May 2, 2015 | Ditulis oleh: Choirul Muttaqien
“This is karst country
New Market is a mountaintop
She sits on a limestone hill
And sloping down to a sudden drop
We come to Middle Quarters still
As water in the bulrush”
Kars merupakan topografi unik yang terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya berupa kapur dolomit atau marmer). Proses geologi ini, terjadi selama ribuan tahun, menghasilkan permukaan yang luar biasa mulai dari pembentukan lubang-lubang vertikal, sungai-sungai dan mata air bawah tanah, hingga gua dan sistem drainase bawah tanah yang kompleks (BPLHD Jawa Barat, 2009). Menurut Eko Haryono (2009) kars mempunyai ciri-ciri cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk, langkanya atau tidak terdapatnya drainase/ sungai permukaan, dan terdapatnya goa dari sistem drainase bawah tanah.
Kawasan kars juga merupakan wilayah yang dapat menangkap dan menyimpan air hujan, sebagai habitat bagi beberapa spesies makhluk hidup khusus, dan berpotensi pertambangan karena fisiografi berbukit-bukit yang terbentuk dari batu gamping
Bentang lahan kars memiliki peran yang sangat penting bagi lingkungan. Bentang lahan karst menyediakan jasa ekosistem seperti air bersih, bahan-bahan material, dan menjadi agen pengendali perubahan iklim (Brinkmann dan Jo Garren, 2011). Disamping sumberdaya air, kawasan kars memiliki berbagai sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, dan potensi bentang lahan baik permukaan ataupun bawah permukaan (Suryatmojo, 2006). Kawasan kars memiliki fungsi ekosistem yang serupa dengan hutan rimba yaitu sebagai pengatur tata air khususnya air bawah tanah dan penyimpan potensi karbon. Kerusakan lingkungan pada bentang lahan karst seperti akibat penambangan akan mengakibatkan matinya sumber air bawah tanah yang berlimpah.
“On the wide chest of a broad Black RiverSaat ini istilah kars sering disebut-sebut oleh orang apabila menjumpai bukit yang dibentuk oleh batugamping atau istilah awamnya, batu kapur. Bila batugamping itu berbentuk perbukitan luas, orang sering menggunakan istilah kawasan kars untuk menyebut kawasan batugamping tersebut. Padahal, antara batugamping yang membentuk morfologi kars dengan batugamping nonkars berbeda, baik proses terbentuknya, mapun sifat fisik dan kandungan CaCO3-nya. Dengan demikian, sebenarnya tidak semua batugamping adalah kars.
Climb the hill again with me
And sit on a table of memory
We are desolate without the wisdom of God”
Batu gamping yang membentuk morfologi kars adalah batugamping jenis terumbu yang tersusun oleh fosil binatang laut bercangkang yang secara kimia tersusun atas batuan karbonat, terutama kalsium karbonat (CaCO3). Secara fisik batugamping ini bersifat keras, masif, masih menampakkan dengan jelas jejak fosil bercangkang dan proses pelarutan. Batugamping yang non-kars berupa batugamping berbutir (klastik), yaitu batugamping yang telah mengalami pengendapan kembali (resedimen) atau mengalami rombakan dari batuan induknya atau batuanasalnya. Batugamping ini secara fisik menunjukkan batuan berlapis, berbutir halus hingga kasar, dan bersifat kurang kompak terutama pada bagian permukaan yang umumnya lebih mudah mengalami pelapukan.
Peraturan mengenai kars
Seiring perkembangan kars di tanah air dan dunia, maka terbitlah peraturan tentang pengelolaan kars di Indonesia. Peraturan yang pertama adalah Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1518 K/20/MPE/1999 tanggal 29 September 1999, yang selanjutnya disempurnakan dalam Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456 K/20/MEM/2000 tanggal 3 November 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars (Kepmen ESDM 1456/2000).
