Juni 13, 2017 | wartapalaindonesia
Ekspedisi Panca Tahap 2 Bara Rimba menemukan bahwa Formasi Jatiluhur tenyata Kars yang memiliki fungsi sebagai daerah resapan air (13/4). WARTAPALAINDONESIA/ Willy Firdaus
Wartapalaindonesia.com, EKSPEDISI – Minggu pagi (9/4), delapan remaja dari organisasi Bara Rimba memulai perjalanan Expedisi Panca Tahap 2 dari Rengasdengklok menuju Ciampel, Karawang. Sebuah ekspedisi untuk mencari informasi serta fakta bahwa Formasi Jatiluhur adalah kawasan karst yang memiliki fungsi sebagai daerah resapan air.
“Perjalanan yang tidak mudah, bukan karena medannya tapi karena banyak ahli yang pesimis,” ucap Arip Munawir selaku Kepala Satuan Bara Rimba disaat melepas Team Expedisi Panca.
Hal ini beralasan, karena menurut peta terbaru yang dirilis Badan Geologi, formasi Jatiluhur adalah Batu Pasir Anggota Jatiluhur (Mdq). Maka di atas kertas sangat tidak mungkin menemukan jaringan gua dan sungai bawah tanah di formasi Jatiluhur.
Budi Brahmantio (Dosen Geologi ITB Bandung) menyampaikan, Formasi Jatiluhur biasanya hanya sisipan-sisipan tipis batu gamping, jadi umumnya karst tidak berkembang.
“Ini adalah mission imposible tapi kami harus membuktikannya,” kata Nuraidah leader caving Expedisi Panca kepada media.
Selain dari cerita rakyat dan info awal dari organisasi Gurita yang pernah melakukan identifikasi gua pada tahun 2000 di sana, team ekspedisi sangat minim data.
Minggu siang dengan terik mentari yang menyengat, tim berjalan kaki sejauh 6 Km menyusuri punggungan perbukitan dari hutan dataran rendah terakhir di Karawang.
Medan berat dengan jalan berlumpur tak bisa dilalui kendaraan konvesional, maka pilihan tim setelah lewat Kawasan Industri Suryacipta adalah berjalan kaki. Menembus hutan dan perbukitan Tanjakan Pacul, sebuah bukit yang masih hijau diantara himpitan kawasan-kawasan industri yang meluas.
Menjelang sore, tim telah sampai di Base Camp Expedisi di daerah bernama Kuta Meriam. Sebagian anggota tim yang kegerahan dan keletihan langsung menuju sebuah hulu sungai dari Sungai Cisubah untuk merasakan segarnya air yang masih jauh dari polusi.
Kuta Meriam sendiri adalah satu dari 7 kuta yang ada di Kuta Tandingan, dan Kuta Tandingan sendiri bukanlah nama adminsitratif untuk sebuah daerah. Kuta Tandingan adalah kawasan berbukit yang menghampar diantara Desa Parung Mulya dan Desa Mulya Sejati di Kecamatan Ciampel Kab.Karawang.
Kuta Tandingan terdiri dari 7 kuta diantaranya Kuta Meriam, Kuta Gombong, Kuta Kulambu, Kuta Masigit, Kuta Barang, Kuta Jati dan Kuta Pohaci. “Tidak ada batas yang jelas bagi masing-masing kuta yang ada di Nagara Kuta (red: Kuta Tandingan),” jelas Maman salah satu dari sedikit penduduk di sana.
Maman melanjutkan, bahwa kuta adalah Paseur atau pusat dari sebuah kawasan, seperti Kuta Meriam pusatnya adalah Gua Muara. Dan Kuta Masigit dengan paseur-nya sebuah tebing setinggi 3 meter, lalu Kuta Kulambu dengan pusatnya sebuah pohon besar yang tumbuh di atas bebatuan.
Menurut Titi Bachtiar (Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung) ketika ditanya terkait penamaan geografis untuk sebuah tempat menjelaskan, “bisa sesuai keadaan bentang alam seperti bentukan, warna, ciri khas tumbuhan.”
