Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Selasa, 24 Juli 2018

Bank Dunia Adalah Aktor Perampasan Lahan, Pemerintah Harus Batalkan Utang Proyek Percepatan Reforma Agraria

  • /DODI SANJAYA

  • Pernyataan Pers Bersama
    Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur

    Bank Dunia Adalah Aktor Perampasan Lahan, Pemerintah Harus Batalkan Utang Proyek Percepatan Reforma Agraria



    Jakarta, 24 Juli 2018 
    Pada 18 Juli 2018 lalu, International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), dari World Bank Group menyetujui utang baru untuk Program Percepatan Reforma Agraria (Kebijakan Satu Peta) yang membutuhkan biaya sebesar 240 juta USD, di mana 200 juta USD tersebut berasal dari World Bank dan 40 juta USD dari Pemerintah Indonesia. Proyek ini akan berlangsung sejak 2018 sampai dengan 2023.
    Pembiayaan utang baru sebesar 200 juta USD dari Bank Dunia untuk Program Percepatan Reforma Agraria ini, di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) sungguh tidak dapat ditolerir. Utang ini akan meneruskan Land Administration Project yang mengakselerasi komodifikasi tanah, menjadikan kebijakan agraria menjauh dari amanat UUPA dan memupuk ketimpangan. Proyek ini pun bisa dipastikan akan masuk kategori tidak efektif (bad-debt). Bahwa benar untuk kepentingan Reforma Agraria diperlukan one-map policy sehingga tumpang tindih klaim atas lahan dapat dihindari di tingkat pemerintah, dan masyarakat Publik dapat memantau penataan tapal batas lahan dan klaim atas lahan di atas lahan yang mereka kuasai. Sehingga memang pemetaan lahan perlu dengan memakai prinsip partisipasi. Namun, proyek yang memiliki tiga komponen utama ini, hanya bagus di judul dan tujuan saja, tapi tidak pernah dijelaskan bagaimana proyek ini dijalankan. Ketiga komponen proyek dari utang ini adalah sebagai berikut:
    1. Component 1; Participatory Mapping and Agrarian Reform, (US$202 million including US$162 million from IBRD and US$40 million from National Budget)
    2. Component 2; Geospatial Data Infrastructure for Environmental and Natural Resource Management, US$10 million
    3. Component 3; Project Management, Institutional Development and Monitoring, US$28 million.
    Alokasi utang terbesar sebesar 162 juta USD ada pada komponen 1 dengan judul  “participatory mapping agrarian reform” yang tujuannya, antara lain adalah untuk menghasilkan peta perbatasan (parcel boundary maps), merekam semua klaim atas lahan, dan memfasilitasi aturan hak-hak atas lahan dan registrasi ke dalam sistem administrasi lahan elektronik (e-land). Kami memandang bahwa tujuan dari komponen 1 di atas adalah sangat baik, namun CARA untuk mencapai tujuan itu tidak pernah dijelaskan dengan baik, sehingga potensi untuk GAGAL sangat tinggi. Karena selama ini memang tugas Kementerian ATR/BPN-lah yang harus melakukan pendataan hak atas tanah termasuk penataan batas tanah. Mengapa baru sekarang dilakukan, ketika program Reforma Agraria sedang bergulir.
    Di atas kertas, proyek-proyek Bank Dunia tidak pernah lepas dari kata “Participatory” atau “Partisipasi”. Akan tetapi, pada faktanya, pelanggaran terhadap azas partisipasi selalu terjadi. Walaupun komponen 1 memakai judul “participatory mapping agrarian reform”, ternyata tidak pernah dijelaskan juga bagaimana suatu proses yang ‘participatory’ akan dijalankan. Apalagi Kementerian ATR/BPN terbukti tidak pernah menunjukkan itikad baiknya dalam hal transparansi dari operasinya. Simak saja dalam kasus HGU perkebunan Kelapa Sawit, Kementerian ATR/BPN tak kunjung membuka data HGU ke publik, padahal sudah ada Putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2017 yang memenangkan  gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) atas Kementerian ATR/BPN. Bagaimana sebuah kementerian yang tidak menaruh hormat akan hak publik atas informasi dan tidak taat hukum, dimandatkan untuk mengelola program yang berbasis ‘participatory mapping agrarian reform’ ini?
    Pemerintah Pusat seharusnya dapat melaksanakan Program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan menggunakan dana APBN, tanpa harus bergantung pada utang luar negeri. Semangat TORA yang diusung Presiden Joko Widodo dengan keterlibatan masyarakat hari ini, bukanlah konsep yang digadang-gadang oleh Kementerian ATR/BPN dan Bank Dunia melalui skenario utangnya. Dengan menyetujui skema utang untuk Program Percepatan Reforma Agraria ini sekaligus menjadi indikasi bahwa pemerintah ingin kembali mengekor ideologi Neoliberal yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan menjadikan tanah sebagai barang komersial yang tidak sejalan dengan semangat Reforma Agraria bahwa tanah adalah hak.
    Pemerintah sudah seharusnya ingat bahwa Bank Dunia juga berkontribusi atas praktik perampasan tanah melalui pembiayaan yang diberikan terhadap proyek-proyek infrastruktur dan investasi berbasis lahan sejak adanya utang Bank Dunia dengan Orde Baru hingga kini, diantaranya adalah proyek raksasa Kedung Ombo; Regional Infrastructure Development Fund (RIDF); National Slum Upgrading Project (NSUP); atau proyek pembangunan lain yang kini dilaksanakan PT. Indonesia Infrastructure Finance (IIF) ataupun PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
    Utang baru ini akan terus berjalan sampai tahun 2023, melebihi masa jabatan Menteri yang menyetujui utang ini. Karena itu, sudah sewajarnya utang ini dibatalkan, dan agar Kementerian ATR/BPN bertobat untuk melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan Peraturan Presiden No. 17 tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
    Hormat kami,
    Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur
    Edo Rakhman              (Eksekutif Nasional WALHI)      081356208763
    Diana Goeltom           (debtWATCH Indonesia)             08159202737
    Siti Aminah Tardi        (ILRC)                                             081908174177
    Moh. Reza Sahib         (KRUHA)                                       081370601441
    Rahmawati                  (TuK Indonesia)                          081310607266
    Kurniawan Sabar        (INDIES)                                      08112011868
    Tigor Hutapea             (KIARA)                                       081287296684
    Andi Muttaqien          (ELSAM)                                        08121996984

