ana manuk.. ana manuk
Orok-orok.. orok ijo
Loro-loro, ana kembang widodokan
Sak lodhong wadhah lerekan
Ana sekul wayu kuning
Wertane nggolet panggonan
 
Gandrung Nini Cowong”
[Tembang Cowong Pagakwungu]

COWONG: Boneka "Nini Cowong" yang mencerminkan kecantikan perempuan sebagai "Ibu Buni" [Foto: Arp]

Selusin perempuan tetua, separuhnya masih berusia muda, melantunkan tembang-tembang yang tak cukup dengan sekali mendengar untuk sampai memaknainya. Ada elegi kegetiran, muatan satire; namun alih-alih melaruti suasana. Tembang-tembang itu malah terus mengalir dari sisi halaman sebuah rumah yang dikelilingi penonton pentas Cowongan (21/9) malam itu.

Bau asap kemenyan yang dibakar menebar ke seluruh halaman, tak pelak telah membangunkan suasana magis pelataran, namun penerangan lampu listrik dari beberapa arah agak mengurangi ritusnya.

Sesekali para perempuan pendendang menyela canda, sementara Sang Cowong sendiri dalam tuntunan dua orang perempuan lainnya tengah beranjak pergi dari arena saat rembulan mulai meninggi di angkasa. Tak ada pemujaan berlebih dalam muatan tembang-tembang Jawa, bahkan beberapa bernada seloroh jenaka namun tanpa pula menista..
“..Rembulane wis mencorong.. Nini Cowong digeol bokong..’  
Ungkapan “Nini Cowong” ini kental nuansa feminisnya. Partisipasi perempuan memang terasa dominan di pentas seni tradisi Cowongan. Bagi keseluruhan warga masyarakat dukuh Pagakwungu di desa Buayan, Cowongan telah jadi bagian dari kehidupan kebudayaannya. Dan itu tak ditemukan di 5 dukuh lainnya: Gandasuli, Gedur, Wanalela, Danasri.
“Sudah turun-temurun berlangsung disini..”, jelas Sanmarto salah satu pelestari. Ada Parto, Sardjan yang menambahkan bahwa Cowongan malam itu dihelat dalam rangka Slametan Suran.
“Kalau ritual mengundang hujan itu bisa nanti lain hari”, imbuh Parto.

Boneka Canthuk yang Cantik

Cowong adalah boneka canthuk yang dirias cantik menurut asumsi dan standar perempuan Jawa umumnya. Menurut pembuatnya, Rasman, 45, kepala Cowong terbuat dari tempurung kelapa yang sejak awal ditemukan memang sudah nggambar atau menunjukkan tampak pola raut wajahnya.

Rasman melukisinya dengan cat putih, beberapa garis berwarna hitam dibuat untuk menegaskan wajah cantiknya dan warna merah buat bibirnya. Ia mendandani boneka ini dengan pakaian dan aksesori perempuan, bahkan juga berbedak. Sedang untuk rambut yang digerai dibuat dari serpihan daun pisang raja hijau.   
“Tak ada perlakuan khusus dalam menyiapkannya selain dipertapakan selama semalam saja, sudah cukup”, terang Rasman dari balik saron yang jadi keahliannya menabuh gamelan.
Syarat dipertapakan ini dipercaya dapat menjadi musabab terjalinnya hubungan dengan indhang yang berasal dari leluhur nenek-moyang orang Pagakwungu.    
“Ini malam kelima dari pentas Cowongan kami di dukuh Pagakwungu”, Samijan menjelaskan di sela ia menjaga pentas dari sisi meja yang berisi aneka sesaji. Lelaki kelahiran desa Sikayu, tapi ayahnya asli Pagakwungu ini juga dikenal orang sebagai pawang ebeg.  

Hubungan dengan leluhur

Pelestarian tradisi Cowongan Pagakwungu ini nampak dipersiapkan dengan mulai melibatkan angkatan muda di desa yang berada di kawasan bentang alam karst wilayah Gombong selatan. Ada keinginan kuat untuk memelihara nilai kearifan yang dipedomani sebagai tata nilai kehidupan masyarakatnya.

Tata nilai itu adalah hubungan yang harmonis dan saling menjaga dengan alam sekitarnya, dengan bumi seisinya. Jika ada ungkapan dimana bumi itu diidentikkan dengan simbolisasi seorang ibu, maka Cowongan itu seperti cara orang mengaktualisasikannya. Boneka Nini Cowong menjadi media yang menghubungan dua dunia dengan dimensi yang berbeda.
Nini Kuning dan Nini Ireng adalah dua indang leluhur kami”, tutur Sanmarto didampingi para tetua koleganya.
Tak diketahui referensi sejarah yang mampu menjelaskan eksistensi kedua indhang yang dipercaya hadir mewarnai perhelatan Cowongan Pagakwungu. Perhelatan ini sendiri diwarisi sebagai tradisi tutur turun-temurun dari para leluhur warganya.

Namun tak jauh dari tempat perhelatan ada sebah pundhen bernisan yang terawat keberadaannya. Beberapa kali di malam perhelatan itu Nini Cowong menyeret dua penuntunnya bertakjim ke pusara cungkup di sisi jalan dukuh... [arp]

Senin, 10 Juni 2019

Ritual Kupatan Kendeng dan Semangat Menjaga Alam


Oleh Ahmad Adirin pada 10 Jun 2019, 16:00 WIB


Rembang - Masyarakat Kendeng, Jawa Tengah, punya tradisi unik usai lebaran. Tradisi yang bernama Kupatan Kendeng ini sudah menjadi rutinitas yang digelar tiap 5 Syawal. 

Perayaan Kupatan Kendeng 2019 tersebut digelar pada Minggu (9/6/2019) dan dipusatkan di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.

Ada tiga prosesi yang dilakukan dalam ritual Kupatan Kendeng yaitu Temon Banyu Beras, Dono Weweh Kupat lan Lepet, dan Lamporan.

Temon Banyu Beras merupakan prosesi mencari sumber air, mempertemukan bulir-bulir beras dengan air untuk bisa diwujudkan sebagai makanan (ketupat) menjadi sumber energi bagi kita untuk tetap hidup dan menghidupi. 'Temon Banyu' melambangkan bahwa tanpa air tidak mungkin ada kehidupan.

Dalam prosesi ini, petani menggunakan baju serba putih melambangkan kesucian hati setelah 30 hari menjalani puasa, mengendalikan segala hawa nafsu, untuk menempa jiwa agar kembali 'eling dan kinilingan' akan kesejatian diri sebagai manusia yang luhur. Bukan manusia yang serakah, bukan manusia yang tidak peduli pada penderitaan ibu bumi, dan bukan manusia yang hanya memikirkan urusan perut semata.

Foto: Ahmad Adirin/ Liputan6.com

Sementara itu Dono Weweh Kupat lan Lepet merupakan prosesi membawa ketupat yang telah matang beserta lauk-pauknya, disusun membentuk gunungan dan dipikul bersama-sama mengelilingi desa untuk dibagi-bagikan kepada seluruh warga desa. Ketupat sebagai 'tanda lepat' kita sebagai manusia yang penuh kekurangan, salah dan dosa untuk mohon maaf kepada sesama kita.

Kerendahan hati diperlukan sebagai awal dari segala rencana baik merangkul seluruh sedulur atau saudara desa untuk bersama-sama meneruskan perjuangan penyelamatan Pegunungan Kendeng dari upaya perusakkan sumber-sumber mata air, penambangan batu kapur serta pengalihan fungsi lahan pertanian untuk industri pabrik semen. Demi keselamatan kita bersama serta demi masa depan kehidupan anak cucu kita semua.

Foto: Ahmad Adirin/ Liputan6.com

Sedangkan Lamporan merupakan prosesi yang dilakukan turun temurun dari leluhur dalam upaya mengusir hama pertanian. Hama pertanian yang dimaksud tidak hanya wereng dan tikus, tetapi juga kebijakan yang tidak berpihak kepada petani dan dunia pertanian.