Kepmen tersebut membagi kawasan kars ke dalam tiga kelas. Kelas 1 adalah kawasan kars yang, singkatnya, mempunyai sumber air bersih (sungai bawah tanah), gua aktif, dsb., sehingga menjadi kawasan lindung. Kelas 2 adalah kars yang mempunyai gua-gua tetapi tidak aktif dan tidak mempunyai sumber air, sehingga boleh dieksploitasi atau tambang asal melalui kajian Amdal. Adapun Kelas 3 adalah kawasan kars yang boleh ditambang karena tidak mempunyai kriteria seperti kars Kelas 1 dan Kelas 2. Sejalan dengan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya UU 26/2007), Kepmen 1456 akhirnya harus diganti.
Dalam turunan UU tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN; selanjutnya PP 26/2008), dinyatakan bahwa bentang alam kars adalah kawasan lindung nasional yang harus ditetapkan, dalam pasal 53 huruf b bahwa kawasan keunikan bentang alam (kars) merupakan bagian dari kawasan lindung geologi.
Menurut pasal 51 huruf e PP yang sama, kawasan lindung geologi merupakan bagian dari kawasan lindung nasional. Dalam implementasi PP 26/2008 untuk penyusunan RTRW (Provinsi, Kabupaten Kota), terjadi kebingungan dalam membuat pola ruang untuk kawasan yang memiliki batugamping. Kebingunan berada di seputar pertanyaan tentang acuan mana yang akan digunakan untuk menarik batas kars, karena sebagian besar kars belum terklasifikasi ke dalam kars yang dapat dibudi daya dan kars yang perlu dilindungi.
Untuk membantu Daerah dalam penataan ruang berkenaan dengan pemanfaatan secara optimal kawasan kars, maka pada 2012 dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 17 (Permen ESDM 17/2012) tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Kars (KBAK). Peraturan Menteri ini berisi pedoman penetapan kawasan bentang alam kars dalam rangka mewadahi substansi yang dibutuhkan untuk penyusunan tata ruang. Tujuan utamanya sama halnya dengan tujuan utama dari Kepmen ESDM 1456/2000 yang terbit sebelumnya yaitu melindungi, melestarikan dan mengendalikan pemanfaatan kawasan bentang alam kars. Peraturan ini tetap menimbulkan pertentangan karena ketika pemerintah daerah melakukan penyelidikan, umumnya ia mempunyai kepentingan instan, dan industri menjadi pilihan utama. Apalagi jika dikaitkan dengan masa jabatan kepala daerah yang minimal hanya lima tahun jika tidak terpilih kembali. Itulah sebabnya mengapa konflik antara pengusaha industri semen (yang biasanya didukung penguasa) berhadapan dengan masyarakat petani yang biasanya didukung LSM terus terjadi di kawasan kars
Ditinjau dari kacamata geologi, konflik ini memang berhubungan dengan objek yang sama. Proses karstifikasi yang berlangsung baik dan menghasilkan bentang alam eksokars dan endokars yang unik dan sesuai dengan kriteria Permen 17/2012, terjadi pada kawasan batugamping murni yang kandungan kalsium karbonatnya mendekati 100%. Jika dianalisis kimiawi batuannya, kandungan CaO-nya >50% dengan kadar silika dan magnesium yang rendah. Padahal kualitas batugamping seperti inilah yang juga sangat baik sebagai bahan baku pembuatan semen dan diincar industri semen.
Pilihan zonasi jelas tidak dapat diterima kedua pihak yang berkonflik karena manfaatnya justru berada pada kawasan yang sama. Di Indonesia yang wilayahnya berada di wilayah tropis, hampir semua batu gamping yang tersingkap ke permukaan pasti mengalami proses karstifikasi. Perkembangan bentang alam kars hampir terjadi di seluruh pulau yang mengandung formasi batu gamping. Singkatnya, sedikit sekali wilayah berbatugamping di Indonesia yang tidak memenuhi kriteria bentang alam kars seperti diatur dalam Permen 17/2012.
