Kamis, 25 Januari 2018

Perpag: Janji Kemakmuran Industri Semen itu Mitos

Setelah serangkaian upaya termasuk aksi mendesak Pemkab dan DPRD Kebumen seputar tuntutan pengembalian KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst) Gombong Selatan tak menghasilkan kejelasan, maka pada akhir 2017 lalu Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) mengusung tuntutan ini langsung ke Kementerian ESDM di Jakarta.


INVESTIGASI: Perpag melalui elemen Pemuda Desa Sikayu melakukan observasi lapangan paska terjadinya pembalakan dan pembakaran hutan di kawasan "sabuk hijau" seputar KBAK Gombong selatan. Ada pihak ketiga yang telah menguasai pemilikan tanah di zona ini, namun bagi Perpag, insiden pembakaran hutan seperti ini dinilai sangat merusak wilayah konservasi pegunungan karst. [Foto: Adi H Budiawan - Perpag] 

Sebagaimana diketahui bahwa dalam revisi KBAK dimana perubahan luasannya diinisiasi dari Pemkab Kebumen pada tahun 2013 lalu, patut diduga telah terjadi manipulasi luasan KBAK yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung Eco-Karst sebagaimana dimaksud dalam regulasi Kepmen ESDM sebelumnya.

Atas dugaan manipulasi KBAK ini Perpag menggandeng ISS dan ASC untuk melakukan pemetaan partisipatif bersama warga kawasan karst. Meski hasil pemetaan ini tak sempurna dan banyak mendapatkan input kritik dari Badan Geologi Bandung, namun secara faktual memang perubahan KBAK telah ditengarai tak sesuai realitas di lapangan. Pada kenyataannya, kepemilikan tanah bakal areal tambang pt Semen Gombong selaku pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan) itu berada pada zona yang seharusnya masuk kawasan lindung


Kaji Ulang KBAK

Dukungan advokasi dari LBH Semarang dan LBH Yogya cukup responsif menyikapi upaya lanjut warga paska Perpag gelar audiensi dengan Kementerian ESDM di Jakarta. Perubahan KBAK yang “menghilangkan” areal 8,05 Km persegi luasannya ini dinilai sebagai ancaman serius terhadap ekologi lingkungan dan keberadaan kawasan lindung Eco-Karst setempat. Mengingat di dalam perut pegunungan karst K-1 ini terdapat pusat-pusat tata air (hidrosytem) karst yang saling terhubung dan secara signifikan menopang kehidupan masyarakat luas dan habitat lainnya.  
  
Dalam rapat Perpag (13/1) bersama kedua lembaga bantuan hukum ini kembali disepakati bahwa tuntutan pengembalian luasan KBAK sebagai masalah krussial.
“Tuntutan pengembalian KBAK adalah harga mati”, tegas Adi, pemuda pegiat Perpag yang diamini peserta rapat dari beberapa desa dan pedukuhan sekitar kawasan karst.
Dalam gelar rapat di pedukuhan Kewunen Desa Sikayu antara warga dengan dua lembaga bantuan hukum ini juga disepakati perlunya koordinasi warga dan elemen Pemdes menjelang kedatangan tim dari Kementerian ESDM yang akan melakukan tinjauan lapangan pada Februari 2018.

Kementerian ESDM dinilai sebagai institusi pemerintah yang paling menentukan dalam penetapan KBAK yang secara signifikan jadi penentu dikeluarkannya ijin tambang.
“Sebelum semua terlanjur, perubahan KBAK Gombong Selatan harus dikaji ulang”, demikian pernyataan H Samtilar. 
Ketua Perpag ini tetap pada pandangan filosofisnya yang mendasar bahwa proses alam yang membentuk batuan karst itu berlangsung berabad-abad lamanya. Masuknya korporat tambang ke kawasan karst dengan janji kemakmuran itu sangat tak pasti. Tapi yang pasti dalam keyakinannya adalah jika ditambang untuk kepentingan industri, maka hanya dalam waktu singkat jelas akan ada kerusakan permanen yang mustahil bisa dipulihkan.    


Penambangan Liar

Ihwal penambangan liar di pegunungan karst Gombong selatan juga menjadi keprihatinan tersendiri. Daya rusaknya, meski tak sebesar kelas industri, dari hari ke hari juga makin kentara dampaknya. Contoh paling kasatmata soal illegal-mining ini adalah apa yang telah lama berlangsung di perbukitan karst Desa Kalisari Rowokele. Sesungguhnya, penambangan tradisional seperti ini juga ada di wilayah desa lainnya. 
"Pihak berwenang terkesan menutup mata dan membiarkan saja", ucap Agus Fujianto, pemuda Sikayu yang tergabung dalam investigasi. 
Ironisnya, pemerintah setempat belum secara nyata melakukan tindakan penyelamatan. Alih-alih menghentikan praktik penambangan tradisional, dalam perkembangannya justru berlangsung terus dan bahkan makin meluas. Sepintas “pertambangan rakyat” ini terkesan berdiri sendiri dan memang melulu berkaitan langsung dengan masalah perut para pelaku penggaliannya yang kebanyakan adalah warga setempat.  

Tapi ketika Perpag dan beberapa pemuda Desa Sikayu melakukan investigasi kecil, menemukan tengara bahwa praktek tambang rakyat yang dilakukan secara tradisional ini telah berkorelasi dengan pihak-pihak yang mestinya justru ikut menjaga kelestariannya.

Informasi yang dihimpun Perpag dari Kalisari Rowokele dimana dalam wilayah desa ini terdapat tambang rakyat untuk pengambilan batu kapur, didapati fakta-fakta yang mengejutkan. Bagi Perpag sendiri melalui elemen pemuda desanya yang mulai rajin melakukan investigasi lapangan, masih terus melakukan serangkaian observasinya. Namun mulai bisa memetakan siapa aktor atau oknum yang "bermain" dalam proses perusakan lingkungan seperti ini.

Di satu sisi, warga yang melakukan penambangan liar (illegal-mining) ini selalu distigma sebagai satu-satunya biang kerok yang berkontribusi pada rusaknya lingkungan karst di Gombong selatan.
Tetapi di sisi lainnya, seiring dengan tudingan ini malah didapati adanya pihak-pihak yang memanfaatkan penambangan rakyat untuk keuntungan pribadi dengan memungut setoran upeti bagi tiap pikulan yang diusung para penambang.


Issue Tambang Makin Kompleks   

Problem penambangan material di kawasan karst Gombong selatan sejak lama dicermati Perpag sebagai lebih dari sekedar fenomena nyata yang makin hari makin kompleks; terutama dari aspek jenis dan aktor pelakunya. Diluar ancaman tambang batuan karst untuk industri semen dan tambang rakyat batu kapur, juga ada eksploitasi mineral lain seperti pengambilan butir batuan silica, phosphat dan juga guano terutama dari kawasan gua-gua di situ.

Beberapa gua-gua karst yang pada masa kini tengah gencar dirintis jadi obyek dan destinasi wisata alternatif selain Gua Jatijajar dan Gua Petruk, seperti gua-gua karst di Sikayu, Redisari, Karangduwur dan banyak lainnya; terdapat sisa-sisa penambangan yang menghancurkan dasar gua, dinding dan ornamen lain seperti stalaktiet-stalakmiet yang ada.

Perpag yang pada awal pendiriannya diproyeksikan sebagai organisasi rakyat dalam issue penolakan masuknya korporasi tambang semen di kawasan lindung, mau tak mau, harus bersentuhan bahkan berhadapan langsung dengan ancaman perusakan ekologi lingkungan. Sementara sumber munculnya ancaman perusakan lingkungan itu justru bermula dari kebijakan pemerintah, termasuk regulasi kementerian terkait; yang tengah mati-matian ditentang oleh masyarakatnya.

Dan ironisnya, banyak kebijakan berdalih peningkatan perekonomian daerah, tetapi implikasi yang ditimbulkan di hari kemudian jelas-jelas menyengsarakan masyarakatnya. Perpag mempertanyakan kontribusi dari kalangan industri ekstraktif ini terhadap perekonomian daerah. Tapi seberapa pun tak bakal sebanding dengan ongkos pemulihan ruang hidup yang dirusak secara permanen. 
“Janji kemakmuran industri semen itu mitos, tapi kerusakan yang diakibatkan sesudahnya; itu jelas dan permanen”, pungkas Adi H Budiawan. 
[K.04] 

0 komentar:

Posting Komentar