Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Sabtu, 30 Juni 2018

Siaran Pers: Perampasan hak Sosial Ekonomi Petani Kulon Progo dan Pelumpuhan Negara Hukum Indonesia

Siaran Pers
No. Ist-1/VI/2018
PERAMPASAN HAK SOSIAL EKONOMI PETANI KULON PROGO 
DAN PELUMPUHAN NEGARA HUKUM INDONESIA

Kredit Foto: Ngatiban


“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun” 
(Pasal 28H ayat 4 UUDNRI 1945) 

Hari ini, hingga siaran pers ini dibuat, perusakan ladang dan penghancuran pepohonan yang tersisa terus berlangsung. Setelah sebelumnya, begitu banyak laporan warga, pemberitaan media, sekaligus informasi di media sosial mengabarkan dari lapangan soal hal yang sama. Situasi yang mencekam, memilukan, sekaligus menghancurkan nasib warga petani yang menolak kehadiran pembangunan bandara, dianggap hal biasa, prosedural, dan peneguhan sikap arogansi dari pihak Angkasa Pura, khususnya melibatkan institusi kepolisian.
Menyimak perkembangan tersebut, Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, perlu menyampaikan hal mendasar,
1. Indonesia dibentuk dengan prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia (Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945/UUDNRI). Bahwa prinsip Negara Hukum Indonesia tidak tepat direduksi sekadar urusan kepastian hukum atas prosedur formal, khususnya dalam membangun infrastruktur bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo. Hukum dalam pemaknaan konstitusionalismenya, bukan sekadar ‘state based law’ (hukum berbasis negara), melainkan pula penghormatan dan perlindungan atas keberadaan ‘community/social based law’ (hukum berbasis sosial).
2. Keberadaan masyarakat, termasuk warga petani Kulon Progo yang menolak kehadiran dan pembanguna bandara NYIA, khususnya terkait sistem sosial desa dan dilindungi (Pasal 28 H ayat 1-4; 28I ayat 3 UUDNRI). Pengabaian atas eksistensi dan bekerjanya hukum rakyat sesungguhnya bertentangan dengan semangat konstitusionalisme hak asasi manusia yang diatur dalam hukum dasar.
3. Tindakan negara dalam hal penggusuran rumah, tanah pertanian, dan pepohonan, berikut tempat-tempat publik seperti tempat ibadah, sekalipun telah diklaim telah menempuh prosedur formal, pada kenyataannya telah menyalahi prosedur administrasi, khususnya prosedur konsinyasi dan penyimpangan dari prosedur UU 2/2012 dan Perma 3/2016. Hal ini terbaca dari temuan dalam laporan Ombudsman RI Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY) yang menyatakan ‘adanya maladministrasi dalam pelaksanaan pengosongan tanah’ (vide: Hasil Akhir Pemeriksaan Laporan Nomor: 0191/LM/XI/2017/YOG tentang Maladministrasi dalam pelaksanaan Pengosongan Tanah, Pembongkaran rumah dan Bangunan Serta Pembongkaran Meteran dan Pemutusan Aliran Listrik di Desa Palihan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo).
Berdasarkan hal mendasar demikian,
1. HRLS perlu mengingatkan kepada seluruh jajaran penyelenggara negara, baik di Pemerintahan Pusat maupun Daerah, serta pihak Angkasa Pura, untuk menjaga marwah konstitusionalisme hak-hak asasi manusia yang tertuang jelas dalam UUDNRI, dan tidak melumpuhkan prinsip Negara Hukum Indonesia. Ini berarti tidak sekalipun abai, bertindak sewenang-wenang, apalagi melakukan pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia, khususnya terhadap warga petani di Kulon Progo yang mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
2. Mendesak lembaga negara, khususnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), untuk segera memberikan jaminan perlindungan hak-hak sosial ekonomi petani, sekaligus mengupayakan langkah-langkah hukum efektif mencegah pelanggaran hukum HAM tidak semakin buruk.
3. Terkait upaya penggusuran, HRLS mendesak untuk segera dihentikan hingga semua pihak didengar secara lebih baik, berkeadilan dengan mengedepankan prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia. Percerabutan hak sosial ekonomi petani, apalagi berkonsekuensi atas hilangnya sistem sosial masyarakat sebagai satu-kesatuan keberlanjutan penghidupan yang layak, tidak dapat dibenarkan karena hakekatnya telah membunuh kehidupannya.
Demikian pernyataan kami, untuk segera dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan seadil-adilnya.
Surabaya, 30 Juni 2018
Dr. Herlambang P. Wiratraman
Ketua Pusat Studi Hukum HAM
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
+6282140837025 / herlambang@fh.unair.ac.id

