Tommy Apriando, Yogyakarta
Bertempat di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang,
pekan lalu, berbagai kalangan hadir menggelar eksaminasi publik terhadap
putusan PTUN Semarang terkait izin lingkungan pendirian pabrik dan
pertambangan semen di Rembang, Jawa Tengah. Mereka antara lain,
perwakilan warga Rembang menolak pabrik dan pertambangan PT. Semen
Indonesia (SI), Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK),
pakar hukum, lingkungan, dan pakar kebencanaan serta perwakilan
organisasi masyarakat sipil.
Herlambang P. Wiratrama, penggagas eksaminasi dari Fakultas Hukum Unair Surabaya mengatakan, eksaminasi penting untuk menguji putusan PTUN Semarang terkait gugatan Joko Suprianto cs yang menggugat Gubernur Jateng terkait izin SI. Hasil putusan tidak diterima dengan alasan daluarsa. Padahal, penjelasan warga penolak menyatakan, mereka tak pernah mendapatkan sosialisasi dan pemberitahuan izin lingkungan.
“Ini akan menjadi pembelajaran hukum dan publik terhadap suatu kasus , mendorong partisipasi publik sekaligus peradilan yang profesional,” katanya.
Dia mengatakan, surat izin lingkungan baru diketahui masyarakat 14 Juni 2015. Pada 5 Juni 2015, warga mengirim surat ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) menanyakan soal penambangan. Dalam balasan BLH menyebutkan, SK Gubernur Jateng. Tidak lama berselang, warga dan Walhi mengajukan pertanyaan dan keberatan kepada gubernur.
Pada September 2015, ada tujuh lembaga menggugat gubernur soal izin lokasi ke PTUN. Dalam putusan, argumentasi majelis hakim menuliskan, ada sosialisasi terkait SK yang ditempel di BLH, kecamatan, dimuat di koran, dan internet, hingga gugatan dianggap daluarsa. Jadi, katanya, perlu argumentasi menjawab daluarsa itu.
“Apakah pengumuman di kantor kecamatan, balai desa dan situs website BLH Jateng dianggap sosialisasi atau bukan? Argumentasi hukum hakim lebih banyak dipenuhi asumsi formalitas, bukan substansial. Faktanya, proses hukum hanya menyampaikan formalitas hukum. Hakim tidak pernah menggali pikiran lebih cerdas agar tidak melanggar hak-hak masyarakat,” kata Herlambang.
V. Hadiyono dari Fakultas Hukum Soegijapranata mengatakan, putusan PTUN sepintas tidak ada kejanggalan. Masyarakat dianggap tahu sosialisasi, melalui wayang dan silaturahmi. Kegiatan ini, menjadi acuan hakim menghitung waktu 90 hari. “Persoalannya, apakah keputusan hakim sudah adil atau belum? Apakah sosialisasi menangkap semua kebutuhan hak dan kewajiban masyarakat, terutama yang terdampak?” Sosialisasi semacam itu, katanya, tidak ada dan hanya terkait aturan pendirian pabrik semen.
“Apakah ada azas keseimbangan antara semen, pemerintah dan masyarakat. Jika mengacu good governance ada azas transparansi, dan fairplay yang diacu dalam pembuatan putusan PTUN.”
Ketika pengadilan hanya memeriksa dokumen, katanya, maka bisa dianggap tidak adil, tanpa melihat kondisi lapangan. Jadi, perlu memaksa hakim sidang lapangan. “Fakta lapangan menemukan ada gua dimusnahkan dengan dinamit. Artinya, ada upaya penghilangan bukti awal. Hakim harus memeriksa iud facti tidak hanya iud juris, perlu ada argumentasi kuat agar hakim mau sidang lapangan. Itu mutlak harus diminta.”
Sedangkan Prof. Sudharto P Hadi, Pakar Lingkungan Undip mengatakan, sosialiasi izin lingkungan harus utuh, berbeda dengan kala akan operasional pabrik dan pertambangan. Dalam UU PPLH Pasal 39 ayat 2, dikenal pengumuman bukan sosialisasi. Pengumuman dengan cara mudah diketahui masyarakat. Wayangan, katanya, pengumumam terkait operasional semen bukan soal izin lingkungan.