    Sumber: Elsam 






  • Minggu, 22 Juli 2018

    AGRA Banyumas Mengecam tindakan represifitas aparat keamanan dan PT. Angkasa Pura terhadap rakyat Temon, Kulon Progo!

    PERNYATAAN SIKAP
    AGRA BANYUMAS 

    Mengecam tindakan represifitas aparat keamanan dan PT. Angkasa Pura terhadap rakyat Temon, Kulon Progo!


    Kami dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)  Cabang Banyumas mengutuk dan mengecam atas tindakan represif aparat polisi dalam menyelesaikan konflik lahan antara warga Temon, Kulon Progo dengan PT Angkasa Pura. Tindakan represif yang di lakukan pada Kamis-Jumat pada tanggal 19-20 Juli 2018 tidak mencerminkan aparat negara yang seharusnya mengayomi masyarakat. Tindakan tersebut tidak sesuai dengan peri kemanusian di negara indonesia, hal tersebut karena di lakukan ketika warga sedang bersiap-siap memulai aktivitas hariannya bahkan berani mengusir warga dari rumahnya sendiri saat sedang melaksanakan ibadah sholat.
    Saat itu sekitar 700 lebih  aparat gabungan kembali mendatangi lebih dari 37 rumah warga penolak Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Temon, Kulon Progo. PT. Angkasa Pura sebagai pihak pengembang bandara, dikawal oleh aparat gabungan dari Satpol PP, Polri, hingga TNI untuk bergerak dengan tujuan merobohkan rumah-rumah warga. Berbekal senjata laras panjang, 8 alat berat, gas air mata, mobil water cannon,  ratusan aparat tersebut mengepung rumah warga. 

    Sudah setahun lebih masyarakat Temon, Kulon Progo terus di  represif  oleh pihak PT Angkasa Pura bersama aparat-aparat negara untuk memaksakan pembangunan Bandara NYIA. Selama itu pula rumah-rumah beserta penghuninya yang bertahan sudah tidak di akui oleh negara. Hal tersebut dilakukan dengan cara mencabut satu persatu hak-haknya sebagai warga negara yang taat pajak, dengan mematikan aliran listrik ke rumah, menutup akses jalan utama desa dan jalan untuk masuk ke rumah warga, kemudian menggusur rumah-rumah warga,  serta tanaman-tanaman kaum tani yang baru tumbuh dan siap panen pun di rusak. Terakhir terjadi terhadap 37 rumah warga yang masih bertahan yang kemudian di ratakan dengan tanah oleh alat berat para korporasi dan aparat keamanan.

    Sejak awal, warga dengan tegas menyatakan sikapnya untuk menolak proyek bandara di Kulon Progo, sehingga tak mau menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan bandara tersebut. Namun, sikap dan hak warga tersebut diabaikan baik oleh PT Angkasa Pura II selaku pelaksana proyek, maupun presiden RI Joko Widodo, Gubernur DIY Herjuno Darpito (Hamengku Buwono X) serta Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo selaku pejabat negara yang dipilih oleh rakyat. 
    Pejabat-pejabat tersebut tidak mencerminkan diri sebagai pejabat yang pro terhadap rakyat namun lebih memilih menjadi kaki tangan korporasi yang di wakili oleh PT Angkasa Pura.