Hama itu misalnya pengalihan fungsi lahan-lahan subur untuk industri dan pertambangan, gunung dengan hutan yang mengandung keanegaragaman hayati dihancurkan bahkan fungsinya telah beralih menjadi daerah industri perkebunan monokultur bahkan industri pertambangan.

Gunung dengan hutan yang awalnya menjadi penyerap air, menjaga sumber-sumber mata air tetap berlimpah yang menjadi sumber utama keberlangsungan dunia pertanian serta penyedia udara bersih bagi seluruh makhluk hidup menjadi hilang. Itulah hama utama petani dan dunia pertanian masa kini yang harus diperangi bersama.

Acara terakhir dalam kupatan kendeng 2019, ditutup dengan pegelaran wayang dengan lakon 'Mawas Diri, Menakar Keberanian' oleh salah seorang Dalang bernama Jliteng Suparman.

Sabtu, 01 Juni 2019

Nasib Warga yang Hidup di Sekitar Tambang dan Pabrik Semen di Maros


oleh Eko Rusdianto [Maros] di 1 June 2019


·       Warga yang tinggal di sekitar tambang dan pabrik semen Bosowa di Maros, sehari-hari hidup dengan debu.
·       Setelah perusahaan masuk, sebagian warga Ammasangeng relokasi ke Kampung Ammasangeng Baru. Kampung Ammasangeng Lama ada di konsesi Bosowa, berubah wujud jadi tempat penambangan.
·       Masih ada warga yang bertahan di Kampung Ammasangeng Lama. Mereka yang hidup di sana, tak bisa membuka jendela atau pintu karena debu masuk ke dalam rumah. Teras rumah pun dalam sehari harus mereka sapu berkali-kali.
·       Ada penelitian mengungkap, kampung-kampung sekitar tambang dan pabrik semen itu alami kondisi miris. Warga krisis air bersih. Mereka harus membeli air galon untuk keperluan sehari-hari. Sebelumnya, air bersih banyak tersedia dari aliran sungai di kawasan karst itu.

Jalan utama Desa Tukamasea dan Baruga di Kabupaten Maros, beraspal. Jalan sempit penuh debu. Beberapa orang lalu lalang, berjalan kaki, dan berkendera. Pohon-pohon kerdil di sisi jalan, daun tampak kelam. Kalau menyentuhnya, telapak tangan akan menghitam terkena semacam debu.

Di sisi jalan ada benteng dari batako. Meliuk mengikuti jalan, sekaligus jadi penanda batas dan jarak pandang untuk kampung dan pertambangan. Di bagian lain, ada pos jaga, dengan jalan berangkal batu lebar. Papan pengumuman yang menandakan wilayah itu milik PT Bosowa Mining. Plang berwarna biru itu menuliskan pula catatan lain: unit cruiser sekitar satu km. Unit marmer sekitar lima km.

Di jalan berangkal batu, ada kubangan besar. Truk-truk pembuangan limbah perusahaan dari pabrik Semen Bosowa berakhir di area itu. Sekitar 11 orang mendirikan bangunan reot, di sana. Tujuh laki-laki dan empat perempuan. Mereka adalah para pengepul barang bekas.

Mengepak apa saja yang bisa jadi uang. Marhana, perempuan 36 tahun ini seorang ibu rumah tangga. Punya dua anak. Dia perempuan gesit dan bekerja saban waktu. Badan tak bisa diam di rumah. Akhir Desember 2018, saya menemui dia di area pembuangan. Bersama pengepul lain, dia mengumpulkan bahan buangan yang dapat di daur dan berguna kembali.

Kalau beruntung, ada pula beberapa mengambil sisa semen yang dibuang dalam karung bekas. Semen itu disaring guna memisahkan dengan kerikil dan dijual Rp30.000 per karung atau sak. Beberapa orang penadah kemudian membawa kembali ke Makassar dan menjual dengan harga Rp50.000.