“Apakah pengumuman di balai desa itu mudah diketahui dan diakses masyarakat? Pengumuman terkait Amdal seharusnya formal biasa melalui media massa. Itu saja tidak cukup perlu penyampaian langsung kepada masyarakat.”
Prof. Esmi Warassih dari Undip mengatakan, azas keterbukaan pemerintah belum terpenuhi dalam sosialisasi. Izin lingkungan menyangkut hajat hidup orang banyak, karena bisa berdampak luas. Untuk itu, katanya, harus ada kesetaraan hak dan kewajiban antara pemerintah dan masyarakat.
“Harus ada respon masyarakat setuju dan tidak terhadap pendirian pabrik dan pertambangan. Respon ini partisipasi, jika hanya diumumkan, bagaimana cara masyarakat merespon? Lalu bagaimana dampak budaya masyarakat? Dalam putusan PTUN Semarang azas proporsionalitas juga tidak dipenuhi.”
Dia juga tidak setuju sosialisasi. “Itu model top down, tidak ada partisipasi, jikapun ada, partispasi semu, tidak ada respon masyarakat. Masyarakat harus dilibatkan. Dalam putusan ini tidak ada masyarakat diajak bicara. Sosialisasi mesti ada persetujuan, masukan, bukan sekadar diumumkan,” kata Esmi.
Iman Prihandono, Pakar Hukum Unair mengatakan, dalam konteks hukum internasional, ada free prior informed and consent (FPIC). Prinsip ini, menekankan masyarakat terdampak harus bebas dari tekanan, tak dalam todongan senjata. “FPIC ada di konvensi indegenous people, dan self determination untuk hak atas pembangunan. FPIC adalah prinsip umum yang harus dipakai dan jadi acuan.”
Franky Butar-butar, pengajar hukum pertambangan dan lingkungan Unair menambahkan, dalam Amdal diisyaratkan partisipasi masyarakat. Pelibatan masyarakat, katanya, harus didasarkan prinsip informasi lengkap.
Menurut Myrna Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute, majelis lebih mengedepankan prosedur. Majelis hakim, katanya, tak mengeksplorasi lebih jauh tujuan penyampaian. “Tidak ada bukti foto, kecuali dokumen. Tidak ada permintaan terkait notulensi, kecuali daftar hadir. Para saksi tidak ditanya apakah mereka paham isi sosialisasi dan metode apa yang digunakan. Semua itu tidak muncul dalam pembahasan yang dituliskan di putusan.”
Dia melanjutkan, majelis tidak mengikutkan putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012 terkait pengujian pasal terkait tambang dan batubara. Mekanisme hanya bersandar pada formal prosedural bertentangan dengan UUD 1945.
Pengumuman di Balai Desa, katanya, bisa gugur berdasarkan putusan MK.
“Menurut saya, penemuan hukum dalam putusan ini sangat minimal. Majelis hanya mengacu pada dokumen seadanya,” ucap Myrna.
Eko Teguh Paripurna dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta mengatakan, kasus Rembang harus melihat dimana keberpihakan. Keberpihakan dimulai dari rantai kebijakan. “Artinya, dalam konteks ini, hakim bertindak sebagai perangkat bisnis kebijakan. Apakah ini peradilan yang sesungguhnya atau bukan?”
Sedangkan, Widodo, peneliti dari Komisi Yudisial mengatakan, dalam kasus lingkungan ketua majelis minimal harus memiliki sertifikasi lingkungan hidup. Jika tidak, bisa disebut unproffessional conduct dan putusan menjadi cacat hukum.
Pukul 15.00, sidang eksaminasi ditutup. Hasil eksaminasi akan diserahkan kepada PTUN Semarang, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, institusi akademik dan berbagai pihak yang berkepentingan. Dari para narasumber, Prof. Benny Riyanto, Dekan Fakultas Hukum Undip, tak bersedia menandatangani dokumen eksaminasi karena dianggap tak obyektif.
Herlambang P. Wiratrama, penggagas eksaminasi dari Fakultas Hukum Unair Surabaya mengatakan, eksaminasi penting untuk menguji putusan PTUN Semarang terkait gugatan Joko Suprianto cs yang menggugat Gubernur Jateng terkait izin SI. Hasil putusan tidak diterima dengan alasan daluarsa. Padahal, penjelasan warga penolak menyatakan, mereka tak pernah mendapatkan sosialisasi dan pemberitahuan izin lingkungan.
“Ini akan menjadi pembelajaran hukum dan publik terhadap suatu kasus , mendorong partisipasi publik sekaligus peradilan yang profesional,” katanya.
Dia mengatakan, surat izin lingkungan baru diketahui masyarakat 14 Juni 2015. Pada 5 Juni 2015, warga mengirim surat ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) menanyakan soal penambangan. Dalam balasan BLH menyebutkan, SK Gubernur Jateng. Tidak lama berselang, warga dan Walhi mengajukan pertanyaan dan keberatan kepada gubernur.
Pada September 2015, ada tujuh lembaga menggugat gubernur soal izin lokasi ke PTUN. Dalam putusan, argumentasi majelis hakim menuliskan, ada sosialisasi terkait SK yang ditempel di BLH, kecamatan, dimuat di koran, dan internet, hingga gugatan dianggap daluarsa. Jadi, katanya, perlu argumentasi menjawab daluarsa itu.
“Apakah pengumuman di kantor kecamatan, balai desa dan situs website BLH Jateng dianggap sosialisasi atau bukan? Argumentasi hukum hakim lebih banyak dipenuhi asumsi formalitas, bukan substansial. Faktanya, proses hukum hanya menyampaikan formalitas hukum. Hakim tidak pernah menggali pikiran lebih cerdas agar tidak melanggar hak-hak masyarakat,” kata Herlambang.
V. Hadiyono dari Fakultas Hukum Soegijapranata mengatakan, putusan PTUN sepintas tidak ada kejanggalan. Masyarakat dianggap tahu sosialisasi, melalui wayang dan silaturahmi. Kegiatan ini, menjadi acuan hakim menghitung waktu 90 hari. “Persoalannya, apakah keputusan hakim sudah adil atau belum? Apakah sosialisasi menangkap semua kebutuhan hak dan kewajiban masyarakat, terutama yang terdampak?” Sosialisasi semacam itu, katanya, tidak ada dan hanya terkait aturan pendirian pabrik semen.
“Apakah ada azas keseimbangan antara semen, pemerintah dan masyarakat. Jika mengacu good governance ada azas transparansi, dan fairplay yang diacu dalam pembuatan putusan PTUN.”
Ketika pengadilan hanya memeriksa dokumen, katanya, maka bisa dianggap tidak adil, tanpa melihat kondisi lapangan. Jadi, perlu memaksa hakim sidang lapangan. “Fakta lapangan menemukan ada gua dimusnahkan dengan dinamit. Artinya, ada upaya penghilangan bukti awal. Hakim harus memeriksa iud facti tidak hanya iud juris, perlu ada argumentasi kuat agar hakim mau sidang lapangan. Itu mutlak harus diminta.”
Sedangkan Prof. Sudharto P Hadi, Pakar Lingkungan Undip mengatakan, sosialiasi izin lingkungan harus utuh, berbeda dengan kala akan operasional pabrik dan pertambangan. Dalam UU PPLH Pasal 39 ayat 2, dikenal pengumuman bukan sosialisasi. Pengumuman dengan cara mudah diketahui masyarakat. Wayangan, katanya, pengumumam terkait operasional semen bukan soal izin lingkungan.
“Apakah pengumuman di balai desa itu mudah diketahui dan diakses masyarakat? Pengumuman terkait Amdal seharusnya formal biasa melalui media massa. Itu saja tidak cukup perlu penyampaian langsung kepada masyarakat.”
