BANYUWANGI – Delapan warga terdampak tambang emas di area Gunung Tumpang Pitu berangkat dari Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, menuju ke Universitas Jember pada Rabu (21/3) lalu. Mereka menempuh jarak 100 Km dengan agenda menyampaikan keluh kesah serta permasalahan yang tengah mereka hadapi kepada komisioner Komnas HAM.
Saat itu, Komnas HAM sedang berada di Universitas Jember. Pertemuan pun digelar di aula gedung rektorat Universitas Jember. Beberapa hal penting pun disampaikan kepada Ketua Komnas HAM, Taufan Damanik, antaranya ekspansi tambang, sengketa lahan, kriminalisasi hingga persoalan perusakan wilayah konservasi.
Warga Tumpang Pitu bersama perwakilan organisasi jejaring seperti Walhi Jatim dan LBH Surabaya, menyampaikan polemik pertambangan emas di Tumpang Pitu. Perwakilan Walhi Jatim juga menjelaskan terkait kronologi kriminalisasi dan intimidasi yang mengancam warga.
Dalam catatan investigasi Walhi Jatim, kasus kriminalisasi yang menimpa warga Tumpang Pitu, terkait dengan sikap penolakannya terhadap kehadiran pertambangan, telah memakan korban sebanyak 15 orang dalam 5 kasus yang berbeda di sepanjang kurun waktu 2015-2017.
Pertama; pertengahan November 2015, 1 orang warga dituduh merusak drone milik perusahaan. Akibat tuduhan ini warga tersebut menjadi tersangka. Kedua; akhir November 2015, 8 orang warga dituduh merusak fasilitas perusahaan. Saat ini kasus tersebut berstatus 4 orang divonis bebas murni, dan 4 warga lainnya, kasusnya masih berjalan di tingkat kasasi (Mahkamah Agung).
Ketiga; awal April 2017, 22 orang warga dituduh membawa spanduk aksi yang diduga mirip logo palu arit. Atas tuduhan tersebut, 4 orang warga Sumberagung ditetapkan menjadi tersangka, dan salah satu diantaranya (Heri Budiawan) ditahan dan sedang menjalani persidangan. Warga menduga tuduhan tersebut hanya bertujuan untuk melemahkan gerakan penolakan yang sedang mereka lakukan. Sekaligus juga untuk memecah belah persatuan perjuangan warga.
Keempat; akhir April 2017, 1 orang warga dituduh melakukan penghadangan terhadap pekerja PT. DSI. Atas tuduhan tersebut, 1 orang warga kini ditetapkan sebagai tersangka. Kelima; Mei 2017, 1 orang kuasa hukum (pengacara) warga dituduh melakukan pencemaran nama baik perusahaan.
Pemaparan oleh Walhi Jatim kemudian dilengkapi dengan cerita warga kepada Komisioner Komnas HAM dalam pertemuan tersebut.
Ratna salah satu warga yang mengalami kriminalisasi mengatakan, dia menolak tambang emas, karena jarak pertambangan relatif dekat dengan pemukiman yang ia tinggali, kurang lebih sekitar 5 Km dan dia tidak mau lingkungannya rusak. Di saat menolak, dia di kriminalisasi. Berawal dari aksi di tahun 2017, dia ditetapkan sebagai tersangka karena memegang spanduk yang diduga mirip logo palu arit.
Ratna menuturkan, pasca aksi tersebut oleh polres, dia bersama kawan-kawannya sekitar 22 orang diperiksa, lalu mengerucut pada empat orang.
“Awalnya hanya dijadikan saksi, lalu pasca persidangan Budi Pego saya dan kedua kawannya ditetapkan menjadi tersangka,” ujarnya.
Dia mengaku tidak tahu mengenai alasan penangkapan, dari pemasangan spanduk sepanjang jalan dari pulau Merah tidak ada spanduk palu arit. Katanya, setelah istirahat sejenak dan aksi berlanjut. Selang dua hari aksi, dia baru tahu ternyata spanduk yang dia bawa bersama dua kawan lainnya terdapat logo mirip palu arit, yang dijadikan dalih kriminalisasi atas dirinya dan kawan-kawannya.
