Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Senin, 21 Agustus 2017

Kemelut PT Semen Indonesia: Koalisi Peduli Kendeng Lestari Tagih Janji Kementerian LHK

Monday, 21 August 2017 17:33

Pertemuan perwakilan Koalisi Petani Kendeng dan staf KLHK (GATRAnews/VRU)
Jakarta, Gatranews - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang telah menolak Peninjauan Kembali (PK) PT Semen Indonesia yang kembali memastikan kemenangan gugatan warga petani Rembang melalui putusan nomor 91 PK/TUN/2017 pada 20 Juni 2017. Padahal tahun lalu mereka menang di MA melalui PK No 99 PK/TUN/2016. 

Kini PT Semen Indonesia malah dituding telah menggunakan kekuatannya untuk mengkriminalisasi petani Pegunungan Kendeng. “Salah satunya melalui kriminalisasi terhadap Joko Prianto, wakil masyarakat pegunungan Kendeng melalui Kepolisian Daerah Jateng oleh PT Semen Indonesia,” ujar Ferry Widodo, salah satu aktivis "Koalisi Peduli Kendeng Lestari". 

Koalisi Peduli ini kemudian mengunjungi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senen (21/8). Mereka diterima oleh sejumlah staf Kementerian. Ferry melanjutkan, kondisi tersebut sangat bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup No 32/2009 Pasal 66. Pada pasal itu, papar Ferry, negara menjamin setiap warga negara yang memperjuangkan lingkungan hidupnya tak boleh dikriminalisasi. 

“Siapa pun, baik individu maupun korporasi sama kedudukannya di mata hukum dan harus menaatinya. Oleh sebab itu, kami akan menagih pelaksanaan UU tersebut ke KLHK sebagai bentuk protes untuk menaati produk hukum yang berlaku,” imbuhnya. 

Repoter: VRU
Editor: Nur Hidayat
https://www.gatra.com/nusantara/jawa/280603-koalisi-peduli-kendeng-lestari-tagih-janji-klhk

Minggu, 20 Agustus 2017

Ajakan Tagih Sikap Menteri LHK

Stop Kriminalisasi Joko Prianto dan Pejuang Lingkungan lainnya.


Pada 20 Juni 2017, Pengadilan TUN Semarang telah Menolak PK Semen Indonesia yang kembali memastikan kemenangan gugatan warga petani Rembang melalui putusan nomor 91 PK/TUN/2017 setelah tahun lalu menang di MA melalui PK No 99 PK/TUN/2016.
Namun bukannya kembali tunduk pada hukum, diluar itu semua semen Indonesia telah menggunakan semua tangan jahat tak terlihatnya untuk melemahkan perjuangan rakyat membela tanah air, mempertahankan ruang hidupnya di pegunungan Kendeng.
Salah satunya melalui Kriminalisasi terhadap Joko Prianto wakil masyarakat pegunungan Kendeng melalui Kepolisian Daerah Jateng oleh PT Semen Indonesia.
Padahal UU Lingkungan Hidup No 32/2009 Pasal 66 negara menjamin setiap warga negara yg memperjuangkan lingkungan hidupnya tak boleh dikriminalisasi.
Untuk itu kami mengajak kawan sekalian ikut datang MENAGIH Menteri Lingkungan Hidup untuk mengeluarkan sikap memastikan pasal 66 dan UU 32/2009 tentang lingkungan hidup ditegakkan, kriminalisasi para pejuang lingkungan dihentikan dan Pelanggaran KLHS dihentikan dilapangan.
Ayo datang ke Kementerian LHK, Pada Senin, 21 Agustus 2017, Pkl 11.00 WIB di Gedung Manggala Wanabakti, Gatot Subroto - Senayan, Jakarta dilanjutkan setelahnya ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Kriminalisasi terhadap Joko Prianto, adalah kriminalisasi terhadap semua pecinta alam dan pejuang lingkungan hidup, Menteri LHK tidak boleh diam.
Kontak :
Asfinawati +62 812-8218-930 (YLBHI)
Merah Johansyah +62 813-4788-2228 (JATAM)
Muhammad Isnur +62 815-1001-4395
Koalisi Peduli Kendeng Lestari
- Sebarkan -

Kamis, 17 Agustus 2017

"Merdeka Merdi Kawitan"

