25/03/2012
Peta
kars Sangkulirang-Mangkalihat yang mendominasi hidung Kalimantan Timur. Warna
hijau merupakan gunung-gunung kars tinggi, dengan beberapa puncaknya diberi
tanda segitiga kuning.
Gambar cadas (rock-art, l’art parietal) di Indonesia
nyaris seluruhnya berada di kawasan kars. Salah satu kawasan kars yang banyak
‘mengawetkan’ gambar-cadas adalah kawasan Sangkulirang-Mangkalihat, Kabupaten
Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Pada kawasan ini terdapat sembilan ‘gundukan’ kars
raksasa yang tersebar dari barat sampai ke timur, dengan luasan sekitar 100 km
x 80 km. Bagian paling barat merupakan bagian kars yang paling terangkat ke
permukaan bumi. Ada dua puncak tertinggi yang elevasinya mencapai lebih dari
1000 m dpl, dengan jejeran dinding-dinding megah yang menjulang ratusan meter.
Perbukitan kars berserakan ke arah timur. Di timur sering kali dijumpai dataran
kars yang luas yang memunculkan sumur-sumur kars.
Kars Sangkulirang-Mangkalihat bahkan menyebar sampai ke
pesisir-pesisir, lalu muncul sebagai pulaupulau kars kecil nan cantik di Laut
Sulawesi, seperti di Kepulauan Derawan, Birahbirahan atau Miang Besar. Sumber
air kars bermunculan di pulau-pulau kecil tersebut, dan banyak sungai kars yang
bermuara di dasar laut pesisir Sangkulirang-Mangkalihat. Pada daerah kars
seperti itu, tak heran bila kehidupan lautnya merupakan koloni terumbu karang
yang dirindukan para penyelam dunia. Dalam pengalaman saya, kawasan kars
Indonesia yang sespektakuler Sangkulirang-Mangkalihat itu, hanyalah daerah
leher Kelapa Burung dan Rajaampat di Papua.
Situs-situs gambar-cadas pada kawasan Sangkulirang-
Mangkalihat baru diketahui keberadaannya setelah disurvei selama 10 tahunan.
Survei dilakukan bersama-sama Luc Henry, Chazine, Puslit Arkenas, Puslit
Kebudayaan, Balai Arkeologi Banjar, dan Badan Lingkungan Hidup, Kutai-Timur.
Situs-situs tersebut sebelumnya ‘tidak diketahui’ lokasinya.
Gunung
Gergaji difoto dari udara.
Perlu perjuangan keras untuk mencari terlebih dahulu
lokasi dan jalur masuk ke situs-situs tersebut. Jalur masuk ke situs yang
berada pada kawasan kars yang gundukannya menjulang 700-1000 meteran tentu
bukanlah perkara yang mudah dan sederhana.
Untungnya gundukan kars raksasa ini sangat diakrabi oleh
orang lokal. Mereka menyebutnya dengan sebutan batu, sedangkan gunung tanah
yang disebut beriun memang langka di kawasan ini. Beberapa penamaannya juga
mengikuti bentuk dari gundukan batunya: Batu Gergaji dengan puncakpuncaknya
yang mirip mata gergaji dari jauh, Batu Kulat yang gunungnya mirip bentuk jamur
kulat, Batu Tutunambo dengan batu yang puncaknya selalu hitam tertutup awan.
Kawasan Mangkalihat yang mempunyai sebaran gambar-cadas
paling banyak, memiliki morfologi dengan deretan julangan tebing kars big wall
dan tersebarnya gua-gua raksasa. Kawasan ini seolah-olah merupakan gabungan
antara Pegunungan Maros- Pangkep (Sulawesi Selatan), Pegunungan Carstenz
(Papua) dan Pegunungan Sewu (Yogyakarta). Inilah destinasi wisata masa depan
yang akan dapat menghidupi masyarakat Kutai Timur.