Senin, 25 Juni 2018

Press-Release: "Bebaskan Heri Budiawan"

SIARAN PERS TEKAD GARUDA

MENDESAK MAHKAMAH AGUNG UNTUK MEMBEBASKAN HERI BUDIAWAN


Meluasnya industri ekstraktif di pesisir selatan Jawa Timur belakangan ini, terus memicu laju krisis sosial-ekologis semakin meningkat tajam dalam bentuk yang kompleks dan rumit. Hal ini salah satunya dapat kita temui dalam kasus pertambangan Tumpang Pitu-Banyuwangi.
Sejak beroperasinya kegiatan industri pertambangan di bukit Tumpang Pitu-Banyuwangi, yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) dari sejak tahun 2012, beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat dapat terlihat di 5 desa, di wilayah kecamatan Pesanggaran. Salah satu diantaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga desa Sumberagung dan sekitarnya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.
Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga telah menimbulkan beberapa persoalan penting lainnya, yakni telah membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan baru-baru ini, karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir desa Sumberagung dan sekitarnya. Dan sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Begitu juga dengan beberapa sumur milik warga diduga mulai tercemar dan terasa kecut karena penurunan kualitas lingkungan.
Dampak secara ekonomi akibat kerusakan ini adalah pendapatan nelayan, petani dan pegiat pariwisata rakyat Desa Sumberagung dan sekitarnya mengalami penurunan secara drastis.
Bukit Tumpang Pitu merupakan kawasan penting bagi penduduk Sumberagung dan desa-desa sekitarnya. Selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah sebagian besar penduduk, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara turun temurun.
Namun, pasca beroperasinya PT. BSI dan PT. DSI, yang keduanya adalah anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold Tbk, relasi antara warga dan bukit Tumpang Pitu menjadi terputus. Apalagi sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi Objek Vital Nasional pada 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631 K/30/MEM/2016.
Selain persoalan di atas, kehadiran industri pertambangan Tumpang Pitu juga memicu sejumlah persoalan lainnya yang tak kalah penting, yakni meningkatnya tindak represi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya oleh aparat keamanan negara dalam kurun waktu 5 tahun (2012-2017) belakangan ini. Setidaknya dari data yang berhasil kami kumpulkan, telah terjadi sedikitnya 5 bentuk kasus kriminalisasi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya karena berusaha berjuang mempertahankan dan menyelamatkan lingkungannya dengan cara menolak hadirnya kegiatan industri tambang Tumpang Pitu. Dari 5 bentuk kriminalisasi tersebut, salah satu diantaranya adalah dalam kasus penetapan 4 warga Sumberagung sebagai tersangka yang terjadi pada Awal April 2017 lalu.
Kasus ini bermula dari aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” yang dilakukan oleh warga desa Sumberagung dan sekitarnya pada tanggal 4 April 2017 di sepanjang pantai Pulau Merah-Sumberagung hingga kantor Kecamatan Pesanggaran. Satu hari pasca aksi (5/4), muncul beberapa pernyataan dari pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk penolakan warga terdapat logo yang diduga mirip palu arit. Padahal menurut keterangan warga dan temuan lapangan yang berhasil kami kumpulkan bahwa tidak satupun spanduk yang terpasang terdapat logo yang dituduhkan oleh pihak aparat keamanan. Sejauh ini, kami dan warga menduga bahwa tuduhan tersebut memiliki tujuan untuk melemahkan gerakan penolakan tambang yang sedang berlangsung yang terus bertahan hingga saat ini. Selain itu kami juga menduga, tuduhan tersebut hanyalah untuk memecah belah persatuan perjuangan yang terus meluas.
Empat orang warga tersebut kini dikenakan pasal 107 huruf a, UU Nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Adapun bunyi pasal 107a dalam UU ini adalah: Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Atas tuduhan itu, salah satu dari tersangka tersebut, yang bernama Heri Budiawan alias Budi Pego, divonis hukuman 10 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi pada Selasa, 23 Januari 2018.
Terkait dengan putusan PN Banyuwangi yang jauh dari nilai keadilan tersebut, selanjutnya, tim kuasa hukum warga yang tergabung dalam Tekad Garuda melakukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. Namun, dalam perkembangannya, majelis hakim PT Surabaya, juga memutuskan perkara tersebut dengan hukuman yang sama (10 bulan penjara).
Melihat perkembangan tersebut, Tekad Garuda kini sedang melakukan upaya hukum kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA). Dan hingga saat ini-menjelang habisnya masa hukuman yang dijatuhkan oleh PN Banyuwangi dan PT Surabaya terhadap Heri Budiawan (berakhir pada tanggal 1 Juli 2018), MA juga belum mengeluarkan putusan atas kasus tersebut.
Walaupun kasus ini sedang berjalan di tingkat kasasi, namun terhitung sejak masa awal penahanannnya (4 September 2017), dan merujuk pada putusan PN Banyuwangi dan PT Surabaya, Heri Budiawan seharusnya akan bebas pada tanggal 1 Juli 2018.
Namun, tanpa disangka, hari ini, Senin (25 Juni 2018), Heri Budiawan mendapatkan surat perpanjangan penahanan yang berasal dari MA, yang berbunyi: “Memperpanjang waktu penahanan terdakwa Heri Budiawan, dalam rumah tahanan negara untuk paling lama 60 (enam puluh) hari, terhitung mulai tanggal 01 Juni 2018”.
Sekali lagi, kami menganggap bahwa kasus kriminalisasi ini hanya untuk mengalihkan perhatian publik atas persoalan utama yang sedang dihadapi masyarakat Sumberagung dan sekitarnya. Yakni ancaman krisis sosial-ekologis yang ditimbulkan oleh hadirnya pertambangan di Tumpang Pitu yang memiliki fungsi besar bagi masyarakat sekitar.
Untuk itu kami (TEKAD GARUDA), menyatakan:
Mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk segera memutuskan perkara Heri Budiawan.
Mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk segera membebaskan Heri Budiawan.
Mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi terhadap seluruh gerakan rakyat yang berjuang demi terwujudnya keadilan agraria dan keselamatan ruang hidup.

25 Juni 2018

Tim Kerja advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TEKAD GARUDA): 
LBH Surabaya, WALHI Jawa Timur, WALHI, For Banyuwangi, LBH Disabilitas, Jatam, KontraS Surabaya.
Kontak:
0878-5395-2524 (LBH Surabaya)
0838-5764-2883 (WALHI Surabaya


Source: Forum Rakyat Banyuwangi 

Sabtu, 23 Juni 2018

Tolak PLTU, Masyarakat Gelar Kupatan

"Kupatan Berjamaah; Kupatan Batang"


Batang - Setelah perampasan besar-besaran terhadap lahan pertanian yang dimulai sejak awal 2016 lalu, kini pembangunan PLTU batu bara di Batang mulai meresahkan masyarakat nelayan. Dahulu, sebanyak 12.500 meter persegi lahan persawahan dan perkebunan milik sah lebih dari 50 orang telah direnggut paksa, dipagari, dan diputus aksesnya dari tangan-tangan yang turun-temurun puluhan tahun merawatnya. Perampasan ini membuat ratusan orang yang bergantung hidupnya pada lahan tersebut merugi dan terkatung-katung.

Pembangunan PLTU batu bara Batang juga telah menjarah kesejahteraan nelayan. Pembangunan yang telah merambah area perairan laut Batang perlahan tapi pasti menyingkirkan nelayan. Dari bangunannya yang kelak akan memakan sebagian luas area tangkap nelayan, proses pembangunan yang dilakukan secara serampangan pun sudah membuat begitu banyak kerugian. Puluhan nelayan mengeluhkan jaringnya yang tersangkut material-material sisa yang dibiarkan terbengkalai di lautan atau gunungan-gunungan lumpur yang tinggi di dasar laut. Gunungan lumpur itu datangnya dari kerukan yang dibuang sekenanya di banyak titik. 

Alhasil, nelayan harus menyayat jaringnya atau justru meninggalkan jaringnya yang tersangkut terlalu dalam. Alih-alih pulang membawa untung, mereka justru merugi karena harus memperbaiki jaring atau bahkan membeli jaring baru lagi. Kejadian ini tak hanya terjadi sekali-dua kali pada satu-dua nelayan. Bahkan, seorang nelayan pun kapalnya pernah tertabrak kapal tongkang PLTU saat melaut di malam hari. Penerangan yang minim dan area jelajah kapal tongkang yang sama dengan nelayan menyebabkan kejadian ini berpotensi terjadi lagi.

