Rabu, 07 Juni 2017

Mongabay Indonesia Menggelar Diskusi Air untuk Kehidupan

Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi | 00:39 WIB | Rabu, 07 Juni 2017

Diskusi Air untuk Kehidupan di Uwong cafe Jalan Kapas No 27, Kledokan, Sumberadi, Mlati, Caturtunggal-Sleman, Senin (5/6) malam. Dari kanan-kiri: EkoTeguh Paripurno (UPN Veteran Yogyakarta), Merah Johansyah Ismail (JATAM), Gunritno (JMPPK), Lapio (Perpag-Gombong), Tommy Apriando (Mongabay Indonesia). 
(Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Memperingati ulang tahunnya yang kelima, Mongabay Indonesia menggelar diskusi bertajuk "Air untuk Kehidupan" di Uwong cafe Jalan Kapas No 27, Kledokan, Sumberadi, Mlati, Caturtunggal-Sleman, Senin (5/6) malam.
Diskusi yang dipandu oleh Tommy Apriando dari Mongabay Indonesia menghadirkan tokoh Sedulur Sikep Gunritno, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah Ismail, Eko Teguh Paripurno (Ketua Prodi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta), serta Lapio (Perpag Gombong).
Dalam pemaparannya Gunritno menyoroti tentang daya dukung-daya tampung kawasan karst Kendeng Utara yang membentang dari Kabupaten Grobobogan hingga Kabupaten Bojonegoro terancam fungsi lingkungannya terutama sistem hidrologinya dalam penyediaan air bersih bagi kehidupan akibat adanya berbagai penambangan terlebih pabrik-tambang kapur dan semen.
Sistem hidrologi pada karst yang unik dan membentang cukup luas mengingat banyaknya sistem yang tersambung berada di bawah permukaan hingga melewati batas administrasi wilayah propinsi bahkan negara hingga saat ini masih belum menyentuh pada pengelolaan yang menyeluruh terutama dalam partisipasi masyarakat setempat. Ironisnya, justru pada kawasan yang terdapat banyak pemukiman di atas Pegunungan Kendeng justru seolah-olah negara tidak turut hadir dalam penyelamatan.
"Masyarakat lebih banyak bergerak sendiri dan seolah berhadapan dengan korporasi yang telah mendapat ijin dari pemerintah. Gerakan masyarakat dalam menyelamatkan Kendeng tetap lestari justru mendapat dukungan yang cukup besar di luar negeri. Beberapa waktu lalu, dukungan sekitar 82.000-an masyarakat Jerman terhadap rencana pembangunan dan penambangan bahan baku semen di Kendeng (Utara). Sementara di dalam negeri sendiri, masyarakat yang menolak rencana pabrik-tambang semen di Kendeng mendapat perlawanan melalui berbagai propaganda mulai dari stigma anti pembangunan, tidak ingin daerahnya maju, hingga ditunggangi oleh kepentingan asing terutama kepentingan perusahaan semen dari luar negeri." kata Gunritno.
Ironi lainnya, proses hukum yang telah dimenangkan oleh warga penolak semen di Rembang hingga tingkat kasasi pun seolah dipermainkan sendiri oleh pemerintah. Keputusan yang telah berkekuatan hukum di tingkat Mahkamah Agung pun masih mdicari celah dengan mengeluarkan ijin lingkungan baru, addendum, keluarnya revisi dokumen AMDAL. Bahkan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dikeluarkan pada 12 April 2017 yang menyatakan bahwa rencana kawasan tambang semen di Rembang berada di kawasan cekungan air tanah (CAT) yang merupakan kawasan lindung geologi pun masih terus dicari celahnya lebih lanjut Gunritno memaparkan.
Sebagai catatan, Gunritno bersama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pada tahun sejak tahun 2006 melakukan perlawanan secara hukum terhadap rencana pabrik-tambang PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati. Perlawanan tersebut didasarkan pada fungsi lingkungan karst Kendeng Utara dalam menopang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar.
Saat PT. Semen Gresik mengajukan ijin pendirian pabrik-penambangan batu gamping untuk bahan baku semen di Gunem, Rembang, Joko Prianto bersama warga sekitar rencana tapak pabrik-tambang semen dan JMPPK dengan alasan yang sama: kelestarian lingkungan, ruang hidup, dampak pabrik-tambang, serta sumber mata air bersih, menolaknya melalui jalur hukum yang ada. Gugatan Joko Prianto dimenangkan di tingkat Kasasi dengan keluarnya Putusan PK Mahkamah Agung No. 99 PK/TUN/2016 tanggal 5 Oktober 2016.
Pada saat bersamaan, Gunritno bersama JMPPK juga melakukan penolakan terhadap rencana pabrik-tambang semen PT Sahabat Mulia Sakti (anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk) di Tambakromo dan Kayen, Kabupaten Pati. Saham terbesar Indocement tercatat dimiliki oleh Heidelberg Cement Group (Jerman). Upaya hukum Gunritno yang menang di tingkat PTUN Semarang dalam perjalanan banding kalah di tingkat kasasi MA yang memenangkan upaya banding Pemkab Pati bersama PT. SMS.
"Indonesia adalah negara hukum. Ketika warga (penolak pabrik-tambang semen di Rembang) memenangkan proses hukum, dan justru mendapat perlawanan sendiri dari pemerintah, pertanyaan saya dimana hukum (akan) ditegakkan? Kalau negara mau, permasalahan ini sebenarnya gampang sekali." tanya Gunritno.