Mengumpulkan sisa semen buangan, harus cepat. Petugas keamanan acap kali mendapati mereka. Kemudian menimbun dengan tanah. Kalau demikian, para pengepul hanya pasrah. Bagi mereka, itu hari yang apes.

Beberapa menit menyaksikan para pemulung, kepala saya sudah mulai berat. Debu yang beterbangan hinggap rambut seakan kaku. Lubang hidung kotor. Ketika istirahat duduk di gubuk reot, tiba-tiba semua bergegas. Ada pemberitahuan, kalau tebing dekat pembuangan limbah itu akan diledakkan.

Pabrik PT. Semen Bosowa Maros, nampak tanaman sekeliiling dipenuhi debu. Jarak pabrik dengan perkampungan tak lebih dari satu km. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Jarak hanya beberapa ratus meter. Jarak dari kampung sekitar satu km. Kami memutar kendaraan dan berhenti di persimpangan jalan. Ini kali pertama saya melihat proses peledakan tebing karst.

Seorang petugas keamanan yang memakai handy talkie mengabarkan ke kawannya, kalau wilayah sudah aman. Hitungan mundur mulai. “Kalau mau rekam, yang itu. Itu yang mau yang meledak,” kata petugas kepada saya.

Ketika kepulan debu itu mulai tampak di tebing, beberapa detik kemudian suara menggelegar. Lebih keras dari guntur yang bersamaan dengan petir. Jantung berdegup cepat. Dalam jarak tertentu kaca mobil bisa pecah.
Bahkan, kaca jendela rumah mungkin retak. Priring yang tersusun baik di dapur bisa pecah. “Ini belum terlalu besar. Ini biasa saja,” kata petugas itu.

Di perkampungan sekitar pabrik Semen Bosowa, gelegar ledakan dinamit itu hal lumrah. Jadwal bisa setiap jelang pukul 12.00, atau dua kali dalam sehari. Getaran ledakan menyebabkan banyak kerugian warga, tetapi tidak pernah mendapatkan perhatian.

Debu dari cerobong pabrik setiap hari menempel di pakaian, di atap bahkan sumur-sumur warga.

Sekitar 500 meter dari tembok pemisah pemukiman dengan pabrik Semen Bosowa, ada gapura yang dibangun pada 2014. Ia diteken langsung Melinda Aksa, selaku Direktur Bosowa Foundation. Kampung Ammasangeng Baru. Kampung yang juga didaulat perusahaan sebagai kampung Bosowa. Jalan masuk pakai rabat beton, sepanjang 300 meter. Ini Ammasangeng Baru. Kampung Ammasangeng Lama ada di konsesi Bosowa, sudah berubah wujud jadi tempat penambangan.

Tahun 1996, ketika perusahaan datang mereka membeli tanah warga Rp2.500 per meter. Ukuran sama dengan sebungkus rokok masa itu.
Kalau warga memiliki dua lokasi di Ammasangeng Lama, perusahaan akan membayar satu lokasi saja. Pertimbangannya, lokasi baru sudah ditentukan untuk pemukiman di Kampung Tanah Mentong (Ammasangeng Baru).

Tanah Mentong, mulanya hutan bambu. Nama kampung itu dikenal karena kala melalui batuan karst ini akan berbunyi. Sebagian warga memperkirakan kalau tanah di bawah mereka bermukim sekarang, terdapat aliran sungai besar atau setidaknya goa yang menghasilkan bunyi.

Aktivitas pemulung di tempat pembuangan pabrik PT Semen Bosowa Maros. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Meski demikian, ada beberapa warga yang tetap bertahan di Kampung Ammasangeng Lama. Mereka tak ingin beranjak karena keterikatan akan tanah. Risiko sungguh tinggi. Setiap hari warga di sekitaran tempat itu tak pernah membuka pintu rumah. Teras rumah harus terus disapu, karena banyak debu.