Air, Sang Penatah
Agung
Gunung-gunung kars Sangkulirang-Mangkalihat jelas telah
jutaan tahun menjadi ‘tangki air’ utama bagi kawasan pesisir timur
Sangkulirang-Mangkalihat yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Kutai
Timur. Kelimpahan air itu mengalirkan sungaisungai utama yang meliuk-liuk
menghindari dan menembus bebatuan kars lalu membentuk sungai bawah tanah, air
terjun, riam, atau ngarai berbatu putih. Sungai-sungai kemudian saling bertemu
dan membesar, berkelok membelah kehijauan hutan dan rawa menuju pesisir
timurnya.
Sungai-sungai kars dipenuhi dengan berbagai jenis ikan,
udang, kurakura, dan buaya sungai. Pantai di pesisir timurnya ditopang larutan
subur mineral dari gunung kars, menjadi surga bagi buaya-buaya muara raksasa
dan tempat bermain berbagai ikan-ikan besar seperti ikan paus, hiu, tuna atau
pari.
Terdapat tiga fenomena pengikisan air di kawasan ini.
Pertama, kikisan yang terbentuk karena sungai berusaha menembus gua menuju
dataran yang lebih rendah, sampai menembus gunung kars dari satu sisi ke sisi
lainnya sejauh 3 sampai 5 km. Beberapa lorong gua bahkan mempunyai ukuran
raksasa, baik luas maupun tingginya. Gua seperti ini tersebar pada beberapa
gunung kars, dan dapat ditemukan berupa lorong-lorong fosil pada ketinggian 400
m dpl, maupun yang masih aktif di kaki kars. Pada loronglorongnya terdapat beberapa
muara-muara gua yang lebih kecil dan lubang-lubang amblesan kars sinkhole.
Gua-gua yang berukuran raksasa mempunyai lorong yang
bertingkat-tingkat berupa ceruk horizontal bersusun-susun, tertatah pada
sepanjang tepian alur sungai yang mengikisnya. Pada gua raksasa seperti itu,
mudah ditemukan jurang-jurang dalam, atau sinkhole yang sangat besar.
Sinkhole besar ini terkadang di dasarnya berkembang hutan
kecil. Orang lokal menyebut gua-gua seperti itu dengan nama lubang-tembus, dan
tentunya gua tembus ini sangat menantang untuk dijelajahi. Guagua tembus ini
tampaknya menjadi hunian utama koloni-koloni walet yang menghasilkan sarang
liur emas. Pada satu sistem gua tembus, ditemukan kecoa raksasa dengan ukuran
badannya mencapai 10-11 cm dan khas hanya ditemukan pada sistem ini.
Fenomena kedua adalah alur sungai yang mengikis salah
satu sisi dari kaki gunung-gunung kars. Jenis kikisan ini menghasilkan gua-gua
yang sejajar dengan alur sungai yang mengikisnya, sekaligus mengikuti
lekukan-lekukan kaki gunung kars. Lorong-lorong gua sejajar ini ada yang sudah
menjadi fosil, ada yang terkadang tergenang air banjir, dan ada pula yang masih
aktif dikikis aliran sungai. Orang lokal mempunyai beberapa sebutan untuk gua
sejajar ini: lubang tembobos untuk gua yang banyak muaranya, lubang terusan
untuk gua yang mempunyai muara di hulu dan di hilir, lubang kembar untuk
lorong-lorong gua sejajar yang runtuh di tengah tengah, sehingga seperti ada
dua gua kembar yang saling berhadapan pada posisi hulu-hilir. Di gua-gua tembobos
lebih sering menjadi tempat bagi jutaan kelelawar yang terdiri dari sedikitnya
90 spesies, dan dua di antaranya spesies langka.
Fenomena ketiga adalah terjebaknya air di lembah kars,
membentuk rawa atau danau kars. Jumlahnya sangat banyak. Rawa yang terkenal
misalnya rawarawa di wilayah Gergaji-Marang yang dikenal sebagai Danau Tebo.
Lembahnya sendiri merupakan fenomena melarutnya kars secara perlahan-lahan.
Dasarnya membentuk polje, suatu tegalan kars yang memanjang mengikuti arah
lembah.
Tegalan ini dapat berupa rawa, kolam, atau danau,
kemudian airnya merembes ke bawah. Rembesannya keluar pada gua-gua di bawahnya.