Tidak hanya Ratna, salah seorang perempuan pejuang lainnya bernama Fitri juga mengalami hal serupa. Jauh sebelum Ratna, dia diadili dituduh provokator kerusuhan pada 2015 silam. Hingga kini kasusnya masing digantungkan, setelah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai sekarang nasibnya tidak jelas, belum ada keputusan lanjutan perihal kasasi.
Fitri juga menceritakan bahwa dia dari dusun pancer, seorang istri nelayan dan lahir dari keluarga nelayan. Tahun 1994 terkena wilayahnya terkena tsunami. Secara tidak langsung gunung Tumpang Pitu turut melindungi wilayahnya dari dahsyatnya Tsunami, jikalau tidak ada Tumpang Pitu mungkin dia tidak bisa melihat keluarganya lagi.
Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga nelayan, Fitri merasa resah karena pertambangan akan mengurangi dan mengancam lingkungan serta ekonomi warga. Dia juga mengungkapkan warga tolak tambang diintimidasi hingga sekarang.
“Tolak tambang adalah hak, Tumpang Pitu merupakan tempat mencari hidup dan tempat menggantungkan hidup.” Kata Fitri dengan berlinang air mata kepada Komnas HAM.
Setelah Fitri cerita dilanjutkan oleh Dayat yang merupakan warga tolak tambang. Dia mengatakan menolak tambang karena khawatir, akan ancaman tambang yang begitu mengerikan. Di Pancer Dayat mempunyai banyak teman yang terancam, baik secara ekonomi dan sosial, karena hidup di kawasan pertambangan.
Dayat juga mengatakan bahwa konsesi pertambangan meliputi perkampungan warga seperti Dusun Pancer, hal ini tertera di Perda RTRW Banyuwangi tahun 2012 dan berlaku sampai 2032.
“Pemerintah menetapkan wilayah tambang di daerah pemukiman, itu tidak manusiawi.” Ungkap Dayat.
Sama dengan Fitri, Dayat mengungkapkan banyak dari mereka yang tolak tambang ketakutan dan tidak berani bersuara, karena adanya intimidasi. Seperti dari aparat keamanan yang terlampau represif dan intimidatif.
Lalu ada ormas dan lembaga agama yang turut mengintimidasi, salah satu contohnya ketika ada doa bersama dan istighotsah tolak tambang, mereka menekan dan meminta tidak dilanjutkan.
“Tumpang Pitu tempat menggantungkan hidup ratusan petani dan nelayan. Tambang juga menciptakan permusuhan diantara tetangga, memuncullkan konflik sosial,” terang Dayat kepada Komnas HAM.
Munculnya berbagai polemik yang diakibatkan oleh pertambangan, dinilai tidak lepas dari abainya Negara dalam melindungi hak-hak warganya.
“Perampasan ruang hidup yang kian masif, menciptakan instabilitas dalam kehidupan masyarakat. Baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan hak-hak untuk hidup lebih layak. Pertambangan emas di Tumpang Pitu nyatanya tak memberikan keuntungan apapun, malahan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hak asasi manusia,” ujar Rere Christanto selaku Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim.
Dijelaskan, perampasan ruang hidup di Banyuwangi khususnya Tumpang Pitu, yang mulai terlihat dampak negatif secara tidak langsung bertentangan dengan hak asasi manusia.
“Jika merujuk pada pasal 28 UUD 1945. Oleh karena itu kami meminta Komnas HAM sebagai lembaga negara yang bertugas menegakkan HAM di Indonesia,” tegasnya.
Pihaknya meminta agar Komnas HAM bertindak dan menegakkan HAM seadil-adilnya kepada warga Tumpang Pitu yang terancam oleh pertambangan emas.
“Segera memberikan rekomendasi dan membentuk tim investigasi untuk melihat fakta di lapangan. Mendesak pemerintah agar segera menghentikan pertambangan di Tumpang Pitu, yang secara faktual telah mencerabut hak-hak masyarakat yang tinggal di area Tumpang Pitu sebagai warga negara,” tutupnya. (jt1)Terbit.Co
0 komentar:
Posting Komentar