Setelah serangkaian upaya termasuk aksi mendesak Pemkab
dan DPRD Kebumen seputar tuntutan pengembalian KBAK (Kawasan Bentang Alam
Karst) Gombong Selatan tak menghasilkan kejelasan, maka pada akhir 2017 lalu
Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) mengusung tuntutan ini
langsung ke Kementerian ESDM di Jakarta.
INVESTIGASI: Perpag melalui elemen Pemuda Desa Sikayu melakukan observasi lapangan paska terjadinya pembalakan dan pembakaran hutan di kawasan "sabuk hijau" seputar KBAK Gombong selatan. Ada pihak ketiga yang telah menguasai pemilikan tanah di zona ini, namun bagi Perpag, insiden pembakaran hutan seperti ini dinilai sangat merusak wilayah konservasi pegunungan karst. [Foto: Adi H Budiawan - Perpag]
Sebagaimana diketahui bahwa dalam revisi
KBAK dimana perubahan luasannya diinisiasi dari Pemkab Kebumen pada tahun 2013
lalu, patut diduga telah terjadi manipulasi luasan KBAK yang seharusnya
ditetapkan sebagai kawasan lindung Eco-Karst
sebagaimana dimaksud dalam regulasi Kepmen ESDM sebelumnya.
Atas dugaan manipulasi KBAK ini Perpag
menggandeng ISS dan ASC untuk melakukan pemetaan partisipatif bersama warga
kawasan karst. Meski hasil pemetaan ini tak sempurna dan banyak mendapatkan
input kritik dari Badan Geologi Bandung, namun secara faktual memang perubahan
KBAK telah ditengarai tak sesuai realitas di lapangan. Pada kenyataannya,
kepemilikan tanah bakal areal tambang pt Semen Gombong selaku pemegang IUP
(Ijin Usaha Pertambangan) itu berada pada zona yang seharusnya masuk kawasan
lindung
Kaji
Ulang KBAK
Dukungan advokasi dari LBH Semarang dan LBH
Yogya cukup responsif menyikapi upaya lanjut warga paska Perpag gelar audiensi
dengan Kementerian ESDM di Jakarta. Perubahan KBAK yang “menghilangkan” areal 8,05
Km persegi luasannya ini dinilai sebagai ancaman serius terhadap ekologi
lingkungan dan keberadaan kawasan lindung Eco-Karst
setempat. Mengingat di dalam perut pegunungan karst K-1 ini terdapat
pusat-pusat tata air (hidrosytem) karst yang saling terhubung dan secara signifikan
menopang kehidupan masyarakat luas dan habitat lainnya.
Dalam rapat Perpag (13/1) bersama kedua
lembaga bantuan hukum ini kembali disepakati bahwa tuntutan pengembalian luasan
KBAK sebagai masalah krussial.
“Tuntutan pengembalian KBAK adalah harga mati”, tegas Adi, pemuda pegiat Perpag yang diamini peserta rapat dari beberapa desa dan pedukuhan sekitar kawasan karst.
Dalam gelar rapat di pedukuhan Kewunen Desa
Sikayu antara warga dengan dua lembaga bantuan hukum ini juga disepakati
perlunya koordinasi warga dan elemen Pemdes menjelang kedatangan tim dari
Kementerian ESDM yang akan melakukan tinjauan lapangan pada Februari 2018.
Kementerian ESDM dinilai sebagai institusi
pemerintah yang paling menentukan dalam penetapan KBAK yang secara signifikan
jadi penentu dikeluarkannya ijin tambang.
“Sebelum semua terlanjur, perubahan KBAK Gombong Selatan harus dikaji ulang”, demikian pernyataan H Samtilar.
Ketua Perpag ini tetap pada pandangan
filosofisnya yang mendasar bahwa proses alam yang membentuk batuan karst itu berlangsung
berabad-abad lamanya. Masuknya korporat tambang ke kawasan karst dengan janji
kemakmuran itu sangat tak pasti. Tapi yang pasti dalam keyakinannya adalah jika
ditambang untuk kepentingan industri, maka hanya dalam waktu singkat jelas akan ada kerusakan permanen yang mustahil bisa
dipulihkan.