“Kemudian ada juga karena kawasan itu beralih fungsi karena dikerjakan oleh manusia,” hal ini menjelaskan kenapa ada nama Kuta Gombong dan Kuta Jati, karena di dekat paseur-nya banyak tumbuh bambu dan pohon jati.
Senin, (10/4/17)
Kicau burung yang mencari makan di pohon kiara besar (Ficus sp) pagi itu masih nyaring dan pilar-pilar cahaya yang menembus belantara pun belum cukup kuat. Tapi hiruk-pikuk kegiatan di Base Camp Expedisi sudah meriah dengan penyiapan peralatan.
Tim caving sudah mengenakan coverall yaitu pakaian terusan berbahan flannel yang biasa dipakai para penelusur gua. Tidak lupa helm dan headlamp di cek kesiapannya agar tidak menghambat hari pertama penelusuran gua-gua yang ada di Formasi Jatiluhur.
Tim Rimbawan lebih sibuk mengemas bekal dan sebagian menajamkan golok tebas untuk membuka jalur di hutan. “Hari ini kami akan menyusuri tebing Kiara Kumpai sebelah timur,” kata Reynaldi sebagai leader rimbawan Expedisi Panca.
Tim Rimbawan disiapkan untuk mencari bentukan eksokarst di Formasi Jatiluhur, yaitu sebuah karakter karst di atas permukaan tanah.
Tepat pukul 08.00 pagi, empat anggota tim caving dan empat anggota team rimbawan telah dalam posisi melingkar. Dipimpin leader caving, seluruh team ekspedisi berdoa memohon kelancaran dan keselamatan kepada Tuhan.
Tim rimbawan bergerak ke timur dari base camp dan tim caving bergerak ke arah selatan menuju Gua Parigi (-6.45782, 107.300823), gua pertama yang akan di susur. Gua Parigi adalah gua horizontal yang berkarakter kering dengan habitat kelelawar (Hipposideros sp & Miniopterus sp).
Mulut gua yang berukuran 0,5×1 meter dengan kedalaman 0,8 meter memaksa tim untuk bergerak fleksibel melewatinya. Jika salah melangkah bisa jadi kepala terbentur atap gua atau terpeleset karena sepatu boots menginjak lumut.
Di dalam Gua Parigi sekitar jarak 10 meter dari mulut gua, kita bisa menemukan bungkusan kain putih yang lebih dikenal sebagai pocongan. Puluhan pocongan ini berisi kepala hewan seperti kerbau atau kambing yang menjadi persembahan.
Apin selaku kuncen atau juru kunci Gua Parigi mengatakan, “banyak orang yang datang kesana untuk meminta kekayaan atau bertapa.”
Lorong Gua Parigi tidak bercabang, lurus mengarah ke Utara dan terkadang meliuk ke Timur Laut antara 80⁰ – 90⁰ dari kompas. Tinggi lorong antara 2 – 4 meter dengan lebar antara 1 – 2 meter dan ada beberapa genangan air yang berisi ikan paray (Rasbora sp) serta kepiting (Parathelphusidae sp).
Hal ini bisa menjelaskan bahwa ikan dan kepiting di kedalaman 100 – 200 meter di dalam Gua Parigi berasal dari permukaan. Kemungkinan genangan ini berasal dari banjir sungai permukaan yang masuk kedalam gua dan membawa ikan-ikan tersebut hingga terjebak.
Sementara tim rimbawan yang menyusuri tebing timur Kiara Kumpay memulai penyusuran dari koordinat 107⁰18’15” T – 06⁰27’07,7″ S dan berakhir di 107⁰18’20” T – 06⁰27’08,6″ S. Dalam penelusurannya tim rimbawan menemukan 3 ponor dan 1 mata air di Leweung Cikarang.
Penamaan Kiara Kumpay sendiri didasarkan atas adanya pohon kiara besar yang tumbuh diatas tebing. Dan karena akarnya menjuntai hingga kedasar tebing, maka dinamakan kumpay yang dalam istilah sunda adalah sesuatu yang menjuntai.
