Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Kamis, 24 Mei 2018

Siaran Pers |Sidang Perdana Aktivis Penolak Pencemaran PT RUM

Perjuangan Masih Terus Berlanjut!


Semarang, 24 Mei 2018
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat!
Hidup Persatuan Rakyat!
Hukum tumpul keatas tajam kebawah. Sudah sejak 4 Maret 2018 aktivis dan warga sukoharjo penolak PT. Rayon Utama Makmur (RUM) ditahan. Warga dan aktivis yang ditahan ini merupakan bentuk kesewenang-wenangan negara. Proses penangkapan yang banyak kecacatan mulai dari surat penangkapan 4 warga yang dituli tangan saat penangkapan dan juga prosedur penangkapan yang semena – mena. Sementara PT. RUM yang mencemari lingkungan, negara bergerak lambat untuk memprosesnya. Padahal pelaporan sudah dilayangkan warga sebanyak 5 kali.
Kesewenang-wenangan negara bahkan terlihat sejak pendudukan PT. RUM. Aparat menyeret 3 orang warga tanpa sepengetahuan massa pendudukan yang lain dan melakukan tindak kekerasan berupa pemukulan. Bahkan satu diantara tiga orang tersebut masih berusia 14 tahun. Benar-benar tindakan yang tidak manusiawi. Selain itu kesewenang-wenangan negara lagi-lagi ditunjukkan saat penangkapan kawan Iss yang tiba-tiba disergap oleh 5 orang polisi berseragam preman yang langsung memborgol kedua tangannya dan diseret paksa menuju mobil tanpa menunjukkan surat penangkapan. Lokasi penangkapannya pun sangat jauh dari Sukoharjo. Kawan Iss ditangkap atau mungkin lebih pas jika disebut diculik di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Kawan Iss berada di Jakarta dengan niatan melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepada aktivis dan warga penolak PT. RUM. Belum sempat melapor, kawan Iss sudah terlanjur ditangkap oleh pihak kepolisian. Di lain tempat 2 orang warga ditangkap pagi-pagi buta. Kelvin ditangkap jam 2 pagi disusul Sutarno pada jam 3 pagi. Tak tanggung-tanggung, 28 aparat kepolisian diturunkan untuk menangkap keduanya. Parahnya surat penangkapan yang ditunjukkan ditulis tangan. Selang 10 hari Brillian dan Sukemi menyusul, keduanya pun ditangkap saat dini hari dengan surat penangkapan ditulis tangan juga. Jelas hal tersebut membuktikan tindakan semena mena negara terhadap rakyatnya.


Genap 2 bulan sudah kelima orang aktivis dan warga penolak PT. RUM mendekam di dalam tahanan. Seharusnya 23 Mei 2018 penahanan mereka batal demi hukum karena penetapan penahanan tidak diberikan kepada kelimanya pada 22 Mei 2018. Namun anehnya, saat dikonfirmasi ke Pengadilan Negeri Semarang oleh LBH Semarang pada Selasa 23 Mei 2018 tiba – tiba pihak pengadilan memberikan informasi bahwa perkara tersebut tlah diregister dan djadwalkan untuk sidang pertama pada 24 Mei 2018. Padahal jelas dalam Pasal 146 ayat (1) KUHAP dinyatakan *“Penuntut umum menyampaikan surat pengadilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai”*. Ketika ditanyakan tentang hal itu, pihak Pengadilan Negeri menjawab bahwa surat penetapan penahanan dan panggilan sidang sudah diserahkan kepada pihak Kejaksaan sejak tanggal 17 Mei 2018. Sementara itu, saat Tim Kuasa Hukum kelima orang yang tergabung dalam Tim Advokasi Sukoharjo Melawan Pencemaran menanyakan kepada Kejaksaan Negeri Sukoharjo perihal waktu persidangan dan surat penahanan, kejaksaan menyatakan belum mendapatkan penetapan hari sidang dari PN Semarang. Atas hal tersebut kami menduga ada maladministrasi yang dilakukan oleh lembaga terkait yaitu Pengadilan Negeri Semarang, Kejaksaan Negeri Semarang, Kejaksaan Negeri Sukoharjo maupun pihak Lapas Kedungpane. Hingga kemarin (23/5), masih belum ada surat panggilan sidang resmi yang dikirimkan kepada 5 orang aktivis yang saat ini dikriminalisasi maupun kuasa hukum. Untuk itu, kami akan melakukan pelaporan ke berbagai lembaga diantaranya ke Ombudsman, Komisi Kejaksaan, serta Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah.
Dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan, nampak semakin jelas bahwa hukum di negara ini benar-benar tidak memihak pada rakyat. Mereka yang memperjuangkan lingkungan hidupnya diproses dengan cepat sedangkan perusaknya tak kunjung diproses sampai hari ini. Kita tidak akan tinggal diam melihat kesewenang-wenangan negara terhadap rakyat seperti ini. Kita akan tetap berjuang sampai keadilan benar-benar ada ditangan rakyat.
Maka dari itu kami menuntut untuk :
1. Bebaskan aktivis pejuang penolak PT RUM
2. Usut pidana pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT RUM
3. Usut kekerasan aparat terhadap massa aksi penolak PT RUM
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat!
Hidup Persatuan Rakyat!