Penambangan
Liar
Ihwal penambangan liar di pegunungan karst
Gombong selatan juga menjadi keprihatinan tersendiri. Daya rusaknya, meski tak
sebesar kelas industri, dari hari ke hari juga makin kentara dampaknya. Contoh
paling kasatmata soal illegal-mining ini
adalah apa yang telah lama berlangsung di perbukitan karst Desa Kalisari Rowokele. Sesungguhnya, penambangan tradisional seperti ini juga ada di wilayah desa lainnya.
"Pihak berwenang terkesan menutup mata dan membiarkan saja", ucap Agus Fujianto, pemuda Sikayu yang tergabung dalam investigasi.
Ironisnya, pemerintah setempat belum secara
nyata melakukan tindakan penyelamatan. Alih-alih menghentikan praktik
penambangan tradisional, dalam perkembangannya justru berlangsung terus dan
bahkan makin meluas. Sepintas “pertambangan rakyat” ini terkesan berdiri
sendiri dan memang melulu berkaitan langsung dengan masalah perut para pelaku
penggaliannya yang kebanyakan adalah warga setempat.
Tapi ketika Perpag dan beberapa pemuda Desa
Sikayu melakukan investigasi kecil, menemukan tengara bahwa praktek tambang
rakyat yang dilakukan secara tradisional ini telah berkorelasi dengan
pihak-pihak yang mestinya justru ikut menjaga kelestariannya.
Informasi yang dihimpun Perpag dari
Kalisari Rowokele dimana dalam wilayah desa ini terdapat tambang rakyat untuk
pengambilan batu kapur, didapati fakta-fakta yang mengejutkan. Bagi Perpag
sendiri melalui elemen pemuda desanya yang mulai rajin melakukan investigasi
lapangan, masih terus melakukan serangkaian observasinya. Namun mulai bisa memetakan siapa aktor atau oknum yang "bermain" dalam proses perusakan lingkungan seperti ini.
Di satu sisi, warga yang melakukan
penambangan liar (illegal-mining) ini selalu distigma sebagai satu-satunya
biang kerok yang berkontribusi pada rusaknya lingkungan karst di Gombong
selatan.
Tetapi di sisi lainnya, seiring dengan
tudingan ini malah didapati adanya pihak-pihak yang memanfaatkan penambangan
rakyat untuk keuntungan pribadi dengan memungut setoran upeti bagi tiap pikulan
yang diusung para penambang.
Issue
Tambang Makin Kompleks
Problem penambangan material di kawasan karst
Gombong selatan sejak lama dicermati Perpag sebagai lebih dari sekedar fenomena nyata yang makin
hari makin kompleks; terutama dari aspek jenis dan aktor pelakunya. Diluar
ancaman tambang batuan karst untuk industri semen dan tambang rakyat batu
kapur, juga ada eksploitasi mineral lain seperti pengambilan butir batuan silica, phosphat dan juga guano terutama dari kawasan gua-gua di situ.
Beberapa gua-gua karst yang pada masa kini
tengah gencar dirintis jadi obyek dan destinasi wisata alternatif selain Gua
Jatijajar dan Gua Petruk, seperti gua-gua karst di Sikayu, Redisari,
Karangduwur dan banyak lainnya; terdapat sisa-sisa penambangan yang
menghancurkan dasar gua, dinding dan ornamen lain seperti stalaktiet-stalakmiet yang ada.
Perpag yang pada awal pendiriannya
diproyeksikan sebagai organisasi rakyat dalam issue penolakan masuknya
korporasi tambang semen di kawasan lindung, mau tak mau, harus bersentuhan
bahkan berhadapan langsung dengan ancaman perusakan ekologi lingkungan.
Sementara sumber munculnya ancaman perusakan lingkungan itu justru bermula dari
kebijakan pemerintah, termasuk regulasi kementerian terkait; yang tengah
mati-matian ditentang oleh masyarakatnya.
Dan ironisnya, banyak kebijakan berdalih
peningkatan perekonomian daerah, tetapi implikasi yang ditimbulkan di hari
kemudian jelas-jelas menyengsarakan masyarakatnya. Perpag mempertanyakan
kontribusi dari kalangan industri ekstraktif ini terhadap perekonomian daerah.
Tapi seberapa pun tak bakal sebanding dengan ongkos pemulihan ruang hidup yang
dirusak secara permanen.
“Janji kemakmuran industri semen itu mitos, tapi kerusakan yang diakibatkan sesudahnya; itu jelas dan permanen”, pungkas Adi H Budiawan.[K.04]
0 komentar:
Posting Komentar