Masyarakat menyebut fenomena kars ini sebagai
lubang-sungai. Gua-gua seperti di sini umumnya pendek dan hanya mempunyai satu
muara gua.
Arah lorongnya cenderung tegak lurus terhadap arah gua
sejajar di atasnya. Pada skala kecil, gua-gua ini disebut tebot dengan air yang
k eluar dari batuan kars disebut air metam berupa air jernih yang biasanya
dapat langsung diminum.
Sekarang dijuluki pula air aqua. Penduduk sangat suka
mandi di muara air metam yang bertemu dengan aliran sungai utama. Kolam-kolam
air kars ini, baik yang di puncak gunung maupun di kaki gunung, mempunyai
ikan-ikan yang ukurannya dapat mencapai panjang satu meter.
Walaupun demikian, pada kawasan ini banyak pula ditemukan
gua vertikal sedalam 100 sampai 200 m. Tampaknya gua-gua itu merupakan hasil
dari gabungan fenomena di atas yang sering mengakibatkan runtuhan-runtuhan
baru. Masyarakat lokal mempunyai istilah sendiri, seperti batu tebor yaitu
gunung yang mudah longsor batunya, atau ambur batu yaitu daerah yang batunya
berhamburan.
Terdapat pula sedikit gejala tektonik berupa mata air
panas yang keluar dari gua yang disebut ampenas, artinya air panas. Selain itu,
retakan atau kekar-kekar tampak mengontrol arah tebing-tebing raksasa dengan
bahasa setempat disebut ilas, misalnya IlasTondoyan, Ilas Bungaan, Ilas Batu
Merah. Air hujan yang meluncur turun dari tebing-tebing tinggi ini, mengikis
paparan kars di kaki tebing yang menyerupai fenomena kars minor lapiaz berupa
lubang-lubang dangkal seperti pada keju. Penduduk menyebut lubang batu yang
sisinya tajam sebagai batuan resak. Bila kita tidak hati-hati, betis bisa
terluka parah saat bergesekan atau terjatuh di batuan resak ini.
Ya, di sini air telah menunjukkan kuasanya membentuk
bentang alam kars dengan mengagumkan. Sungai berkelok-kelok menyisir liukan
gunung kars, lalu membelah kehijauan membentuk meander-meander yang indah.
Belum lagi jejeran tebingnya berlomba menjulang ke angkasa, dengan ribuan
menara kars yang seolah-olah berusaha mencakar langit. Di dalamnya, ribuan gua
gulita tersebar sangat menantang.
Pantai Karst Memukau dan Unik
Ekowisata kars Sangkulirang dapat dimulai dari Manubar,
sekitar 4 jam naik speedboat dari Aquatik, Tanjung Bara. Ada beberapa losmen
sederhana untuk pekerja kayu, namun saya memilih tinggal di rumah penduduk di
tepi pantai yang indah dihiasi deretan kelapa khas tropis.
Subuh menjelang pagi, speedboat diarahkan ke timur menuju
Kampung Sandaran di ujung kars Mangkalihat. Dari pesisir telihat bayangan hitam
gugusan kars bergerigi tajam nun jauh di pedalaman. Di ujung tanjung
Mangkalihat, tebing-tebing kars diterjang gelombang membentuk batu-batu
‘berlubang’ seperti gapura, dan sebentarsebentar terlihat pantai pasir kars
yang putih menguning disorot mentari pagi.
Pulau Birah-birahan asyik sekali diputari dengan perahu
kecil mirip kano. Airnya yang sangat jernih memperlihatan warna-warni kerumunan
terumbunya pada kedalaman 2 – 3 m. Pun pantai pasirnya putih menguning disorot
matahari pagi. Segar sekali rasanya. Bagian pantai timur pulau menjadi habitat
penyu hijau, yang sesuai dengan ekosistem padang lamun dan diteduhi pohon-pohon
mangrove yang besar. Pulau Birahbirahan didominasi oleh ratusan pohon kelapa
yang sudah tak terurus.