Di kampung lama, tanah mereka tetap ingin dikuasai perusahaan. Karyawan Semen Bosowa terus merayu warga melepas lahan seharga Rp15.000 per meter.

Di Ammasangeng Lama dan Ammasangeng Baru, serta Desa Baruga, paparan debu dan kebisingan membuat beberapa warga mengeluh penyakit pernapasan. Anak-anak hingga orangtua, batuk berbulan-bulan dan sesak napas.

Di tempat pembuangan, orang-orang mengingat masa lalu. Kenangan akan kampung lama. “Kalau ingat yang dulu, waktu belum ada perusahaan, enak iya. Karena nda susah begini ki. Ada sawah dan tanah toh,” kata Marwah, pengepul lain.

Marwah menunjuk aliran sungai di bawah tempat pembuangan. Sungai itu bernama Ammerrung. Sungai yang saban hari mengalirkan air dari dalam mulut goa. Sungai yang dulu jadi pemenuh utama air warga. Aliran tempat Macaca maura–monyet Sulawesi–juga acap kali turun minum.

Kini, sungai sudah melebar. Di salah satu badan sungai dibangun bendungan pabrik. Kawasan sekitar merupakan tempat pengambilan bahan baku semen. Sekarang, sungai itu jadi milik Semen Bosowa, akses warga hilang.

Ulfa Utami Mappe, peneliti dari Fakultas Sosiologi Universitas Hasanuddin, mengkaji wilayah itu selama setahun. Dalam tesisnya, “Perempuan Pengepul Limbah Pabrik PT. Semen Bosowa Maros: Suatu Tinjauan Ekofeminisme,” dia menuliskan perubahaan bentang alam tak membawa dampak kemakmuran di sekitar wilayah penambangan. Dia malah mendapati ironi. Sangat timpang.

Seharusnya, panambangan semen di Kecamatan Bantimurung, di mana warga hidup berdampingan dengan industri ikut maju, bukan jadi lebih buruk. 
 “Di Desa Tukamasea dan Baruga, untuk kebutuhan air saja, beberapa warga harus membeli air galon. Itu ironi,” katanya.
Data lain, Maros dalam Angka 2018 mencatat, dari 7.407 rumah di Kecamatan Bantimurung, terdapat 4.909 tak layak huni. Kondisi ini memposisikan Bantimurung sebagai peringkat pertama rumah tak layak di antara 14 kecamatan di Maros.

Selain persoalan akses dan lahan, dalam penelitian Ulfa juga terungkap banjir. Dalam penelitian itu, warga bernama Nirwana mengatakan, air membanjiri rumah saat musim hujan dampak irigasi Bosowa meluap. Pada musim hujan, dia dapat menampung air untuk konsumsi. 
 “Tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli air galon yang biasa dikonsumsi keluarga saat kemarau.”

Saat PT. Semen Bosowa Maros melakukan peledakan di tebing-tebing karst. Getarannya hingga ke rumah warga dan dapat memecahkan kaca jendela hingga piring. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

***
Saya sedang berada di rumah Marhana, mengunggu waktu berbuka puasa pada Selasa 21 Mei 2019. Berbincang di teras depan bersama anak dan tetangga. Anak-anak generasi yang lahir 1990 akhir atau awal 2000-an tak mengerti mengapa kampung mereka diberi nama Ammasangeng.

Dalam pengertian bebas, Ammasangeng berarti sesama sanak keluarga. Mereka tak tahu kenapa jembatan itu miring, tak mengerti bagaimana orang tua mereka pindah ke kampung baru.

Jared Diamond dalam Collapse menyatakan soal amnesia bentang alam. Dia menggambarkan, bagaimana perubahaan bentang alam selama 50 tahun. Perubahaan bentang alam berlangsung selama bertahun-tahun dan hanya penduduk tertualah yang bisa menyadari itu. Para tetua akan menyampaikan itu dalam penuturan sekalipun kadang tak dipahami keturunan mereka.