    Tindakan represifitas yang dilakukan aparat keamanan terhadap kaum tani di Temon, Kulon Progo sejatinya juga marak terjadi di berbagai tempat. 
    Di Kabupaten Banyumas pada tanggal 9 Oktober 2017, massa aksi dari Aliansi Selamatkan Slamet yang menuntut pemberhentian proyek pembangunan PLTPB di Gunung Slamet, juga mengalami kekerasan brutal dari aparat kepolisian Polres Banyumas. 
    Peristiwa tersebut membuat 24 orang luka-luka. Tak hanya di Kabupaten Banyumas, represifitas aparat keamanan terhadap kaum tani dan rakyat terjadi di Sukoharjo, Bandung, Kapuk, Sembalun, Olak-Olak Kubu, serta rangkaian kekerasan yang marak terjadi di Papua. 

    Maraknya tindakan represifitas aparat keamanan terhadap kaum tani dan rakyat Indonesia sejatinya menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK adalah pemeirntahan fasis, yang tak segan-segan memukuli rakyatnya sendiri demi kepentingan imperialisme AS dan juga tuan-tuan tanah besar. Kesetiaan Jokowi-JK pada imperialisme AS juga ditunjukkan dengan diturunkannya 12.000 aparat gabungan dari TNI dan POLRI pada pertemuan IMF dan World Bank yang akan diselenggarakan di Bali pada Oktober 2018. Forum ini jelas merupakan upaya untuk memperkuat dominasi imperialisme AS di tanah Indonesia. 

    Atas situasi yang terjadi di Kulon Progo, demi kedaulatan petani, demi lestarinya lingkungan, demi keadilan sosial dan keadilan HAM, demi kemakmuran dan kesejahteraan warga, demi keberlangsungan hidup seluruh warga, maka kami dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Cabang Banyumas sebagai organisasi tani yang berjuang untuk reforma agraria sejati, mendukung perjuangan petani Temon, Kulon Progo. 

    Kami dari AGRA Cabang Banyumas juga mengajak kepada seluruh rakyat dan seluruh organisasi rakyat untuk menggalang persatuan. Sebab, penindasan imperialisme AS dan feodalisme kian hari kian massif menyengsarakan rakyat. Perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri sejatinya akan sangat sulit mengalahkan tirani yang begitu besar. Kita sebagai rakyat Indonesia juga harus terus memperkuat solidaritas internasional untuk perjuangan rakyat. Sebab hari ini perang dan agresi terus diciptakan oleh imperialisme AS di seluruh negeri, untuk merampas kekayaan seluruh negeri.
    Dengan ini, kami menyatakan sikap :

    1. Mengecam keras tindakan melanggar hukum PT. Angkasa Pura yang menggusur paksa lahan, tanaman pertanian serta rumah milik sah 37an lebih kepala keluarga (220an anggota keluarga)  petani di Temon, Kulon Progo

    2. Mengutuk keras tindakan kekerasan oleh aparat gabungan (satpol PP, Polri, TNI) yang turut mendukung penggusuran PT. Angkasa Pura

    3. Mengembalikan hak-hak warga seperti lahan, tanaman pertanian hingga rumah yang telah dirampas dan dihancurkan sepanjang proses rencana MegaProyek Bandara NYIA

    4. Kami juga mendesak Presiden RI (Joko Widodo), Gubernur DIY (Hamengku Buwono X), Bupati Kulon Progo (Hasto Wardoyo) untuk menghentikan ambisi Megaproyek NYIA yang telah merampas tanah rakyat.

    5. Menuntut Jokowi-JK untuk menghentikan tindakan represifitas terhadap kaum tani dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang mendapatkan haknya

    6. Menuntut Jokowi-JK untuk menghentikan segala bentuk perampasan dan monopoli tanah

    7. Hentikan reforma agraria palsu Jokowi JK! Tegakkan reforma agraria sejati yang mengabdi pada kepentingan kaum tani dan rakyat Indonesia

    Demikian pernyataan sikap ini kami buat.
    Banyumas, 22 Juli 2018


    Cendekia N. Khoolik
    Ketua Cabang AGRA Banyumas

    Utang Bank Dunia Untuk Reforma Agraria?

    Siaran Pers Konsorsium Pembaruan Agraria

    Batalkan Hutang Bank Dunia Atas Nama Reforma Agraria!

    Jalankan Reforma Agraria sesuai UUPA 1960 dan UUD 1945!



    Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, sangat menyesalkan proyek hutang Bank Dunia (World Bank) kepada Kementerian ATR/BPN atas nama Pemerintah Indonesia yang disebut sebagai Akselerasi Reforma Agraria. Sebab, seluruh komponen hutang tersebut digunakan bukan untuk reforma agraria. Komponen hutang tersebut digunakan untuk Program Satu Peta (one map policy), dikombinasikan dengan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan layanan informasi tanah elektronik.
    Sebagaimana disampaikan Menteri Sofyan Djalil melalui siaran persnya yang menegaskan bahwa Bank Dunia berkomitmen mendukung program sertifikasi tanah melalui pinjaman sebesar 200 juta dollar atau Rp 2,7 Triliun.
    KPA menganggap bahwa Kementerian ATR/BPN-RI dan Bank Dunia secara sengaja memberikan informasi yang salah kepada rakyat Indonesia bahwa kegiatan yang didanai utang tersebut sebagai proses akselerasi atau percepatan reforma agraria. Sebab, program tersebut tidak sama, bahkan sangat bertentangan dengan semangat reforma agraria, yang sedang dijadikan program prioritas Pemerintah Joko Widodo.
    Reforma Agraria atau Agraria Reform dalam khazanah ilmu pengetahuan dan praktik di seluruh dunia bukanlah program pendaftaran tanah, sertifikasi tanah dan pembuatan peta. Apalagi dilakukan secara parsial. Ini tentu klaim yang menyesatkan. Reforma Agraria adalah penataan struktur agraria akibat ketimpangan penguasaan struktur agraria nasional. Ketimpangan tersebut bercirikan sebagian besar rakyat khususnya petani, buruh tani, masyarakat adat tidak memiliki tanah atau bertanah sempit. Sementara, segelintir badan usaha skala besar dan pengusaha menguasai tanah maha luas di Tanah-Air kita.
    Reforma agraria juga harus ditujukan untuk menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan, dengan mengedepankan pemulihan hak masyarakat atas tanah dan sumber-sumber ekonominya. Dengan tujuan-tujuan tersebut, maka reforma agraria adalah sebuah langkah membuka kesempatan bagi rakyat tak bertanah memiliki tanah.
    Karena itu, sertifikasi tanah (land titling) bukanlah reforma agraria. Ia adalah pelayanan publik kepada orang yang sudah memiliki tanah namun belum bersertifikat. Memakai dana hutang yang kelak harus ditanggung bergenerasi tentu tidak adil.
    Dua dekade lalu, Bank Dunia juga memberikan hutang kepada Orde Baru pada proyek Land Administration Project (LAP). Tempat pelaksanaan LAP saat itu adalah Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor dan Karawang. KPA pada masa itu memberikan kritik keras sebab proyek administrasi pertanahan tersebut akan menjadi instrumen liberalisasi tanah.
    Saat ini, apa yang dikhawatirkan dari proyek LAP dua dekade lalu telah terjadi. Lokasi pelaksanaan LAP sepenuhnya telah terjadi konsentrasi tanah kepada segelintir pengusaha kawasan industri, perumahan, pusat belanja, apertemen, sementara pemilik tanah lama tidak terlibat dalam proses pembangunan semacam ini selain menjual tanahnya.
    Berkaca dari kegagalan LAP dalam mengangkut para pemilik tanah ke dalam proses pembangunan. Sangat penting untuk membatalkan hutang tersebut, apalagi dengan embel-embel Reforma Agraria sebab sangat menyesatkan. Berbahaya, jika setiap kebijakan terkait pertanahan langsung mengatasnamakan reforma(si) agraria.
    Selain membatalkan hutang tersebut, KPA juga mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan janji reforma agraria melalui program redistribusi tanah kepada rakyat yang berhak, yang didukung secara utuh dan sistematis dengan program-program dukungan lainnya pasca redistribusi tanah dilakukan, sehingga membuat tanah-tanah tersebut produktif dan menjadi jalan untuk kesejahteraan dan keadilan sosial.
    Dalam Refleksi 3 (Tiga) Tahun Status Reforma Agraria Jokowi-JK (Catatan Akhir Tahun KPA 2017), selain masalah Perpres RA yang tak kunjung ditandatangani, bentuk kelambagaan yang sektoral (dualisme tanah; hutan dan bukan-hutan), KPA juga telah mengingatkan masalah anggaran negara khusus untuk agenda reforma agraria. Sangatlah fundamental, bahwa agenda Reforma Agraria tidak didanai oleh hutang sebab akan membelokkan tujuan utama reforma agraria yang sesuai dengan UUPA 1960 dan Konstitusi UUD 1945. Reforma Agraria harus lah dipimpin langsung oleh Presiden dalam mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaannya. Hanya dengan kepemimpinan langsung Presiden maka koordinasi lintas Kementerian/Lembaga bisa dilakukan secara efektif.
    Dalam mendorong percepatan tersebut, KPA kembali mengingatkan pemerintah untuk menjalankan reforma agraria secara bottom-up process dengan melibatkan masyarakat mengindentifikasi obyek dan subyek RA. KPA bersama seluruh serikat tani anggotanya telah mendorong proses dari bawah ini dengan nama Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) sebagai jalan tengah atas kebuntuan kebijakan (top-down) TORA. LPRA merupakan wilayah-wilayah yang telah memenuhi syarat-syarat pelaksanaan reforma agraria. Mengingat waktu tak lama lagi, hendaknya pemerintah konsisten pada tujuan-tujuan sejati reforma agraria, fokus pada usulan-usulan petani dan masyarakat adat dari bawah.
    KPA juga mengecam langkah Bank Dunia mendukung proses liberalisasi tanah di Indonesia.
    Jakarta, 22 Juli 2017
    Konsorsium Pembaruan Agraria
    Dewi Kartika
    Sekretaris Jenderal