Upacara Rakyat 17 Agustus 2017
“Merdeka Merdi Kawitan”


Merdeka merdi Kawitan, seharusnya seluruh rakyat Indonesia Merdeka harus Merdi Kawitan (tahu sejarah awal direbutnya negeri Indonesia dari kekuasaan kolonial Belanda) Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa Pahlawannya.
Maka pentingnya seluruh rakyat Indonesia mengetahui “SEJARAH” kalau tidak mengetahui sejarah apa yang terjadi? merdeka di maknai merdil koyo merdeka hanya menghitung kekayaan.
“ Tidak seorangpun yang menghitung-hitung :berapa untung yang kudapat nanti dari republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankanya”. (pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)
Hari ini, tepat 72 tahun bapak pendiri bangsa, Ir. Soekarno dan Drs. H. Moch. Hatta, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Indonesia yang kita cintai bersama. Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Indonesia yang kaya akan keberagaman tetapi tetap erat menggenggam persatuan dalam keberbedaan.


Kami, para petani yang tergabung dalam JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) bersama-sama dengan para petani lainnya dari berbagai daerah di nusantara (Sabang sampai meraoke) serta masyarakat yang peduli kepada kelestarian kawasan karst baik yang ada di Jawa maupun di luar Jawa, bersatu padu merayakan kemerdekaan Indonesia secara hikmat dalam upacara rakyat. Upacara peringatan kemerdekaan bagi kami bermakna sangat mendalam, tidak hanya sekedar berdiri tertib menghormat pada Sang Saka Merah Putih saat dikibarkan oleh pasukan pengibar bendera, ataupun tidak hanya sekedar bergembira ria saat berbagai perlombaan digelar berbagai elemen masyarakat saat menyambut peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, tetapi lebih dalam dari itu, kami kembali dihentakkan pada permenungan akan dibawa kemana negeri yang kaya raya ini setelah 72 tahun merdeka. Kami juga dibawa kembali untuk menilik hati masing-masing apa yang sudah kita berikan kepada negeri ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Khalik Pencipta Semesta yang telah memberikan rahmat kemerdekaan sebagai bangsa yang terbebas dari belenggu penjajahan oleh bangsa lain dan juga sebagai ucapan trimakasih yang tak terhingga kepada para pahlawan yang telah memberikan dirinya total kepada negeri ini tanpa balas jasa. Sebagai petani, sudah seharusnya kami tetap menanam, serta tetap memelihara ibu bumi agar dapat terus ditatanami sampai kapanpun demi masa depan anak cucu kita semua.
Sebagai bahan permenungan, ada baiknya kita bersama-sama menilik kembali perjuangan para pendiri bangsa ini. Dalam pidato Bung Karno pada saat peletakkan batu pertama pembangunan kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (yang saat ini menjadi IPB) pada 27 April 1952, beliau bicara panjang lebar soal pangan dan masa depan bangsa ini. Pangan adalah hidup mati bangsa ini. Bung Karno secara lugas bicara perihal statistik pangan. Di saat tahun 1940, kebutuhan beras perkapita warga Indonesia yang berjumlah 75 juta adalah 86 kg pertahun. Berarti kebutuhan beras adalah 6,5 juta ton, padahal Indonesia saat itu hanya mampu memproduksi 5,5 juta ton. Alhasil Indonesia harus mengimport ke berbagai negara. Tetapi Bung Karno TIDAK MAU MENGGANTUNGKAN PERUT RAKYAT INDONESIA PADA IMPOR BERAS. Berbagai upaya dilakukan, baik ekstensifikasi maupun intensifikasi di bidang pertanian. Semua dilakukan demi berdikarinya Indonesia dalam pangan. Beliau tidak mau membuang devisa negara untuk mengimpor bahan pangan.
Untuk saat ini ada 5 provinsi penghasil beras terbesar yaitu Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Indonesia menjadi negara ketiga dengan produsen beras terbanyak di dunia, tetapi Indonesia masih tetap mengimport beras (3 juta ton tiap tahun). Penyebabnya adalah tingginya jumlah penduduk (lebih dari 250 juta), tingginya konsumsi beras perkapita (150 kg per tahun) serta teknik pertanian yang digunakan petani belum optimal. Indonesia mencanangkan diri mencapai swasembada beras bahkan berniat menjadi eksportir beras dengan berbagai cara, salah satunya adalah mendorong petani (90 % produksi beras Indonesia adalah hasil petani kecil yang rata-rata hanya memiliki lahan 0,8 hektar) untuk meningkatkan produksi berasnya dengan inovasi tehnologi dan subsidi pupuk.
Tetapi yang terjadi di daerah bertolak belakang dengan kebijakkan yang dicanangkan pemerintah pusat. Banyaknya sengketa agraria antara petani dan pemerintah daerah akibat dari beralihnya lahan pertanian ataupun terancamnya lahan produktif mereka akibat kebijakkan investasi pertambangan yang membabibuta. 72 tahun Indonesia merdeka, tetapi “penindasan” pada rakyat kecil/ kaum marhaen/ petani masih terus berlangsung. Penindasan yang dibungkus dengan kata “PEMBANGUNAN”.
Patut dipertanyakan, sesungguhnya “pembangungan untuk siapa?”