Yus Husni M. Thamrin dalam autobiografi “Aksa Mahmud Putra Ombak” menuliskan, pembangunan pabrik Semen Bosowa, mulai 1996 dan ujicoba 1998. Pada 6 April 1999, peresmian dan Maret 1999, perusahaan mulai produksi komersial.

Semen Bosowa Maros jadi perusahaan pertama dan utama Bosowa Corporation dalam industri semen. Pabrik semen Bosowa mulai 15 Juli 1996 dan beroperasi pertama kali 6 April 1999, dengan kapasitas produksi 1,8 juta ton per tahun.

Sebelumnya, pada 1990, Semen Bosowa Maros mendapatkan konsensi seluas 1.100 hektar untuk cadangan bahan baku, 60 hektar untuk lahan pabrik, dan 40 hektar untuk perumahan karyawan yang berlokasi di Desa Tukamasea dan Desa Baruga. Kemudian perusahaan ini mendapatkan izin lingkungan setelah menyelesaikan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 10 Juni 1991, surat izin pertambangan daerah (SIPD) keluar 17 September 1994. Dalam surat disebutkan, wilayah pertambangan bahan baku semen berupa batu gamping (limestone) seluas 750 hektar.

Surat persetujuan penanaman modal dalam negeri Nomor 650/I/PMDN/1994, keluar 10 Oktober 1994 oleh Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Lahan pertanian di dekat pabrik Semen Bosowa, Desa Tukamasea, Maros. Petani berharap, pabrik tak menggenjot produksi semen pada Juni, agar debu tak menyelimuti bakal buah tanaman mereka. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Nilai investasi membangun pabrik semen itu mencapai Rp526 miliar pada 1996. Aksa mengajukan permohonan kredit dengan sindikasi beranggotan Bank Dagang Negara, Bank Ekspor-Impor Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Negara, Bank Danamon, Bank Niaga, Bank Nusa, dan Bank Umum Tugu.

Tahun 1994, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional melakukan penelitian lapangan dan menemukan kalau lokasi pabrik dan area pertambangan adalah hutan lindung.

Sejak saat itu, Aksa mencari lahan di wilayah lain, sebagai pengganti yang disebut sebagai hutan kesepakatan dengan luasan setara lahan untuk pabrik dan bahan baku. Maka ditentukanlah salah satu wilayah di Luwu–saat ini jadi Kabupaten Luwu Utara di Kecamatan Rampi.

Ketika pabrik semen ini mulai beroperasi komersial, gunung-gunung karst dalam wilayah konsesi amblas. Hilang dalam sekejab. Beberapa goa lenyap, termasuk Goa Barombong, yang memiliki aliran didrologi dan sungai bawah tanah besar.

Bagi Ulfa, melihat sejarah pembangunan pabrik semen Bosowa, maka wajar kajian mengenai pertimbangan gender dan lingkungan tak menjadi salah satu fokus. 
 “Penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan degradasi lingkungan dan kehidupan perempuan,” katanya.
Kini, lansekap gunung karst di konsesi Bosowa telah berubah. General Manager Geopark Maros Pangkep, Dedy Irfan Bachry juga geolog mengatakan, karst terbentuk sekitar 50 juta tahun lalu. Dalam skala geologi disebut sebagai iosen. “Karst di Maros Pangkep adalah tipe tower. Ini bukan soal melihat gugusan gunung batu, tapi di dalamnya ada ilmu pengetahuan,” katanya.
“Dalam perut karst ada aliran air. Menjadi penampung air raksasa dan bisa menyimpan air hingga tujuh bulan, dari hujan terakhir.”

Mongabay berusaha mengkonfirmasi soal ini kepada perusahaan. Sejak 4 Desember 2018, Mongabay mengirim surat permintaan wawancara ke Bosowa. Bagian humas Semen Bosowa, meminta pertanyaan awal. Pertanyaan Mongabay kirim pada 3 Januari 2019. Namun, hingga berita ini turuntak ada jawaban.

Pada musim kemarau, petani di kawasan Karts dan sekitaran pabrik semen Bosowa mengairi sawahnya dengan menggunakan pompa air. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia