Upacara Rakyat 17 Agustus 2017
“Merdeka Merdi Kawitan”
Merdeka merdi Kawitan, seharusnya seluruh rakyat Indonesia Merdeka harus Merdi Kawitan (tahu sejarah awal direbutnya negeri Indonesia dari kekuasaan kolonial Belanda) Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa Pahlawannya.
Maka pentingnya seluruh rakyat Indonesia mengetahui “SEJARAH” kalau tidak mengetahui sejarah apa yang terjadi? merdeka di maknai merdil koyo merdeka hanya menghitung kekayaan.
“ Tidak seorangpun yang menghitung-hitung :berapa untung yang kudapat nanti dari republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankanya”. (pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)
Hari ini, tepat 72 tahun bapak pendiri bangsa, Ir. Soekarno dan Drs. H. Moch. Hatta, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Indonesia yang kita cintai bersama. Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Indonesia yang kaya akan keberagaman tetapi tetap erat menggenggam persatuan dalam keberbedaan.
Kami, para petani yang tergabung dalam JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) bersama-sama dengan para petani lainnya dari berbagai daerah di nusantara (Sabang sampai meraoke) serta masyarakat yang peduli kepada kelestarian kawasan karst baik yang ada di Jawa maupun di luar Jawa, bersatu padu merayakan kemerdekaan Indonesia secara hikmat dalam upacara rakyat. Upacara peringatan kemerdekaan bagi kami bermakna sangat mendalam, tidak hanya sekedar berdiri tertib menghormat pada Sang Saka Merah Putih saat dikibarkan oleh pasukan pengibar bendera, ataupun tidak hanya sekedar bergembira ria saat berbagai perlombaan digelar berbagai elemen masyarakat saat menyambut peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, tetapi lebih dalam dari itu, kami kembali dihentakkan pada permenungan akan dibawa kemana negeri yang kaya raya ini setelah 72 tahun merdeka. Kami juga dibawa kembali untuk menilik hati masing-masing apa yang sudah kita berikan kepada negeri ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Khalik Pencipta Semesta yang telah memberikan rahmat kemerdekaan sebagai bangsa yang terbebas dari belenggu penjajahan oleh bangsa lain dan juga sebagai ucapan trimakasih yang tak terhingga kepada para pahlawan yang telah memberikan dirinya total kepada negeri ini tanpa balas jasa. Sebagai petani, sudah seharusnya kami tetap menanam, serta tetap memelihara ibu bumi agar dapat terus ditatanami sampai kapanpun demi masa depan anak cucu kita semua.
Sebagai bahan permenungan, ada baiknya kita bersama-sama menilik kembali perjuangan para pendiri bangsa ini. Dalam pidato Bung Karno pada saat peletakkan batu pertama pembangunan kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (yang saat ini menjadi IPB) pada 27 April 1952, beliau bicara panjang lebar soal pangan dan masa depan bangsa ini. Pangan adalah hidup mati bangsa ini. Bung Karno secara lugas bicara perihal statistik pangan. Di saat tahun 1940, kebutuhan beras perkapita warga Indonesia yang berjumlah 75 juta adalah 86 kg pertahun. Berarti kebutuhan beras adalah 6,5 juta ton, padahal Indonesia saat itu hanya mampu memproduksi 5,5 juta ton. Alhasil Indonesia harus mengimport ke berbagai negara. Tetapi Bung Karno TIDAK MAU MENGGANTUNGKAN PERUT RAKYAT INDONESIA PADA IMPOR BERAS. Berbagai upaya dilakukan, baik ekstensifikasi maupun intensifikasi di bidang pertanian. Semua dilakukan demi berdikarinya Indonesia dalam pangan. Beliau tidak mau membuang devisa negara untuk mengimpor bahan pangan.
Untuk saat ini ada 5 provinsi penghasil beras terbesar yaitu Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Indonesia menjadi negara ketiga dengan produsen beras terbanyak di dunia, tetapi Indonesia masih tetap mengimport beras (3 juta ton tiap tahun). Penyebabnya adalah tingginya jumlah penduduk (lebih dari 250 juta), tingginya konsumsi beras perkapita (150 kg per tahun) serta teknik pertanian yang digunakan petani belum optimal. Indonesia mencanangkan diri mencapai swasembada beras bahkan berniat menjadi eksportir beras dengan berbagai cara, salah satunya adalah mendorong petani (90 % produksi beras Indonesia adalah hasil petani kecil yang rata-rata hanya memiliki lahan 0,8 hektar) untuk meningkatkan produksi berasnya dengan inovasi tehnologi dan subsidi pupuk.
Tetapi yang terjadi di daerah bertolak belakang dengan kebijakkan yang dicanangkan pemerintah pusat. Banyaknya sengketa agraria antara petani dan pemerintah daerah akibat dari beralihnya lahan pertanian ataupun terancamnya lahan produktif mereka akibat kebijakkan investasi pertambangan yang membabibuta. 72 tahun Indonesia merdeka, tetapi “penindasan” pada rakyat kecil/ kaum marhaen/ petani masih terus berlangsung. Penindasan yang dibungkus dengan kata “PEMBANGUNAN”.
Patut dipertanyakan, sesungguhnya “pembangungan untuk siapa?”
