Rabu, 20 November 2019 12:34 WIB
Reporter: Muhammad
Hendartyo
Editor: Rr. Ariyani
Yakti Widyastuti
Pekerja tengah menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di kawasan
Sudirman, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan
ekonomi global bakal melambat menjadi 2,9 persen pada tahun 2019. Angka itu
turun dibandingkan dari pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen pada
2018. TEMPO/Tony Hartawan
Jakarta - Ketua Bidang Kampanye Strategis
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Arip Yogiawan menyatakan
keberatan dengan rencana pemerintah menghapus syarat Izin Mendirikan
Bangunan (IMB)
dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam pengurusan perizinan
investasi.
Pernyataan Arip itu mewakili tujuh lembaga swadaya
masyarakat yakni YLBHI, Indonesian Centre for Environmental
Law (ICEL), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Front Nahdliyyin untuk
Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Yayasan Auriga Nusantara, Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air
(KRUHA).
"Kami mengatakan keberatan dan jika betul rencana
menghilangkan Amdal dan IMB dalam konteks pembangunan," kata Arip di
Gedung YLBHI Jakarta, Rabu, 20 November 2019. "Ini proses mempercepat
kerusakan ekologis dan sosial di Indonesia."
Karena bagaimanapun, kata Arip, IMB dan Amdal memiliki
peran dalam keseimbangan ruang, ekologis dan budaya. IMB dan Amdal juga
merupakan perangkat yang diamanatkan Undang-undang Dasar mensyaratkan bagi
warga yang akan mengelola sumber daya alam.
Lebih jauh, Arip mengatakan sejumlah kegiatan eksplorasi
alam yang menggunakan Amdal saja itu ada yang bermasalah bagi lingkungan.
"Bayangkan jika tidak perlu lagi membuat IMB dan
Amdal. Ini memberikan dampak buruk pada lingkungan hidup dan partisipasi
rakyat. Dan bisa menimbulkan konflik," ucapnya.
Perwakilan Jatam, Merah Johansyah,
menilai pemerintah keliru jika bilang tidak diperlukan Amdal dan IMB.
Karena, menurut dia, eksplorasi alam pas memiliki dampak terhadap
lingkungan. "Eksplorasi dilakukan di lokasi, bukan hanya di atas
meja, jadi pasti ada dampaknya kegiatan tambang itu," katanya.
Deputi Direktur ICEL Raynaldo Sembiring juga
heran dengan pernyataan pemerintah ihwal rencana penghapusan IMB dan Amdal
tersebut. Ia mempertanyakan referensi negara mana yang digunakan pemerintah
dalam menerapkan aturan itu.
Pasalnya, kata Reynaldo, sejumlah negara
seperti Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan Thailand memiliki Amdal dan KLHS.
"Saya malu dengar pernyataan menteri dan wakil
menteri ATR. Sudah gak tahu, asal ngomong," ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan
Djalil dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Surya Tjandra kompak
menyebut IMB dan Amdal sebagai penghambat investasi. Itu sebabnya Kementerian
ATR mengkaji kemungkinan menghapuskan syarat ini demi kemudahan investasi.
"Yang jelas dia menambah birokrasi, menambah proses
lagi untuk orang mau investasi, rakyat mau mengembangkan tanahnya, jadi
ketunda," kata Wakil Menteri ATR Sofyan Djalil di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Selasa, 19 November 2019.
Sementara Surya mengatakan, pemerintah saat ini sedang
menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Jika RDTR sudah efektif, Surya
mengatakan IMB dan Amdal tak perlu lagi lantaran sudah tercakup di dalamnya.
Meski begitu, dia pun mengakui perlu mitigasi lantaran
tak semua daerah siap dengan RDTR. Kesamaan kualitas RDTR di setiap daerah pun
belum bisa dipastikan.
"Jadi memang masih panjang prosesnya. Cuma ide itu
penting supaya kita semua mulai mengerti posisi tata ruang dalam pembangunan
kita seperti apa," ujar Surya yang juga politikus Partai Solidaritas
Indonesia ini.
Menteri ATR Sofyan Djalil mengatakan kementeriannya masih
berdiskusi ihwal rencana penghapusan IMB dan Amdal. Dia menyebut tujuan
penghapusan ini berkaitan dengan percepatan penciptaan lapangan kerja.
"Salah satu penciptaan lapangan kerja dilakukan
melalui investasi, oleh sebab itu investasi harus
dipermudah," kata Sofyan secara terpisah.