25 September, 2017
“Perkuat Persatuan Kaum Tani dan Solidaritas antar Rakyat Tertindas-Lawan Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Pemerintah Jokowi-JK-Majukan Perjuangan Reforma Agraria Sejati dan Industrialisasi Nasional ”
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), mengucapkan selamat Hari Tani Nasional ke-57 yang jatuh pada 24 September 2017. Bersama ini kami ingin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia atas semangat yang pantang menyerah dalam berjuang mempertahankan hak atas tanah, melawan perampasan dan monopoli tanah, serta menetang Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang senyatanya tidak dapat menjawab masalah kaum tani, rakyat dan bangsa Indonesia.
Sejatinya Reforma Agraria dijalankan untuk mengatasi dan menyelesaian masalah kemiskinan, penindasan dan penghisapan manuasi atas manusia lainnya akibat dari hubungan produksi setengah Feodal yang menjadikan monopoli tanah sebagai basis sosialnya.
Lahirnya undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria (UUPA), telah menjadi capaian politik perjuangan rakyat untuk mewujudkan reforma agaria sejati. Akan tetapi, 57 tahun sejak UUPA diundangkan, monopoli tanah oleh tuan tanah besar masih tetap eksis, perampasan tanah terus terjadi diseluruh penjuru negeri. Bahkan di bawah kekuasaan Jokowi, kehidupan kaum tani terus mengalami kemerosotan.
“Reforma Agraria” adalah aspirasi sejati rakyat yang menghendaki terwujudnya keadilan atas hak kepemilikan tanah, kebebasan akses rakyat atas sumberdaya alam di Indonesia dan, terhapusnya setiap bentuk monopoli, baik monopoli atas tanah, monopoli sarana produksi dan produksi pertanian hingga distribusi.
AGRA meyakini bahwa Reforma Agraria sejati tidak akan pernah dapat dan tidak akan mungkin dijalankan oleh pemerintahan Boneka, yang mengabdi kepada kepentingan kapital monopoli (Imperialisme), Tuan tanah besar dan Borjuasi Besar Komprador. Saat ini, imperialisme di bawah pimpinan AS terus melipatgandakan penindasan dan penghisapannya terhadap rakyat di berbagai Negeri sebagai jalan keluar dari krisis jangka panjang yang terus menggerogotinya sejak krisis Finansial yang disusul krisis ekonomi 2008.
Pemerintahan Jokowi-JK, secara agresif mengeluarkan 16 paket Kebijakan Ekonomi untuk memastikan akselerasi investasi dan pembangunan diseluruh bidang; Industri, perdagangan, perkebunan, pertambangan, infrastruktur. Keseluruhanya ditujukan untuk menopang kepentingan imperialis AS di dalam Negeri dan hanya menguntungkan borjuasi besar komprador serta tuan tanah besar. Disisi yang lain, Kebijakan ekonomi yang di kemas dalam 16 paket tersebut, Justru memerosotkan ekonomi dan penghidupan Seluruh Rayat Indonesia.
Tuan tanah besar dan Borjuasi Besar Komprador terus difasilitasi oleh Pemerintah Jokowi untuk melakukan monopoli tanah, yang digunakan dalam membangun perkebunan skala besar, pertambangan, proyek konservasi dan berbagai proyek Infrastruktur secara Nasional. Pengusaha besar Komperador dan Tuan tanah besar juga diberikan keleluasaan oleh pemerintah Jokowi untuk menjalankan sewa tanah yang tinggi, praktek peribaan yang mencekik, dan memberikan perlindungan kepada para pengusaha besar dan tuan tanah untuk mempekerjakan buruh dan buruh tani dengan upah yang tidak manusiawi.
Saat ini monopoli tanah untuk sektor perkebunan dan pertambangan telah mencapi 41,87 juta hektar yang hanya dikuasai oleh segelintir Pengusaha Besar komperador dan Tuan Tanah Besar. Sekitar 35,8 juta hektar tanah dikuasai oleh hanya 531 perusahaan. Disisi yang lain setidaknya terdapat 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan karena penujukan kawasan hutan yang berpersoalan.
Terdapat 29 (duapuluh Sembilan) juta hektar tanah dimonopoli untuk perkebunan sawit, dan 5,1 juta hektar diantaranya hanya dikuasai oleh 25 tuan tanah besar swasata. Mereka adalah Wilamar Group Internasional, Sinar Mas Group, IOI Group, Raja Garuda Mas Goup, Batu Kawan Goup, Salim Group dan Goup Group lainya. Dan kesemuanya ini dapat terjadi akibat dari Kebijakan Pemerintah yang memberikan hak penguasaan yang monopli terhadap Tuan Tanah besar maupun Pengusaha Besar Komperador.
Negara yang secara konstitusional diberikan kewenangan untuk menguasai tanah dan diberikan kewenangan untuk mengatur demi kepentingan dan kemakmuran rakyat justru melakukan monopoli dangan hak memiliki. Setidaknya 1,18 juta hektar tanah dimiliki oleh Perkebunan Nusantara Holding III, dengan pengusahaan status lahan 68% sudah bersertifikat, 20% sertifikat berakhir atau sedang dalam proses perpanjangan dan 12% belum bersertifikat.
Di Jawa, dengan penduduk terpadat di Indonesia, 19% daratan Jawa atau 2.426.445 juta hektar dikuasai oleh PERHUTANI. Sebanyak 51 Taman Nasional dibawah operasi langsung pemerintah memiliki penguasaan tanah hampir 16 juta hektar atau tepatnya 15.820.369 hektar. Sementara itu, dibawah Pemerintahan Jokowi-JK, kaum tani sebagai mayoritas penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan dan terus mengalami kemrosotan ekonomi akibat dari monopoli dan perampasan tanah.
Setidaknya terdapat 56% petani Indonesia hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Akibatnya kemiskinan terus meningkat, dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per-Maret 2017 menyebutkan, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 27,77 (10,64%) juta jiwa, dengan persebaran di perkotaan sebanyak 10,60 juta dan perdesaan sebanyak 17,10 juta jiwa. Angka tersebut meningkat sebesar 6.900 jiwa dari periode September 2016.
Dipedesaan, Nilai tukar petani terus mengalami kemerosotan hingga 0,89% akibat dari belanja kebutuhan hidup dan biaya produksi pertanian yang tinggi. Sedangkan upah riil buruh tani hanya Rp. 37.259,- di akhir tahun 2017 dan tentu saja ini adalah pendapatan yang tidak manusiawi jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan hidup keluarga petani yang mencapai setidaknya 3,5 hingga 4 juta rupiah. Terlebih mereka hanya bekerja 12 hari kerja dalam satu bulan, dan Ironinya Pemerintah tidak mengkategorikan mereka sebagai bagian orang miskin di Negeri ini.
Dibawah Pemerintahan Jokowi-JK, Kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia hidup dibawah teror, intimidasi, kekerasan, kriminalisasi bahkan pembunuhan. Dalam catatan AGRA, hanya dua tahun masa pemerintahan Jokowi-JK, setidaknya terdapat 49 kasus tindak kekerasan dan kriminalisasi yang dialami oleh rakyat yang mempertahankan dan atau menuntut haknya atas tanah. Tindak kekerasan terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854 orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi.
Menjelang Peringatan Hari Tani ke-57 ini, telah terjadi pengusiran paksa, Pengrusakan dan kekerasan terhadap masyarakat Desa Bebidas – NTB, oleh pasukan gabungan sebanyak 700 personil yang dilakukan oleh Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Tindak kekerasan tersebut menyebabkan 6 orang ditangkap, 10 orang mengalami luka-luka dan 1 orang diantarany mengalami patah tulang kaki, 600 pondok petani dirusak dan ratusan hektar lahan dan tamanan petani dirusak dengan total kerugian sedikitnya mencapai 1,8 Milyar rupiah.
Hanya berselang 4 hari saja, kembali terjadi pembakaran 2 rumah milik masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) Jambi, termasuk lahan pertanian mereka dirusak oleh PT. REKI, sebuah perusahaan yang diberikan hak untuk mengelola hutan untuk program konservasi. Ironisnya pembakaran dan pengrusakan yang dilakukan oleh PT. REKI dilakukan dua hari pasca pertemuan antara SAD, Pihak PT. REKI dan Perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kejadian serupa tentunya tidak hanya dialami oleh para Petani di Lombok dan Suku Anak Dalam, tetapi juga terjadi dibergai tempat lainnya di Indonesia.
Berbagai kenyataan, yang kami uraikan diatas, menujukan watak asli dari rezim Jokowi, yang merupakan rezim fasis anti kaum tani dan rakyat. Seluruh tindak kekerasan tersebut diabdikan untuk memuluskan kepentingan dari imperialisme AS, borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar.
Berbagai masalah dan derita kaum tani dan seluruh rakyat, ingin di jawab oleh pemerintah Jokowi-JK dengan menjalankan Program “Reforma Agraria” dan Perhutanan Sosial (RAPS). Program Reforma Agraria Agraria Jokowi esensinya hanya sertifikasi, tanah-tanah rakyat dan sedikit mendistribusikan tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) dan Tanah Terlantar. Pada pelaksanaanya, tanah-tanah yang didistribusikan adalah tanah-tanah yang sudah secara turun temurun di garap oleh kaum tani sebagaimana terjadi di Badega Garut Jawa Barat.