Narahubung :
Blows 0812 5998 2371 (Sukoharjo Melawan Racun/SAMAR)
Rizky Putra Edry 0823 8680 7165 (LBH Semarang)

Minggu, 06 Mei 2018

Lamporan Kendeng, Mengusir "Hama" Perusak Lingkungan


Press-Rellease
Jaringan Mayarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK)

Lamporan Kendeng, Mengusir "Hama" Perusak Lingkungan


Pati, Sabtu malam, 5 Mei 2018, manunggal dengan langit dan ibu bumi, kami petani Kendeng yang tergabung dalam JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng), mengadakan upacara "mengusir hama bagi pertanian" yaitu LAMPORAN.
Kegiatan ini bermakna spiritual yang dalam. Permohonan dari petani yang “tertindas” kepada Sang Khalik Penguasa Jagad untuk memberikan keadilan-NYA yg paling hakiki. Tertindas oleh berbagai kebijakan yang tidak sejalan dengan pemberdayaan petani.

Kami, warga Kendeng dari berbagai desa 3 Kecamatan di Pati (Kayen, Tambakromo, Sukolilo), bahkan turut serta warga dari berbagai Kabupaten lereng Pegunungan Kendeng yaitu Rembang, Blora, Grobogan dan Kudus memulai tradisi lamporan dari Makam Pahlawan Manggolo Seto di Desa Brati.

Memulai tradisi lamporan, warga yang berkumpul lengkap dengan obor menyanyikan tembang dandang gulo yang merupakan kidung/lagu keselamatan bagi alam maupun manusia dan kidung pangkur sebagai tolak bala. Tembang ini juga dimaksudkan untuk menolak segala ancaman bagi keselamatan bumi seperti hama-hama.

Hama bagi kami bukan hanya wereng atau tikus, tetapi hama-hama modern yang akan memusnahkan kehidupan kami sebagai petani, yaitu keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Tidak hanya padi yang dimakan, tetapi lahan tempat padi itu tumbuh akan rusak musnah seiring dengan musnahnya ribuan mata air akibat ditambangnya batu kapur sebagai bahan baku utama pabrik semen. Hama itu juga berupa kebijakan yang akan merusak lingkungan.

bahkan, hama itu juga dalam rupa pemimpin atau calon pemimpin yang tidak berpihak pada petani dan lingkungan dalam kebijakannya. Apalagi, di tahun politik ini, semua calon Gubernur Jateng seakan tidak ada mementingkan sisi lingkungan hidup, khususnya Peg. Kendeng yang kasusnya terus bergulir sejak lama, namun seakan tak disediakan penyelesaian. Kita patut mewaspadai ancaman hama-hama itu semua.
Setelah itu, warga secara bersama-sama melakukan aksi jalan kaki menuju monumen dan langgar (Mushola) Yu Patmi, Pejuang Kendeng yang gugur tahun lalu. Di perjalanan, sambil membawa obor dan terus melantunkan doa nusantara _(Ibu Bumi wis maringi, Ibu Bumi di larani, Ibu Bumi Kang Ngadili, dst..)_, kami setidaknya melewati Dukuh Grasak, Desa karangawen , Dukuh Bulu dan Dukuh Banger Desa Mojomulyo, dan akhirnya sampai di Desa Larangan tempat langgar dan monument Yu Patmi. Desa-Desa itulah yang akan menjadi bakal tapak Pabrik Semen PT. Sahabat Mulia Sakti (Indocement Group).

Sesampainya disana, Kami langsung melakukan lamporan, memutari langgar dan monumen Yu Patmi sebanyak tiga kali sambil terus melantunkan doa dan memegang obor. Setelah itu, kami melakukan selamatan (brokohan/kenduren).

Semua itu adalah untuk memberikan makna, bahwa Petani sebagai sokoguru kehidupan seharusnya “dilindungi” dari berbagai upaya “penggusuran” yang mengatasnamakan pembangunan/investasi. Petanilah yang menjamin terciptanya kedaulatan pangan, yang seharusnya dilindungi negara.

Kami yang berasal dari Pati, Rembang, Grobogan dan Blora, bersatu hendak mempertahankan kelestarian Peg. Kendeng sebagai wujud rasa syukur atas berkat Sang Pencipta yang telah menciptakan karya agung berupa Pegunungan Kendeng.

Pegunungan purba ini yang telah memberikan penghidupan kepada kami. Yakni melalui sumber-sumber mata air dan tanah subur. Kami juga hendak meminta Presiden beserta jajaran pemerintahan, untuk merenungkan dahsyatnya kerusakkan yang akan ditimbulkan jika kebijakan industrialisasi pabrik semen di Peg. Kendeng di teruskan.

Berbagai upaya telah kami lakukan dalam usaha mempertahankan kelestarian Peg. Kendeng. Upaya hukum yang telah menghasilkan keputusan _inkracht_, upaya KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) di sepanjang Peg. Kendeng juga telah usai dilakukan. Dari kedua upaya tersebut, meminta kepada pemerintah untuk melindungi kawasan karst (tidak boleh dieksploitasi). Tetapi hingga hari ini kedua upaya kami seakan berhenti di tempat. Aktivitas penambangan batu kapur terus berlangsung, bahkan Pemda Jateng terus mengobral ratusan izin disaat upaya KLHS sedang berlangsung. Aktivitas pabrik semen di Rembang pun terus berlangsung.

Khusus di Pati, Izin Lingkungan PT. SMS seharusnya telah habis masa berlakunya. Kami pun telah meminta kepada Pemda Pati dan Pemda Jateng agar Izin yang telah habis masa berlaku tersebut tidak di perpanjang. Itu kami lakukan bahkan melalui surat resmi yang kami layangkan ke semua jajaran pemerintah pada 7 Desember 2017 lalu. Akan tetapi, sepertinya hingga kini belum ada itikad baik dari Pemda Pati dan Pemda Jateng untuk menggubris keputusan bulat warga terdampak rencana pembangunan tersebut.

Di akhir tradisi lamporan yang kami lakukan, semua ibu-ibu, bapak-bapak maupun pemuda melakukan aksi gotong royong membuat gedek anyaman bambu untuk menyelesaikan pembangunan langgar Yu Patmi. Walaupun mendekati waktu tengah malam, semua warga tak mengenal lelah. Ini sebagai wujud semangat tiada henti dari seluruh warga untuk terus menolak rencana pendirian pabrik semen dan penambangan di Pegunungan Kendeng.

Perjalanan panjang perjuangan kami yang telah melampaui satu dekade, diwarnai dengan isak tangis, kesakitan raga, kehilangan harta benda, bahkan kehilangan nyawa, semakin membuat kami kuat untuk terus menegakkan keadilan. Berbagai intimidasi yang kami alami, juga menguatkan kami untuk terus menyalakan perjuangan ini, layaknya obor lampor yang terus menyala menerangi dunia. Semoga nyala obor lampor ini segera membuka dan menerangi mata hati para pemimpin untuk mengambil kebijakkan yang membela rakyatnya dan bukan justru menjadi hama atau membuat hama. Kamilah kaum marhaen yang patut di bela, bukannya kaum elit korporasi yang merusak bangsa ini.

Narahubung
Bambang (+6285290140807)
Gunritno (+6281391285242)


Rabu, 02 Mei 2018

Walhi: 20 Tahun Reformasi Kekerasan Aparat Masih Terjadi

Reporter:  Editor: 

Juli Hantoro | 

Rabu, 2 Mei 2018 18:17 WIB

Para pengurus dari berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup, Konsorsium Pembaruan Agraria, dan KontraS, membuat pernyataan sikap atas kasus penembakan warga sipil di Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, NTT, yang membela lahannya. Kantor Walhi, 2 Mei 2018. Tempo/Rezki Alvionitasari.
Jakarta - Memasuki 20 tahun reformasi, kasus kekerasan terhadap rakyat masih terjadi. Salah satunya adalah penembakan yang diduga dilakukan polisi terhadap seorang warga Sumba Barat bernama Poro Duka, 45 tahun, di pesisir Marosi, Nusa Tenggara Timur pada 25 April 2018 lalu.
"Tepat usia 20 tahun reformasi justru seorang warga ditembak karena memperjuangkan hak hidupnya," kata Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi, Khalisah Khalid, di Jakarta, Rabu 2 Mei 2018.
–– ADVERTISEMENT ––

Khalisah berharap kematian Poro Duka adalah yang terakhir. "Cukup banyak warga yang menjadi korban dari keamanan dengan tujuan investasi," kata Khalisah.
Menurut dia, pendekatan kekerasan selalu digunakan negara dalam menghadapi warga yang mempertahankan lahannya. Hal ini menjadi praktik buram dari pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Khalisah menyatakan berbagai peristiwa kekerasan karena agraria terus berlanjut.
Khalisah mengatakan waktu untuk mencapai reformasi ini sangat panjang, namun kita justru dihadapkan kembali pada kejadian intimidasi. Reformasi berarti melepaskan polisi dari militer, agar mereka bisa berwatak lebih sipil.
"Tapi semakin hari kita semakin menyaksikan watak militeristiknya. Misalnya adanya kekerasan terhadap warga dalam menghadapi perjuangan masyarakat," kata dia.
Khalisah melanjutkan, amanat reformasi dicederai justru oleh institusi negara sendiri, yakni kepolisian. Dia pun menyesalkan dan mempertanyakan kehadiran kepolisian dalam mengamankan perusahaan dan mendukung Badan Pertanahan Nasional. "Laporan Komnas HAM, aktor yang paling banyak dilaporkan di sektor sumber daya alam dan lingkungan adalah kepolisian."
Yahya Zakaria dari Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan data kekerasan aparat terhadap masyarakat di bidang agraria tahun 2017. Yakni 360 orang dikriminalisasi. Mereka dihukum atas pasal pengrusakan dan pidana-pidana tertentu yang merupakan pasal karet. Ada 224 orang dianiaya termasuk perempuan. Lalu 13 orang meninggal dan 6 orang tertembak.
"Itu hanya satu tahun. Saya pikir itu angka yang banyak sekali," ujar Yahya. "Kami juga menilai rezim ini semakin represif terutama terhadap masyarakat yang mempertahankan haknya."
Kedua, Yahya berpendapat praktik-praktik yang dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang maupun kepolisian bertolak belakang dengan janji reforma agraria Jokowi-JK. Kementerian ATR, menurut dia, seolah lepas tangan saat siapa pun yang berkonflik dan kementerian ini tidak punya itikad baik untuk menyelesaikannya.
Polisi setelah 20 tahun reformasi juga dinilai masih bias di pihak pemilik modal dan seolah melindungi pemilik modal.
Sumber: Tempo.Co