Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Jumat, 23 Maret 2018

Ini Pengaduan Warga Tumpang Pitu ke Komnas HAM


SERAH TERIMA: Nur Hidayat, perwakilan warga Pesanggaran menyerahkan dokumen kepada Komnas HAM pada Rabu (21/3). (Foto: Walhi Jatim/terbitdotco)
BANYUWANGI Delapan warga terdampak tambang emas di area Gunung Tumpang Pitu berangkat dari Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, menuju ke Universitas Jember pada Rabu (21/3) lalu. Mereka menempuh jarak 100 Km dengan agenda menyampaikan keluh kesah serta permasalahan yang tengah mereka hadapi kepada komisioner Komnas HAM.
Saat itu, Komnas HAM sedang berada di Universitas Jember. Pertemuan pun digelar di aula gedung rektorat Universitas Jember. Beberapa hal penting pun disampaikan kepada Ketua Komnas HAM, Taufan Damanik, antaranya ekspansi tambang, sengketa lahan, kriminalisasi hingga persoalan perusakan wilayah konservasi.
Warga Tumpang Pitu bersama perwakilan organisasi jejaring seperti Walhi Jatim dan LBH Surabaya, menyampaikan polemik pertambangan emas di Tumpang Pitu. Perwakilan Walhi Jatim juga menjelaskan terkait kronologi kriminalisasi dan intimidasi yang mengancam warga.
Dalam catatan investigasi Walhi Jatim, kasus kriminalisasi yang menimpa warga Tumpang Pitu, terkait dengan sikap penolakannya terhadap kehadiran pertambangan, telah memakan korban sebanyak 15 orang dalam 5 kasus yang berbeda di sepanjang kurun waktu 2015-2017.
Pertama; pertengahan November 2015, 1 orang warga dituduh merusak drone milik perusahaan. Akibat tuduhan ini warga tersebut menjadi tersangka. Kedua; akhir November 2015, 8 orang warga dituduh merusak fasilitas perusahaan. Saat ini kasus tersebut berstatus 4 orang divonis bebas murni, dan 4 warga lainnya, kasusnya masih berjalan di tingkat kasasi (Mahkamah Agung).
Ketiga; awal April 2017, 22 orang warga dituduh membawa spanduk aksi yang diduga mirip logo palu arit. Atas tuduhan tersebut, 4 orang warga Sumberagung ditetapkan menjadi tersangka, dan salah satu diantaranya (Heri Budiawan) ditahan dan sedang menjalani persidangan. Warga menduga tuduhan tersebut hanya bertujuan untuk melemahkan gerakan penolakan yang sedang mereka lakukan. Sekaligus juga untuk memecah belah persatuan perjuangan warga.
Keempat; akhir April 2017, 1 orang warga dituduh melakukan penghadangan terhadap pekerja PT. DSI. Atas tuduhan tersebut, 1 orang warga kini ditetapkan sebagai tersangka. Kelima; Mei 2017, 1 orang kuasa hukum (pengacara) warga dituduh melakukan pencemaran nama baik perusahaan.
Pemaparan oleh Walhi Jatim kemudian dilengkapi dengan cerita warga kepada Komisioner Komnas HAM dalam pertemuan tersebut.
Ratna salah satu warga yang mengalami kriminalisasi mengatakan, dia menolak tambang emas, karena jarak pertambangan relatif dekat dengan pemukiman yang ia tinggali, kurang lebih sekitar 5 Km dan dia tidak mau lingkungannya rusak. Di saat menolak, dia di kriminalisasi. Berawal dari aksi di tahun 2017, dia ditetapkan sebagai tersangka karena memegang spanduk yang diduga mirip logo palu arit.
Ratna menuturkan, pasca aksi tersebut oleh polres, dia bersama kawan-kawannya sekitar 22 orang diperiksa, lalu mengerucut pada empat orang. 
“Awalnya hanya dijadikan saksi, lalu pasca persidangan Budi Pego saya dan kedua kawannya ditetapkan menjadi tersangka,” ujarnya.
Dia mengaku tidak tahu mengenai alasan penangkapan, dari pemasangan spanduk sepanjang jalan dari pulau Merah tidak ada spanduk palu arit. Katanya, setelah istirahat sejenak dan aksi berlanjut. Selang dua hari aksi, dia baru tahu ternyata spanduk yang dia bawa bersama dua kawan lainnya terdapat logo mirip palu arit, yang dijadikan dalih kriminalisasi atas dirinya dan kawan-kawannya.
Tidak hanya Ratna, salah seorang perempuan pejuang lainnya bernama Fitri juga mengalami hal serupa. Jauh sebelum Ratna, dia diadili dituduh provokator kerusuhan pada 2015 silam. Hingga kini kasusnya masing digantungkan, setelah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai sekarang nasibnya tidak jelas, belum ada keputusan lanjutan perihal kasasi.

