Written by Eko Budiyanto, S.Pd., M.Si
Gambar: Sebagian kawasan karst Gunungsewu yang terkonservasi
Bentang
lahan karst memiliki peran yang sangat penting bagi lingkungan. Bentang
lahan karst menyediakan jasa ekosistem seperti air bersih, bahan-bahan
material, dan menjadi agen pengendali perubahan iklim (Brinkmann dan Jo
Garren, 2011).
Disamping sumberdaya air, kawasan karst memiliki berbagai
sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti sumberdaya
lahan, sumberdaya hayati, dan potensi bentang lahan baik permukaan
ataupun bawah permukaan (Suryatmojo, 2006). Kawasan karst memiliki
fungsi ekosistem yang serupa dengan hutan rimba yaitu sebagai pengatur
tata air khususnya air bawah tanah dan penyimpan potensi karbon.
Kerusakan lingkungan pada bentang lahan karst seperti akibat penambangan
akan mengakibatkan matinya sumber air bawah tanah yang berlimpah.
Kondisi
permukaan wilayah bertopografi karst pada umumnya kering dan kritis.
Namun demikian, dibagian bawah permukaan terdapat potensi sumber air
yang sangat berlimpah. Sumber air Baron di karst Gunungsewu – Yogyakarta
adalah contoh melimpahnya air sungai bawah tanah daerah karst. Potensi
yang terkandung pada sumber air tersebut mencapai 8000 liter/detik
(Adji, 2006), sementara hingga saat ini yang termanfaatkan baru mencapai
15 liter/detik (Sunarto, 2002).
Sifat
batuan karbonat ataupun dolomit yang menjadi penyusun utama bentang
lahan karst adalah memiliki banyak rekahan, celah, dan rongga pada
bagian permukaan. Bagian tersebut dinamakan dengan zona epikarst. Zona
ini menjadi zona penangkap air yang jatuh ditempat tersebut. Celah,
rekah, dan rongga tersebut akan terhubung dengan lorong-lorong konduit
yang berada di zona vadose yang berada dibawah zona epikarst. Air yang
ada di permukaan pada zona epikarst akan terresap ke lorong sungai bawah
tanah melalui rekahan-rekahan tersebut menuju lorong-lorong sungai
bawah tanah di zona vadose. Zona vadose merupakan bagian batuan karbonat
yang tebal, dan tidak banyak memiliki rekah. Pada zona ini
lorong-lorong konduit terbentuk. Lorong konduit ini dapat dilihat dalam
bentuk gua ataupun lorong sungai bawah tanah.
Penambangan
di wilayah karst ini biasanya mengambil batu gamping hingga mencapai
lapisan zona vadose. Penggalian batu gamping seperti pada bukit-bukit
karst akan menghilangkan zona epikart yang sangat penting sebagai
lapisan penangkap air. Hilangnya zona epikart ini tentu saja akan
mematikan imbuhan air ke dalam lorong-lorong konduit atau sungai-sungai
bawah tanah. Air tidak dapat terresapkan ke dalam jaringan sungai bawah
tanah tersebut. Air akan melimpas di permukaan dan dapat membentuk air
larian dengan volume yang besar dan banjir. Akibatnya tentu adalah
matinya sungai-sungai bawah tanah, matinya mata air di kawasan karst,
serta potensi bencana banjir pada saat hujan.
Penelitian
yang dilakukan oleh Risyanto dkk (2001) meyebutkan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat penambangan dolomit meliputi perubahan
relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan tanah, terjadinya perubahan
tata air permukaan dan bawah permukaan, hilangnya vegetasi penutup,
perubahan flora dan fauna, meningkatnya kadar debu dan kebisingan.
Kawasan
karst bukan tidak berarti tidak boleh dimanfaatkan. Namun
pemanfaatannya haruslah dilakukan dengan benar dan memperhatikan dengan
sungguh-sungguh dampak ekologis yang akan muncul. Pertimbangan
keuntungan ekonomi jangka pendek sangatlah tidak berarti jika akan
menimbulkan kesengsaraan di masa yang akan datang. Sumberdaya karst
dapat disebut sebagai sumberdaya yang tidak terbaharui karena memerlukan
waktu hingga jutaan tahun untuk membentuk bentang lahan tersebut.
Penetapan kawasan bentang lahan karst sebagai kawasan lindung geologi
patut diperhatikan dan diindahkan. Kawasan karst ditetapkan sebagai
kawasan lindung geologi melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya
Mineral No. 17 tahun 2012.
Kawasan
karst ini merupakan kawasan yang unik dan sangat berbeda dengan
ekosistem lainya. Perubahan sekecil apapun akan berdampak pada perubahan
fungsi ekosistemnya. Dampak
yang langsung dan nyata tentu akan kembali pada manusia terutama yang
bertempat tinggal di kawasan tersebut dan sekitarnya. Matinya sumber air
bawah tanah akan dengan segera dirasakan bersamaan dengan hilangnya
zona epikarst yang ada. Hilangnya biota goa seperti kelelawar yang mampu
meredam hama serangga pertanian akan terjadi sejalan dengan perubahan
mikroklimat dalam gua.
Adji,
T., N., 2006., Kondisi Darah Tangkapan Sungai Bawah Tanah Karst
Gunungsewu dan Kemungkinan Dampak Lingkungannya terhadap Sumberdaya Air
(Hidrologis) karena Aktivitas Manusia, Seminar UGK-BP DAS SOP, Fakultas Geografi UGM.
Adji,
T. N., Sudarmadji, Woro, S., Hendrayana, H., Hariadi, B., 2006. The
Distribution of Flood Hydrograph Recession Constant of Bribin River for
Gunungsewu Karst Aquifer Characterization. Gunungsewu-Indonesian Cave and Karst Journal, Vol. 2. No. 2.
Brinkman, R., Garren, S., J., 2011. Karst and Sustainability. Karst Management. DOI : 10.1007/978-94-007-1207-2_16.
Peraturan
Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 17 tahun
2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst.
Risyanto,
Jamulya, Woro., S., Halim, Y., Sriyono, 2001. Identifikasi kerusakan
Lingkungan Akibat Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan dan Kecamatan Penceng Kabupaten Gresik
Propinsi Jawa Timur, Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Fakultas Geografi UGM Tahun 2001. Fakultas Geografi UGM.
Soenarto,
B., 2002. Penaksiran Debit Daerah Pengaliran Gabungan Sungai Permukaan
dan Bawah Permukaan Bribin-Baron Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Disertasi. ITB. Bandung.
Suryatmojo, H., 2006. Strategi Pengelolaan Ekosistem Karst di Kabupaten Gunungkidul. Seminar Nasional Strategi Rehabilitasi Kawasan Konservasi di Daerah Padat Penduduk. Fakultas Kehutanan UGM.
http://geo.fis.unesa.ac.id/web/index.php/en/geomorfologi-karst/133-peran-penting-kawasan-karst