Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Rabu, 31 Januari 2018

Regedeg Benteng Perlindungan Karst Gunung Kidul

*Wahyu Eka Setyawan (Lingkaran Solidaritas)
31 Januari 2018




Dusun Regedeg merupakan salah satu bagian dari Desa Giripanggung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Dusun ini berada di area atas, secara corak wilayah berada di lereng bawah Gunung Karst, yang masih menjadi satu bagian dari Pegunungan Sewu. Wilayah Regedeg sendiri secara kontur tanah berbeda dengan daerah bawah, di sini lebih ke tanah berwarna merah gelap, dengan batuan-batuan kecil.

Corak wilayahnya pun perpaduan antara daerah dataran rendah dengan pegunungan. Ini dapat di lihat dari bentuk lahan pertanian milik masyarakat, di mana ada beberapa lahan yang mirip terasering namun lebih luas dari keumuman. Lalu, beberapa juga berupa petak-petak berbentuk persegi panjang, yang umum kita jumpai di daerah bawah (dataran rendah).

Wilayah Regedeg dikelilingi oleh Gunung Karst, sehingga secara iklim tergolong tidak terlalu panas dan cenderung lembab. Lalu, masih banyak pepohonan yang rindang, serta beberapa tanaman yang dapat diidentifikasi seperti Kelapa dan beberapa Bambu. 

Karena coraknya sebagai daerah lereng pegunungan karst, ditemukan beberapa goa yang tersebar dibeberapa titik. Goa atau luweng ini merupakan lubang-lubang alami yang menangkap air ketika hujan datang. Hal ini dapat dilihat ketika beberapa goa memang terdapat saluran air, yang memanjang dan masuk lebih dalam, kemungkinan mengalir ke sungai bawah tanah.

Sebagaimana karakteristik endokarst itu sendiri, yaitu ada sungai bawah tanah. 

Secara simplikatif, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa are Regedeg merupakan daerah Karst. Melihat dari kontur baik dari segi morfologi, hingga secara geografis melaui penampakan secara spasial.

Sehingga wilayah ini cukup penting keberadaannya, mengingat cukup vital bagi upaya resistensi dari upaya ekspansi kapital. 
Sementara untuk kondisi tata ruang Regedeg, wilayahnya terdiri dari rumah-rumah yang memiliki pekarangan cukup luas. Berdempetan antara satu rumah dengan yang lainnya. Menunjukan jika secara sosiologis motif masyarakatnya masih gemeinschaft (memiliki hubungan erat antar individu dalam suatu kelompok).

Secara infrastruktur di sini terdapat beberapa bangunan yang tersebar merata di wilayah Regedeg. Seperti :

1. Masjid
2. Mushola
3. Posyandu
4. Balai Dusun 
5 Pos kampling (di setiap RT) 
6. Penunjuk Jalan (masih minim) 
7. DAM  
8. Sekolah SD 
9. SMK 
10. Papan Informasi

Beberapa infrastruktur seperti penunjuk jalan dan lampu penerangan masih kurang. Sehingga turut mempengaruhi produktivitas warga kala malam hari, seupama kondisi darurat. Akses puskesmas juga cukup jauh, sehingga cukup menyusahkan. 

Corak Penduduk Regedeg, Desa Giripanggung

Dusun Regedeg memiliki jumlah penduduk total 174 Kepala Keluarga yang dibagi menjadi 5 Rukun Tetangga yang terdiri dari penduduk laki-laki 288 jiwa, penduduk perempuan 306 jiwa. 

Tingkat pendidikan di Dusun Regedeg:

1. Tamat SD/Sederajat, 207 
2. Tamat SMP/Sederajat, 128 
3. Tamat SMA/Sederajat, 64 
4. Sarjana, 9 orang 

Dusun Regedeg memiliki keberagaman dalam ranah kepercayaan/agama, tercatat dalam data pedukuhan bahwa terdapat tiga agama, antara lain: 

1. Islam, 465 orang 
2. Kristen, 79 orang 
3. Katolik, 10 orang 

Secara sosial-relijus di tengah dominasi Islam, di dusun Regedeg memiliki suatu nilai toleransi yang cukup tinggi. Ini dapat di lihat dari jumlah pemeluk agama selain Islam yang cukup banyak. Kemudian secara budaya pun tidak ada resistensi yang berarti dari mayoritas. Konflik bisa dihindari melalui budaya guyup rukun, serta internalisasi nilai-nilai gotong royong, yang menjadi ciri khas masyarakat kampung (rural). 

Menurut keterangan dari beberapa warga, mereka membaur dengan yang beragama lain. Tidak mempermasalahkan keyakinan mereka, karena itu masuk dalam ranah pribadi. Antara "gusti," dan "mahkluk," memiliki cara yang beragam, jadi harus saling menghormati. 

Lalu, klaim dari Kepala Dusun, bahwa Regedeg termasuk yang plural. Dia meyakini bahwa jumlah penduduk yang beragama selain Islam, di Regedeg cukup banyak. Serta Kepala Dusun meyakini bahwa nilai budaya bisa meredam gesekan, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya konflik. 

Ini membuktikan jika Regedeg memiliki modal sosial yang cukup tinggi. Berupa jejaring yang kuat, relasi antar tetangga yang membentuk kultur kekeluargaan. Kemudian ada nilai-nilai yang membentuk suatu struktur masyarakat yang plural, sesuai dengan konstruksi kultural adat Jawa. 

Deskripsi Perekonomian Regedeg 

Berikut data administratif untuk keragaman pekerjaan di Regedeg : 

1. Petani 254 orang
2. Buruh 71 orang
3. PNS 2 orang
4. Karyawan Swasta 29 orang
5. Pensiunan 7 orang
6. Ibu Rumah Tangga 40 orang
7. Pelajar 60 orang 
8. Wiraswasta 49 orang 
9. Tidak Bekerja 62 orang 

Dalam data tersebut dapat diartikan mayoritas pekerjaan rata-rata pertanian. Selanjutnya menurut keterangan beberapa warga untuk perekonomian cukup kurang. Hal ini dapat dilihat banyaknya perantauan (yang bekerja keluar). 