CURHAT: Perwakilan warga yang menolak keberadaan tambang emas di Tumpang Pitu menyampaikan keluh kesahnya kepada Komnas HAM pada Rabu (21/3). (Foto: Walhi Jatim/terbitdotco)
Fitri juga menceritakan bahwa dia dari dusun pancer, seorang istri nelayan dan lahir dari keluarga nelayan. Tahun 1994 terkena wilayahnya terkena tsunami. Secara tidak langsung gunung Tumpang Pitu turut melindungi wilayahnya dari dahsyatnya Tsunami, jikalau tidak ada Tumpang Pitu mungkin dia tidak bisa melihat keluarganya lagi.
Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga nelayan, Fitri merasa resah karena pertambangan akan mengurangi dan mengancam lingkungan serta ekonomi warga. Dia juga mengungkapkan warga tolak tambang diintimidasi hingga sekarang.
“Tolak tambang adalah hak, Tumpang Pitu merupakan tempat mencari hidup dan tempat menggantungkan hidup.” Kata Fitri dengan berlinang air mata kepada Komnas HAM.
Setelah Fitri cerita dilanjutkan oleh Dayat yang merupakan warga tolak tambang. Dia mengatakan menolak tambang karena khawatir, akan ancaman tambang yang begitu mengerikan. Di Pancer Dayat mempunyai banyak teman yang terancam, baik secara ekonomi dan sosial, karena hidup di kawasan pertambangan.
Dayat juga mengatakan bahwa konsesi pertambangan meliputi perkampungan warga seperti Dusun Pancer, hal ini tertera di Perda RTRW Banyuwangi tahun 2012 dan berlaku sampai 2032.
“Pemerintah menetapkan wilayah tambang di daerah pemukiman, itu tidak manusiawi.” Ungkap Dayat.
Sama dengan Fitri, Dayat mengungkapkan banyak dari mereka yang tolak tambang ketakutan dan tidak berani bersuara, karena adanya intimidasi. Seperti dari aparat keamanan yang terlampau represif dan intimidatif.
Lalu ada ormas dan lembaga agama yang turut mengintimidasi, salah satu contohnya ketika ada doa bersama dan istighotsah tolak tambang, mereka menekan dan meminta tidak dilanjutkan.
“Tumpang Pitu tempat menggantungkan hidup ratusan petani dan nelayan. Tambang juga menciptakan permusuhan diantara tetangga, memuncullkan konflik sosial,” terang Dayat kepada Komnas HAM.
Munculnya berbagai polemik yang diakibatkan oleh pertambangan, dinilai tidak lepas dari abainya Negara dalam melindungi hak-hak warganya.
“Perampasan ruang hidup yang kian masif, menciptakan instabilitas dalam kehidupan masyarakat. Baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan hak-hak untuk hidup lebih layak. Pertambangan emas di Tumpang Pitu nyatanya tak memberikan keuntungan apapun, malahan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hak asasi manusia,” ujar Rere Christanto selaku Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim.
Dijelaskan, perampasan ruang hidup di Banyuwangi khususnya Tumpang Pitu, yang mulai terlihat dampak negatif secara tidak langsung bertentangan dengan hak asasi manusia. 
“Jika merujuk pada pasal 28 UUD 1945. Oleh karena itu kami meminta Komnas HAM sebagai lembaga negara yang bertugas menegakkan HAM di Indonesia,” tegasnya.
Pihaknya meminta agar Komnas HAM bertindak dan menegakkan HAM seadil-adilnya kepada warga Tumpang Pitu yang terancam oleh pertambangan emas.

“Segera memberikan rekomendasi dan membentuk tim investigasi untuk melihat fakta di lapangan. Mendesak pemerintah agar segera menghentikan pertambangan di Tumpang Pitu, yang secara faktual telah mencerabut hak-hak masyarakat yang tinggal di area Tumpang Pitu sebagai warga negara,” tutupnya. (jt1)
Terbit.Co 

Kamis, 08 Maret 2018

Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara

 ABBA GABRILLIN | Kompas.com - 08/03/2018, 18:39 WIB


Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/10). KPK melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Nur Alam sebagai tersangka kasus korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam persetujuan dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Sulawesi Tenggara pada 2008-2014. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/17.(ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pertama kalinya menggunakan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian keuangan negara. Hal ini diterapkan dalam penuntutan bagi terdakwa Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam. 

"Ini untuk pertama kalinya digunakan untuk menghitung kerugian negara. Selanjutnya tinggal menunggu putusan majelis hakim," ujar jaksa Subari Kurniawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/3/2018). 

Nur Alam, jaksa menilai, perbuatan politisi Partai Amanat Nasional itu telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah. Pengajar Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis menghitung adanya kerugian negara sebesar Rp 2,7 triliun akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di Pulau Kabaena. Dari hasil penelitian, terdapat tiga jenis perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Pertama, total kerugian akibat kerusakan ekologis. 

Pengganti Rp 2,7 Miliar) Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan dan yang ketiga menghitung biaya pemulihan lingkungan. Perhitungan itu menggunakan acuan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Selain itu, dalam pengamatan langsung ditemukan kerusakan tanah dan kegiatan pertambangan di luar izin yang diberikan kepada PT AHB. Menurut jaksa, Nur Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. 

Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB). Izin dan persetujuan itu dikeluarkan tanpa mengikuti prosedur. Akibatnya, PT AHB memeroleh keuntungan sebesar Rp 1,5 triliun. Setelah dikalkulasi dengan keuntungan yang diperoleh pihak korporasi, maka kerugian negara yang diakibatkan mencapai Rp 4,3 triliun. 

Jaksa KPK menuntut Nur Alam pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1 miliar. Selain itu, membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar. Jaksa juga meminta majelis hakim mencabut hak politik terdakwa lima tahun setelah selesai menjalani hukuman. 

Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Sandro Gatra


Sumber: Kompas.Com 

Selasa, 06 Maret 2018

Asosiasi semen minta moratorium pabrik

Selasa, 06 Maret 2018 / 06:26 WIB


ILUSTRASI. PASOKAN SEMEN di Pelabuhan Nunukan

JAKARTA. Asosiasi Semen Indonesia mengusulkan pemerintah agar melakukan moratorium terhadap penerbitan izin pendirian pabrik semen baru. Latar belakang permintaan itu karena pasokan semen sudah berlebih.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso menerangkan, permintaan semen dan kemampuan produksi dalam negeri sudah jomplang. Sebagai perbandingan di tahun 2017 kemarin penjualan semen nasional 66 juta ton, dari kapasitas terpasang 106 juta ton per tahun.

"Kami menyadari investasi perlu, tapi kalau oversupply sebaiknya distop," sebut Widodo. Asosiasi mendorong agar ekspor semen bisa meningkat agar mampu menanggulangi kondisi kelebihan pasokan ini.
Produsen seperti PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), menganggap kondisi kelebihan pasokan ini bisa berakhir seiring meningkatnya konsumsi. "Kalau setiap tahun bisa tumbuh sampai 8% saja, maka kapasitas sekarang bisa terserap semua sampai tahun 2021," sebut Agung Wiharto, Sekretaris Perusahaan SMGR.
SMGR memiliki beberapa proyek pabrik yang tertahan akibat persoalan izin dan lahan. Sejauh ini, SMGR belum memaksakan kehendak memproduksi secepatnya, sembari me-review ekspansi tersebut SMGR menunggu pasar semen tumbuh mendekati kapasitas terpasang.
Saat ini SMGR pandai-pandai melakukan efisiensi di segala lini, khususnya biaya distribusi. "Kami mempunyai 26 baking plant dan ada 14 pelabuhan sendiri serta banyak gudang, supply chain ini yang dimanfaatkan supaya biaya logistik murah," terang Pupung, panggilan Agung.
Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, moratorium alias penundaan merupakan langkah sementara hingga lima tahun kedepan. "Secara birokratis kami bekerja sama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk monitoring perizinan pabrik semen baru," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (5/3).
Kapan moratorium bisa berlangsung? Sigit belum bisa menjabarkan. Yang jelas moratorium tidak lama sembari menunggu permintaan semen dalam negeri meningkat.

Reporter: Agung Hidayat 
Editor: Wahyu Rahmawati
Sumber: Kontan.Co.Id 

Senin, 05 Maret 2018

Pernyataan Sikap Bersama | Atas Kriminalisasi 3 Petani Surokonto Wetan dan Permohonan Grasi

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA
PBNU, YLBHI, LBH Semarang, KOMNAS HAM, LAPESKDAM NU, FNKSDA, Jaringan Gusdurian, PGI, KWI
Atas Kriminalisasi 3 Petani Surokonto Wetan dan Permohonan Grasi

Kyai Nur Aziz, Sutrisno, dan Rusmin (tiga petani miskin di Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah) telah divonis penjara 8 (delapan) dan denda Rp. 10 Milyar karena memperjuangkan hak atas tanah yang dikelola oleh masyarakat sejak tahun 1970. 
Kedua petani (Nur Aziz dan Sutrisno) akan mengajukan Permohonan Grasi Kepada Presiden Republik Indonesia karena putusan majelis hakim tersebut tidak adil dan tidak berperikemanusiaan. 
Kedua petani tersebut dituduh merambah hutan dengan menggunakan dasar Pasal 94 ayat (1) huruf a UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan di wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. 
Awalnya, wilayah tersebut adalah lahan perkebunan terlantar yang kemudian digarap masyarakat Desa Surokontowetan. Tetapi, lahan ini ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh KLHK karena tukar guling Perhutani dengan PT Semen Indonesia yang sedang membangun pabrik semen di Kabupaten Rembang – Jawa Tengah. Proses peralihan lahan perkebunan dan menjadi kawasan hutan tidak sepengetahuan masyarakat penggarap lahan.
Kedua petani yang memohon grasi tersebut adalah perwakilan masyarakat Desa Surokonto Wetan, dimana terdapat 450 Kepala Keluarga penggarap di lahan seluas 127, 821 hektar tersebut. Karena adanya ancaman dari Perhutani KPH Kendal bahwa masyarakat penggarap tidak dapat lagi bertani di lahan tersebut, para penggarap melakukan upaya-upaya untuk mencari tahu mengapa bisa lahan yang sudah digarap sejak lama bisa ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi sehingga masyarakat harus terusir. 
Tindakan-tindakan masyarakat untuk memperjuangkan hak atas tanahnya dipandang Perhutani KPH Kendal sebagai bentuk perambahan kawasan hutan tanpa izin. Perhutani menuduh Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin sebagai pelaku perambahan hutan. Ketiga petani kemudian diadili di pengadilan dari tingkat pertama sampai Mahkamah Agung. Di tingkat kasasi di MA, majelis hakim telah menyatakan ketiga petani bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama 8 tahun penjara dan denda Rp. 10 Miliar. Putusan ini menguatkan putusan PN Kendal.
Dalam kasus di atas, Komnas HAM RI menilai terdapat 3 (tiga) aspek yang terkait yaitu: 
Belum optimalnya proses penataan dan penyelesaian konflik tenurial oleh Kementerian LHK, Perum Perhutani, Pemprov. Jawa Tengah dan Pemkab Kendal sehingga permasalahan lahan 127 Ha yang dimanfaatkan oleh sekitar 450 KK untuk mencukupi kebutuhan hidupnya;
Penetapan lahan pengganti oleh PT. Semen Indonesia (SI) terhadap kawasan hutan di wilayah Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah yang berdampak langsung dengan kelangsungan hidup sekitar 450 KK;
Proses penegakan hukum terhadap tokoh atau pihak yang memiliki pengaruh dengan tuduhan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum sesuai Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan.
Bahwa ketiga aspek tersebut saling berkaitan dengan aspek pemenuhan hak atas kesejahteraan, terutama mengenai perlindungan atas kepemilikan dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minatnya; hak untuk mengembakan diri terutama mengenai hak atas pemenuhan kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara layak yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1), 36 ayat (1) dan (2) serta Pasal 11 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kami dari PBNU, Komnas HAM RI, KWI, YLBHI, Lakpesdam PBNU, LBH Semarang, Walhi Jateng, Jaringan Gusdurian dan segenap masyarakat sipil lainnya Peduli Petani Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal atas nama Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin dan perwakilan petani Desa Surokonto Wetan memberikan dukungan terhadap Permohonan Grasi Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin untuk dikabulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Adapun alasan kami mendukung permohonan grasi Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin:
Pertama, bahwa terpidana dalam pandangan kami tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum sebagaimana yang diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung;
Kedua, memberikan pengampunan terhadap Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin. Putusan Hakim MA sama sekali tidak beralasan dan berdasarkan dugaan (Zhann) yang sepihak. Menurut para Ulama, dugaan yang tidak berdasar dan tidak akurat tidak dapat dijadikan landasan hukum yang sah untuk menghukumi seseorang. Kaidah Fikih menyatakan: ‘’Dugaan yang jelas-jelas kesalahannya tidak diperhitungkan sebagai ketetapan hukum’’ dan masyarakat Surokonto adalah mustahiq (yang berhak) atas tanah tersebut;
Ketiga, bahwa putusan tersebut bertentangan dengan norma agama karena mengabaikan rasa keadilan dan tidak memikirkan kelangsungan hidup 450 Kepala Keluarga Masyarakat Desa Surokontowetan dan keluarga Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin;
Keempat, Demi rasa kemanusiaan dan keadilan hukuman dan denda yang diterima oleh masing-masing terpidana memberatkan dan mengingkari rasa kemanusiaan terlebih yang bersangkutan adalah rakyat jelata;
Kelima, bahwa kami merasakan keputusan hakim jauh di luar rasa keadilan dan kemanusiaan;
Keenam, bahwa jika Permohonan Grasi tidak dikabulkan akan menjadi preseden buruk untuk kasus-kasus berikutnya khususnya menyangkut rakyat kecil ketika berhadapan dengan penguasa atau lembaga tertentu.
Ketujuh, bahwa Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin adalah pejuang kelestarian lingkungan hidup yang seharusnya dilindungi dari upaya pemidanaan sesuai dengan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kami akan mengajukan permohonan Grasi Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pasal 6A UU 5/2010 Tentang Grasi yang berbunyi: 
(1) Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi; 
(2) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan Grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, kami meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengabulkan Permohonan Grasi yang dimohonkan oleh Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin.
Jakarta, 5 Maret 2017
CP:
SITI RAKHMA MARY (YLBHI) 0812-2840-995
ZAINAL ARIFIN (LBH SEMARANG) 085-727-149-369
HAMZAH SAHAL 0812-9423-3803
SAIFUL HUDA 0811-2794-345