Jakarta - Memasuki 20 tahun reformasi, kasus kekerasan terhadap rakyat masih terjadi. Salah satunya adalah penembakan yang diduga dilakukan polisi terhadap seorang warga Sumba Barat bernama Poro Duka, 45 tahun, di pesisir Marosi, Nusa Tenggara Timur pada 25 April 2018 lalu.
"Tepat usia 20 tahun reformasi justru seorang warga ditembak karena memperjuangkan hak hidupnya," kata Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi, Khalisah Khalid, di Jakarta, Rabu 2 Mei 2018.
Khalisah berharap kematian Poro Duka adalah yang terakhir. "Cukup banyak warga yang menjadi korban dari keamanan dengan tujuan investasi," kata Khalisah.
Menurut dia, pendekatan kekerasan selalu digunakan negara dalam menghadapi warga yang mempertahankan lahannya. Hal ini menjadi praktik buram dari pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Khalisah menyatakan berbagai peristiwa kekerasan karena agraria terus berlanjut.
Khalisah mengatakan waktu untuk mencapai reformasi ini sangat panjang, namun kita justru dihadapkan kembali pada kejadian intimidasi. Reformasi berarti melepaskan polisi dari militer, agar mereka bisa berwatak lebih sipil.
"Tapi semakin hari kita semakin menyaksikan watak militeristiknya. Misalnya adanya kekerasan terhadap warga dalam menghadapi perjuangan masyarakat," kata dia.
Khalisah melanjutkan, amanat reformasi dicederai justru oleh institusi negara sendiri, yakni kepolisian. Dia pun menyesalkan dan mempertanyakan kehadiran kepolisian dalam mengamankan perusahaan dan mendukung Badan Pertanahan Nasional. "Laporan Komnas HAM, aktor yang paling banyak dilaporkan di sektor sumber daya alam dan lingkungan adalah kepolisian."
Yahya Zakaria dari Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan data kekerasan aparat terhadap masyarakat di bidang agraria tahun 2017. Yakni 360 orang dikriminalisasi. Mereka dihukum atas pasal pengrusakan dan pidana-pidana tertentu yang merupakan pasal karet. Ada 224 orang dianiaya termasuk perempuan. Lalu 13 orang meninggal dan 6 orang tertembak.
"Itu hanya satu tahun. Saya pikir itu angka yang banyak sekali," ujar Yahya. "Kami juga menilai rezim ini semakin represif terutama terhadap masyarakat yang mempertahankan haknya."
Kedua, Yahya berpendapat praktik-praktik yang dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang maupun kepolisian bertolak belakang dengan janji reforma agraria Jokowi-JK. Kementerian ATR, menurut dia, seolah lepas tangan saat siapa pun yang berkonflik dan kementerian ini tidak punya itikad baik untuk menyelesaikannya.
Polisi setelah 20 tahun reformasi juga dinilai masih bias di pihak pemilik modal dan seolah melindungi pemilik modal.
Sumber: Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar