Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Kehadiran perkebunan berskala industri menimbulkan risiko
besar bagi masyarakat adat di Papua yang budaya dan sumber penghidupannya
bergantung pada hutan yang membentang luas di Tanah Hitam tersebut.
Pada Januari lalu, Mongabay dan The Gecko Project menerbitkan
sebuah artikel investigasi yang menyibak transaksi-transaksi di balik proyek
perkebunan raksasa di Papua sebagai bagian dari seri Indonesia Dijual.
Antropolog Sophie Chao telah mempelajari suatu relasi
yang penuh dengan konflik antara masyarakat adat di Papua dan perusahaan
perkebunan di mana masyarakat adat dipaksa untuk menyerahkan tanah mereka.
Sophie Chao adalah seorang akademisi bergelar doktor
sekaligus peneliti riset pasca-doktoral (postdoctoral research associate) di
University of Sydney, Australia. Salah satu fokus dari penelitiannya terkait
dengan dampak agrobisnis terhadap masyarakat dan lingkungan di kawasan
Asia-Pasifik dan Melanesia. Ia telah menghabiskan waktu selama satu tahun untuk
meraih gelar doktoralnya dengan mempelajari sekaligus tinggal bersama dengan
masyarakat adat Marind-Anim di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kabupaten
tersebut menarik perhatiannya karena menjadi target dalam perluasan perkebunan
berskala besar. Sebelumnya, Dr. Sophie pernah bekerja untuk Forest Peoples Programme,
sebuah organisasi nirlaba di Inggris yang melakukan kerja-kerja advokasi
terhadap perusahaan dan pemerintah terkait dengan penghormatan prinsip-prinsip
internasional hak asasi manusia (HAM) dalam sektor pembangunan perkebunan.
Hubungan antara masyarakat adat, pemerintah, dan
perusahaan perkebunan di Papua, khususnya Merauke, diwarnai dengan berbagai
konflik. Pemerintah telah menargetkan kabupaten tersebut untuk pengembangan
perkebunan gula, kayu, dan sawit. Sementara itu, kehidupan masyarakat adat di
Papua sangat bergantung pada hutan yang sedang dihancurkan dan dijadikan
lahan-lahan perkebunan. Maka, “pembangunan” pun punya makna yang berbeda.
Ketika kata itu kerap kali dielu-elukan sebagai suatu upaya terhadap perbaikan
kesejahteraan maupun kualitas manusia, namun di sisi lain, kata tersebut justru
jadi dalih bagi banyak perusahaan perkebunan yang sebetulnya tengah menggusur
lahan-lahan pangan lokal dan mata air. Dan penghancuran terhadap hutan yang
menjadi sumber penghidupan masyarakat pun ikut memberikan efek-efek negatif
bagi masyarakat adat di tempat lain.
Penelitian Dr. Sophie menyelidiki sebab-sebab mendasar
dari konflik tersebut sekaligus memaparkan perubahan-perubahan yang dialami
oleh masyarakat adat di Papua secara drastis.
Pada Januari, The Gecko Project dan Mongabay mempublikasikan
Kesepakatan rahasia hancurkan surga Papua, sebuah artikel
investigasi yang mengungkap kisah suram di balik proyek raksasa pembangunan
perkebunan sawit di Boven Digoel. Boven Digoel sendiri adalah kabupaten yang
bertetangga secara langsung — persis di bagian utara — dengan Merauke, Provinsi Papua. Kini, masyarakat
adat yang tanahnya dirampas oleh proyek tersebut telah mulai merasakan dampak
buruknya. Kami berbincang dengan Dr. Sophie untuk memahami lebih dalam tentang
kompleksitas persoalan antara kehidupan masyarakat adat di Papua bagian selatan
dan industri agrikultur yang sedang menekan mereka.
The Gecko Project dan Mongabay: Budaya
masyarakat adat di Papua terhubung begitu erat dengan alam. Menurut Anda,
apakah hal itu menjadi suatu kekhasan yang sangat kuat ditemukan di Papua
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia?
Dr. Sophie Chao:
Banyak komunitas adat di Indonesia percaya bahwa binatang dan tumbuhan memiliki
jiwa, niatan, dan pikiran. Tampaknya, itu adalah motif yang berulang. Hutan
bagi masyarakat adat Marind dan banyak komunitas adat lainnya di Indonesia,
termasuk Orang Dayak di Kalimantan, adalah suatu ekologi yang hidup (a sentient
ecology) atau ‘ekologi diri’ (an ecology of selves). Sebagian memang mencakup
manusia, namun tidak semuanya selalu manusia. Tetapi, seluruhnya berpartisipasi
dalam membentuk ruang yang dinamis tersebut, yaitu hutan — melampaui
batas-batas manusia. Marind memiliki kepercayaan pada roh-roh leluhur yang
dapat mewujudkan dirinya pada berbagai bentuk tanaman dan hewan. Mereka adalah
bagian dari wilayah adat (bentang alam dan budaya) masyarakat adat Marind.
Sehingga, hutan menjadi semacam buku sejarah yang hidup (a living history book)
dan itu pula dihidupkan oleh para roh, termasuk roh-roh yang termanifestasikan
ke dalam bentuk tanaman maupun hewan di sekitar mereka.
Lalu, bagaimana suatu ikatan batin
(keterhubungan) dengan alam itu, kemudian turut mempengaruhi persepsi mereka
terhadap perusahaan perkebunan yang merambah dan mencaplok tanah-tanah mereka?
Saya menemui banyak komunitas adat yang telah menyerahkan
tanah-tanah mereka kepada perusahaan sawit. Sebagian bahkan ikut menandatangani
kontrak penjualan tanah-tanah suku lain tanpa persetujuan. Situasinya begitu
karut marut. Ketergantungan mereka terhadap hutan pun semakin berkurang akibat
laju deforestasi dan ekspansi perkebunan monokultur. Idiom lain yang dipahami
oleh masyarakat adat dari dampak negatif ekspansi sawit terhadap lingkungan, — pencemaran air, kabut asap, dan limbah pabrik — adalah bahwa itu merupakan bentuk pembalasan dari
roh-roh hewan dan tumbuhan atas kegagalan mereka melindungi berbagai hewan dan
tumbuhan tersebut dari kekuatan luar yang merusak, yaitu sawit. Orang-orang
memakai istilah bahwa wilayah adat mereka telah menjadi ‘kering.’ Air yang
telah memberikan kehidupan sudah habis, termasuk sungai, air tanah, maupun
darah dari binatang atau getah pada tumbuhan. Layaknya sungai, tubuh
orang-orang pun ikut kering. Buaya dan ikan mabuk akibat racun yang berasal
dari pabrik — pestisida dan pupuk. Ketika
saya bertanya kepada orang-orang Marind apa dampak terburuk dari ekspansi
sawit, mereka mengatakan sawit membunuh hutan. Atau, secara khusus, sawit
membunuh pohon sagu. Tumbuhan tersebut merupakan pusat kosmologi bagi
masyarakat adat Marind sebab sagu tak lain adalah makanan pokok mereka. Maka,
penghancuran kebun sagu dan hutan berimplikasi pada sumber penghidupan dan
subsistensi masyarakat adat Marind.
Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Menurut Anda, mengapa prosesnya menjadi
begitu karut marut ketika perusahaan datang ke wilayah adat? Apakah itu
disebabkan oleh ketiadaan proses dalam penentuan hak siapa yang berada di mana
dan apakah masyarakat sendiri dapat memutuskan untuk menerima perusahaan atau
tidak?
Kurangnya informasi adalah satu persoalan besar.
Masyarakat menandatangani kontrak tanpa tahu implikasi hukumnya. Mereka tidak
diberi tahu konsekuensi negatif yang dapat muncul. Beberapa dari mereka percaya
bahwa tanah itu akan dikembalikan kepada mereka ketika masa perizinan lahan
(konsesi) berakhir. Mereka tidak tahu bahwa tanah itu secara otomatis menjadi
tanah negara (ketika izin konsesi perkebunan berakhir). Sebagian besar dari
mereka tidak menyadari hal itu. Tidak ada informasi yang disampaikan.