Di kemudian hari, saat pembangunan PLTU batu bara yang rencananya sudah bergulir sejak 2011 silam ini selesai, momok lebih besar akan dihadapi kaum nelayan dukuh Roban dan sekitarnya. Pasalnya, polusi, limbah, buangan air panas, dan air laut beserta ikan-ikannya yang turut tersedot dalam proses produksi listrik juga makin memperkeruh situasi. Area tangkap semakin sempit, ekosistem rusak, kebutuhan solar meningkat karena harus melaut lebih jauh, sedang tangkapan semakin sedikit. Lagu lama dan terus didendangkan. Sebuah konsekuensi logis dari berdirinya PLTU batu bara yang terus menerus dipilih para pemangku kekuasaan.

“Industri batu bara itu dimana-mana, dari proses penambangan, pengangkutan, hingga pemanfaatan, juga limbahnya itu, adalah salah satu industri yang paling kotor di dunia. Sangat disayangkan. Yang sekarang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menyelamatkan profesi petani dan nelayan, karena itu adalah profesi yang sangat langka. Jadi ya seharusnya kebijakan berada pada masyarakat nelayan di sini”, ujar Robi, vokalis band Navicula yang turut memeriahkan acara Kupatan Berjamaah ini. 
Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis sekaligus lakon di balik film-film dokumenter Watchdoc yang datang untuk mendokumentasikan acara tersebut, juga menyebut apa yang terjadi di Batang pada kasus PLTU batu bara ini dapat disebut sebagai sebuah upaya pemiskinan yang nyata. Petani dirampas sawahnya, nelayan direnggut lautnya.


Menyikapi situasi tersebut, bertepatan dengan datangnya hari raya Idulfitri, masyarakat Batang menggelar halal bi halal yang bertujuan untuk konsolidasi antar masyarakat dan aktivis pendamping agar selalu lurus jalannya dalam perjuangan. Dengan semangat meraih kemenangan pula, acara bertajuk Kupatan ini juga diselenggarakan di beberapa titik di Jawa Tengah seperti Rembang, Pati, Gombong (Kebumen), Surokonto (Kendal), dan Tambakrejo (Semarang), serta puncaknya akan diselenggarakan juga di Kota Semarang tepat seminggu setelah jatuhnya hari raya (21/6). 


Didasari semangat bersolidaritas, gelaran acara Kupatan yang mulanya hanya diadakan di sekitaran pegunungan Kendeng ini berubah menjadi agenda kolektif; Kupatan Berjamaah, dengan membawa satu pesan besar yang jelas dan tegas, bahwa ada yang tak beres dengan pengelolaan lingkungan hidup di Jawa Tengah. Dari tahun ke tahun, tak ada masalah lingkungan yang terurai dan menemui titik cerah. Yang ada malah bertambahnya titik-titik konflik. Sementara, di tengah situasi pilgub Jawa Tengah, antara kedua calon nampak belum ada komitmen yang serius bagi lingkungan hidup.

Kegiatan ini adalah suatu bentuk upaya konsolidasi di titik-titik konflik tersebut dengan harapan bahwa persoalan lingkungan hidup menjadi perhatian bersama masyarakat di Jawa Tengah. Bahwa kondisi lingkungan hidup di Jawa Tengah sedang tidak baik-baik saja dan perlu formulasi khusus untuk menyikapinya. (uli)

Selasa, 05 Juni 2018

Press-Release | "nDedher Wiji Kendeng"

Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK)
Selasa, 5 Juni 2018 Memperingati hari lingkungan hidup sedunia
"NDEDHER WIJI KENDENG"