Di bagian tengah kebun terdapat sumuran kars kecil yang
mengeluarkan air tawar jernih. Perairan pulau ini mempunyai ubur-ubur air
tawar, seperti halnya di Pulau Kakaban di Berau. Ubur-ubur ini tidak menyengat,
dan hidup pada danau air-tawar yang terisolasi kurang lebih ribuan tahun dari
ekosistem pantai di sekitarnya.
Tak jauh di lepas pantai Birahbirahan terdapat fenomena
unik lain: ‘danau’ air tawar di tengah laut. Orang lokal menamakannya bayangan.
Fenomena ini sebenarnya adalah muara sungai kars bawah tanah yang debitnya
sangat besar sehingga mampu menyibak air laut. Walaupun berat jenis air laut
lebih tinggi, namun air laut tersibak ke samping oleh tekanan tinggi air tawar,
sehingga terbentuklah danau air tawar di tengah-tengah air asin. Fenomena
seperti itu dapat ditemui pula di daerah kars di utaranya, seperti di Labuan
Cermin dan Bidukbiduk.
Hulu sungai:
pesona nuansa karst
Menikmati kars paling asyik dari perahu ketingting.
Perahu yang ramping ini dapat masuk jauh ke hulu tempat gunung-gunung kars
berdiri garang. Bongkah-bongkah batugamping sebesar mobil banyak muncul di
tengah atau di tepian sungai. Batugamping di tepian sungai ini banyak
berangberangnya yang sering hilir mudik menyeberang sungai sambil membawa
ranting-ranting. Terkadang tatapan polosnya mengikuti perahu yang melaju pelan
menghulu, lucu sekali.
Monyet-monyet
makaka bertenger di pucuk-pucuk pohon di bukit kars.
Tebing-tebing yang dekat sungai terlihat tegak memutih
atau hitam legam. Di belakang tebing, terdapat ribuan menara kars berjejer
berlapis-lapis. Beberapa mulut gua besar menganga hitam, seperti merayu-rayu
untuk segera ditelusuri. Monyet makaka sering terlihat duduk-duduk di ranting
atau bebatuan pinggir sungai. Monyet jantan yang besar terkadangmarah mengancam
menyeringai kepada orang-orang di perahu.
Sesekali terlihat kerumunan makaka jauh di atas pucuk
pepohonan atau puncak perbukitan kars, namun tak pernah terlihat mendekati gua.
Menjelang hulu sungai, lembah sudah sempit, dangkal, dan
rimbun. Pada beberapa kelokan, sungai mengikis tebing kars dan membentuk ceruk
tinggi yang memayungi aliran sungai. Perahu ketingting melaju di bawah
‘payung-batu’ yang putih kekuningan. Ketika melewati ceruk seperti ini, suara
mesin menggema bergaung-gaung menerpa dinding batunya. Tempat ini disebut Ilas
Kedanum, artinya tebing yang sampai ke sungai.
Gua
situs tampak menjulang di tebing kars yang sangat curam.
Ketika perahu ketinting tak bisa lagi berjalan cepat
karena motoris memilih jalur dengan hatihati, pandangan tertuju pada bayangan
hitam bergelayutan pelan di atas pucuk pohon. Tak salah lagi itu gelayu tan
orangutan. Walaupun saya tidak begitu paham, namun sepertinya orangutan pada
kawasan ini terlihat lebih gelap dari orangutan lain yang ada di Kalimantan.
Kadang terlihat orangutan turun ke tebing kars dekat ranting yang tinggi, lalu
menggelayut lagi ke pohon berikutnya.
Orangutan sering tampak diam mematung di atas ranting,
seperti yang sedang menikmati adegan orang kota alias manusia menyusuri sungai.
Memang belum banyak yang mengetahui bahwa ada habitat orangutan di kawasan kars
Sangkulirang.
Kita harus sangat hati-hati apabila melihat rerumputan di
tepian sungai bergoyang menjalar cepat tanpa menimbulkan suara berisik.