    Jumat, 20 Juli 2018

    Tolak Tanah Digusur untuk Bandara, Sumiyo Bergulat dengan Petugas di Atap Rumah

    KONTRIBUTOR YOGYAKARTA, DANI JULIUS ZEBUA | Kompas.com - 20/07/2018, 16:52 WIB

    Empat Satpol PP dan seorang polisi bergulat dengan Sumiyo yang bertahan di atas genteng rumah. Ia tak mau rumahnya digusur. (KOMPAS.com/Dani J)

    KULON PROGO, KOMPAS.com - Perlawanan warga berlanjut seiring upaya pengosongan lahan pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kecamatan Temon, Kulon Progo, Yogyakarta. 

    Sumiyo (53) bahkan nekat mempertahankan rumahnya dengan menaiki atap dan berdiri di genteng rumah. Ia menduduki genteng dan mengancam melempar genteng kepada semua aparat yang mencoba mendekat, sambil bertahan dengan memeluk tiang listrik pada atap. 

    Empat anggota dari Satuan Polisi Pamong Praja Kulon Progo dan seorang polisi Provos mencoba membujuk. Kelimanya menaiki atap rumah dengan bantuan belalai ekskavator. Sumiyo tetap bertahan sebisanya melawan dengan menendang genteng-genteng. 

    Seorang anggota Satpol PP, Gita Haryana mengatakan, usahanya membujuk tidak berhasil.
     "Saya bilang ke dia, bapak turun dan semua jadi lebih enak. Kita ini takutnya dia yang jatuh," kata Gita, Jumat (20/7/2018). 
    Bujukan gagal. Pergulatan terjadi di puncak atap. Sumiyo melawan sambil berpegangan pada tiang listrik atap rumah. Drama dan pergulatan itu berlangsung hingga setengah jam. Polisi dan 4 anggota Satpol PP itu sampai harus mengikat tangan dan kaki Samiyo di atas rumah lantas menurunkannya dengan kuku bucket. 
    "Tenaganya kuat sekali," kata Dedi, salah satu anggota Satpol PP yang ikut menurunkan Sumiyo. 
    Setelah diturunkan, Sumiyo segera dilepas. Penggusuran rumah-rumah warga yang memaksa bertahan di lahan pembangunan Bandara NYIA pada Jumat ini menyasar 33 rumah warga di izin penetapan lokasi (IPL) NYIA ini. 

    Lebih dari 30 kepala keluarga bertahan mendiami rumah. Mereka bersikeras menolak semua solusi apapun dari pemerintah untuk meninggalkan IPL, meski status tanah sudah kembali ke negara.

     Angkasa Pura I (Persero) dan PP memutuskan memindahkan warga dari sana, memberi rumah tinggal sementara di rumah-rumah sewa, lantas menggusur rumah mereka di IPL. 

    Banyak ekskavator dikerahkan untuk mempercepat perobohan tidak hanya rumah, tetapi juga kandang sapi, pohon kelapa, melinjo, mangga, hingga pohon jati yang masih muda. 

    Upaya pembersihan lahan itu juga melibatkan ratusan orang, baik TNI-Polri, relawan angkat barang, hingga mobil truk. Semua mendapat perlawanan dari warga yang menolak pembangunan bandara. 

    Penggusuran sebenarnya sudah berlangsung sejak Kamis (19/7/2018) kemarin. Sebanyak 17 dari 33 rumah sudah digusur sehari sebelumnya. 

    Penggusuran kembali berlanjut hari ini. Salah satu yang paling alot adalah rumah-rumah yang masuk Dusun Sidorejo, Desa Glagah, Temon. 

    Warga melawan dengan beragam cara, termasuk Sumiyo. Ada yang terus menghujat, ada pula yang terus melempar polisi dan Satpol PP dengan pasir. Ada juga yang berontak, bahkan melukai beberapa Satpol PP dengan cara menggigit. 