Prof. Esmi Warassih dari Undip mengatakan, azas keterbukaan pemerintah belum terpenuhi dalam sosialisasi. Izin lingkungan menyangkut hajat hidup orang banyak, karena bisa berdampak luas. Untuk itu, katanya, harus ada kesetaraan hak dan kewajiban antara pemerintah dan masyarakat.
“Harus ada respon masyarakat setuju dan tidak terhadap pendirian pabrik dan pertambangan. Respon ini partisipasi, jika hanya diumumkan, bagaimana cara masyarakat merespon? Lalu bagaimana dampak budaya masyarakat? Dalam putusan PTUN Semarang azas proporsionalitas juga tidak dipenuhi.”
Dia juga tidak setuju sosialisasi. “Itu model top down, tidak ada partisipasi, jikapun ada, partispasi semu, tidak ada respon masyarakat. Masyarakat harus dilibatkan. Dalam putusan ini tidak ada masyarakat diajak bicara. Sosialisasi mesti ada persetujuan, masukan, bukan sekadar diumumkan,” kata Esmi.
Iman Prihandono, Pakar Hukum Unair mengatakan, dalam konteks hukum internasional, ada free prior informed and consent (FPIC). Prinsip ini, menekankan masyarakat terdampak harus bebas dari tekanan, tak dalam todongan senjata. “FPIC ada di konvensi indegenous people, dan self determination untuk hak atas pembangunan. FPIC adalah prinsip umum yang harus dipakai dan jadi acuan.”
Franky Butar-butar, pengajar hukum pertambangan dan lingkungan Unair menambahkan, dalam Amdal diisyaratkan partisipasi masyarakat. Pelibatan masyarakat, katanya, harus didasarkan prinsip informasi lengkap.
Menurut Myrna Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute, majelis lebih mengedepankan prosedur. Majelis hakim, katanya, tak mengeksplorasi lebih jauh tujuan penyampaian. “Tidak ada bukti foto, kecuali dokumen. Tidak ada permintaan terkait notulensi, kecuali daftar hadir. Para saksi tidak ditanya apakah mereka paham isi sosialisasi dan metode apa yang digunakan. Semua itu tidak muncul dalam pembahasan yang dituliskan di putusan.”
Dia melanjutkan, majelis tidak mengikutkan putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012 terkait pengujian pasal terkait tambang dan batubara. Mekanisme hanya bersandar pada formal prosedural bertentangan dengan UUD 1945.
Pengumuman di Balai Desa, katanya, bisa gugur berdasarkan putusan MK.
“Menurut saya, penemuan hukum dalam putusan ini sangat minimal. Majelis hanya mengacu pada dokumen seadanya,” ucap Myrna.
Eko Teguh Paripurna dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta mengatakan, kasus Rembang harus melihat dimana keberpihakan. Keberpihakan dimulai dari rantai kebijakan. “Artinya, dalam konteks ini, hakim bertindak sebagai perangkat bisnis kebijakan. Apakah ini peradilan yang sesungguhnya atau bukan?”
Sedangkan, Widodo, peneliti dari Komisi Yudisial mengatakan, dalam kasus lingkungan ketua majelis minimal harus memiliki sertifikasi lingkungan hidup. Jika tidak, bisa disebut unproffessional conduct dan putusan menjadi cacat hukum.
Pukul 15.00, sidang eksaminasi ditutup. Hasil eksaminasi akan diserahkan kepada PTUN Semarang, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, institusi akademik dan berbagai pihak yang berkepentingan. Dari para narasumber, Prof. Benny Riyanto, Dekan Fakultas Hukum Undip, tak bersedia menandatangani dokumen eksaminasi karena dianggap tak obyektif.
http://www.mongabay.co.id/2015/07/14/membedah-putusan-ptun-soal-tambang-semen-rembang-berikut-kata-para-pakar/
0 komentar:
Posting Komentar