Kiara Kumpay tepat ada di tengah antara tebing bagian barat dan bagian timur, sehingga tebing ini lebih sering disebut Tebing Kiara Kumpay.
Ujung dari tebing bagian timur berakhir di daerah bernama Leweung Cikarang, di sini ada mata air dan alur sungai yang diisi bebatuan karst ukuran kecil. Di Leweung Cikarang kita akan banyak menemukan pohon gebang (Corypha utan), yaitu sejenis palma tinggi besar dari dataran rendah.
Habitat pohon gebang sendiri mulai terdegradasi oleh perkebunan warga yang berupa jeruk, jengkol dan sawah huma. “Padahal jarang sekali kita menemukan pohon gebang yang hidup di perbukitan seperti ini,” terang Reynaldi.
Selasa, (11/4/17)
Tim ekspedisi merubah strategi dengan tidak membagi tim. Tim caving dan tim rimbawan disatukan, “karena hari ini kita akan menuruni 4 gua sekaligus,” tutur Nuraidah.
Tim rimbawan diberdayakan untuk membabad mulut gua yang ditumbuhi gulma dan tim caving akan menelusuri guanya.
Hujan pada dini hari yang menjadi alasan lain perubahan strategi ini, kekurangan anggota dari tim caving menjadikan tim rimbawan turun membantu.
“Jika cuaca memburuk, kami (rimbawan) akan memberi sinyal dengan prusik (red: tali) kepada team caving,” kata Reynaldi. Selain itu team rimbawan juga akan menyisir serta mencari bentukan eksokarst yang ada disekitar ke-4 gua tersebut.
Gua Muara (-6.453703, 107.300832) adalah gua yang memiliki mulut gua vertikal sedalam 3 meter dan menjadi muara dari jaringan sungai bawah tanah. Posisi Gua Muara yang ada ditepian Sungai Cisubah menjadikan karakter gua nya menjadi penyuplai air permukaan.
Air yang berasal dari Gua Muara adalah hasil keluaran sungai bawah tanah yang terintegrasi dengan gua-gua lainnya. Debit keluaran dari sungai bawah tanah Gua Muara adalah 0,018675 M³/detik atau sama dengan 18,675 liter/detik.
Bergeser ke timur sekitar 100 meter ada Gua Berlian, gua yang menurut warga memiliki batuan yang berkerlap-kerlip seperti cahaya berlian.
Hal ini menjadi daya tarik bagi team, karena team beranggapan bahwa batuan yang berkerlap-kerlip tersebut adalah ornament gua hasil proses karstifikasi atau pelarutan batuan karst.
“Jika anggapan kami benar, maka ini akan menjadi data baru lagi untuk Formasi Jatiluhur,” ungkap Nuraidah.
Gua Berlian (-6.453714, 107.302132) memiliki mulut gua vertikal yang lebih dalam dari Gua Muara, mencapai 5 meter dalamnya. Untuk menuruninya team menggunakan peralatan vertikal terdiri dari Autostop, Ascender, Jumar, Harnes, Carabiner dan Karmantel.
Saat mencapai dasar gua, tim langsung disuguhkan ornament gua hasil karstifikasi seperti stalagtit dan stalgmit bundar sebesar kepalan tangan.
Juga ditemui habitat kelelawar (Rhinolophus sp) serta beberapa Kalacemeti (Stygophrynus dammermani) dan jangkrik gua (Rhaphidophora sp). Gua Berlian juga memiliki sungai bawah tanah yang masih satu jaringan dengan Gua Muara, dan debitnya 0,0732 M³/detik atau sama dengan 73,2 liter/detik.
Selanjutnya team bergerak ke Gua Jasman (-6.453911, 107.302463), menariknya gua satu ini air dari sungai bawah tanahnya digunakan air konsumsi oleh keluarga pak Kumis. Menurut pak Kumis, air dari Gua Jasman begitu bening dan segar rasanya, sehingga air nya dimanfaatkan sebagai air konsumsi.
Apalagi di Kuta Meriam khususnya dan umumnya di Kuta Tandingan, kalau kemarau melanda maka susah mencari air konsumsi. Satu-satunya sumber air adalah Sungai Cisubah yang tidak pernah kering, karena suplai dari sungai bawah tanah.
Pipa berwarna putih seukuran jempol kaki menjulur panjang diantara lorong gua yang penuh dengan kubangan air bekas hujan semalam. Saat tim caving baru masuk 20 meter kedalam gua, dari luar team rimbawan memberi sinyal cuaca memburuk.
Melihat kondisi sampah yang tersangkut di langit-langit gua serta dinding gua yang berlumpur, tim sedikit khawatir dengan flash flood (banjir cepat). “Nyawa kami bergantuang pada seutas tali pemberi sinyal dari team rimbawan, maka setiap detik begitu berharga,” tutur Nuraidah.
Sebelum keluar gua, tim berhasil menghitung terlebih dahulu debit dari sungai bawah tanah Gua Jasman. Debitnya sebesar 0,114 M³/detik atau sama dengan 114 liter/detik.
Keadaan ini menjelaskan pola jaringan dari sungai bawah tanah antara Gua Jasman, Gua Berlian dan Gua Muara sebagai muaranya.
Di mana posisi sungai bawah tanah Gua Jasman lebih besar dibanding sungai bawah tanah Gua Berlian. Dan Gua Berlian debit sungai bawah tanahnya lebih besar dibanding sungai bawah tanah Gua Muara.
Waktu sudah menunjukkan pukul 14:32, dan cuaca di timur jauh terlihat awan mendung menggelayut menakut-nakuti kami akan Flash Flood di lorong gua. Target 4 gua untuk hari ini dan tersisa satu gua yang belum ditelusuri membuat team dalam keadaan bingung dan tidak pasti.
Antara mencapai target hari ini dengan mempertaruhkan nyawa atau mencari aman dan beban target di hari esok bertambah berat serta jaminan cuaca yang tidak bisa di prediksi.
Setelah diskusi dengan warga dan anggota tim yang lain, akhirnya di putuskan tim caving akan turun kedalam gua ke-4. Namun gua yang seharusnya di susuri adalah Gua Masigit di rubah rencananya menjadi Gua Pangimbaran yang lebih aman dari ancaman banjir cepat.
Memperhitungkan posisi Gua Masigit yang sempit dan termasuk tipe saluran, menjadikan ancaman keselamatan jadi pertimbangan team.
Sementara Gua Pangimbaran (-6.456105, 107.301584) kondisinya kering dan ada didataran tinggi dirasa lebih aman. Maka tim ekspedisi memutuskan untuk turun menelusuri Gua Pangimbaran.
Gua Pangimbaran adalah gua horizontal, penamaan pangimbaran berasal dari adanya ruangan di dalam gua yang mengarah ke kiblat (arah shalat ummat muslim). Dan ruangan tersebut seperti mushola didalam gua dengan adanya ruangan imam untuk memimpin shalat yang disebut sebagai Imbar atau Pangimbaran.
Keindahan ornament gua di Gua Pangimbaran lebih menakjubkan dibanding Gua Berlian, hal ini terlihat banyaknya stalagtit dan stalagmite yang terus berkembang. Gua Pangimbaran juga memiliki habitat kelelawar (Megaderma spasma).
Sementara itu tim rimbawan yang menyisir di permukaan telah berhasil mengidentifikasi 3 gua diantara Gua Berlian dan Gua Jasman. Masing-masing gua tersebut diberi nama oleh anggota tim dengan kesepakatan dari warga lokal.
Nama ke-3 gua tersebut adalah Gua Somawijoyo (-6.453889, 107.302217), Gua Panca (sekitar 5 meter ke utara dari Gua Somawijoyo) dan Gua Dzuhur (10 meter ke timur dari Gua Somawijoyo).
Rabu, (12/4/17)
Strategi seperti biasa diterapkan kembali, yaitu dengan membagi kembali tim ekspedisi menjadi 2. Yaitu tim caving ke Gua Masigit (-6.456232, 107.303266) dan tim rimbawan akan menyusuri Tebing Kiara Kumpay ke arah barat.
Bentang barat Tebing Kiara Kumpay titik awal penelusuran sama dengan bentang timur (107⁰18’15” T – 06⁰27’07,7″ S). Dan titik akhirnya berada di titik kordinat 107⁰18’02,7″ T – 06⁰27’11,9″ S berada dekat dengan Gua Muara.
Dalam penelusuran bentang barat, tim rimbawan menemukan 2 ponor. Tim juga menemukan jebakan (trap) yang dipasang pemburu untuk menangkap hewan hidup-hidup. Karena disana juga menurut penuturan warga adalah habitat kancil dan kelinci jawa.
Sementara itu tim caving yang berencana menyusuri Gua Masigit mendapat kendala lapangan. Hujan dini hari tadi telah membuat Gua Masigit banjir, tipe gua yang conduit flow menyebabkan air permukaan masuk kedalam gua.
Akhirnya tim melakukan diskusi lanjutan untuk menanggapi permasalahan yang ada. “Tim tidak mungkin pulang ke base camp, karena target hari ini harus identifikasi 1 gua,” ujar Nuraidah.
Ditengah kegelisahan, salah satu anggota tim melihat ada beberapa mulut gua vertikal dekat Gua Masigit. Setelah diselidiki lebih lanjut ternyata itu gua yang berbeda namun masih satu jaringan dengan Gua Masigit.
Gua tersebut memiliki 2 mulut gua vertikal dan 2 mulut gua horisontal. Dan salah satu mulut gua horisontalnya bisa dimasuki walau genangan air menenggelamkan setengah tubuh.
Atas kesepekatan bersama dan melihat faktor cuaca yang mendukung, maka tim memutuskan untuk menelusuri gua tersebut. Gua tersebut bercabang dua dan air menggenang sedalam 1-1,5 meter.
Tim langsung melakukan pemetaan gua dan melaksanakan identifikasi yang diperlukan sebagai koleksi data. Di tengah lorong sedalam 20 meter, genangan air semakin dalam dan hampir mencapai kedalaman 2 meter.
Atas dasar faktor keselamatan, maka pemetaan tidak dituntaskan sampai mulut vertikal ke 2 yang jaraknya tinggal 6 meter.
Karena gua tersebut memiliki lorong yang berbeda walaupun satu jaringan dengan Gua Masigit. Maka tim sepakat untuk memberi nama bagi gua ini sebagai bagian identifikasi data gua baru.
Gua ini diberi nama Gua Tenggelam (-6.455889, 107.303306) atas dasar banyaknya genangan air yang hampir menenggelamkan.
Kamis (13/4/17)
Satu hari sebelum ekspedisi selesai, 1 anggota tim caving dan 1 anggota tim rimbawan bergerak ke Kuta Masigit. Jarak Kuta Meriam dengan Kuta Masigit (-6.459386, 107.310104) kurang lebih 2 Km.
Perjalanan dilakukan menggunakan motor dengan melewati Kuta Barang, Kuta Gombong dan Kuta Kulambu. Baru tim akan sampai di Kuta Masigit yang ada dibawah bukit.
Ternyata gugusan tebing seperti Tebing Kiara Kumpay juga dapat ditemui di Kuta Masigit. Tebing yang ada di Kuta Masigit juga terbentang dari titik awal di Kuta Masigit sampai ke Kuta Gombong dan berakhir di Kuta Barang gugus paling barat.
Hal ini menjadi pertanyaan bagi tim ekspedisi, apakah Formasi Jatiluhur adalah plato?. Belum ada jawaban yang tepat atas kemungkinan ini sebelum ada eksplorasi lebih jauh di Formasi Jatiluhur.
Kuta Masigit memiliki mata air dan gua kecil yang memaksa penelusur untuk merangkak dan bergerak fleksibel. Mata air di Kuta Masigit bernama mata air Cai Kebo atau Cikebo.