Biasanya itu kobra hitam. Sekelebat tampak badannya yang hitam seakan terbang
di atas rerumputan. Kobra juga sangat pandai berenang. Saat berenang, kepala
sampai seluruh badannya terlihat seperti ‘terbang’ di atas air. Berbeda dengan
ular sanca yang bila berenang hanya kepalanya saja yang terlihat.
Suasana hulu-hulu sungai di kaki menaramenara kars ini
benar-benar mengagumkan. Pemandangannya spektakuler, seperti akan menuju
kuil-kuil pengendali udara pada film Ang The Last Airbender. Pepohonan yang
tumbuh di atas cadas lebih ramping dan lurus-lurus. Pohon yang disebut pohon
batu itu sangat keras. Ranting dedaunan yang bergantungan sampai ke sungai, kadang
disibakkan untuk bisa dilalui perahu. Namun untuk sampai ke gua-gua bergambar,
masih harus terus ke hulu, ke daerah ketika ketingting sudah ‘menyerah’ tidak
dapat terus melaju menghulu. Perjalanan ke situs gua-gua bergambar harus
diteruskan dengan jalan kaki.
Situs Prasejarah
Bertingkat -tingkat
Situs-situs ini dulu begitu jauh dari hiruk-pikuk minyak
dan batubara, sampai-sampai Belanda juga tidak menyentuh pedalaman kars ini.
Sampai saat ini tidak diketahui apa penyebabnya. Bahkan hingga dewasa ini,
situs-situs ini tetap masih jauh dari keramaian kampung-kampung modern, namun
sudah didekati oleh tambang-tambang batubara yang dulunya merupakan hutan
produksi pada hutan status nasional. Perlu dipertanyakan lebih jauh, mengapa
justru di kawasan hutan tersebut, banyak muncul tambang-tambang batubara baru.
Bagaimanapun juga, situs-situs gambar prasejarah tetap
harus didekati dengan berjalan kaki. Ada yang dapat dijangkau dalam
hitungan menit dari sungai, namun ada yang memerlukan perjalanan satu malam untuk
mendekatinya. Gambar ini dilukis jauh pada masa silam, ketika Kalimantan masih
‘berbagi’ daratan dengan Asia, Jawa, dan Sumatra. Gambar cadas (garca)
terawetkan ribuan tahun oleh pekatnya hutan dan jauhnya dari keramaian
modernitas.
Garca diduga dibuat oleh kaum Austro-asiatik yang bermata
pencaharian berburu dan meramu tingkat lanjut. Mereka datang sekitar 12.000 –
9.000 tahun lalu. Secara teoritis, mereka berjalan kaki dari arah Vietnam
menuju Serawak, Sabah, dan akhirnya sampai ke daerah Sangkulirang. Ketika itu,
air laut sedang naik menggenangi banyak pesisir dan daratan Asia-Tenggara, dan
boleh jadi itu adalah alasan perpindahan orang-orang tadi. Para penggambar
garca prasejarah tadi datang lebih dulu dari kaum Austronesian yang merupakan
nenek moyang kebanyakan Dayak yang ada sekarang.
Garca
di langit-langit gua menunjukkan gua mempunyai posisi penting dalam budaya
prasejarah.
Penggambar prasejarah yang disebut orang Kutai Prasejarah
itu, tampaknya memusatkan kegiatannya di Gunung Gergaji dan Kulat. Mereka men ggunakan
hampir seluruh tingkat pada kedua gunung tersebut, khususnya Gunung Gergaji.
Hal itu terlihat dari sebaran situsnya: tingkat pertama situs dekat sungai,
tingkat kedua situs di tengah tebing atau di danaudanau kars di puncak gunung,
serta tingkat ketiga situs di puncak punggungan gunung batu.
Tingkat pertama, berupa situs kubur dan hunian. Ada situs
yang bergambar, ada yang tidak. Pada situs dekat sungai, ditemukan banyak
kereweng-kereweng gerabah, bermotif garis-garis dan tumpal. Berkeliling situs-situs
dekat sungai sangat mengasyikkan, seperti keliling ke ‘rumah-rumah’ prasejarah.