Dusun Regedeg yang berada dalam kawasan perbukitan Karst Gunung Sewu, secara topografi penampakan wilayah dipenuhi bebatuan, dengan stuktur lahan yang tidak rata. Sehingga secara umum lahan pertanian cukup terbatas dan upaya pemanfaatan lahan yang membutuhkan usaha yang lebih, di tengah mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani. Selain itu kondisi yang berada dalam perbukitan, menjadikan laham pertanian di area ini sangat bergantung pada hujan (lahan pertanian tadah hujan).
Sistem pertanian di Regedeg mayoritas memakai sistem Tumpang Sari, dengan menanam beberapa tanaman dalam satu lahan. Rata-rata yang ditanam berupa tanaman palawija, seperti:

Sistem pertanian di Regedeg mayoritas memakai sistem Tumpang Sari, dengan menanam beberapa tanaman dalam satu lahan. Rata-rata yang ditanam berupa tanaman palawija, seperti:  

1. Jagung2. Kacang Tanah
3. Singkong
4. Ketela

Selain itu warga juga menanam beberapa tanaman lain, seperti:

1. Padi, beberapa warga pada musim tertentu memilih beras merah karena tahan air, beberapa juga menanam beras biasa dengan varietas Hera.
2. Pisang, sebagai tanaman tambahan untuk menambah penghasilan.
3. Kelapa, sebagai tanaman tambahan untuk menambah penghasilan.
4. Tebu, tanaman baru program Desa Giribanggun.
5. Jati, Bambu (menurut mbah 75 dan Ibu-ibu 54 tahun, lahan atau kebun/hutan di sekitar goa adalah miliknya). Beberapa lahan juga ada tanaman tambahan seperti Jati dan Bambu.

Pertanian di Dusun Regedeg memiliki siklus satu kali masa panen untuk jenis Singkong dan Padi. Sementara untuk jenis seperti Kacang Tanah dan Jagung memiliki siklus dua kali masa panen. Menurut pengakuan dari beberapa responden, terutama petani sekitar Goa Kledokan dan beberapa di area dekat rumah Kepala Dusun.

Hasil pertanian kurang maksimal, maka mereka menggunakan sistem tumpang sari. Beberapa dari mereka juga cukup mengeluhkan instabilitas harga tanaman pertanian yang fluktuaktif. Semisal Jagung kering per kg 3500, Kacang Tanah 14000, padi 4500 per kg, Singkong 2300-1300 per kg. Sementara untuk tanaman tambahan seperti pisang dihargai 10.000-20.000 pertandan, sementara kelapa dijual per buah seharga 3000-5000.

Selain pertanian, warga juga beternak di sekitar rumah. Rata-rata warga Regedeg beternak Sapi jenis lokal dan kambing Jawa. Kurang lebih warga memiliki sekitar 2-3 Sapi dan kambing.
Sektor lain yang juga ada di Dusun Regedeg yaitu wiraswasta salah satunya perdagangan, di sana terdapat 8 toko sembako, selain itu ada satu penjual makanan seperti bakso dan mie ayam di dekat pasar.

Berdasarkan informasi dari Kepala Dusun Regedeg, ada dua titik pertambangan batu pondasi dari struktur bawah bukit karst. Terdapat satu penduduk dusun yang bekerja di sana, selebihnya dari desa sebelah dan dusun sebelah.
Selanjutnya beberapa warga desa yang bekerja sebagai buruh bangunan, terkadang buruh tani dan sektor lain. Beberapa warga juga menjadi penjahit, unit usaha kecil seperti makanan kecil seperti kripik ketela dan jajanan dari pisang.

Pemuda di Dusun Regedeg banyak yang menjadi perantauan, terutama di wilayah Yogyakarta dan Jakarta, karena pertanian tidak cukup mencukupi. Di karenakan kondisi yang fluktuaktif dan kondisi yang instabilitas.


Melihat Regedeg Secara Sosio Kultural

Akses jalan di Padukuhan Regedeg dari RT 01 hingga RT 05 sudah baik dengan jalan antar RT saling terhubung walaupun penampakan jalan masih dengan moder cor semen, dengan dua sisi dan belum di aspal.

Sebagian besar jalan di Padukuhan Regedeg berkelok-kelok dan naik turun mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit. Lebar jalan yang dilalui terbilang masih terbatas karena hanya mampu dilewati oleh satu mobil dengan keadaan jalan yang kebanyakan dikelilingi oleh lahan pertanian milik warga.
Jalan di Padukuhan Regedeg juga berfungsi sebagai jalan pintas menuju Kelurahan Sumberwungu.
Keadaan lingkungan di Padukuhan Regedeg sudah baik. Kesadaran warga dalam menjaga lingkungan cukup tinggi. Terlihat dari warga Regedeg yang secara berganti tiap-tiap RT melakukan kerja bakti. Jalan di Padukuhan Regedeg juga terlihat bersih, karena warga tiap pagi selalu menyapu di halaman rumah masing-masing.

Persediaan air bersih di Padukuhan Regedeg sudah tercukupi dengan menggunakan PAM dari PDAM Gunung Kidul, yang berasal dari Goa Bribin dan Goa Sindon. Sementara warga yang mengandalkan air hujan untuk kebutuhan pertanian. Selain itu dahulu warga juga memakai DAM (danau buatan) untuk kebutuhan ternak dan pertanian, serta ada sumur untuk kebutuhan sehari-hari.
Budaya gotong royong dan keramahan dengan rata-rata warga yang terbuka dan ramah, masih menandakan erat kaitannya dengan budaya Jawa khas Yogjakarta yang masih dipegang erat.

Selain itu ada budaya Rasulan atau sedekah bumi, di mana secara kolektif warga mengadakannya setiap Rabu Legi penanggalan jawa, dengan di musyawarahkan terlebih dahulu. Rasulan merupakan adat yang dibalut ritual keagamaan dan kearifan lokal, misal adanya wayangan serta selamatan dengan berbagi makanan antar warga, setelah di melakukan amalan semacam tahlilan dan doa.

Warga juga masih melakukan selamatan sebelum dan sesudah panen, untuk keberkahan serta agar hasilnya selalu memenuhi harapan. Namun budaya ini sudah mulai ditinggalkan. Selain itu ketika waktu bulan Suro, warga tidak mengadakan hajatan besar seperti nikah kecuali khitan, sebagai bentuk penghormatan terhadap kekratonan atau Raja Yogyakarta. 

Beberapa warga juga menceritakan jika di Regedeg juga ada kelompok seniman Reog dan Ketoprak serta Gamelan, namun karena tidak ada penerus kini kelompok itu mulai hilang, relasinya dengan pemuda yang merantau.