Bagaimana mungkin pembangunan dilakukan dengan memberangus ruang hidup dan ruang produksi petani (kaum marhaen yang jumlahnya terbanyak di negera Indonesia). Sawah, tegal dan lahan produktif lainnya “dirampas paksa” atau ” tergadaikan” atas nama investasi yang jelas-jelas tidak mensejahterakan petani, justru membuat kami para petani “dipaksa” beralih profesi menjadi buruh kasar. Cita-cita luhur pendiri bangsa ini untuk memandirikan rakyatnya yang mayoritas petani dengan memberdayakan ruang produksi untuk seoptimal mungkin menghasilkan beras demi kesejahteraan rakyat seluruhnya, semakin jauh dari kenyataan. Ruang produksi (sawah dan tegal) yang kami dapat secara turun temurun telah banyak yang tergadaikan oleh iming-iming keuntungan sesaat. Bagaimana mungkin swasembada pangan tercapai jika lahan-lahan produktif semakin sedikit akibat dari beralihnya fungsi dan menjadi tidak subur lagi akibat sumber-sumber air semakin banyak yang hilang akibat dieksploitasinya gunung-gunung dan kawasan karst.
Pemerintah, sebagai penyelenggara AMANAT RAKYAT dan sebagai pembuat regulasi, sudah seharusnya bekerja “hanya” untuk rakyat. Adanya otonomi daerah, seharusnya semakin mendekatkan rakyat pada kesejahteraan yang hakiki sesuai dengan potensi yang dimiliki rakyatnya. Daerah dengan jumlah penduduk yang mayoritas bertani, sudah seharusnya berbagai kebijakkan pembangunan diarahkan untuk mendayagunakan bidang pertanian. Disinilah dibutuhkan kerja keras dan komitmen dari para pemimpin untuk betul-betul MENGABDI KEPADA RAKYAT. Bukan malah sebaliknya, berlindung pada peningkatan pendapatan daerah, mengambil jalan pintas untuk menjual berbagai sumber daya alam yang ada kepada kaum kapitalis. Sumberdaya alam yang seharusnya dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, berpindahtangan kepada tangan-tangan serakah yang hanya memikirkan keuntungan sesaat tanpa berpikir panjang akan masa depan anak cucu kita. Peraturan/ undang-undang yang seharusnya dibuat untuk melindungi rakyat dan sumber daya alam “disulap/ dikondisikan” agar tangan-tangan serakah kaum kapitalis bisa menguasai sumber daya alam. Gunung-gunung yang kaya akan mineral dan sebagai cagar alam, dieksploitasi atas nama investasi. Hutan-hutan lindung beralih fungsi menjadi hutan produksi agar “bisa” dieksploitasi. Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang telah ditetapkan, diubah dan diciutkan hanya demi bisa diskploitasi. Bahkan kawasan karst yang jelas-jelas masuk kategori kawasan lindung geologis yang harus dilindungi sesuai hasil KLHS (seperti CAT Watuputih di Rembang), tidak segera ditetapkan menjadi KBAK agar dengan mudah juga tetap bisa dieksploitasi. Rakyat memang tidak pernah memiliki negeri ini. Akhirnya, bencana alam pun terjadi dan mengintai setiap saat. Tidak hanya semakin sedikitnya ruang produksi bahan pokok (beras, jagung, sagu) tetapi bencana kekeringan di saat awal musim kemarau dan bencana banjir bandang di saat awal musim penghujan melanda. Siapa yang paling merasakannya? Jawabnya adalah kami, rakyat kecil/ petani. Karena kamilah yang tinggal di gunung-gunung dan desa-desa yang sehari-harinya hidup dan menghidupi dari pertanian. Apa yang dilakukan pemerintah? Mereka hanya “memadamkan api” tanpa berusaha menghilangkan “sumber api”. Jika kekeringan melanda, ramai-ramai sumber dana pemerintah digelontorkan untuk menyediakan air bersih bagi warga. Tetapi mereka lupa, siapa yang menyediakan sumber air bagi mata pencaharian kami (sawah-sawah). Tidak ada satu kekuatan atau teknologi buatan manusia yang bisa menandingi ciptaan Sang Khalik. Untuk itulah kami mengetuk dengan keras nurani para pemimpin yang telah dipercaya oleh rakyat, untuk bekerja keras mengabdi kepada rakyat bukan kepada pemodal.
Sudah 72 tahun merdeka, tetapi kita tidak pernah mau belajar dari sejarah. Sudah saatnya kita semua bangkit berbenah. Negera Indonesia membutuhkan pemimpin yang betul-betul mempunyai komitmen mengabdi kepada rakyat. Indonesia juga membutuhkan kepedulian dari seluruh rakyatnya, untuk tidak masa bodoh atas semua masalah yang ada saat ini. Kita semua patut bekerja keras setulus-tulusnya sesuai dengan bidang kita masing-masing hanya untuk Indonesia. Hanya dengan cara itulah maka pahlawan bisa tersenyum bahagia karena telah mewariskan kemerdekaan Indonesia yang direbut dengan tumpahan darah. Hanya dengan cara itulah kita bisa mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebagai petani, kami akan terus berjuang untuk melindungi ruang hidup dan ruang produksi pertanian serta kelestarian ibu bumi. Pembangunan harus tetap berjalan tetapi harus berkesinambungan tanpa harus meminggirkan rakyatnya.
Kami paham pembangunan fisik jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangunan energi juga penting. Tetapi dengan tidak didahulukan membangun JIWA musthahil bisa tercapai. Dalam pembangunan jiwa butuh keteladanan dan kami yakin rakyat Pegunungan Kendeng dipilih oleh Sang pencipta untuk menjadi panutan dalam mempertahankan keutuhan NKRI, keutuhan persaudaraan tanpa pilih kasih di mana semua bangsa hidup dalam damai lahir dan batin.
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA
MERDEKA MERDI KAWITAN
Salam Kendeng Lestari
Kontak Person JM-PPK :
Gunretno [081391285242]
Bambang Sutikno [085290140807]
Gunretno [081391285242]
Bambang Sutikno [085290140807]
0 komentar:
Posting Komentar