Pada satu ceruk dan satu gua, ditemukan tiga kerangka yang berwajah ‘halus’,
yaitu ciri wajah orang Mongoloid, mungkin juga Austro-asiatik atau
Austronesian, namun jelas bukan Melanesoid.
Tingkat kedua yang berada di tengah atau di lembah kars,
tampaknya merupakan tempat suci untuk upacara saman. Situs saman ini paling
sulit dijangkau dibandingkan dengan situs yang berada di dekat sungai atau di
punggungan gunung. Untuk mencapai situs tengah, orang perlu berjalan mendaki
tanjakan terjal. Situs-situs tingkat dua ini benar-benar berada di
tengah-tengah tebing, kurang-lebih 90- 120 m di atas permukaan sungai.
Umumnya untuk mencapai situs tingkat kedua diperlukan
pendakian antara satu hingga dua jam. Tidak heran bila napas tersengal-sengal,
jantung seperti dipalu-palu detaknya sendiri, dan badan dibanjiri keringat.
Istirahat pun tidak nyaman, karena tidak ada pijakan
penuh di tanah atau batu. Semua serba sempit dan miring. Pada beberapa tempat,
perlu memanjat tangga kars bersudut 80-90o setinggi 3-4 m. Pada jalur terakhir
membutuhkan juluran tali karmantel, yang dijuluki tali ‘Bandung’ oleh penduduk
lokal.
Situs tingkat ketiga merupakan situs di puncak punggungan
gunung malahan mempunyai jalan yang nyaman dan mudah, asalkan dapat menemui
lorong tembus rahasia. Bila lorong tembus itu tidak dilalui, maka tidak mungkin
orang sampai ke mulut situs di puncak punggungan karena terlalu tinggi dan
terjal. Situs tingkat tiga merupakan situs bergambar tertinggi di kawasan ini,
dan tampaknya berfungsi sebagai tempat berkumpul dalam melakukan
upacara-upacara komunal.
Dari mulut situs pada tingkat dua dan tiga,
pemandangannya sangat mengagumkan. Balutan dedaunan hijau merambat jauh di
bawah, dan kabut merangkak pelan seperti enggan meninggalkan hutan. Tegakan
gunung kars di sebelahnya tampak angkuh mencuatkan menara karsnya. Menara itu
tampak berbayang hitam berlapis-lapis. Kepakan sayap rombongan burung rangkong
menggebuk udara, mirip suara helikopter datang. Orangutan terlihat dengan malas
menggelayut dari satu kanopi ke kanopi lainnya, dan sesekali orangutan betina,
turun ke lereng kars dan duduk sebentar dengan anaknya dari cabang pohon yang
dekat ke tebing. Lengkingan panjang orangutan sering terdengar bersautan.
Ratusan burung walet berciut-ciut mencari serangga.
Menjelang magrib sang raja malam keluar: kelelawar pemakan serangga
menggelapkan sebagian langit. Di malam hari geraman beruang dan lenguhan rusa
ikut meramaikan hutan.
Garca Kutai Prasejarah:
Rusa Adisatwa, Geko dan Dukun
Garca Kutai Prasejarah diperkirakan dibuat 9.000 tahun
lalu. Gua-gua bergambar ini sedikit demi sedikit ditemukan antara tahun 1994
sampai 2006. Garca Kutai Prasejarah yang berwarna merah dan ungu tua didominasi
oleh imaji cap telapak tangan. Imaji cap tangan dibuat dengan cara semburan
cat, baik lewat mulut maupun tulang binatang. Terdapat telapak tangan bayi,
anak-anak, perempuan, atau laki-laki yang digambarkan saling berkait-kait dan
berkomposisi rumit dan tampak penuh pertimbangan.
Sedikitnya ada 2000 cap tangan ditemukan tersebar pada 37
situs. Ada yang polos, dan ada yang dikuaskan dengan motif gerigis (garis dan
titik), atau motif satwa, dan sekaligus dikomposisikan. Cap tangan bergerigis
menunjukkan status pemilik telapak, hubungan kekerabatan, status kelompok,
status kedewasaan, atau status keterampilan. Cap tangan bermotif satwa
tampaknya merupakan personifikasi kesaktian pemiliknya seperti satwa yang
diwakilinya.