Hal lain yang tampaknya membuat masyarakat adat Marind
begitu sulit untuk menolak transaksi tanah, adalah bahwa perusahaan-perusahaan
perkebunan sangat sadar akan pentingnya suatu hubungan timbal balik dan pertukaran
di dalam komunitas adat. Dan itu benar-benar terjadi di wilayah Pasifik dan
Melanesia. Idenya adalah seandainya seseorang memberi Anda hadiah, Anda tidak
boleh menolaknya dan Anda harus membalas budi. Jadi, perusahaan-perusahaan
perkebunan akan mengatur ritual pengorbanan babi, mereka akan memberikan mobil,
mereka akan menyelenggarakan pesta, dan sebagainya. Itu membuat masyarakat
seperti punya hutang dan kewajiban untuk melunasinya. Lantas, mereka akan
merasa sungkan jika menolak menyerahkan tanah sebagai pertukaran yang dianggap
selayaknya imbal jasa kepada perusahaan-perusahaan. Sekali lagi, pemahaman yang
kritis terhadap nilai dari pertukaran dalam masyarakat Melanesia, memberikan
saya petunjuk bahwa sebetulnya perusahaan-perusahaan itu tahu apa yang sedang
mereka lakukan. Ada orang-orang di pihak perusahaan yang memahami serangkaian
nilai, norma, dan adat istiadat tersebut. Itu jelas-jelas menciptakan
persoalan.
Itulah alasan-alasan terbesar mengapa ada fragmentasi
sosial. Tentu saja, ada skenario umum untuk memanipulasi masyarakat adat dengan
minuman keras serta membawa mereka ke kota, tempat pelacuran, dan sebagainya.
Ada beberapa kasus di mana laki-laki di desa tempat saya pernah bekerja,
dikecohkan dengan mabuk alkohol dan tidur dengan pelacur. Dan itu semua
difilmkan (didokumentasikan), kemudian rekaman itu digunakan untuk memeras. Ada
juga berbagai strategi yang lebih terang-terangan terjadi secara langsung.
Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Pada kasus yang kami temui di Boven Digoel, ketika
perusahaan datang ke desa-desa, orang-orang perusahaan menyuruh masyarakat
menyiapkan babi yang akan disembelih untuk upacara. Kemudian, saat orang-orang
perusahaan kembali, mereka membagi-bagikan uang dalam jumlah yang besar. Mereka
menyodorkan amplop-amplop berisi uang kepada setiap setiap suku. Sangat
blak-blakan. Mereka menggunakan istilah tali asih untuk menggantikan
pembayaran. Tetapi, masyarakat desa bingung karena tak tahu untuk apa uang itu.
Sepertinya, apa yang terjadi adalah orang-orang perusahaan memaksakan
pertukaran hadiah upacara kepada masyarakat, suatu transaksi timbal balik yang
dipaksakan. Itu adalah momen kunci dalam kisah proyek tersebut.
Apakah Anda memahami apa itu arti tali
asih bagi mereka?
Teman bicara saya sangat bingung dengan konsep tali
asih. Istilah itu kerap kali digunakan secara bergantian dengan istilah ganti
rugi, uang ketuk pintu, kompensasi, pembayaran, sewa harga, kontrak sewa… Ada
banyak sebutan untuk itu. Dan tidak jelas apa sebenarnya perbedaannya. Apakah
itu menunjukkan niat baik? Apakah itu hadiah yang datang saat mereka membuka
pintu? Apakah itu sekadar hadiah saja? Apakah ada ekspektasi untuk balasan
hadiah? Uang ketuk pintu, secara harfiah berarti uang yang Anda bawa ketika
Anda mengetuk pintu. Jadi, itu seperti perkenalan awal untuk membangun suatu
hubungan sosial. Tetapi, sebagian besar masyarakat di sana merasa bahwa
pemberian uang itu perlu dibalas. Satu-satunya cara yang mereka tahu dan memang
satu-satunya hal yang tampaknya diinginkan oleh pihak perusahaan, adalah
tanah-tanah masyarakat. Jadi, sangat tidak jelas apa makna dari istilah-istilah
yang digunakan itu.
Saat ini, saya sedang menulis tentang ‘ritual-ritual yang
gagal’. Para antropolog gemar menulis tentang ritual-ritual di luar masyarakat Barat,
terutama masyarakat adat. Namun, sedikit sekali antropolog yang menulis tentang
ritual-ritual yang gagal atau ritual-ritual yang justru menimbulkan masalah
ketika ritual-ritual itu berhasil dilaksanakan. Dan bagaimana perusahaan
mengkooptasi adat melalui pengorbanan babi dan hal-hal yang serupa. Lalu,
masyarakat seolah-olah dipaksa untuk berpartisipasi pada praktik yang
sebetulnya mereka jalankan sendiri, namun diadaptasi oleh aktor-aktor eksternal
atau sebut saja ‘dukun korporasi.’ Persoalannya adalah, meskipun orang-orang
perusahaan itu bukan bagian dari masyarakat adat Marind, — mereka
juga bukan ahli ritual dan tak punya ikatan apa pun dengan masyarakat adat — tetapi mereka bisa melakukan ritual itu. Dan
masalahnya, ritual itu berhasil.
Orang yang sakit jadi sembuh. Itu masalah yang sangat
serius. ‘Mereka menggunakan berbagai nilai dan norma kami (masyarakat adat),
sementara mereka bukan orang-orang Marind. Dan itu sukses… Lantas, apakah
mereka juga dukun? Apakah mereka memiliki kekuatan atau kekuatan yang menurut
kami adalah hak prerogatif kami? Dan jika demikian, bagaimana kami
menghadapinya?’ Sangat menarik bagaimana penemuan kembali (reinvention)
terhadap tradisi itu, dapat terjadi, dimanipulasi, dan dieksploitasi untuk
melayani kepentingan yang sangat berbeda. Dan secara efektif memaksa masyarakat
untuk berpartisipasi dalam penemuan kembali tradisi yang ditumbangkan itu.
Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Itu seperti granat tangan yang dapat
tiba-tiba meledak di tengah-tengah komunitas mereka sendiri di Boven Digoel.
Ada banyak kecurigaan tentang siapa yang mendapatkan apa dan untuk apa.
Padahal, sebelumnya mereka hidup dengan damai. Setelahnya, muncul konflik dan — dalam
beberapa kasus — mereka saling berkelahi.
Bisakah Anda menjelaskan sedikit tentang dampak hal itu terhadap tatanan
sosial?
Ada persoalan antar-generasi yang begitu serius di banyak
desa tempat saya bekerja. Tingkat hubungan sosial sedang terputus. Itu bekerja
di dua arah. Pada suatu arah situasi, para tetua adat (generasi tua) bersikukuh
bahwa hutan harus dilestarikan, sementara generasi muda ingin maju, modern,
kaya secara materi, dan pergi ke kota — akses ke dunia yang modern.
Ada ketegangan antar-generasi. Pada arah yang berbeda, ada juga pemuda-pemuda
adat Marind yang berpendidikan, misalnya yang berprofesi sebagai guru dan
perawat, yang sangat kritis terhadap para tetua adat yang justru telah
menyerahkan tanah mereka tanpa memahami ketentuan kontrak maupun implikasi
hukumnya. Siapa yang mengendalikan kerangka timbal balik itu? (Kaum muda akan
mengatakan,) ‘Hal itu terlihat baik-baik saja bagi masyarakat adat Marind,
tetapi Anda tidak berurusan dengan Marind di sini. Anda perlu berubah, budaya
kami juga perlu berubah dan beradaptasi. Kami berhadapan dengan audiens yang
sangat berbeda — yang tidak membalas dan tidak
memahami timbal balik (hutang budi) dengan cara yang sama.’
Jadi sebagian anak-anak muda ini mendorong terjadinya
semacam transformasi budaya Marind sebagai cara untuk bertahan dari suatu jenis
kekuatan dan aktor baru yang mereka hadapi sehari-hari.
Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Kami telah melihat peta yang dibuat oleh
perusahaan dengan cakupan tanah-tanah suku yang masuk ke dalam wilayah konsesi.
Peta itu menunjukkan bagian kecil bidang tanah yang diduga diserahkan oleh Suku
Auyu di Boven Digoel ke perusahaan. Tentu saja, pengkotakkan tanah-tanah
tersebut berupa batas-batas yang ditandai dengan garis persegi yang rapi.
Terkait dengan itu, Anda sebelumnya pernah menulis tentang kompleksitas
pemetaan wilayah adat Marind di mana mereka memiliki konsep alam dan ruang yang
jauh lebih kompleks. Bisakah Anda menjelaskan seperti apa gambaran peta wilayah
adat yang akurat?
Itu tergantung musim. Juga tergantung pada suku mana yang
melakukan pemetaan. Bisa saja seharusnya berupa peta tiga dimensi (3D). Peta
yang dilengkapi dengan iringan suara. Dan itu harus menjadi peta yang terbuka
untuk direvisi. Tetapi, itu adalah hal yang bertentangan dengan standar gagasan
terkait GPS (Global Positioning System), sudut pandang udara, objektivitas,
pandangan atas-bawah dari benda dan tempat yang relatif statis. Sekali lagi,
peta itu harus terbuka untuk direvisi. Ketika ada perubahan hubungan terhadap
suatu suku, mereka ingin titik GPS tersebut dipindahkan lebih dekat atau lebih
jauh. Ketika terjadi peristiwa yang menguntungkan atau kejadian-kejadian di
hutan yang melibatkan perpindahan hewan-hewan tertentu dari suku lain, maka batas-batas
mesti berubah. Jadi teknologi kartografi (ilmu atau seni pembuatan peta)
seharusnya punya fleksibilitas dalam mengakomodasi panca-indera kita dalam
memahami dunia, termasuk suara. Peta yang bisa mewakili suatu pergerakan. Saya tidak tahu apakah dengan melakukan overlay (pelapisan)
terhadap peta-peta yang berbeda akan membantu. Salah satu tantangan terbesar,
adalah masyarakat mengikuti pergerakan hewan-hewan sebab itu membantu mereka
melacak atau mengidentifikasi batas-batas mereka sendiri. Karena banyak dari
mereka mengikuti pola migrasi atau pengembalaan maupun perkawinan hewan-hewan
di mana pula disinggung dalam dongeng-dongeng mereka. Jadi, kita bisa bilang
ada peta berbeda yang mewakili pergerakan hewan-hewan tertentu di seluruh
wilayah adat. Itulah mengapa seharusnya peta bersifat terbuka untuk perubahan
dan perlu memasukkan suara.
Peta wilayah tanah adat
dalam proyek Tanah Merah, Boven Digoel, menurut perusahaan
Jadi, bisa dibilang bahwa peta seperti
itulah yang mampu menjelaskan hubungan yang jauh lebih kompleks dengan alam
dibandingkan peta yang kita miliki sekarang?
Tentu saja. Saya ingat pernah bertanya pada salah seorang
informan saya (masyarakat adat). Saya bertanya, apa sih peta itu menurut kamu?
Lalu, dia menjawab, ‘Lagu dan cerita.’ Saya pergi ke sana dengan pola pikir
aktivis yang mengajak untuk membuat peta wilayah adat sebagai bukti yang sangat
penting. Tapi kemudian, saya malah berkeliling memetakan suara burung. Saya
mendengar cerita yang luar biasa indah dan berlarut-larut tentang hewan-hewan
itu. Dari mana mereka berasal dan apa hubungan masyarakat dengan burung-burung.
Maka, itu selayaknya lagu dan cerita terkait manusia dan burung. Itulah yang
kemudian membangun semua narasi — peristiwa, dongeng, dan
sebagainya. Dan itu adalah suatu proses yang sangat menyentuh, baik itu dalam
hal terkait dengan gerakan pemetaan wilayah adat maupun bagi orang yang
melakukan pemetaan. Sebab, apa yang dipetakan seperti orang yang melakukan
pemetaan. Individu yang melakukan kartografi ini dilibatkan ke dalam proses.
Dia akan menghasilkan peta yang secara inheren dibentuk oleh hubungannya dengan
apa yang sedang dipetakan. Jadi, bagi mereka, mereka merangkul subjektivitas
pemetaan. Sehingga, perspektif top-down (atas ke bawah) dalam
pemetaan sangat tidak masuk akal.
Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Apakah menurut Anda masyarakat punya cara
untuk menolak atau menentang perusahaan pemegang konsesi? Apakah itu sepenuhnya
tergantung pada perusahaan atau pemerintah yang akan memberikan mereka pilihan?
Sebetulnya, sangat sulit untuk mempertimbangkan soal
persetujuan dalam konteks tersebut. Militer ada di sana dan terlibat dalam
sosialisasi. Orang-orang tidak punya banyak pilihan karena tekanan yang
dihadapi sangat besar. Ada penindasan terhadap orang-orang yang terlibat pada
urusan advokasi hak atas tanah. Dan situasi di sana diliputi dengan tindak
kekerasan fisik maupun psikologis, penyitaan KTP (Kartu Tanda Penduduk),
penahanan ekstra yudisial (tindakan aparat di luar hukum), hingga interogasi
secara sporadis.
Menurut Anda, apa dampak jangka panjangnya?
Sepengetahuan saya, tanah tersebut dapat kembali ke
pemilik tanah yang semula (masyarakat adat) begitu HGU (Hak Guna Usaha, izin
konsesi lahan perkebunan selama 35 tahun) berakhir. Tetapi, itu pun selama
masyarakat adat masih mempraktikkan kehidupan secara tradisional dalam hal
pemberlakuan hukum adat dan kepemilikan tanah secara adat (kolektif). Sementara
itu, tidak mungkin masyarakat masih dapat mempraktikkan penguasaan dan
kepemilikan hak atas tanah adat jika tanah-tanah mereka telah dikonversi
menjadi perkebunan monokultur berskala besar. Jadi, begitu HGU berakhir,
peluang tanah-tanah itu untuk dikembalikan ke masyarakat, sangat kecil. Ada
suatu paradoks yang melekat kuat di mana masyarakat adat dituntut untuk
mempertahankan cara-cara hidup secara tradisional di tengah-tengah bentangan
wilayah adat yang telah dibuat produktif secara ekonomi melalui penggunaan teknologi
industri yang intensif. Jadi, tanah yang sudah dirampas sangat tidak mungkin
untuk bisa kembali ke mereka.
Bentuk atau dimensi hutan adat itu unik. Yang sebetulnya
berfungsi sebagai tapal batas wilayah adat suku tertentu, adalah penanda alam,
seperti pohon-pohon tertentu maupun pohon sagu. Jadi, jika hutan hilang, maka
itu berarti mereka kehilangan titik atau lokasi yang menjadi rujukan atau acuan
mereka dalam menentukan batas-batas wilayah adat. Itu cukup rumit untuk
kemudian (setelah adanya konsesi) mereka bisa mengidentifikasi kembali
batas-batas kepemilikan tanah mereka. Ketika tanda-tanda alam itu hilang,
bagaimana mereka akan membuat batas-batas lagi dan membagi-bagi bentangan
wilayah adat yang telah dihancurkan. Itu adalah tantangan yang serius.
Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Sepuluh tahun ke depan, kira-kira apa yang
akan terjadi dengan perkampungan adat di mana kebun sagu telah hilang bersamaan
dengan sebagian besar hutan adat mereka? Lantas, ke mana masyarakat adat akan
pergi jika mereka tidak bisa mendapatkan makanan yang cukup? Apa yang terjadi
dengan budaya mereka?
Satu hal yang mungkin dapat terjadi, adalah masyarakat
masih bisa tinggal di perkampungan, tetapi mereka menjadi sepenuhnya bergantung
pada pemberian pemerintah dan perusahaan. Banyak desa adat di tempat saya
bekerja, mereka mendapatkan paket kompensasi. Sebab, masyarakat sudah tidak
bisa lagi berburu atau mencari makan. Mereka menyantap mi instan dan raskin
(beras bersubsidi) sebagai program yang disediakan pihak pemerintah untuk
masyarakat miskin maupun perwujudan program CSR (Corporate Social
Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan dari pihak perusahaan.
Sumber pangan maupun cara konsumsi masyarakat adat sedang diubah secara
radikal. Itu berdampak pada kesehatan. Bayi-bayi yang menderita malnutrisi,
meningkat terus menerus. Makanan-makanan tersebut tidak bergizi sama sekali.