Bertempat di posko perjuangan penyelamatan Peg. Kendeng di Desa Timbrangan, Kec. Gunem, Kabupaten Rembang, kami petani Kendeng yang tergabung dalam JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) bersama-sama dengan putra putri penerus kami, WIJI KENDENG, dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mengajak dan mengajari mereka akan kepedulian pada kelestarian Peg. Kendeng. Hanya ada satu cara agar Kendeng terus lestari, agar Kendeng terus memberikan penghidupan kepada seluruh makhluk hidup, agar Kendeng terus menyediakan sumber-sumber mata air tidak hanya untuk kami yang tinggal di Kendeng, tetapi juga seluruh masyarakat yang menggantungkan kebutuhan air bersih dari sungai-sungai hilir yang dihidupi oleh sungai-sungai bawah tanah yang berasal dari hulu Kendeng, YAITU DENGAN MENANAM. Tidak akan kami biarkan lahan2 pegunungan Kendeng, baik di puncak maupun lereng Kendeng musnah dan hilang berubah fungsi menjadi lahan tambang dan pabrik-pabrik semen. Perjuangan akan terus kami nyalakan dan tularkan kepada anak cucu generasi penerus kami.

[Kredit Foto: Doelah & Ngatiban]
Ndedher Wiji Kendeng, yang bermakna sungguh dalam. Menyemai Kehidupan. Itulah pesan yang kami sampaikan pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Bahwa kehidupan di bumi harus terus kita rawat dan upayakan. Tidak cukup hanya berkata. Tidak cukup hanya menjadi jargon-jargon kampanye. Tetapi semua elemen anak negeri harus mengupayakan. Harus melakukannya. Memberikan contoh nyata kepada anak cucu bahwa ibu bumi harus dijaga dan dirawat demi kesinambungan kehidupan semua makhluk. Sebagai rakyat, kami akan terus melawan tirani kekuasaan yang "selalu" condong kepada para investor dan "mengorbankan" rakyatnya, rakyat yang selalu dianggap kecil. Investor yang nyata-nyata hanya memperhatikan keuntungan semata tanpa memperdulikan nasib ibu bumi selanjutnya. Investor yang hanya mengeruk sehabis-habisnya kekayaan ibu bumi. Kekayaan sumber daya alam yang sesungguhnya diciptakan Sang Khalik untuk terus dijaga agar terus memberikan penghidupan justru dijarah habis-habisan yang hanya menguntungkan segelintir orang dan menyisakan penderitaan seumur hidup untuk rakyat banyak. Dan ironisnya, para penguasa pengambil keputusan menganggap rakyat tidak ada. Rakyat yang selalu dibutuhkan suaranya untuk memilih mereka, tetapi saat terpilih, rakyat tidak ada. Yang ada adalah kepentingan kelompok dan golongan. Untuk itu, perlawanan yang bermartabat, perlawanan yang konsisten diperlukan di negeri ini untuk menunjukkan dan mengajarkan kepada anak cucu kita bahwa DIAM BUKANLAH PILIHAN. Indonesia akan menjadi baik jika seluruh rakyatnya sadar akan kondisi negeri ini. Pemimpin yang seharusnya memberi teladan kepada rakyatnya generasi penerus dalam menjaga ibu bumi telah abai. Kitalah sebagai "orang tua" yang harus "mengambil alih" peran negara. Kami yakin kebenaran dan keadilan akan tegak jika terus diperjuangkan. MENANAM ADALAH MELAWAN.


Dalam kesempatan yang baik ini, kami juga mengenalkan kepada anak cucu pada salah satu budaya luhur bangsa ini, yaitu MEMBATIK. Dengan mengenalkan dan mempelajarinya, maka kecintaan akan batik akan tumbuh di hati mereka. Kecintaan itulah yang akan merawat budaya luhur warisan nenek moyang sehingga tetap kokoh mewarnai jati diri kita sebagai Negara Indonesia. Dunia boleh berubah dan berkembang pesat, tetapi menghidupi budaya luhur wajib terus kita lakukan. Agar Indonesia lestari.
Dalam bulan yang penuh rahmat dan ampunan ini, marilah kita sebagai makhluk yang paling lemah, mempertebal keimanan kita, mengakui segala kedosaan kita dihadapan Sang Khalik dengan memperbanyaklah amalan untuk kehidupan. Untuk sesama dan alam. Mencintai Sang Khalik, Allah Sang Kasih, berarti merawat karya agungNYA , yaitu alam dan segala isinya. Berbuka puasa dengan penuh rasa syukur bahwa ibu bumi menyediakan segalanya untuk kelangsungan hidup se
luruh makhluk hidup.
Salam KENDENG LESTARI !!!

[Kredit Foto: Doelah & Ngatiban]
Kontak JM-PPK :
081391285242 Gunretno
081348479183 Ngatiban