Kami berpendapat bahwa Reforma Agraria tidak sekedar menyediakan “tanah-tanah kosong” atau “tanah sisa” untuk kaum tani. Akan tetapi Reforma Agraria harus dijalankan secara sistematis untuk mengurangi monopoli tanah yang saat ini dikuasi oleh perkebuban yang eksis berada di tengah-tengah kaum tani yang sangat miskin dan tidak bertanah serta tidak memiliki pekerjaan apaun di pedesaan. Saat ini adalah ilusi bagi kaum tani untuk menunggu habisnya HGU ditengah berbagai regulasi yang dibuat oleh pemerintah yang sangat cukup untuk memastikan HGU perkebunan dapat diperpanjang secara otomatis hingga 95 tahun.
Tanah Terlantar sebagai Obyek Reforma agraria menjadi masalah tersendiri. Bagi kami dengan melihat dan mempertimbangkan tingkat produkstifitas perkebunan di Indonesia yang sangat rendah, karena tidak adanya INVESTASI, penggunaan tenaga kerja yang berketrampilan rendah, pengetahuan dan teknologi produksi yang terbelakang, dan pada dasarnya tanah perkebunan besar adalah tanah terlantar.
Berdasarkan laporan tanhuan PERHUTANI yang menguasi tanah 2,4 juta hektar lebih hanya berpendapatan 1 juta perhektar/tahun. Dengan penguasaan 19% daratan Jawa Perhutani hanya bisa menampung 15 ribu tenaga kerja langsung. Dengan demikian dapat diambil perbandingan kasar 1 orang bekerja diatas 160 hektar tanah. Sedangkan rata-rata setiap 1000 hektar tanah diperkebunan besar hanya dapat menyerap 200 orang tenaga kerja saja, atau dengan perbandingan 1 petani menggarap 5-10 hektar.
AGRA berpendapat bahwa tanah yang disitribusikan pada kaum tani sama-sekali tidak memiliki tujuan mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah. Sebab ketimpangan tersebut hanya bisa di atasi dengan mempersoalkan HGU dan pemberian konsesi HGU berkelanjutan dan terus meluas bagi perkebunan besar monopoli, tanah besar bagi pertambangan, tanah besar dan sangat luas bagi Proyek Konservasi seperti Taman Nasional untuk kepentingan bisnis karbon, Investasi Hijau dan Utang Hijau yang diberi atap Proyek Kemakmuran Hijau (Green Prosperity).
Monopoli atas tanah telah mempertahankan eksistensi sewa tanah bahkan terus meluaskan terutama BAGI HASIL yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani di pedesaan. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 seharusnya telah mengakhiri riwayat sewa tanah, terutama dalam bentuk bagi hasil yang menghisap. Akan tetapi karena monopoli tanah semakin merajalela maka sewa tanah semakin mencekik dan sistem bagi hasil lama yang tidak adil dan timpang semakin meluas. Kaum tani miskin tidak bertanah dan memiliki daya berproduksi sendiri tidak memiliki pilihan lain kecuali ambil bagian dalam praktek penghisapan ini. Proporsi pendapatan yang diterima kaum tani yang bekerja di atas perkebunan besar monopoli sangat kecil dibandingkan luasan tanah, beban kerja dan jumlah komoditas yang dihasilkannya.
Kaum tani yang terikat dengan sistem Inti-Plasma dalam perkebunan besar sawit dan perkebunan besar kayu serta karet dan tebu menjadi korban utama sistem ini. Bagian yang mereka terima secara langsung sangat tidak sebanding dengan luasan lahan yang mereka integrasikan dengan perusahaan, demikian pula dengan tenaga kerja yang dikerahkan. Sistem kemitraan yang dikembangkan oleh Perkebunan Besar Kayu (HTI) untuk masa panen 5 tahun, hanya dapat memberikan pendapatan rata-rata 200.000 rupiah per hektar bagi kaum tani yang ambil bagian dalam sistem kemitraannya.
Selama sistem perkebunan besar Inti-Plasma, kemitraan, bapak-asuh dan aneka variannya terus dibiarkan berkembang, sistem sewa tanah lama yang telah eksis sejak zaman TANAM PAKSA lengkap dengan bagi hasilnya akan terus mencekik kaum tani yang tidak bertanah dan tidak berdaya berproduksi sendiri, sekarang dan di masa yang akan datang. Reforma Agraria Pemerintah Jokowi-JK tidak memiliki perhatian atas masalah ini.