    Tidak ikhlas 

    Sumiyo mengaku rumah itu adalah peninggalan orang tuanya. Di rumah itu, tinggal 2 kepala keluarga, yakni Sumiyo dan salah seorang anaknya yang sudah berkeluarga. Sebagai rumah peninggalan, ia berniat mempertahankan sebisanya. 
    "Intine niki griyo kulo, dibrukke ora iklas. Urip turun temurun kok dirampas. (Intinya ini rumah saya, dirobohkan tidak ikhlas. Hidup turun temurun kok dirampas)," kata Sumiyo tak lama setelah diturunkan petugas. 
    Sumiyo mengaku tidak akan menerima apapun tawaran pemerintah untuk menyerahkan tanah dan rumahnya menjadi lahan bandara. Karenanya, ia menilai pemerintah arogan dengan memaksa kehendak merobohkan rumah. 
    "Ini pembongkaran paksa. Sejak semula pilihannya hanya setuju atau menolak. (Bertahan) karena ini warisan orang tua," kata Sumiyo. 
    Sumiyo mengaku tersakiti untuk kesekian kali. Satu bulan lalu, ia mempertahankan lahan garapan cabai yang juga berada di tengah IPL. "Cabai tinggal petik dipanen, malah disorok (digusur)," katanya. 

    Sumiyo memastikan akan bertahan di situ. Ia akan mendirikan tenda, menitipkan barang-barang miliknya ke rumah tetangga, dan akan kembali bercocok tanam di lahannya. 

    Ia tidak menerima solusi apapun dari pihak manapun, termasuk menerima ganti rugi. 

    "Kami akan berusaha bikin tenda. Ini hak dan tanah saya. Saya tak bersedia tinggal di situ (rumah relokasi)," katanya.
    Sumber: Kompas.Com 
    Penulis : Kontributor Yogyakarta, Dani Julius Zebua
    Editor : Farid Assifa

    Rabu, 11 Juli 2018

    Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil Menentang Tindakan Penindasan dan Penggusuran Lahan Masyarakat untuk Pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA)


    Press Release

     Penghancuran lahan pekarangan milik petani Paguyuban Warga Penolak Penggusuran - Kulon Progo (PWPP-KP) di Desa Glagah Temon pada Kamis (28/7). [Kredit Foto: Dok. PWPP-KP]

    Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil Menentang Tindakan Penindasan dan Penggusuran Lahan Masyarakat untuk Pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA)

    Jakarta, 11 Juli 2018

    Atas nama beberapa organisasi masyarakat sipil di Indonesia mengecam keras tindakan penindasan dan praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparatur negara terkait dengan pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) terhadap masyarakat di sekitar Kulon Progo, Yogyakarta.

    pt. Angkasa Pura I (Persero) sebagai pemrakarsa dan pt. Pembangunan Perumahan (PP) sebagai pelaksana teknis melakukan perusakan terhadap tanaman-tanaman pangan siap panen dan pepohonan sumber ekonomi milik petani yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP).

    Koalisi sangat perihatin atas peristiwa yang menimpa warga Kulon Progo yang mengalami penggusuran secara paksa oleh aparatur negara dan PT. Angkasa Pura I. Negara yang seharusnya memastikan bahwa perlindungan warga terhadap pengusiran paksa dan hak asasi manusia atas perumahan yang layak, malah bertindak sebaliknya.  
    Selain itu, lahan pertanian yang menjadi sumber ekonomi masyarakat di Kulon Progo juga telah dirusak oleh pt. Angkasa Pura yang saat itu datang dengan dikawal oleh TNI, Polri, dan Satpol PP dan juga merusak alat pertanian warga berupa mesin diesel, alat semprot air, pipa air, dan berbagai alat lainnya.


    Tindakan ini tidak sesuai dengan prinsip larangan pengusiran paksa Komite Ekosob, dimana Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ekosob tersebut, sebagaimana tertuang di dalam Komentar Umum No. 7 Hak atas Perumahan Layak dalam Pasal 11 (1) Konvensi Ekosob.

    Koalisi juga menyayangkan adanya tindakan PT. Angkasa Pura I yang tidak melibatkan pendampingan Komnas HAM untuk menjamin bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM dalam proses pengosongan lahan dan banyak praktik-praktik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pt. Angkasa Pura I (Persero) dan pt. PP yang melibatkan beberapa aparat negara seperti; TNI, Polri, Satpol PP yang menimpa seluruh lapisan masyarakat mulai dari anak-anak, golongan disabilitas, lansia, juga perempuan.

    Seharusnya penilaian dampak terhadap HAM dilakukan sejak awal sebagaimana sesuai dengan Komentar Umum No. 7 Komite Ekosob terkait hak atas perumahan layak paragraf 10 bahwa;
    “Perempuan, anak-anak, remaja, orang tua, penduduk asli, etnis dan minoritas lainnya, individu dan kelompok rentan lainnya semua menderita secara tidak proporsional dari praktik pengusiran paksa... Ketentuan non-diskriminasi Pasal 2.2 dan 3 dari Konvensi mewajibkan tambahan pada Pemerintah untuk memastikan bahwa tidak ada bentuk diskriminasi apapun yang terlibat.”