Hubungan antara warga Regedeg dengan alam sebenarnya cukup dekat, selain ada simbol desa dengan kata hijau, warga juga sadar dengan tidak melakukan penebangan pohon di sekitar karst. Selain itu mereka juga banyak menanam pohon Jati di sekitar lahan pertaniannya. Mereka juga mengetahui jika air disediakan oleh alam, melalui goa dan luweng.

Awalnya mereka memanfaatkan Kledokan dan DAM sebagai sumber air, sebelum beralih ke PAM. Namun permasalahannya dengan peralihan ke PAM ditakutkan ke depan mereka akan teralienasi dari sub-sistem alamiah sebagai bagian subsistensi manusia dan lingkungan atau anthropos-ecology.

Secara konstruksi dasar masyarakat Regedeg terikat secara budaya dengan alam. Mereka mempunyai kedekatan yang organik dengan tanah. Sehingga secara historis dan budaya masyarakat Regedeg memang memiliki corak budaya, yang erat kaitannya dengan alam. Memiliki prinsip keseimbangan, sebagai bagian metabolisme antara pendekatan antropos dengan environmentalist.

*Tulisan ini hanya pre-research yang dilakukan ketika studi lapangan bersama tim selamatkan karst Walhi

Sumber: Medium.Com 

Sabtu, 27 Januari 2018

Aktivis Kendeng dan Warga Gaji Bikin Film Dokumenter

Sabtu 27 Januari 2018 - 10:41
Reporter: Khoirul Huda




Sebagai wujud kepedulian, Aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan warga Desa Gaji, Kecamatan Kerek yang mengklaim tanahnya diserobot oleh PT Semen Indonesia (Semen Gresik) melakukan pembuatan Film Dokumenter, Jumat (26/1/2018).
Pembuatan film dokumenter tersebut dilakukan dengan langsung melibatkan warga pemilik lahan, serta turut hadir dalam pembuatan film tersebut Gunarso dan Gunarti, aktivis dari Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Aktivis Forum Masyarakat Gaji (FMG) Abu Nasir, saat dikonfirmasi mengatakan bahwa apa yang saat ini dilakukan bersama-sama dengan para aktivis dari Jawa Tengah tersebut, sebagai pembanding dan sekaligus pengkajian terhadap konflik tanah yang akan digunakan sebagi bahan tambang pabrik semen.
"Kami hanya berdialog dan berdiskusi ringan dengan warga yang hingga kini belum jelas status hak kepemilikan tanah mereka, serta berdikusi tentang penanganan konflik tanah pertanian kami bersama dengan kawan-kawan aktivis dari Kendeng,” ucap Abu Nasir.
Selain konflik tanah, menurut Abu Nasir, yang menjadi pembicaraan dalam alur pembuatan film ini juga diangkat dampak lingkungan setelah berdirinya pabrik, serta permasalahan-permasalahan warga sekitar pabrik yang hingga kini belum terselesaikan, salah satunya tentang rekrutmen tenaga kerja.
Pihaknya menjelaskan, langkah dari FMG untuk memperjuangkan hak-haknya yang dirampas saat ini sudah melaksanakan sidang yang ke-14 di Pengadilan Tinggi Negeri (PTN) Jawa Timur, dan yang terakhir dengan agenda mendatangkan saksi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tuban dan PT. Semen Indonesia.
“Kemarin kita melaksanakan sidang yang ke-14 dengan agenda saksi dari BPN Tuban dan PT. Semen Indonesia namun, karena saksi tidak hadir dengan berbagai alasan maka sidang kembali ditunda, tapi tidak apalah itu memang setrategi mereka untuk berupaya menutupi kebusukan dan kebobrokan yang ada di BPN dan PT.Semen Indonesia,” pungkas Abu.[hud/ito]

Sumber: Kumparan 

Jumat, 26 Januari 2018

Pemprof Acuh, Perpakg Mengadu Ke Kementrian ESDM

KEBUMEN.“Masyarakat Gombong Mengusulkan Data KarstGombong Yang Seseungguhnya Kepada Badan Geologi Kementerian ESDM.

Berawal dari keprihatinan masyarakat Gombong atas Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong yang luasannya berkurang secara signifikan dari 48,94 KM2 menjadi 40,89 KM2 yang dikarenakan atas usulan dari Bupati Kebumen melalui Surat Bupati Kebumen Nomor 545/057 R Tanggal 10 Desember 2013 Tentang Usulan Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong Kabupaten Kebumen kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 3043K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong, Padahal menurut data di lapangan seharusnya luasan yang sesungguhnya adalah masih seluas 48,94 KM2. Melihat hal tersebut Masyarakat Gombong yang tergabung dalam Organisasi Rakyat Persatua Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAKG) mengajukan keberatan kepada pemerintah kabupaten Kebumen dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk kemudian dikaji ulang dan membuat usulan baru kepada Kementerian ESDM, namun ternyata pemerintah Kabupaten Kebumen dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sama sekali tidak mau menanggapi bahkan terkesan acuh terhadap keberatan yang disampaikan oleh masyarakat Gombong tersebut.

Oleh karena itu pada hari Rabu, Tanggal 20 Desember 2016 Masyarakat Gombong yang tergabung dalam Organisasi Rakyat Persatua Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAKG) bersama Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) dan Para Pakar Geologi dari Pusat Studi Menejemen Bencana Universitas Pembangunan NasionalVeteran Yogyakarta (PSMB-UPN VeteranYK) dan pakar geologi dari Indonesian Speleological Society (ISS), serta didampingi oleh Kuasa Hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, mendatangi kantor Badan Geologi Kementerian ESDM untuk menyampaikan data tentang kawasan Karst yang sesungguhnya ada di Gombong, hal tersebut karena masyarakat menduga bahwa data usulan tentang Kawasan Karst yang diusulkan oleh Bupati Kebumen terdapat kejanggalan-kejanggalan yang harus dikaji ulang secara bersama-sama.
Menurut Nanang melalui releasnya, “Adapaun dugaan kejanggalan-kejanggala tersebut didasarkan atas beberapa hal, diantaranya ialah sebagai berikut:  *Pertama*, bahwa usulan Bupati Kebumen tersebut tidaklah partisipatif, hal tersebut dapat dilihat bahwasanya masyarakat Gombog yang lokasinya berada persis disebelah wilayah Kawasan Karst sama sekali tidak dilibatkan dalam proses penelitian dan penyusunan usulan yang kemudian dijadikan dasar oleh Kementerian ESDM dalam menetapkan kawasan Karst di Gombong. Padahal apabila terjadi hal-hal yang berkaitan dengan Kawasan Karst tersebut, masyarakat inilah yang pertama merasakan dampak yang akan ditimbulkantersebut.
Kedua,  Usulan Bupati Kebumen tersebut seolah-olah hanya berorientasi pada kepentingan bisnis PT. Semen Gombong, dimana hal tersebut dapat dilihat luasan 8 KM2 yang dihilangkan dari kawasan Karst sebelumnya adalahsebagian besar ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan telah ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah Kabupaten Kebumen untuk PT. Semen Gombong, dan ternyata pada tahun 2016 pun kemudian PT. Semen Gombong telah mengajukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) namun AMDAL tersebut dinyatakan tidak layak. Ketidaklayakan AMDAL tersebut memang karena tidak seharusnya kawasan seluas 8 KM2diperuntukkan menjadi kawasan pertambangan dan sudah seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi berupa KBAK.” Kata Nanang.
Ketiga, usulan Bupati Kebumen tersebut tidak memperhatikan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen Tahun 2011- 2031, padahal di dalam RTRW Kabupaten Kebumen Tahun 2011-2031 juga telah menyatakan bahwa luasan KBAK Gombong seluas 48,94 KM2 namun nyatanya hal tersebut diabaikan begitu saja oleh Bupati Kebumen dalam mengusulkan KBAK kepada kementerian ESDM. Tentu saja hal tersebut menjadi preseden buruk atas jalannya sistem tata pemerintahan di Kabupaten Kebumen yang tidak harmonis dalam sisi peraturan perundang-undangan.”
“Keempat, Usulan Bupati Kebumen Tersebut mengabaikan aspek keberlangsungan lingkungan hidup dan akan berdampak buruk pada ekonomi sektor pertanian yang sudah dibangun oleh masyarakat Gombong. Hal tersebut karena kawasan seluas 8 KM2 yang dihilangkan dari KBAK Gombong faktanya masih memiliki ciri-ciri *pertama*, petrografi sebagai kelompok fasies wackestone – packstone, fasies grainstone, fasies rudstone, fasies framestone, yang tersusun oleh fosil foraminifera besar, pecahan koral, foram plangton, bentos, moluska, algae, yang mempunyai porositas sedang dan mengalami pelarutan,  *kedua*,memiliki satuan geomorfik perbukitan bergelombang kuat,  *ketiga*, terdapat lubang-lubang pelarutan (vuggy) dan daerah goa (adanya sistem lubang / sungai bawah tanah) dan terdapat satuan geomorfik perbukitan bergelombang kuat yang sejatinya adalah perbukitan karst yang eksokarst berkembang dengan baik, *keempat*, terdapar daerah rongga yang jenuh air juga menunjukkan spot-spot daerah batugamping jenuh air dan fracture(garis-garis hitam vertikal) yang dapat menjadi media infiltrasi air tanah, *kelima*, bahwa endokarst berkembang sangat efektifdan didukung banyaknya fractured yang mampu berfungsi sebagai daerah resapan air tanah bagi suplai sistem mata-air karst atau goa berair. *keenam*, menunjukkan adanya zat warna Uranine di Gua Pucung, Gua Candi, dan juga Kali Sirah yang menunjukkan ada koneksi sistem endokarst (lubang pelarutan dan sistem sungai bawah tanah) sehinggajuga berfungsi sebagai “tangkapan air” pada sistem endokarst.  *ketujuh*,menunjukkan pola kecenderungan didominasi kation Calsium, Mg dan Carbonat Oksida, hal ini berarti menunjukkan bahwa dominan genesa air tanah sangat dipengaruhi daerah infiltrasi pada daerah berbatugamping, yang Ca dan Mg –nya tinggi. *Kedelapan* kawasan seluas 8 KM2masih menjadi 1 sistem bentang alam karst Gombong yang sistemnya telah membentuk fenomena eksokarst dan endokarst yang apabila hal tersebut semua tidak dilindungi dengan baik maka kerusakan lingkungan akan terjadi.
Oleh karena itu kemudian masyarakat Gombong yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAKG) menyampaikan data-data Karst yang sesuai dengan fakta dilapangan kepada Badan Geologi Kementerian ESDM. Atas data-data yang telah diusulkan tersebut maka Masyarakat Gombong meminta kepada Kementerian ESDM untuk: 1. Menerima dan memverifikasi dengan turun kelapangan secara langsung atas data-data yang telah diusulkan oleh Masyarakat Gombong kepada Badan Geologi Kementerian ESDM;
2. Membandingkan data yang telah diusulkan oleh masyarakat Gombong dengan data yang diusulkan Bupati Kebumen yang menjadi dasar Keputusan Menteri ESDM Nomor 3043K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong;
3. Menyampaikan hasil perbandingan data tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Kebumen dan Masyarakat Kebumen dan Gombong secara khusus;
4. Apabila hasil verifikasi dan perbandingan menunjukkan bahwa data Masyarakat Gombong yang lebih akurat, maka Kementerian ESDM harus segera melakukan revisi Keputusan Menteri ESDM Nomor 3043K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong dan harus mengembalikan luasan KBAK Gombong menjadi 48,94 KM2 sesuai dengan data dilapangan yang sesungguhnya.
5. Meminta kepada Kementerian ESDM dalam melaksanakan proses-proses tersebut di atas berdasarkan pada prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Adapun atas usulan masyarakat Gombong tersebut Badan Geologi Kementerian ESDM yang ditemui oleh masyarakat Gombong pada hari Rabu, tanggal 20 Desember 2017 menyatakanakan melakukan kajian dan verifikasi ke lapangan secara langsung atas data-data yang diusulkan oleh Masyarakat Gombong yang direncanakan sekitar pada bulan Februari 2018 tahun depan. Demikian press release ini kami sampaikan sebagai informasi kepada publik dan bentuk kepedulian atas keberlangsungan lingkungan hidup yang baik.
Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAKG),Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA), Pusat Studi Menejemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta (PSMB UPN Veteran Yogyakarta),  indonesian Speleological Society (ISS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Bandung (Eko/nus)
Sumber: NusantaraNews 

Kamis, 25 Januari 2018

Perpag: Janji Kemakmuran Industri Semen itu Mitos

Setelah serangkaian upaya termasuk aksi mendesak Pemkab dan DPRD Kebumen seputar tuntutan pengembalian KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst) Gombong Selatan tak menghasilkan kejelasan, maka pada akhir 2017 lalu Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) mengusung tuntutan ini langsung ke Kementerian ESDM di Jakarta.