Kesadaran Kritis, Ikhtiar dalam Melawan Skenario Kematian
Merah Johansyah Ismail dari Jaringan Advokasi Tambang menyoroti tidak berjalannya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup yang secara ideal telah mampu mengakomodasi pengelolaan bagi kelestarian sumberdaya lingkungan dalam praktiknya justru tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Merah Johansyah menjelaskan Permen ESDM No. 17/ Tahun 2012 yang menjadi landasan hukum dalam menetapkan kawasan bentang alam karst (KBAK) yang dilindungi maupun tidak dilindungi, justru ada beberapa hal yang dihilangkan: partisipasi masyarakat (usulan masyarakat), dimana yang bisa mengusulkan kawasan karst yang dilindungi adalah pemerintah pusat, pemerintah propinsi, serta salah satunya badan usaha.
Merah Johansyah memberikan contoh di kawasan pegunungan karst Sangkulirang terdapat masyarakat Dayak Basam yang tinggal dan bermukim di sana namun mereka tidak bisa mengusulkan kawasan itu untuk dilindungi karena dalam Permen ESDM 17/2012 yang bisa mengusulkan hanya perguruan tinggi, pemerintah pusat, dan salah satunya badan usaha.
Secara umum Merah Johansyah melihat ada dua permasalahan terkait pengelolaan sumberdaya lingkungan terutama yang berhubungan dengan pertambangan. Pertama semua paradigma pembangunan indonesia menempatkan alam-sumberdaya sebagai komoditas, sehingga tafsir atas ruang hidup hampir-hampir tidak ada. Kedua, moralitas pemerintah/pemegang kekuasaan yang belum berubah. Sampai saat ini belum ada PP atau UU yang mengatur tentang karst. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menggodog di Direktorat Perlindungan Ekosistem Esensial (termasuk didalamnya karst dan gambut) namun hingga saat ini tidak ada perkembangan yang signifikan.
"Hanya 10 % dari UU No 32/Tahun 2009 yang dijalankan oleh pemerintahan saat ini." kata Merah Johansyah.
Merah Johansyah melihat saat ini terjadi ketidakadilan generasi. Generasi tua yang sedang berkuasa berlaku semena-mena menghabiskan sumberdaya alam yang ada dengan mewariskan limbah-racun pada lingkungan hidup bagi generasi nanti. Merah Johansyah memandang perlu adanya gugatan dari generasi muda saat ini.
"(Gerakan) Penyelamatan lingkungan hidup (yang dilakukan masyarakat) sesungguhnya adalah ikhtiar dalam melawan skenario kematian." kata Merah Johansyah.
Eko Teguh Paripurno dari UPN Veteran Yogyakarta membahas tentang mitigasi bencana. Teguh melihat urusan perebutan sumberdaya, bisnis adalah siapa melawan siapa. Tidak akan terjadi perebutan sumberdaya jika tidak ada yang membutuhkan, tidak ada pemicunya. Lawan aktivis lingkungan adalah pedagang yang memerlukan sumberdaya yang justru itu bukan untuk dirinya sendiri.
Dalam lingkup industri semen, Teguh melihat ada hubungannya dengan kesadaran krtitis China sejak tahun 2000 dimana Beijing (China) mengalami peningkatan polutan dari 40% menjadi 60% yang dipasok dari industri kotor. Salah satunya adalah industri semen. Industri semen di China menyumbang angka polutan 60% dari industri kotor yang lain di sekitar Beijing.
Kesadaran kritis itu dilakukan dengan menutup ribuan industri kotor di Beijing dan dalam waktu bersamaan kebutuhan Beijing akan industri dicukupi oleh kota-kota di sekitarnya. Selanjutnya mereka lebih mengambil kebijakan ekspansi ke luar wilayah negaranya diantaranya masuknya Semen Merah Putih, Conch, dan yang lain masuk ke Indonesia untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya. Resiko bencana semakin meningkat ketika perusahaan semen asal China justru mengoperasikan pabriknya di Indonesia. Artinya selain kerusakan yang ditimbulkan akibat penambangangan serta limbah-polutan dari pabrik akan ditanggung oleh masyarakat sekitar.
Teguh menekankan pentingnya membaca potensi resiko bencana. Selama ini resiko bencana lebih banyak dibaca yang berkaitan dengan bencana alam semisal gunung meletus, gempa, tsunami, atau yang berbau alamiah tapi urusan sebenarnya akibat manusiawi dalam miss management: banjir, longsor. Yang menjadi krusial sekarang sebenarnya adalah miss management atas pembangunan.
Sebaik-baiknya kegiatan pertambangan, zero risk untuk keselamatan itu hanya ada di sekitar kawasan tambang, tidak memikirkan yang diluarnya. Pertanyaannya adalah sudahkah pernah dihitung dengan evaluasi yang memadai terhadap resiko-resiko (bencana) yang terjadi?
Dalam hal resiko bencana Teguh menjelaskan bahwa urusannya menjadi bukan (sekedar) bencana dan ilmu kebumian tapi semua yang berurusan dengan pembangunan yang tidak membela kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan itu sesungguhnya sudah beresiko.
"Siapapun kita, marilah berbagi ilmu pengetahuan dan energi untuk membela pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan." kata Teguh mengakhiri pemaparannya.

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/mongabay-indonesia-menggelar-diskusi-air-untuk-kehidupan

0 komentar:

Posting Komentar