Selain imaji cap tangan, situs bergambar Kutai Prasejarah
juga dipenuhi oleh imaji adi-satwa. Terdapat dua imaji adi-satwa, yaitu rusa
bertanduk dan imaji géko (tokek, kadal, buaya). Imaji adisatwa digambarkan
berbeda dibandingkan satwa biasa. Misalnya, imaji rusa yang dianggap adi-satwa
digambarkan dengan cara khas, sehingga tampak seperti rusa yang sedang terbang
melesat, dengan tanduk yang sangat panjang melebihi panjang tubuhnya.
Manusia Zaman Kutai Prasejarah ini seperti begitu memuja
keanggunan rusa bertanduk, yang boleh jadi adalah personifikasi dari kegagahan
Rusa Sambar yang banyak ditemukan, terutama ketika kawasan ini masih berhutan
savana 10.000 tahun lalu. Sedang imaji géko digambarkan di tempat-tempat yang
sulit dijangkau, jauh di atas dinding gua, dan tampak digambar dengan kaki yang
dibesar-besarkan. Bila merujuk etnografi tradisi asli Asia Tenggara-Pasifik,
maka géko adalah tempat bersemayamnya roh nenek moyang.
Imaji penting lain adalah sosok dukun yang selalu
digambar lengkap dengan aksesorisnya: penutup kepala, rumbai di pinggang, dan
tongkat yang ujungnya berlubang. Imaji dukun merupakan imaji yang selalu hadir
pada seluruh situs bergambar, kecuali yang dekat sungai. Tampaknya dukun-dukun
samanik inilah yang melakukan upacara pemujaan rusa adisatwa, mendongengkan
perlindungan arwah nenekmoyang yang bersemayam di dalam sosok géko, serta
memimpin proses suci penggambaran telapak tangan. Terdapat cap tangan bermotif
sosok dukun di telapaknya, mirip dengan maksud perlambangan kekuatan magis dari
seorang dukun.
Tidak Acak dan
Tidak Asal-Jadi: Suatu Bentang Budaya
Pemilihan
gua dan gambar cadas tidak disusun secara acak, tetapi didesain secara cermat.
Gambar-gambar penting dikuaskan pada dinding bagian atas
atau di langit-langit situs. Kemudian, gambar yang menceritakan kehidupan
sehari-hari, dibuat sedemikian rupa sehingga lebih nikmat bila meniliknya
sambil duduk atau jongkok, tidak sambil berdiri. Satu hal yang menarik adalah
terdapat panel bergambar yang harus dilihat sambil tiduran. Galeri ini saya
sebut galeri kolong, satu tipe yang juga ditemukan pada situs Aborigin di
Laura, Australia.
Cara orang-orang Kutai Prasejarah merancang situs-situs
seperti di atas menunjukkan bahwa mereka tidak acak dan sembarang dalam
mengembangkan kebudayaannya. Garca ini dikuaskan oleh manusia yang
berketerampilan tinggi dan mempunyai pemahaman estetika yang luar biasa.
Ini adalah masterpiece budaya prasejarah dunia, dan
merupakan gambar tertua di Asia Tenggara. Mereka telah membuat suatu bentang
budaya culturallandscape tertua di kawasan Asia Tenggara. Kawasan ini telah
menjadi semacam ‘kerajaan’ bagi para pemburu-peramu prasejarah, dan bisa jadi
mereka adalah kelompok pemburu yang besar.
Tidak salah bila kawasan kars Sangkulirang- Mangkalihat
bila suatu saat nanti dinominasikan sebagai warisan dunia untuk budaya dan
alam, atau suatu geopark yang menawan. Dengan segala pesonanya, rasanya rela
memberikan energi yang besar untuk melindungi warisan yang tak ternilai ini,
demi kesejahteraan bersama. Semoga, amiin.
Penulis adalah peneliti
gambar cadas, Pusat Penelitian Produk Budaya dan Lingkungan, dosen di FSRD,
Institut Teknologi Bandung.
Teks dan Foto oleh: Pindi Setiawan