"Kupatan Berjamaah; Kupatan Batang"
Pembangunan PLTU batu bara Batang juga telah menjarah kesejahteraan nelayan. Pembangunan yang telah merambah area perairan laut Batang perlahan tapi pasti menyingkirkan nelayan. Dari bangunannya yang kelak akan memakan sebagian luas area tangkap nelayan, proses pembangunan yang dilakukan secara serampangan pun sudah membuat begitu banyak kerugian. Puluhan nelayan mengeluhkan jaringnya yang tersangkut material-material sisa yang dibiarkan terbengkalai di lautan atau gunungan-gunungan lumpur yang tinggi di dasar laut. Gunungan lumpur itu datangnya dari kerukan yang dibuang sekenanya di banyak titik.
Alhasil, nelayan harus menyayat jaringnya atau justru meninggalkan jaringnya yang tersangkut terlalu dalam. Alih-alih pulang membawa untung, mereka justru merugi karena harus memperbaiki jaring atau bahkan membeli jaring baru lagi. Kejadian ini tak hanya terjadi sekali-dua kali pada satu-dua nelayan. Bahkan, seorang nelayan pun kapalnya pernah tertabrak kapal tongkang PLTU saat melaut di malam hari. Penerangan yang minim dan area jelajah kapal tongkang yang sama dengan nelayan menyebabkan kejadian ini berpotensi terjadi lagi.
Di kemudian hari, saat pembangunan PLTU batu bara yang rencananya sudah bergulir sejak 2011 silam ini selesai, momok lebih besar akan dihadapi kaum nelayan dukuh Roban dan sekitarnya. Pasalnya, polusi, limbah, buangan air panas, dan air laut beserta ikan-ikannya yang turut tersedot dalam proses produksi listrik juga makin memperkeruh situasi. Area tangkap semakin sempit, ekosistem rusak, kebutuhan solar meningkat karena harus melaut lebih jauh, sedang tangkapan semakin sedikit. Lagu lama dan terus didendangkan. Sebuah konsekuensi logis dari berdirinya PLTU batu bara yang terus menerus dipilih para pemangku kekuasaan.
“Industri batu bara itu dimana-mana, dari proses penambangan, pengangkutan, hingga pemanfaatan, juga limbahnya itu, adalah salah satu industri yang paling kotor di dunia. Sangat disayangkan. Yang sekarang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menyelamatkan profesi petani dan nelayan, karena itu adalah profesi yang sangat langka. Jadi ya seharusnya kebijakan berada pada masyarakat nelayan di sini”, ujar Robi, vokalis band Navicula yang turut memeriahkan acara Kupatan Berjamaah ini.
Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis sekaligus lakon di balik film-film dokumenter Watchdoc yang datang untuk mendokumentasikan acara tersebut, juga menyebut apa yang terjadi di Batang pada kasus PLTU batu bara ini dapat disebut sebagai sebuah upaya pemiskinan yang nyata. Petani dirampas sawahnya, nelayan direnggut lautnya.
Menyikapi situasi tersebut, bertepatan dengan datangnya hari raya Idulfitri, masyarakat Batang menggelar halal bi halal yang bertujuan untuk konsolidasi antar masyarakat dan aktivis pendamping agar selalu lurus jalannya dalam perjuangan. Dengan semangat meraih kemenangan pula, acara bertajuk Kupatan ini juga diselenggarakan di beberapa titik di Jawa Tengah seperti Rembang, Pati, Gombong (Kebumen), Surokonto (Kendal), dan Tambakrejo (Semarang), serta puncaknya akan diselenggarakan juga di Kota Semarang tepat seminggu setelah jatuhnya hari raya (21/6).
Didasari semangat bersolidaritas, gelaran acara Kupatan yang mulanya hanya diadakan di sekitaran pegunungan Kendeng ini berubah menjadi agenda kolektif; Kupatan Berjamaah, dengan membawa satu pesan besar yang jelas dan tegas, bahwa ada yang tak beres dengan pengelolaan lingkungan hidup di Jawa Tengah. Dari tahun ke tahun, tak ada masalah lingkungan yang terurai dan menemui titik cerah. Yang ada malah bertambahnya titik-titik konflik. Sementara, di tengah situasi pilgub Jawa Tengah, antara kedua calon nampak belum ada komitmen yang serius bagi lingkungan hidup.
Kegiatan ini adalah suatu bentuk upaya konsolidasi di titik-titik konflik tersebut dengan harapan bahwa persoalan lingkungan hidup menjadi perhatian bersama masyarakat di Jawa Tengah. Bahwa kondisi lingkungan hidup di Jawa Tengah sedang tidak baik-baik saja dan perlu formulasi khusus untuk menyikapinya. (uli)
0 komentar:
Posting Komentar