Bagaimana mungkin pembangunan dilakukan dengan memberangus ruang hidup dan ruang produksi petani (kaum marhaen yang jumlahnya terbanyak di negera Indonesia). Sawah, tegal dan lahan produktif lainnya “dirampas paksa” atau ” tergadaikan” atas nama investasi yang jelas-jelas tidak mensejahterakan petani, justru membuat kami para petani “dipaksa” beralih profesi menjadi buruh kasar. Cita-cita luhur pendiri bangsa ini untuk memandirikan rakyatnya yang mayoritas petani dengan memberdayakan ruang produksi untuk seoptimal mungkin menghasilkan beras demi kesejahteraan rakyat seluruhnya, semakin jauh dari kenyataan. Ruang produksi (sawah dan tegal) yang kami dapat secara turun temurun telah banyak yang tergadaikan oleh iming-iming keuntungan sesaat. Bagaimana mungkin swasembada pangan tercapai jika lahan-lahan produktif semakin sedikit akibat dari beralihnya fungsi dan menjadi tidak subur lagi akibat sumber-sumber air semakin banyak yang hilang akibat dieksploitasinya gunung-gunung dan kawasan karst.
Pemerintah, sebagai penyelenggara AMANAT RAKYAT dan sebagai pembuat regulasi, sudah seharusnya bekerja “hanya” untuk rakyat. Adanya otonomi daerah, seharusnya semakin mendekatkan rakyat pada kesejahteraan yang hakiki sesuai dengan potensi yang dimiliki rakyatnya. Daerah dengan jumlah penduduk yang mayoritas bertani, sudah seharusnya berbagai kebijakkan pembangunan diarahkan untuk mendayagunakan bidang pertanian. Disinilah dibutuhkan kerja keras dan komitmen dari para pemimpin untuk betul-betul MENGABDI KEPADA RAKYAT. Bukan malah sebaliknya, berlindung pada peningkatan pendapatan daerah, mengambil jalan pintas untuk menjual berbagai sumber daya alam yang ada kepada kaum kapitalis. Sumberdaya alam yang seharusnya dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, berpindahtangan kepada tangan-tangan serakah yang hanya memikirkan keuntungan sesaat tanpa berpikir panjang akan masa depan anak cucu kita. Peraturan/ undang-undang yang seharusnya dibuat untuk melindungi rakyat dan sumber daya alam “disulap/ dikondisikan” agar tangan-tangan serakah kaum kapitalis bisa menguasai sumber daya alam. Gunung-gunung yang kaya akan mineral dan sebagai cagar alam, dieksploitasi atas nama investasi. Hutan-hutan lindung beralih fungsi menjadi hutan produksi agar “bisa” dieksploitasi. Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang telah ditetapkan, diubah dan diciutkan hanya demi bisa diskploitasi. Bahkan kawasan karst yang jelas-jelas masuk kategori kawasan lindung geologis yang harus dilindungi sesuai hasil KLHS (seperti CAT Watuputih di Rembang), tidak segera ditetapkan menjadi KBAK agar dengan mudah juga tetap bisa dieksploitasi. Rakyat memang tidak pernah memiliki negeri ini. Akhirnya, bencana alam pun terjadi dan mengintai setiap saat. Tidak hanya semakin sedikitnya ruang produksi bahan pokok (beras, jagung, sagu) tetapi bencana kekeringan di saat awal musim kemarau dan bencana banjir bandang di saat awal musim penghujan melanda. Siapa yang paling merasakannya? Jawabnya adalah kami, rakyat kecil/ petani. Karena kamilah yang tinggal di gunung-gunung dan desa-desa yang sehari-harinya hidup dan menghidupi dari pertanian. Apa yang dilakukan pemerintah? Mereka hanya “memadamkan api” tanpa berusaha menghilangkan “sumber api”. Jika kekeringan melanda, ramai-ramai sumber dana pemerintah digelontorkan untuk menyediakan air bersih bagi warga. Tetapi mereka lupa, siapa yang menyediakan sumber air bagi mata pencaharian kami (sawah-sawah). Tidak ada satu kekuatan atau teknologi buatan manusia yang bisa menandingi ciptaan Sang Khalik. Untuk itulah kami mengetuk dengan keras nurani para pemimpin yang telah dipercaya oleh rakyat, untuk bekerja keras mengabdi kepada rakyat bukan kepada pemodal.
Sudah 72 tahun merdeka, tetapi kita tidak pernah mau belajar dari sejarah. Sudah saatnya kita semua bangkit berbenah. Negera Indonesia membutuhkan pemimpin yang betul-betul mempunyai komitmen mengabdi kepada rakyat. Indonesia juga membutuhkan kepedulian dari seluruh rakyatnya, untuk tidak masa bodoh atas semua masalah yang ada saat ini. Kita semua patut bekerja keras setulus-tulusnya sesuai dengan bidang kita masing-masing hanya untuk Indonesia. Hanya dengan cara itulah maka pahlawan bisa tersenyum bahagia karena telah mewariskan kemerdekaan Indonesia yang direbut dengan tumpahan darah. Hanya dengan cara itulah kita bisa mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebagai petani, kami akan terus berjuang untuk melindungi ruang hidup dan ruang produksi pertanian serta kelestarian ibu bumi. Pembangunan harus tetap berjalan tetapi harus berkesinambungan tanpa harus meminggirkan rakyatnya.
Kami paham pembangunan fisik jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangunan energi juga penting. Tetapi dengan tidak didahulukan membangun JIWA musthahil bisa tercapai. Dalam pembangunan jiwa butuh keteladanan dan kami yakin rakyat Pegunungan Kendeng dipilih oleh Sang pencipta untuk menjadi panutan dalam mempertahankan keutuhan NKRI, keutuhan persaudaraan tanpa pilih kasih di mana semua bangsa hidup dalam damai lahir dan batin.
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA
MERDEKA MERDI KAWITAN
Salam Kendeng Lestari
Kontak Person JM-PPK :
Gunretno [081391285242]
Bambang Sutikno [085290140807]

Senin, 14 Agustus 2017

Ketika Rakyat Hentikan Pidato Pejabat

Ketika rakyat memperingati hari kemandiriannya dan di dalam peringatan itu aparat pemerintah yang diundang semata memanfaatkannya untuk kepentingan melakukan “sosialisasi” kegiatan pemerintahan. Maka ada sebuah simpul ironi yang menunjukkan bahwa rupanya selama ini masyarakat lah yang harus selalu mendengarkan pemerintah; bukan sebaliknya...


HARI JADI PERPAG: Semarak peringatan 2 Tahun (14/8) Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong selatan (PERPAG) diperingati di Dusun Karangkamal, Desa Sikayu; dekat kompleks Gua Banteng-Cocor. Pada kesempatan ini panitia sempat menghentikan pidato  pejabat yang berkepanjangan tapi tak menyentuh substansi peringatan [Foto: Perpag Med.Doc] 

Insiden ini mungkin sepele kelihatannya. Tetapi, sungguh, amat sangat menyayat wilayah kedaulatan dalam memanfaatkan ruang demokrasi rakyat. Seakan masyarakat lah yang harus selalu menuruti pemerintah dengan segala kemauan, aturan dan “program-program”nya. Sementara dalam konteks ini, konteks dimana Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG) tengah menggelar peringatan hari jadi organisasinya; hal substansial yang tengah dituntut masyarakat malah telah sama sekali diabaikan.