Dan tepat diatas mata air ini ada lahan pertanian sawah huma yang subur dengan tanah merah dan kebutuhan airnya dari 2 alur sungai. Namun alur sungai ini semakin mendekati titik mata air, airnya berkurang dan kemudia hilang seakan terhisap habis kedalam tanah.
Mata air Cikebo sendiri terbentuk dari rekahan batu gamping yang dipenuhi semak belukar. Dan airnya keluar dari celahan batu dengan deras, air keluaran mata air ini ditampung kedalam kolam penampungan buatan.
Menurut penuturan warga disana, mata air ini tidak kering dimusim kemarau, hanya saja debitnya tidak sederas musim penghujan.
Gua di Kuta Masigit sendiri tepat ada di atas tebing dengan akar pohon mencengkram batuannya. Tim harus naik keatas tebing dengan berpegangan kepada akar pohon dan batuan sebagai pijakannya.
Mulut guanya hanya berukuran 60×70 cm saja, dan lorongnya berkelok-kelok serta sempit sekali. Ornament gua yang mengering, aroma kotoran kelelawar serta kalacemeti dan jangkrik gua hidup aman di langit-langit gua nya.
Ketika ditanyakan kepada warga terkait nama gua tersebut, warga tidak memiliki nama untuk gua tersebut. Lalu tim mengajukan untuk memberi nama gua tersebut dengan nama Gua Tinggi karena posisi guanya yang ada di atas tebing.
Dan warga menyetujuinya, atas hal penamaan dan pemberian nama gua yang belum memiliki nama. Tim bersandarkan pada apa yang disampaikan oleh Titi Bachtiar. “Penamaan yang bukan istilah geologi bisa saja dilakukan berdasar pada kesepakatan warga setempat dan itu belum ada namanya.”
Terkait data hasil ekspedisi panca yang di kirim via WhatsApp kepada Budi Brahmantio dan ditanya apakah bisa Formasi Jatiluhur masuk ke dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Beliau menjawab, “bisa kalau memang betul itu ada sungai bawah tanah di Formasi Jatiluhur.”
Hal senada juga disampaikan Eko Teguh Paripurno (Dosen Geologi UPN ‘Veteran’), “kalau datanya valid, bisa dipetakan, dideskripsikan dengan baik, itu bisa diusulkan jadi anggota batu gamping dari Formasi Jatiluhur.”
Eko Teguh atau biasa disebut Kang ET ketika ditanya terkait peta terbaru dari Badan Geologi yang menyatakan bahwa Formasi Jatiluhur adalah batu pasiran, beliau menyatakan. “Setingkat apapun kecanggihan alat, itu hanya alat bantu, yang penting adalah apa yang ada di kepala pemetanya. KBAK Sukolilo dan Gombong dapat menjadi contoh kesalahan pemetaan.”
Atas data dan informasi hasil ekspedisi ini, serta keinginan Formasi Jatiluhur diakui sebagai KBAK. Tantan dari Badan Geologi menjelaskan, “data tersebut bisa jadi bagian untuk peninjauan. Tapi masih harus dilengkapi data lain secara menyeluruh sesuai Perment 17/2012 dan RTRW Kab.Karawang, status lahan dan RPJMD. Karena Pemdalah yang tau mau diarahkan ke mana daerahnya.”
Ketika Kepala Bappeda Karawang dikonfirmasi terkait status hutan Kuta Tandingan, beliau menjawab bahwa itu masih hutan produksi. Dan terkait perubahan RTRW Kab.Karawang akan dilakukan pada tahun 2018 mendatang. Terkait kekhawatiran Kereta Cepat yang akan melintas di Kuta Tandingan, beliau menyatakan hal itu masih menunggu PP tentang RTRW Nasional.
Kontributor : Willy Firdaus (Bara Rimba)
Editor : Ragil Putri Irmalia
https://wartapalaindonesia.com/ekspedisi-panca-formasi-jatiluhur-ternyata-karst/