oleh Eko Rusdianto
[Maros] di 1 June 2019
· Warga yang tinggal di sekitar tambang dan pabrik
semen Bosowa di Maros, sehari-hari hidup dengan debu.
· Setelah perusahaan masuk, sebagian warga
Ammasangeng relokasi ke Kampung Ammasangeng Baru. Kampung Ammasangeng Lama ada
di konsesi Bosowa, berubah wujud jadi tempat penambangan.
· Masih ada warga yang bertahan di Kampung
Ammasangeng Lama. Mereka yang hidup di sana, tak bisa membuka jendela atau
pintu karena debu masuk ke dalam rumah. Teras rumah pun dalam sehari harus
mereka sapu berkali-kali.
· Ada penelitian mengungkap, kampung-kampung
sekitar tambang dan pabrik semen itu alami kondisi miris. Warga krisis air
bersih. Mereka harus membeli air galon untuk keperluan sehari-hari. Sebelumnya,
air bersih banyak tersedia dari aliran sungai di kawasan karst itu.
Jalan utama Desa Tukamasea dan Baruga di Kabupaten Maros,
beraspal. Jalan sempit penuh debu. Beberapa orang lalu lalang, berjalan kaki,
dan berkendera. Pohon-pohon kerdil di sisi jalan, daun tampak kelam. Kalau
menyentuhnya, telapak tangan akan menghitam terkena semacam debu.
Di sisi jalan ada benteng dari batako. Meliuk mengikuti
jalan, sekaligus jadi penanda batas dan jarak pandang untuk kampung dan
pertambangan. Di bagian lain, ada pos jaga, dengan jalan berangkal batu lebar.
Papan pengumuman yang menandakan wilayah itu milik PT Bosowa Mining. Plang
berwarna biru itu menuliskan pula catatan lain: unit cruiser sekitar satu km.
Unit marmer sekitar lima km.
Di jalan berangkal batu, ada kubangan besar. Truk-truk
pembuangan limbah perusahaan dari pabrik Semen Bosowa berakhir di area itu.
Sekitar 11 orang mendirikan bangunan reot, di sana. Tujuh laki-laki dan empat
perempuan. Mereka adalah para pengepul barang bekas.
Mengepak apa saja yang bisa jadi uang. Marhana, perempuan
36 tahun ini seorang ibu rumah tangga. Punya dua anak. Dia perempuan gesit dan
bekerja saban waktu. Badan tak bisa diam di rumah. Akhir Desember 2018, saya
menemui dia di area pembuangan. Bersama pengepul lain, dia mengumpulkan bahan
buangan yang dapat di daur dan berguna kembali.
Kalau beruntung, ada pula beberapa mengambil sisa semen
yang dibuang dalam karung bekas. Semen itu disaring guna memisahkan dengan
kerikil dan dijual Rp30.000 per karung atau sak. Beberapa orang penadah
kemudian membawa kembali ke Makassar dan menjual dengan harga Rp50.000.
Mengumpulkan sisa semen buangan, harus cepat. Petugas
keamanan acap kali mendapati mereka. Kemudian menimbun dengan tanah. Kalau
demikian, para pengepul hanya pasrah. Bagi mereka, itu hari yang apes.
Beberapa menit menyaksikan para pemulung, kepala saya
sudah mulai berat. Debu yang beterbangan hinggap rambut seakan kaku. Lubang
hidung kotor. Ketika istirahat duduk di gubuk reot, tiba-tiba semua bergegas.
Ada pemberitahuan, kalau tebing dekat pembuangan limbah itu akan diledakkan.
Pabrik PT. Semen Bosowa Maros, nampak tanaman sekeliiling dipenuhi
debu. Jarak pabrik dengan perkampungan tak lebih dari satu km. Foto: Eko
Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Jarak hanya beberapa ratus meter. Jarak dari kampung
sekitar satu km. Kami memutar kendaraan dan berhenti di persimpangan jalan. Ini
kali pertama saya melihat proses peledakan tebing karst.
Seorang petugas keamanan yang memakai handy talkie mengabarkan
ke kawannya, kalau wilayah sudah aman. Hitungan mundur mulai. “Kalau mau rekam,
yang itu. Itu yang mau yang meledak,” kata petugas kepada saya.
Ketika kepulan debu itu mulai tampak di tebing, beberapa
detik kemudian suara menggelegar. Lebih keras dari guntur yang bersamaan dengan
petir. Jantung berdegup cepat. Dalam jarak tertentu kaca mobil bisa pecah.
Bahkan, kaca jendela rumah mungkin retak. Priring yang
tersusun baik di dapur bisa pecah. “Ini belum terlalu besar. Ini biasa saja,”
kata petugas itu.
Di perkampungan sekitar pabrik Semen Bosowa, gelegar
ledakan dinamit itu hal lumrah. Jadwal bisa setiap jelang pukul 12.00, atau dua
kali dalam sehari. Getaran ledakan menyebabkan banyak kerugian warga, tetapi
tidak pernah mendapatkan perhatian.
Debu dari cerobong pabrik setiap hari menempel di
pakaian, di atap bahkan sumur-sumur warga.
Sekitar 500 meter dari tembok pemisah pemukiman dengan
pabrik Semen Bosowa, ada gapura yang dibangun pada 2014. Ia diteken langsung
Melinda Aksa, selaku Direktur Bosowa Foundation. Kampung Ammasangeng Baru.
Kampung yang juga didaulat perusahaan sebagai kampung Bosowa. Jalan masuk pakai
rabat beton, sepanjang 300 meter. Ini Ammasangeng Baru. Kampung Ammasangeng
Lama ada di konsesi Bosowa, sudah berubah wujud jadi tempat penambangan.
Tahun 1996, ketika perusahaan datang mereka membeli tanah
warga Rp2.500 per meter. Ukuran sama dengan sebungkus rokok masa itu.
Kalau warga memiliki dua lokasi di Ammasangeng Lama,
perusahaan akan membayar satu lokasi saja. Pertimbangannya, lokasi baru sudah
ditentukan untuk pemukiman di Kampung Tanah Mentong (Ammasangeng Baru).
Tanah Mentong, mulanya hutan bambu. Nama kampung itu
dikenal karena kala melalui batuan karst ini akan berbunyi. Sebagian warga
memperkirakan kalau tanah di bawah mereka bermukim sekarang, terdapat aliran
sungai besar atau setidaknya goa yang menghasilkan bunyi.
Aktivitas pemulung di tempat pembuangan pabrik PT Semen Bosowa Maros.
Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Meski demikian, ada beberapa warga yang tetap bertahan di
Kampung Ammasangeng Lama. Mereka tak ingin beranjak karena keterikatan akan
tanah. Risiko sungguh tinggi. Setiap hari warga di sekitaran tempat itu tak
pernah membuka pintu rumah. Teras rumah harus terus disapu, karena banyak debu.
Di kampung lama, tanah mereka tetap ingin dikuasai
perusahaan. Karyawan Semen Bosowa terus merayu warga melepas lahan seharga
Rp15.000 per meter.
Di Ammasangeng Lama dan Ammasangeng Baru, serta Desa
Baruga, paparan debu dan kebisingan membuat beberapa warga mengeluh penyakit
pernapasan. Anak-anak hingga orangtua, batuk berbulan-bulan dan sesak napas.
Di tempat pembuangan, orang-orang mengingat masa lalu.
Kenangan akan kampung lama. “Kalau ingat yang dulu, waktu belum ada perusahaan,
enak iya. Karena nda susah begini ki. Ada sawah dan tanah toh,”
kata Marwah, pengepul lain.
Marwah menunjuk aliran sungai di bawah tempat pembuangan.
Sungai itu bernama Ammerrung. Sungai yang saban hari mengalirkan air dari dalam
mulut goa. Sungai yang dulu jadi pemenuh utama air warga. Aliran tempat Macaca
maura–monyet Sulawesi–juga acap kali turun minum.
Kini, sungai sudah melebar. Di salah satu badan sungai
dibangun bendungan pabrik. Kawasan sekitar merupakan tempat pengambilan bahan
baku semen. Sekarang, sungai itu jadi milik Semen Bosowa, akses warga hilang.
Ulfa Utami Mappe, peneliti dari Fakultas Sosiologi
Universitas Hasanuddin, mengkaji wilayah itu selama setahun. Dalam tesisnya, “Perempuan
Pengepul Limbah Pabrik PT. Semen Bosowa Maros: Suatu Tinjauan Ekofeminisme,”
dia menuliskan perubahaan bentang alam tak membawa dampak kemakmuran di sekitar
wilayah penambangan. Dia malah mendapati ironi. Sangat timpang.
Seharusnya, panambangan semen di Kecamatan Bantimurung,
di mana warga hidup berdampingan dengan industri ikut maju, bukan jadi lebih
buruk.
“Di Desa Tukamasea dan Baruga, untuk kebutuhan air saja, beberapa warga
harus membeli air galon. Itu ironi,” katanya.
Data lain, Maros dalam Angka 2018 mencatat, dari 7.407
rumah di Kecamatan Bantimurung, terdapat 4.909 tak layak huni. Kondisi ini
memposisikan Bantimurung sebagai peringkat pertama rumah tak layak di antara 14
kecamatan di Maros.
Selain persoalan akses dan lahan, dalam penelitian Ulfa
juga terungkap banjir. Dalam penelitian itu, warga bernama Nirwana mengatakan,
air membanjiri rumah saat musim hujan dampak irigasi Bosowa meluap. Pada musim
hujan, dia dapat menampung air untuk konsumsi.
“Tak perlu lagi mengeluarkan
uang untuk membeli air galon yang biasa dikonsumsi keluarga saat kemarau.”
Saat PT. Semen Bosowa Maros melakukan peledakan di
tebing-tebing karst. Getarannya hingga ke rumah warga dan dapat memecahkan kaca
jendela hingga piring. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
***
Saya sedang berada di rumah Marhana, mengunggu waktu berbuka
puasa pada Selasa 21 Mei 2019. Berbincang di teras depan bersama anak dan
tetangga. Anak-anak generasi yang lahir 1990 akhir atau awal 2000-an tak
mengerti mengapa kampung mereka diberi nama Ammasangeng.
Dalam pengertian bebas, Ammasangeng berarti sesama sanak
keluarga. Mereka tak tahu kenapa jembatan itu miring, tak mengerti bagaimana
orang tua mereka pindah ke kampung baru.
Jared Diamond dalam Collapse menyatakan soal amnesia
bentang alam. Dia menggambarkan, bagaimana perubahaan bentang alam selama
50 tahun. Perubahaan bentang alam berlangsung selama bertahun-tahun dan hanya
penduduk tertualah yang bisa menyadari itu. Para tetua akan menyampaikan itu
dalam penuturan sekalipun kadang tak dipahami keturunan mereka.
Yus Husni M. Thamrin dalam autobiografi “Aksa Mahmud Putra
Ombak” menuliskan, pembangunan pabrik Semen Bosowa, mulai 1996 dan ujicoba
1998. Pada 6 April 1999, peresmian dan Maret 1999, perusahaan mulai produksi
komersial.
Semen Bosowa Maros jadi perusahaan pertama dan utama
Bosowa Corporation dalam industri semen. Pabrik semen Bosowa mulai 15 Juli 1996
dan beroperasi pertama kali 6 April 1999, dengan kapasitas produksi 1,8 juta
ton per tahun.
Sebelumnya, pada 1990, Semen Bosowa Maros mendapatkan
konsensi seluas 1.100 hektar untuk cadangan bahan baku, 60 hektar untuk lahan
pabrik, dan 40 hektar untuk perumahan karyawan yang berlokasi di Desa Tukamasea
dan Desa Baruga. Kemudian perusahaan ini mendapatkan izin lingkungan setelah
menyelesaikan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 10 Juni 1991,
surat izin pertambangan daerah (SIPD) keluar 17 September 1994. Dalam surat
disebutkan, wilayah pertambangan bahan baku semen berupa batu gamping (limestone) seluas
750 hektar.
Surat persetujuan penanaman modal dalam negeri Nomor
650/I/PMDN/1994, keluar 10 Oktober 1994 oleh Menteri Negara Penggerak Dana
Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Lahan pertanian di dekat pabrik Semen Bosowa, Desa
Tukamasea, Maros. Petani berharap, pabrik tak menggenjot produksi semen pada
Juni, agar debu tak menyelimuti bakal buah tanaman mereka. Foto: Eko Rusdianto/
Mongabay Indonesia
Nilai investasi membangun pabrik semen itu mencapai Rp526
miliar pada 1996. Aksa mengajukan permohonan kredit dengan sindikasi
beranggotan Bank Dagang Negara, Bank Ekspor-Impor Indonesia, Bank Negara
Indonesia, Bank Tabungan Negara, Bank Danamon, Bank Niaga, Bank Nusa, dan Bank
Umum Tugu.
Tahun 1994, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
melakukan penelitian lapangan dan menemukan kalau lokasi pabrik dan area
pertambangan adalah hutan lindung.
Sejak saat itu, Aksa mencari lahan di wilayah lain,
sebagai pengganti yang disebut sebagai hutan kesepakatan dengan luasan setara
lahan untuk pabrik dan bahan baku. Maka ditentukanlah salah satu wilayah di
Luwu–saat ini jadi Kabupaten Luwu Utara di Kecamatan Rampi.
Ketika pabrik semen ini mulai beroperasi komersial,
gunung-gunung karst dalam wilayah konsesi amblas. Hilang dalam sekejab.
Beberapa goa lenyap, termasuk Goa Barombong, yang memiliki aliran didrologi dan
sungai bawah tanah besar.
Bagi Ulfa, melihat sejarah pembangunan pabrik semen
Bosowa, maka wajar kajian mengenai pertimbangan gender dan lingkungan tak
menjadi salah satu fokus.
“Penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam
mengakibatkan degradasi lingkungan dan kehidupan perempuan,” katanya.
Kini, lansekap gunung karst di konsesi Bosowa telah
berubah. General Manager Geopark Maros Pangkep, Dedy Irfan Bachry juga geolog
mengatakan, karst terbentuk sekitar 50 juta tahun lalu. Dalam skala geologi
disebut sebagai iosen. “Karst di Maros Pangkep adalah tipe tower. Ini bukan
soal melihat gugusan gunung batu, tapi di dalamnya ada ilmu pengetahuan,”
katanya.
“Dalam perut karst ada aliran air. Menjadi penampung air
raksasa dan bisa menyimpan air hingga tujuh bulan, dari hujan terakhir.”
Mongabay berusaha mengkonfirmasi soal ini kepada
perusahaan. Sejak 4 Desember 2018, Mongabay mengirim surat permintaan
wawancara ke Bosowa. Bagian humas Semen Bosowa, meminta pertanyaan awal.
Pertanyaan Mongabay kirim pada 3 Januari 2019. Namun, hingga berita
ini turuntak ada jawaban.
Pada musim kemarau, petani di kawasan Karts dan sekitaran pabrik semen
Bosowa mengairi sawahnya dengan menggunakan pompa air. Foto: Eko Rusdianto/
Mongabay Indonesia