Sakit memang. Tetapi untungnya masyarakat telah sampai pada fase kesedaran maju untuk tak mau terus-menerus dibodohi dan dibohongi. Sehingga ketika pejabat dari kecamatan (dan juga dari kabupaten) itu berpidato mengular namun menjauh dari substansi peringatan, panitia bertindak sigap menghentikannya.    

POTONG TUMPENG: Ketua PERPAG, H. Samtilar menyerahkan potongan tumpeng kepada anak-anak Desa Sikayu pada pagi hari  sebelum peringatan hari jadi 2 Tahun PERPAG digelar (14/8). "Perjuangan menjaga ekologi karst harus dilanjutkan oleh anak-cucu Desa Sikayu", kata H. Samtilar [Foto: Perpag Med.Doc]  


Perpag 2 Tahun, Sebuah Catatan

Sudah lebih dari dua tahun Masyarakat Karst Gombong Selatan bertahan membangun resistensi dari upaya dan rencana penambangan pabrik semen yang nyata berpotensi mengancam tiang penyangga kehidupan atas ekosistem karst yang telah menaungi kehidupan seluruh mahluk hidup di dalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya.

Sejak ditetapkannya kawasan KBAK menjadi kawasan budidaya pada tahun 2014 dengan ditetapkannya putusan Mentri ESDM No. 3873 K/40/MEM/2014 yang diikuti permohonan pengajuan Izin Lingkungan (AMDAL) Pt Semen Gombong pada tahun 2016 dimana telah memicu keresahan masyarakat yang bermuara pada protes.


KAWASAN KARST: Profil pegunungan karst di KBAK Gombong Selatan, terbentang di hulu Desa Sikayu, Buayan. Di bawah dan di dalam perut gunung ini terbangun suatu mata-rantai Hidrologi-Karst yang mengatur tata-air dan bermuara pada sumber-sumber seperti Gua Pucung, Gua Candi, Kalisirah, Lepen Jeblosan dan seterusnya [Foto: Yatno PW] 

Meski hasil sidang AMDAL tersebut telah dinyatakan tidak layak namun masyarakat masih mempertanyakan sikap Pemerintah Daerah yang sampai saat ini terkesan membiarkan KBAK Gombong Selatan terancam oleh bias peruntukannya sebagai calon areal tambang semen.

Berbagai upaya litigasi yang menemui jalan buntu telah dilakukan masyarakat dengan meminta kawasan budi daya seksploitasi tambang tersebut agar dikembalikan menjadi kawasan KBAK yang utuh. Sehingga terbebas dari rencana penambangan, Pemerintah Daerah Kebumen bersikeras bahwa proses perubahan KBAK Gombong Selatan telah sesuai prosedur yang berlaku, meski tanpa pertimbangan teknis keilmuan dan keilmiahan berdasarkan fakta-fakta di lapangan.

Mengacu pada pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, maka kawasan karst perlu mendapat perhatian yang serius dalam upaya mencapai keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestariannya, diperlukan suatu keterpaduan kebijakan, strategi dan rencana aksi pengelolaan lingkungan kawasan karst sebagai potensi daerah, nasional dan internasional yang dilengkapi dengan perangkat hukum dan penegakkan hukum dalam melakukan penyidikan dan penuntutan bagi penyelesaian kasus-kasus kerusakan lingkungan di kawasan karst.

AKSI EKOLOGI: Selain gencar berdemonstrasi, masyarakat di kawasan karst Gombong selatan juga melaksanakan Aksi Tanam Pohon berkelanjutan di KBAK Gombong Selatan [Foto: Yatno PW]


Peringatan Tentang Eco-Karst

Pada 6 Desember 2004, Presiden Republik Indonesia telah meresmikan kawasan karst Gunung Kidul dan kawasan karst Gombong Selatan ini sebagai kawasan Eco-Karst. Penetapannya waktu itu dilaksanakan di Wonosari Gunung Kidul.

Namun tetap saja segala bentuk legitimasi formal eco-karst tidak dapat menjamin kelestarian kawasan karst Gombong Selatan karena Pemkab Kebumen yang seharusnya bertanggung-jawab atas kelestarian kawasan tersebut justru menelantarkan dan membiarkan dirusak oleh aktivitas penambangan ilegal. Ihwal penambangan ilegal ini memang telah berlangsung belasan tahun. Bahkan juga dengan pelibatan alat berat.  