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), sekali lagi menegaskan bahwa “Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) Pemerintahan Jokowi-JK, bukanlah Reforma Agraria sejati yang di kehendaki kaum tani”. Reforma Agraria Pemerintah sama sekali tidak menghapuskan monopoli tanah oleh perkebunan besar monopoli milik swasta atau pemerintah sebagai agen dari modal internasional milik kapitalis monopoli (Imperialisme).
Maka tanpa adanya Reforma Agraria Sejati nasib kaum tani dan rakyat Indonesia akan terus berputar dalam kemiskinan dan penderitaan hidup yang sama. Tanpa reforma agraria sejatikaum tani tidak akan pernah mampu berproduksi sendiri, meluasnya jumlah petani gurem dan buruh tani dengan upah rendah, sewa tanah akan semakin mencekik, meluasnya peribaan di desa. Tanpa reforma agraria sejati tidak akan pernah terbangun industry nasional yang mensejahterakan rakyat, pengangguran akan meluas, buruh terbelenggu upah murah dan migrasi paksa.
Reforma Agraria sejati adalah mengurangi bahkan menghapuskan monopoli tanah oleh tuan tanah besar dalam berbagai bentuk. Reforma agraria sejati hanya dapat dilakukan dengan menurunkan secara drastis sewa tanah terutama bagi hasil feodal yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani. Juga berjuang menghapus aneka jenis pajak atas tanah dan komoditas kaum tani serta berbagai varian iuran yang merampas hasil kerja kaum tani, nelayan, suku bangsa minoritas, pemukim dan penggarap di hutan.
Refroma agraria sejati adalah menurunkan peribaan secara drastis atau mengusahakan penghapusan peribaan sama sekali, memperbaiki upah buruh tani yang ekstrem rendahnya di pedesaan, menentang monopoli input pertanian (Bibit, Pupuk, Obat-Obatan Pertanian dan Peralatan Pertanian) dan menentang ekspor hasil keringat kaum tani oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah.
Reforma agraria sejati tidak dapat berjalan berdampingan dengan monopoli tanah dan pemberian HGU tanpa batas oleh pemerintah. Reforma agraria tidak akan tercipta dengan perampasan dan penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah dengan kekerasan aparat bersenjata. Reforma agraria sejati tidak akan ada selama suku bangsa minoritas tidak diakui dan diambil tanahnya oleh perusahaan besar monopoli.
Berdasarkan pandangan tersebut, dalam memperingati Hari Tani Nasional 2017, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA )menyatakan sikap “Menolak Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Jokowi” dan menuntut:
- Pemerintah Jokowi-JK untuk menghentikan Perampasan dan Monopoli tanah melalui program reforma agraria dan perhutaan social (RAPS), serta berbagai skema lainnya.
- Pemerintah Jokowi-JK untuk Menghentikan tindakan Intimidasi, Teror, Kekerasan dan kriminalisasi serta pembunuhan dan berbagai bentuk pelanggaran HAM dan Kriminalisasi terhadap kaum tani dan Rakyat Indonesia
- Pemerintah Jokowi-JK untuk menghentikan Monopoli sarana produksi dan input pertanian (Bibit, Pupuk, Obat-Obatan Pertanian dan Peralatan Pertanian) oleh perusahaan-perusahaan Multinasional milik Imperilais, yang terus memerosotkan penghidupan kaum tani dan menggeret kaum tani dalam jeratan riba yang mencekik.
- Menuntut kepada Pemerintah Jokowi-JK untuk menurunkan sewa tanah bagi kaum tani, serta aneka jenis pajak tanah dan komoditas kaum tani serta berbagai varian iuran yang merampas hasil kerja kaum tani, nelayan, suku bangsa minoritas, pemukim dan penggarap di hutan.
- Pemerintah Jokowi-JK untuk menjamin dan menaikan upah buruh tani, menjamin dan menaikan harga komoditas pertanian hasil produksi kaum tani
- Hentikan klaim TNGR atas tanah milik kaum tani dan masyarakat Desa Bebidas, Lombok Timur, dan perampasan tanah serta pembakaran rumah Suku Anak Dalam (SDA) di Jambi oleh PT. REKI, Bayar ganti rugi akibat pengerusakan tanaman dan rumah mereka
- Menutut kepada Pemerintah Jokowi-JK untuk menghentikan Penggusuran dan pengusiran paksa terhadap kaum tani, suku bangsa minoritas, nelayan maupun masyarakat perkotaan
Lampung, 25 September 2017.
RAHMAT AJIGUNA
Ketua Umum
MOHAMAD ALI
Sekertaris Jenderal
Sumber: Agra