INVESTIGASI: Perpag melalui elemen Pemuda Desa Sikayu melakukan observasi lapangan paska terjadinya pembalakan dan pembakaran hutan di kawasan "sabuk hijau" seputar KBAK Gombong selatan. Ada pihak ketiga yang telah menguasai pemilikan tanah di zona ini, namun bagi Perpag, insiden pembakaran hutan seperti ini dinilai sangat merusak wilayah konservasi pegunungan karst. [Foto: Adi H Budiawan - Perpag] 

Sebagaimana diketahui bahwa dalam revisi KBAK dimana perubahan luasannya diinisiasi dari Pemkab Kebumen pada tahun 2013 lalu, patut diduga telah terjadi manipulasi luasan KBAK yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung Eco-Karst sebagaimana dimaksud dalam regulasi Kepmen ESDM sebelumnya.

Atas dugaan manipulasi KBAK ini Perpag menggandeng ISS dan ASC untuk melakukan pemetaan partisipatif bersama warga kawasan karst. Meski hasil pemetaan ini tak sempurna dan banyak mendapatkan input kritik dari Badan Geologi Bandung, namun secara faktual memang perubahan KBAK telah ditengarai tak sesuai realitas di lapangan. Pada kenyataannya, kepemilikan tanah bakal areal tambang pt Semen Gombong selaku pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan) itu berada pada zona yang seharusnya masuk kawasan lindung


Kaji Ulang KBAK

Dukungan advokasi dari LBH Semarang dan LBH Yogya cukup responsif menyikapi upaya lanjut warga paska Perpag gelar audiensi dengan Kementerian ESDM di Jakarta. Perubahan KBAK yang “menghilangkan” areal 8,05 Km persegi luasannya ini dinilai sebagai ancaman serius terhadap ekologi lingkungan dan keberadaan kawasan lindung Eco-Karst setempat. Mengingat di dalam perut pegunungan karst K-1 ini terdapat pusat-pusat tata air (hidrosytem) karst yang saling terhubung dan secara signifikan menopang kehidupan masyarakat luas dan habitat lainnya.  
  
Dalam rapat Perpag (13/1) bersama kedua lembaga bantuan hukum ini kembali disepakati bahwa tuntutan pengembalian luasan KBAK sebagai masalah krussial.
“Tuntutan pengembalian KBAK adalah harga mati”, tegas Adi, pemuda pegiat Perpag yang diamini peserta rapat dari beberapa desa dan pedukuhan sekitar kawasan karst.
Dalam gelar rapat di pedukuhan Kewunen Desa Sikayu antara warga dengan dua lembaga bantuan hukum ini juga disepakati perlunya koordinasi warga dan elemen Pemdes menjelang kedatangan tim dari Kementerian ESDM yang akan melakukan tinjauan lapangan pada Februari 2018.

Kementerian ESDM dinilai sebagai institusi pemerintah yang paling menentukan dalam penetapan KBAK yang secara signifikan jadi penentu dikeluarkannya ijin tambang.
“Sebelum semua terlanjur, perubahan KBAK Gombong Selatan harus dikaji ulang”, demikian pernyataan H Samtilar. 
Ketua Perpag ini tetap pada pandangan filosofisnya yang mendasar bahwa proses alam yang membentuk batuan karst itu berlangsung berabad-abad lamanya. Masuknya korporat tambang ke kawasan karst dengan janji kemakmuran itu sangat tak pasti. Tapi yang pasti dalam keyakinannya adalah jika ditambang untuk kepentingan industri, maka hanya dalam waktu singkat jelas akan ada kerusakan permanen yang mustahil bisa dipulihkan.    


Penambangan Liar

Ihwal penambangan liar di pegunungan karst Gombong selatan juga menjadi keprihatinan tersendiri. Daya rusaknya, meski tak sebesar kelas industri, dari hari ke hari juga makin kentara dampaknya. Contoh paling kasatmata soal illegal-mining ini adalah apa yang telah lama berlangsung di perbukitan karst Desa Kalisari Rowokele. Sesungguhnya, penambangan tradisional seperti ini juga ada di wilayah desa lainnya. 
"Pihak berwenang terkesan menutup mata dan membiarkan saja", ucap Agus Fujianto, pemuda Sikayu yang tergabung dalam investigasi. 
Ironisnya, pemerintah setempat belum secara nyata melakukan tindakan penyelamatan. Alih-alih menghentikan praktik penambangan tradisional, dalam perkembangannya justru berlangsung terus dan bahkan makin meluas. Sepintas “pertambangan rakyat” ini terkesan berdiri sendiri dan memang melulu berkaitan langsung dengan masalah perut para pelaku penggaliannya yang kebanyakan adalah warga setempat.  

Tapi ketika Perpag dan beberapa pemuda Desa Sikayu melakukan investigasi kecil, menemukan tengara bahwa praktek tambang rakyat yang dilakukan secara tradisional ini telah berkorelasi dengan pihak-pihak yang mestinya justru ikut menjaga kelestariannya.

Informasi yang dihimpun Perpag dari Kalisari Rowokele dimana dalam wilayah desa ini terdapat tambang rakyat untuk pengambilan batu kapur, didapati fakta-fakta yang mengejutkan. Bagi Perpag sendiri melalui elemen pemuda desanya yang mulai rajin melakukan investigasi lapangan, masih terus melakukan serangkaian observasinya. Namun mulai bisa memetakan siapa aktor atau oknum yang "bermain" dalam proses perusakan lingkungan seperti ini.

Di satu sisi, warga yang melakukan penambangan liar (illegal-mining) ini selalu distigma sebagai satu-satunya biang kerok yang berkontribusi pada rusaknya lingkungan karst di Gombong selatan.
Tetapi di sisi lainnya, seiring dengan tudingan ini malah didapati adanya pihak-pihak yang memanfaatkan penambangan rakyat untuk keuntungan pribadi dengan memungut setoran upeti bagi tiap pikulan yang diusung para penambang.


Issue Tambang Makin Kompleks   

Problem penambangan material di kawasan karst Gombong selatan sejak lama dicermati Perpag sebagai lebih dari sekedar fenomena nyata yang makin hari makin kompleks; terutama dari aspek jenis dan aktor pelakunya. Diluar ancaman tambang batuan karst untuk industri semen dan tambang rakyat batu kapur, juga ada eksploitasi mineral lain seperti pengambilan butir batuan silica, phosphat dan juga guano terutama dari kawasan gua-gua di situ.

Beberapa gua-gua karst yang pada masa kini tengah gencar dirintis jadi obyek dan destinasi wisata alternatif selain Gua Jatijajar dan Gua Petruk, seperti gua-gua karst di Sikayu, Redisari, Karangduwur dan banyak lainnya; terdapat sisa-sisa penambangan yang menghancurkan dasar gua, dinding dan ornamen lain seperti stalaktiet-stalakmiet yang ada.

Perpag yang pada awal pendiriannya diproyeksikan sebagai organisasi rakyat dalam issue penolakan masuknya korporasi tambang semen di kawasan lindung, mau tak mau, harus bersentuhan bahkan berhadapan langsung dengan ancaman perusakan ekologi lingkungan. Sementara sumber munculnya ancaman perusakan lingkungan itu justru bermula dari kebijakan pemerintah, termasuk regulasi kementerian terkait; yang tengah mati-matian ditentang oleh masyarakatnya.

Dan ironisnya, banyak kebijakan berdalih peningkatan perekonomian daerah, tetapi implikasi yang ditimbulkan di hari kemudian jelas-jelas menyengsarakan masyarakatnya. Perpag mempertanyakan kontribusi dari kalangan industri ekstraktif ini terhadap perekonomian daerah. Tapi seberapa pun tak bakal sebanding dengan ongkos pemulihan ruang hidup yang dirusak secara permanen. 
“Janji kemakmuran industri semen itu mitos, tapi kerusakan yang diakibatkan sesudahnya; itu jelas dan permanen”, pungkas Adi H Budiawan. 
[K.04] 

Senin, 01 Januari 2018

Nasib Warga Kulon Progo yang Belum & Sudah Digusur Proyek Bandara

Reporter: Mawa Kresna | 01 Januari, 2018

Polisi mengawasi proses pembongkaran rumah saat pengosongan lahan secara paksa untuk pembangunan Bandara Baru Yogyakarta di Kulon Progo pada Senin, 4 November 2017. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
  • Ada sekitar 37 rumah yang masih bertahan di lokasi dan menolak iming-iming Angkasa Pura I
Warga yang sudah direlokasi mengeluh tak bisa berproduksi dan cuma menghabiskan uang tabungan.

Adi buru-buru mengambil wudu setelah ustaz Sofyan menyalakan genset di belakang masjid Al-Hidayah. Lampu-lampu masjid menyala meski redup. Adi lantas mengumandangkan azan Magrib. 

Sampai Adi selesai melantunkan ikamah, jemaah tak lebih dari sepuluh orang. Sebagian besar bukan warga sekitar masjid di Desa Palihan, melainkan mereka yang tengah dalam perjalanan menuju Bantul, sebuah kabupaten ke arah timur dari Kulon Progo. Itu termasuk Adi, relawan yang membantu warga di sana. Kecuali keluarga ustaz Sofyan dan keluarga Fajar, yang tinggal sepuluh langkah di belakang masjid, tidak ada warga Palihan lain yang salat di sana. 

Sudah lebih dari dua minggu masjid tersebut sepi. Orang-orang yang semula tinggal di sekitar masjid sudah pergi. Mereka pindah setelah tanahnya dijual ke PT Angkasa Pura I untuk digunakan sebagai bandara baru Kulon Progo bernama New Yogyakarta International Airport. 

Segelintir yang bertahan adalah keluarga Ustaz Sofyan, di antara 37 rumah warga lain, yang menolak menjual tanahnya ke PT Angkasa Pura I. 

Namun ada perubahan dramatis. Langkah pengosongan lahan yang masih ditempati warga itu dilakukan secara paksa lewat ekskavator dan pengerahan ratusan pasukan gabungan polisi, TNI, dan Satpol PP. Selama akhir November dan awal Desember lalu, aksi macam itu digencarkan di bawah pengawasan PT Pembangunan Perumahan, BUMN rekanan PT Angkasa Pura 1, yang menggarap proyek Bandara Kulon Progo. 

Aksi pengosongan paksa PT Angkasa Pura I ini diadang oleh warga setempat dan orang seperti Adi sebagai relawan yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo.  

Langkah paksa itu juga termasuk mencabut meteran listrik rumah warga dan Masjid Al-Hidayah. Imbasnya, semua peralatan masjid, seperti pengeras suara, lampu, pompa air wudu, dan peralatan yang membutuhkan arus listrik lain tidak bisa berfungsi. Orang-orang kesulitan bila salat berjemaah.

Fajar cuma geleng-geleng kepala sambil berdecak ketika saya bertanya soal kondisi masjid yang sepi. 


“Padahal dulu bapak saya mewakafkan tanah untuk bangun masjid, supaya warga bisa salat berjemaah, tapi sekarang…” ujar Fajar tak kuasa meneruskan ucapannya.
Ia mengingat proses pembangunan masjid. Warga gotong royong tanpa bantuan pemerintah. Pada 1984, Masjid Al-Hidayah selesai dibangun dan menjadi masjid pertama di Dusun Palihan. 
“Perjuangan bikin masjid itu lho ... kok yang sekarang mudah saja ditinggalkan,” kata Fajar.
Tempat ibadah warga setempat selain masjid adalah gereja. Namanya Gereja Kristen Jawa (GKJ) Palihan, sekitar 150 meter dari Masjid Al-Hidayah. Ini gereja peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Data dari Sinode GKJ, GKJ Palihan berdiri pada 17 Januari 1925. Jumlah jemaatnya: 505 orang dewasa dan 164 anak-anak.

Sekarang gereja itu hanya tinggal sejarah. Jika Anda membuka peta Google, dan mengetik “GKJ Palihan”, Anda bisa menemukan lokasi gereja tersebut. Namun, bila Anda mendatanginya, gereja itu sudah lenyap. Bangunan gereja dihancurkan oleh pihak Angkasa Pura I beberapa minggu sebelum Natal. Dinding-dinding gereja sudah rata tanah. Tidak terlihat lagi sisa bangunan gereja. 