    Untuk itu HRWG mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

    Menghentikan sementara aktivitas pt. Angkasa Pura I (Persero) dan pt. PP dalam proses pengosongan lahan untuk New Yogyakarta International Airport (NYIA) paling tidak untuk menjamin bahwa penggusuran memenuhi Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman terhadap Penggusuran Paksa PBB dan nilai-nilai Hukum HAM Internasional;

    Memberikan sanksi yang tegas apabila pt. Angkasa Pura I (Persero) dan pt. PP terbukti melakukan pelanggaran (pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran administrasi, dan berbagai pelanggaran lainnya) dalam proses pengosongan lahan untuk New Yogyakarta International Airport (NYIA);

    Menindak secara tegas semua pihak yang terlibat dalam proses pengosongan lahan yang disertai dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia meskipun para pelakunya adalah aparat negara (Polisi, TNI, dan Satpol PP) sesuai dengan Komentar Umum No. 7  Komite Ekosob terkait hak atas perumahan layak;

    Tidak melibatkan aparat penegak hukum dan tidak melakukan tindakan represif kepada masyarakat Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP KP);

    Menerjunkan tim untuk meninjau langsung kondisi terkini yang ada di lapangan tempat pengosongan lahan terjadi (Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta), serta menyusun kerangka penyelesaian yang partisipatif dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada di dalam Komentar Umum No. 7 Komite Ekosob;

    Melakukan upaya-upaya pemulihan pada masyarakat Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP KP) yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia saat proses pengosongan lahan terjadi;

    Menegur keras aparatur keamanan negara dengan tegas setiap anggotanya yang terbukti terlibat dalam proses pengosongan lahan NYIA dan melakukan tindakan represif yang melanggar hak asasi manusia.
    ____________

    Muhammad Hafiz
    (+62 812-8295-8035)
    Direktur Eksekutif HRWG

    Selasa, 10 Juli 2018

    Menolak NYIA, Melawan Ketidakadilan Agraria [1]


    Setro Jenar*


    PWPP: Foto rumah petani Paguyuban Warga Penolak Penggusuran - Kulon Progo (PWPP-KP) yang diurug halaman pekarangannya, dibuat parit sekelilingnya; seakan disengaja untuk sama sekali mengisolir petani yang melawan ketidakadilan pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport). [Foto: Dok.PWPP-KP]

    Bagaimana situasi terkini masyarakat yang tersudut dalam kronik agraria dan bagaimana “ikatan suci”1 yang melandasi perjuangan para petani di tengahnya; tak banyak yang memahami dengan seutuhnya. Pada kasus penggusuran agraria di Temon Kulon Progo, dimana tak kurang dari 37 KK petani membangun resistensi atas ketimpangan megaproyek bandara internasional New Yogyakarta (NYIA)2; banyak orang melihat resistensi itu sebagai perlawanan waton sulaya semata.3

    Pada suatu malam refleksi pasca “pembuldozeran” lahan dan tanaman petani4, yang ternyata telah berulang dan sebagian tanaman di lahan itu tengah berproduksi, para petani gempung hati dan fikirnya lantaran jelas-jelas teraniaya; makin membulatkan tekadnya untuk tak takluk pada kesewenang-wenangan. Perlakuan tak manusiawi ini, dalam berbagai bentuknya, secara khusus dibahas dalam rapat warga. 

    BULDOZER: Seorang tentara menjaga pembuldozeran lahan cabai milik petani yang baru panen perdana. Kejadian penghancuran lahan produktik yang masih Hak Milik petani ini berlangsung di Glagah (28/6) dan Palihan (29/6). [Foto: Dok.PWPP-KP]

    Alih-alih mendapat pembelaan dari pengayom masyarakat, ribuan polisi juga tentara, bahkan mengawal proses penghancuran lahan dan tanaman milik para petani itu.

    “Polisi bukannya mengayomi masyarakat, tapi malah mengawal seluruh proses perusakan (penghancuran lahan_Red) itu”, tukas Hermanto yang dibenarkan warga lainnya. “Sangat tidak manusiawi”, sambungnya.

    Tak ada pembelaan dari mana pun.5 Tak juga dari rejim “negara agraris” yang lebih mengimani pembangunanisme sebagai pandangan dalam menentukan kebijakan makronya, melampaui kewajiban menyejahterahkan rakyatnya yang diamanatkan konstitusi. Sehingga tatkala alat-alat berat meluluhlantakkan tanaman holtikultura di lahan milik petani pun, dianggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan umum berupa pembangunan itu.

    KECEWA: Foto eksekusi penghancuran lahan pertanian, meski dilawan mati-matian oleh warga, penghancuran itu terjadi juga. Sebelumnya ada statement dari Bupati Bantul dan pihak Angkasa Pura bahwa jika eksekusi ini dilakukan akan menyertakan Komnas HAM. Tapi faktanya negara tak hadir di lokasi dan penghancuran telah terjadi [Dok. PWPP-KP] 

    Tetapi pembangunan bandara internasional New Yogyakarta (NYIA) yang dilaksanakan dengan cara menggusur rakyat setempat terutama petani yang secara kultur telah menjalin relasi agraris turun temurun, itu bukan saja tak bisa disederhanakan atas nama pembangunan. Tetapi juga karena Temon mesti dilihat sebagai ruang hidup yang dibangun turun temurun, melintasi zaman dan menjadi puzzle tata-nilai suatu peradaban bercorak agraris di Kulon Progo.  