Alih-alih melakukan tindakan sesuai otoritasnya, namun pembiaran atas aktivitas tambang tradisional ilegal ini malah terkesan supaya ada dalih lain bahwa kawasan eco-karst telah tergerus rusak dengan sendirinya. Sehingga kini diasumsikan telah layak waktu dimana sebagian zona itu boleh dikeluarkan dari KBAK agar dapat ditambang sebagai bahan baku semen. Warisan ekologi alam telah dijadikan objek sasaran profit instant demi alasan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Tapi paradoks dengan cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat.  

Kawasan karst merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan (non-renewable) dan mudah rusak. Sekali telah rusak tidak dapat dipulihkan (unretrievable) dan rentan terhadap pencemaran. Namun kawasan karst ini merupakan sumberdaya alam yang memiliki berbagai nilai strategis antara lain nilai ekonomi, ekologi, kemanusiaan, budaya estetika dan sains keilmuan. Yang pelestariannya tak cukup dengan retorika dan slogan.  


KENDURI: Anak-anak SD Sikayu tengah menikmati nasi kenduri pada pagi hari (14/8) menjelang dihelatnya Peringatan 2 Tahun Hari Jadi PERPAG di Dukuh Karangkamal, Desa Sikayu [Foto: Perpag Med.Doc]


Penyelamatan Bumi dari Lingkungan

Lebih dari sekedar berkampanye, PERPAG dan masyarakat bersepakat untuk membagun suatu tradisi aksi bersama. Membangun penyelamatan lingkungan, merintis desa sebagai destinasi wisata, melaksanakan aksi penghijauan, dan sebagainya. Termasuk dalam dalam konteks ini, melakukan upaya menangkal segala macam bentuk kampanye, sosialisasi yang justru merupakan pembodohan dengan janji-janji kesejahteraan konsesi dari tambang semen.

Janji-janji kesejahteraan seperti ini, sering kali, justru bersinergi dengan selubung investasi yang digencarkan pemerintah. Masyarakat karst tak menolak investasi. Tapi jika investasi yang didukung pemerintah itu berpotensi merusak ekologi; maka (kerusakan_Red) itu yang ditentangnya. Penetapan formal kawasan sebagai Eco-Karst pun tak bermakna apa-apa manakala masyarakat sekitar tak tergerak untuk selalu menjaga dan merawatnya.

Itu sebabnya, pidato mengular aparatus pemerintah di event peringatan Hari Jadi 2 Tahun Perpag; dihentikan masyarakat.

Karena bagaimanapun sesederhananya pemikiran masyarakat yang mayoritas adalah petani (yang dikonotasikan bodoh_Red) mengetahui betul dan bahkan memahami bahwa penambangan pada hakikatnya bertujuan untuk merampas hak asasi mereka dan mengancam ruang hidup bersama serta keutuhan sosial masyarakat perdesaan yang sudah menjadi entitas tradisional secara turun-temurun.

EBEG: Perempuan Desa Sikayu menggelar pentas kesenian tradisi "Ebeg" pada (14/8) pagi hari menjelang peringatan 2 Tahun Hari Jadi Perpag [Foto: Perpag Med.Doc]

Peringatan hari jadi PERPAG yang ke-2 (14/8) diikuti oleh sedikitnya 17 organisasi, mahasiwa, aktivist Caving, pemerhati lingkungan dan kelompok masyarakat seperti dari Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Kendeng (JM-PPK), Walhi, LBH, Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLP-KP), warga pesisir Urut Sewu Kebumen selatan, Paguyuban Warga Penolak Penggusuran (PWPP-Temon,KulonProgo), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Seruni, PMII, Banser NU Kecamatan Buayan, beserta sekitar 1.500 warga masyarakat karst Gombong selatan dari beberapa desa di Kecamatan Buayan, Ayah dan Rowokele. [ahb]


SEMARAK: Semarak peringatan Hari Jadi 2 Tahun PERPAG di Dukuh Karangkamal, Desa Sikayu, Kecamatan Buayan, Kebumen (14/8) dihadiri oleh tak kurang dari 1.500 warga [Foto: Perpag Med.Doc]