Padahal, saat malam Natal, biasanya warga bisa melihat kemeriahan di gereja itu. Jemaah Masjid Al-Hidayah juga tidak keberatan dengan kehadiran gereja dan selama ini mereka hidup rukun. 

Namun, sejak ada proyek pembangunan bandara baru Yogyakarta, segalanya telah berubah.

Perusakan Rumah Warga

Masjid yang sepi tak kalah sepi dengan rumah Fajar. Lampu di teras dan ruangan rumah redup. Ruang tamu kosong, hanya ada segelintir perabotan dan sebuah televisi lawas. Saat saya bertandang ke rumah itu, Fajar baru selesai salat Isya. Ia buru-buru membentangkan tikar untuk alas duduk kami. Hermanto, kakak Fajar, turut berbincang bersama kami, ditemani teh hangat dan singkong goreng, hasil kebun mereka.
“Lihat itu pintu, ada bekas dicongkel. Itu kerjaan Angkasa Pura,” kata Fajar menunjuk pintu, lalu beralih ke kusen jendela. “Jendela juga.”

Aksi mencongkel ini dilakukan "orang-orang tak dikenal" pada 27 November. Mereka mengenakan syal yang menutupi separuh muka, dari dagu sampai hidung, hanya terlihat mata. Mereka mencongkel paksa pintu dan jendela. Saat bersamaan, dua ekskavator bersiap melindas rumah Fajar. Fajar segera mengetahui aksi sembunyi-sembunyi itu dan segera menghardik si pelaku. Pelaku lantas menjauh.

“Ini rumah saya, kenapa Angkasa Pura mau congkel-congkel? Saya tidak pernah menjual tanah saya ke mereka. Ini namanya apa kalau bukan teror? Kriminal?” kata Fajar.
Sejak kejadian itu, warga yang menolak menjual tanahnya ke Angkasa Pura menempeli rumah dengan fotokopi kertas bergambar Garuda Pancasila, lengkap dengan urutan lima sila. Di genteng rumah, mereka memasang bendera Merah Putih. Pintu rumah ditempeli kertas putih bertuliskan “Rumah ini tidak dijual untuk bandara”.

Selain itu, aksi pengosongan paksa melukai dahi Hermanto. 

Pada 5 Desember, sekitar pukul sebelas siang, Hermanto menerima telepon dari istri adiknya, memberitahu bahwa "orang-orang suruhan Angkasa Pura I" dan polisi mendatangi rumah mereka. Ia pun buru-buru pulang. Sampai di rumah, ia memaki-maki orang-orang yang mendekati rumah sekaligus sanggar seni miliknya. 

Tapi ekskavator terus bergerak ke arah rumahnya. 

Ia melangkah ke depan aparat yang membentuk barikade dan memegang senjata api.

“Kalau saya dianggap menghalang-halangi, tembak saya sekarang!” teriak Hermanto.
Saat itulah sebuah batu seukuran kepalan tangan bayi mendarat pada jidat Hermanto. Darah mengucur. Ia sempat semaput. Hermanto ditarik warga ke belakang, digotong ke dalam rumah, dan kepalanya langsung dibebat perban dan diberi ramuan tanaman obat untuk menghentikan pendarahan. Setelah tenaganya terkumpul kembali, ia langsung berdiri dan berusaha keluar dari rumah, tetapi dihalangi warga.

Dari jendela, ia melihat patung Ganesha setinggi 1,5 meter karyanya sudah ambruk. Ia melihat ekskavator melibas rumah sekaligus sanggar seni miliknya. Dalam hitungan menit sanggar itu tinggal puing-puing. Patung-patung batu dan semen, yang dibuatnya tahun 2000, hancur seketika. 

“Ini ulah Angkasa Pura dan aparat. Ini namanya pelanggaran HAM dan kriminal. Saya bilang ke polisi, 'Kalau tidak mau tanggung jawab, kalian akan dimintai tanggung jawab di akhirat!'”

Memasuki Masa Bertanam

Kebun-kebun warga telah digilas alat berat. Tanaman semangka, cabai, singkong, yang belum sempat berbuah, sudah hancur. Ladang-ladang yang belum dirusak oleh Angkasa Pura I tampak terbengkalai karena pikiran warga tersedot untuk menjaga rumah.

Namun, seminggu sebelum Tahun Baru 2018, atau dua pekan setelah aksi pengosongan paksa yang berhasil diadang warga dan para aktivisbeberapa warga termasuk Fajar dan ustaz Sofyan mulai turun ke sawah dan ladang. 

Musim penghujan sudah tiba, sudah saatnya sawah-sawah digarap. Sawah milik Fajar berada di sisi utara masjid, persis di tepi jalan raya Wates-Purworejo. Sawah itu kini hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki sebab sepanjang jalan raya sudah dipagari besi dan kawat oleh Angkasa Pura I. 

Sawah milik Fajar sudah ditanami bibit padi. Sekarang tinggal memupuk dan mengairi. Selama ini hasil sawah Fajar tidak dijual, beras dikonsumsi sendiri. Untuk menghasilkan uang, Fajar bergantung pada penjualan hasil kebun seperti cabai, semangka, dan kelapa. 

Kebun milik fajar berada di sisi selatan, menyeberangi jalan raya Daendels. Kebun itu sudah beberapa bulan tidak ditanami, hanya buah kelapa yang sudah siap dipetik. 

Perkebunan di Palihan ini sudah mandiri. Warga tidak lagi mengerjakan semuanya secara manual. Misalnya, untuk menyiram, warga sudah menerapkan sistem infus. Selang-selang dipasang horizontal sebaris dengan jarak antar-tanaman. Petani tak perlu repot bila harus menyiram kebun. Cukup membuka keran, kemudin menunggunya sambil bersantai atau mengerjakan hal lain. 

Ustaz Sofyan, selain menjadi guru mengaji, sehari-hari mengelola kebun semangka dan cabai milik orangtuanya. Dalam sekali masa panen, ia bisa mengantongi Rp30 juta. Khusus untuk cabai, masa panen sekitar 55 hari sejak ditanam. Semangka sekitar tiga bulan.