    Budaya agraris, berikut tradisi dan relasi-relasinya, tak bisa begitu saja diabaikan dan disederhanakan dengan cara paksa memindahkan lokasi (relokasi) warga petaninya ke ruang hunian baru. Manakala pemaksaan ini yang terjadi maka itu artinya picu perlawanan rakyat telah ditarik.  

    “Ini semua hunian manusia yang memang harus dijaga dan dimanusiawikan”, kata seorang relawan di sela berlangsungnya rapat warga.


    Watak Pembangunan dan Pentingnya Solidaritas

    POLISI: Keberadaan ratusan polisi, dan juga militer, di lokasi; bukan untuk mengayomi asset milik warga, melainkan untuk mengawal penghancuran lahan [Foto: Dok. PWPP-KP]

    Kenapa mesti bersolidaritas? Karena semua orang, bahkan juga pemerintah, telah mengabaikan dan menjauh meninggalkan persoalan ini. Kemelut agraria yang diciptakan picunya dari kuasa kebijakan makro rejim infrastruktur penggusur, makin hari makin menjamur kuantitasnya. Sementara dari perspektif rakyat, sebagaimana mengemuka dalam refleksinya; pembangunan tak selalu harus dilaksanakan dengan cara menggusur warga dimana-mana.

    Demikian pula yang terjadi di Temon Kulon Progo. Negara bukan saja tak hadir untuk melindungi rakyatnya dalam menghadapi kemelut agraria ini. Tetapi justru ia -negara- itu menjadi pangkal dari semua kemelut itu dan malah jadi bagian dari masalah. Dan karena negara bukan representasi kedaulatan rakyatnya serta memposisikan pada pengabdian terhadap kekuasaan modal dengan mengabaikan esensi berkeadilan sosial; maka dari situlah resistensi tumbuh bersemi.

    Sebagaimana kemelut agraria pesisir Urutsewu di sebelah baratnya, maka petani PWPP-KP dibiarkan menghadapi ancamannya sendirian. Terhadap kasus pemaksaan pemindahan (relokasi) penduduk pun disingkiri oleh para pemangku kepentingan dan otoritas kewenangan di sektor agraria. Watak rejim pembangunan yang dilaksanakan hari ini makin jelas tak berbasis pada pemajuan dan pengembangan budaya agraris.

    URUG-GALI: Salah satu rumah petani PWPP-KP digali parit di sekitarnya dan diurug tanah pada halaman pekarangan hak miliknya. [Foto: Dok.PWPP-KP]
    ______

    Lantas apa yang bisa diperbuat?
    Bersolidaritas adalah sebuah cara rakyat yang paling mungkin buat dilakukan. Meski terhadap kemelut agraria PWPP-KP di Temon, menggalang solidaritas itu telah dibangun –terutama- oleh para relawan; tetapi kuasa modal kembali menghancurkannya. Kehancuran memang bukan melulu pada lahan-lahan pertanian yang dibuldozer atau rumah-rumah yang diratakan tanah. Solidaritas sosial yang mencerminkan kearifan budaya gotong-royong pun dideranya.

    Portal yang dipasang pada sarana mobilitas umum di Jalan Daendels, dan dijaga 24 jam; hanyalah satu dari sekian fakta tentang Temon hari ini.

    [Bersambung]

    ___
    1 Ikatan suci yang dimaksud adalah ikrar suci dengan asma Tuhan dan dengan alam ciptaanNya, yang telah dilangsungkan dalam situasi komunal yang disakralkan. Dalam konteks ini, ikrar dilakukan warga petani Temon Kulon Progo yang menolak penggusuran pembangunan bandara NYIA.
    2 Aduan warga PWPP-KP kepada Ombudsman-RI menghasilkan lembaga negara mengeluarkan rekomendasi adanya Mal-Administrasi berkaitan pembebasan tanah untuk pembangunan bandara NYIA.  
    3 Terminologi Jawa untuk sebuah pertentangan berdalih “pokoknya”, tanpa landasan yang -khususnya- secara idiil dapat dipertanggungjawabkan.
    4  Dibawah pengawalan aparat (polisi dan militer) pihak Angkasa Pura lancarkan “pembuldozeran” lahan -cabai- pertanian jelang dan pada masa panen di dusun Glagah (28/7) dan Palihan (29/7). Pengoperasian alat berat lainnya melakukan penggalian dan pengurugan tanah “hak milik” seperti halaman dan sekitar rumah petani yang menolak NYIA.    
    5 Statement Bupati Kulon Progo dan fihak Angkasa Pura yang akan menyertakan Komnas HAM saat -eksekusi- lahan dan pembersihan tanaman dinilai sebagai ingkar janji.