Jadi, saya mengantisipasi bahwa pasti akan ada dampak kesehatan bagi masyarakat
yang tidak dapat lagi mengakses protein dari hutan dan kini hanya bisa makan
makanan instan dengan nilai gizi yang amat sedikit. Tetapi, bisa jadi pula
mereka akhirnya benar-benar bergantung secara material dan finansial pada pihak
perusahaan terkait dengan makanan dan uang.
Di perkampungan tempat saya bekerja, sangat kritis
terhadap desa-desa lain yang mereka anggap telah mencapai tingkat kemalasan.
Jadi mereka ada yang hanya tinggal menunggu dana cair atau menanti uang
perusahaan. Itu penyebab munculnya fragmentasi yang lain terkait dengan kritik
internal. Sebagian orang yang tidak lagi berjuang kemudian hanya akan makan
dari pemberian atau belas kasihan perusahaan dibandingkan makan dari hasil
buruan sendiri. Itu terjadi secara nyata. Sebagian anak muda Marind kini lebih
suka makan nasi dan mi instan. Mereka tidak tertarik lagi untuk berburu. Mereka
lebih suka berada di kota, menjadi modern dan maju. Saya menduga perubahan ini
akan berpengaruh pada generasi selanjutnya. Sejauh ini, itu hal-hal yang bisa
saya bayangkan terjadi sekarang, baik itu terkait dengan ketergantungan total
masyarakat adat maupun migrasi masyarakat adat ke kota-kota.
Kita berbicara tentang orang yang kini menjadi minoritas
(dan ditindas) di tanah mereka sendiri. Statistik terbaru mengungkapkan bahwa
jumlah warga masyarakat adat Marind hanyalah 38 hingga 40 persen dari total
populasi penduduk di Merauke. Dilusi populasi (kemerosotan persentase populasi
masyarakat adat Marind) adalah sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Itu
benar-benar terjadi. Maka, mungkin erosi budaya akan berjalan seiring dengan
semakin berkurangnya jumlah masyarakat adat.
Merauke, 2012. Foto oleh
Nanang Sujana
Perubahan nyata apa yang bisa dilakukan
untuk memperbaiki situasi masyarakat adat Marind maupun masyarakat adat lainnya
di Papua?
Saya pikir, di tingkat akar rumput, kuncinya adalah
penguatan kapasitas masyarakat adat. Hal itu akan memperluas akses masyarakat
adat pada mekanisme di level nasional dan internasional terkait dengan
pemulihan hak-hak mereka yang telah diabaikan. Dan juga meningkatkan pemahaman
mereka terkait dengan hak-hak masyarakat adat yang dijamin dan dilindungi oleh
hukum nasional dan internasional. Tetapi, inisiatif tersebut perlu diiringi
reformasi hukum yang akan mengharmonisasikan hukum nasional dengan ketentuan
hukum internasional. Saat ini ada kesenjangan di antara kedua sistem itu.
Standar keberlanjutan seperti RSPO (Roundtable on
Sustainable Palm Oil) merupakan suatu langkah penting untuk mendorong
pendekatan berbasis hak terhadap produksi minyak sawit. (RSPO sendiri adalah
sebuah asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi terkait sektor industri
sawit yang menerapkan standar global untuk produksi minyak sawit
berkelanjutan.) Tetapi sekali lagi, standar-standar tersebut hanya akan efektif
seandainya disertai dengan reformasi hukum. Jika tidak, bahkan perusahaan yang
mencoba menerapkan FPIC (Free Prior and Informed Consent atau Padiatapa
(Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan) secara komprehensif,
justru akan terjebak di antara persyaratan RSPO dan hukum nasional. Tentu saja,
reformasi hukum membutuhkan waktu dan itu tidak akan menyelesaikan masalah yang
dihadapi Marind saat ini. Namun dalam jangka panjang, hal itu akan memberikan
perubahan bagi generasi masyarakat adat Marind ke depan dan meningkatkan
kapasitas mereka untuk mempertahankan hak atas tanah dan ruang hidup secara lebih
efektif.