“Kami tidak pernah kesulitan mencari pembeli. Biasa sudah datangi kami, mau sistem borongan atau jual per kilo. Kalau harus ditimbang itu repot, jadi biasanya sistem borongan, satu lahan diperkirakan ada berapa buah, dikalikan dengan perkiraan berat semangka. Kurang lebih hasilnya sama,” kata Sofyan.

Nasib Warga Kulon Progo yang Belum & Sudah Digusur Proyek Bandara


'Orang Kaya Baru' di Palihan

Sementara warga penolak bandara tengah menyambut musim tanam, warga Palihan yang bersedia direlokasi sedang berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan lagi. 

Wiharto sedang duduk di bangku teras rumah barunya ketika saya tiba. Rumah itu bercat hijau dan berlantai keramik, terlihat mewah dan masih kinclong. Begitu juga rumah-rumah baru di sekitarnya. Desain rumah nyaris sama. Sebagian besar memiliki fasilitas garasi mobil. Mirip seperti kompleks perumahan di pusat kota Yogyakarta, seakan-akan bukan di sebuah dusun di Kulon Progo.

Wiharto adalah kepala dukuh Kragon yang merelakan tanahnya dibeli Angkasa Pura I. Sebagai gantinya, ia disediakan area relokasi. Namun, lahan itu tidak gratis, ia harus membelinya dan membangun rumah sendiri dengan biaya sendiri, begitu pula warga lain.

“Bagaimana tinggal di rumah baru? Besar banget,” kata saya.
Wiharto mengusap kepala seakan bingung untuk menjawab. “Ya begini ini, kelihatannya nyaman, tapi bingung sudah dua bulan enggak kerja,” jawabnya.

Ia bercerita soal kekhawatiran warga yang menerima tawaran relokasi, dan mayoritasnya petani. 

“Lahan pesisir, tegalan, sawah sudah tidak punya. Bingung mau bekerja apa. Sampai sekarang warga belum ada yang bekerja, hidup masih mengandalkan uang penjualan tanah,” kata Wiharto.
Angkasa Pura I, kata Wiharto, menjanjikan memberi pekerjaan kepada warga, bahkan warga yang direlokasi akan diprioritaskan bila ada kebutuhan tenaga kerja. Beberapa waktu lalu, pihak Angkasa Pura I menawarkan pekerjaan bagi warga yang memiliki SIM B1, prasyarat mengemudikan mobil penumpang dan barang umum. Tetapi, karena tidak ada seorang warga yang memilikinya, tidak ada yang direkrut sebagai sopir proyek bandara baru Yogyakarta.
“Jangankan B1, SIM C (untuk mengemudikan sepeda motor) saja ada yang tidak punya,” celetuk Wiharto.
Salbianto juga merasakan hal serupa. Sudah dua bulan ini ia hanya makan uang tabungan dari penjualan tanahnya di lahan yang kini sudah jadi milik Angkasa Pura I. Ia bilang ia masih "beruntung" bisa kerja serabutan. Saat pembangunan rumah-rumah di lahan relokasi, Salbianto mendapatkan pekerjaan sementara dengan memasang instalasi listrik. Namun, setelah rampung, ia menganggur lagi.

Ia berkata Angkasa Pura I hanya mengumbar "janji manis". Usianya sudah 40-an tahun, dan ia bilang ia "tidak mungkin bisa bekerja" di Bandara Kulon Progo kelak. Pendidikannya pun hanya lulusan SMA, kemampuanya terbatas untuk bekerja di bandara.

“Katanya kami jadi prioritas, ya tapi tetap ada ‘tapi’. Tapi yang memenuhi syarat, skill-nya ada. Di sini rata-rata lulusan SMA, mau jadi tukang parkir saja sekarang parkiran sudah pakai mesin,” ujar Salbianto.

Konsumsi Minim Produksi

Ketakutan terbesar Salbianto adalah bila uang tabungannya habis. Sekarang ia tidak lagi menjadi orang yang berproduksi, tetapi hanya mengonsumsi. Contoh sederhana: kompor buat memasak. Saat belum direlokasi, ia masih menggunakan kayu bakar dari kebun. Begitu pula sayur dan beras dari hasil panen sendiri.

Pola itu berubah. Ia kini membeli gas, beras, sayur, dan lauk-pauk. Semuanya serba membeli. Sementara ia belum mendapatkan pekerjaan baru.

“Kalau dibilang enak mana, ya enak dulu. Biar enggak punya duit, masih bisa makan dari kebun sendiri," katanya.
"Sayur yang bisa dipetik usianya 20 hari, bisa dijual untuk jajan anak. Sekarang tidak bisa begitu. Harus mikir: mau kerja apa? Jangan dilihat rumahnya yang bagus-bagus, lihat isinya ... aslinya ya remuk,” ujar Salbianto.
Salbianto membandingkan pendapatannya setiap bulan sebelum dan sesudah relokasi. Jika mengandalkan hasil panen, dalam setahun, sawahnya hanya bisa memproduksi maksimal 12 ton gabah kering. Seandainya dibandingkan dengan bunga bank dengan simpanan tabungan Rp1 miliar, ia bisa mendapatkan sekitar Rp.4 juta per bulan. Jumlah ini lebih banyak dari pendapatan menjual gabah.
“Kalau dihitung secara ekonomi, ya lebih banyak, tapi merasa lebih aman kalau punya beras,” katanya.
Saat sebagian besar warga yang direlokasi beralih menjadi masyarakat konsumtif, Fajar masih bertahan hidup sementara ini dengan menanam ubi. Ubi menjadi pilihan karena tanaman yang paling mudah diolah, cukup disetek, ditancapkan ke tanah, tunggu sampai tumbuh. Ubi inilah yang disajikan untuk para aktivis yang bersolidaritas dengan warga penolak bandara.

Selain ubi, warga mendapat sumbangan dari relawan dan orang-orang yang bersimpati dengan mereka. Bantuan berupa uang ini dibelikan sembako lalu dibagikan ke kelurag-keluarga dari ke-37 rumah yang masih bertahan di lokasi proyek.

Fajar tidak khawatir harus makan ubi terus. Ia lebih khawatir jika kelak kehilangan tanah, sawah, dan kebun. 

“Kalau sudah enggak ada sawah, besok mau makan apa?” kata Fajar. Ia mengambil ubi goreng dari piring, mengunyahnya, sambil tersenyum.
Sumber: Tirto.Id