Hampir seluruhnya, kawasan batugamping Indonesia itu secara ilmiah adalah bentang alam kars yang seyogyanya menjadi kawasan lindung nasional seperti yang diamanatkan UU 26/2007 dan PP 26/2008.Pada tahun 2014, telah dapat diselesaikan dan terbit Kepmen ESDM untuk ketiga kawasan bentang alam kars di Jawa Tengah, yaitu KBAK Sukolilo, (Kempen ESDM Nomor 2641K/40/MEM/2014), KBAK Gombong (Kepmen ESDM Nomor 3043K/40/MEM/2014) dan KBAK Gunung Sewu (Kempen ESDM Nomor 3045K/40/MEM/2014).
KBAK yang telah ditetapkan, bukannya tanpa persoalan.
Meskipun telah dibahas beberapa kali antara Pemerintah Daerah pengusul dengan semua pemangku kepentingan di daerah, namun tetap masih terdapat beberapa pihak yang tidak sepakat atas batas-batas KBAK tersebut. Masalah ini terutama muncul bila terdapat rencana pembangunan pabrik semen di kawasan tersebut, seperti terjadi di sekitar KBAK Sukolilo dan KBAK Gombong, Jawa Tengah
Kawasan karst bukan berarti tidak boleh dimanfaatkan. Namun pemanfaatannya haruslah dilakukan dengan benar dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh dampak ekologis yang akan muncul. Pertimbangan keuntungan ekonomi jangka pendek sangatlah tidak berarti jika akan menimbulkan kesengsaraan di masa yang akan datang. Sumberdaya karst dapat disebut sebagai sumberdaya yang tidak terbaharui karena memerlukan waktu hingga jutaan tahun untuk membentuk bentang lahan tersebut
Valuasi Ekonomi Lingkungan
Dilema pengelolaan kars akan selalu berujung pada pertentangan antara konservasi dan eksploitasi. Dalam konteks dan paradigma pembangunan fisik, tentu saja eksploitasi menjadi pilihan utama. Hal tersebut karena keuntungannya jelas tergambar di depan mata. Batugamping digali, diolah, dibuat semen, dijual, dan rupiah pun mengalir. Hal itu semua dapat dihitung dengan angka-angka yang jelas, dalam bilangan yang nyata.
Sekarang, ketika masalah lingkungan menjadi bagian pertimbangan pembangunan jangka panjang yang harus bersifat berkelanjutan, paradigma pun mulai bergeser ke arah konservasi. Tekanan internasional yang menghendaki label serba hijau bagi produk-produk industri, ikut menggeser paradigma itu. Semua jenis sumber daya alam tidak serta-merta menjadi komoditas yang langsung dapat dieksploitasi, melainkan harus melalui kajian analisis mengenai dampak lingkungan. Kajian ini akan menghitung kemungkinan dampak negatif yang timbul dari suatu proyek besar dan cara penanganannya. Namun, karena semua baru prakiraan ke masa depan yang belum terjadi, nilainya masih bersifat intangible
Undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nomor 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan sepatutnya mencakup valuasi ekonomi. Dalam valuasi ekonomi tidak hanya manfaat tangible (kasat mata) dari sumber daya alam yang terkuantifikasi dengan nilai rupiah, tetapi nilai guna intangible juga diupayakan dirupiahkan. Valuasi ekonomi memiliki peran penting dalam melakukan kuantifikasi nilai lingkungan dan sebagai instrumen untuk memperkirakan nilai dampak lingkungan
Untuk menjembatani masalah ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan suatu panduan umum valuasi ekonomi dampak lingkungan (VEDL) yang memiliki tiga tujuan. Pertama, sebagai panduan pelaksanaan penilaian (valuasi) ekonomi dampak lingkungan dalam penyusunan AMDAL. Kedua, memperkenalkan konsep kuantifikasi nilai lingkungan. Ketiga, memperkenalkan teknik dan pendekatan dalam memperkirakan nilai dampak lingkungan.
Pada prinsipnya valuasi ekonomi dilakukan untuk memberikan harga atau memperhitungkan suatu nilai dari sumber daya yang digunakan dalam bentuk uang (monetary form). Salah satu metode untuk menentukan valuasi tersebut adalah menggunakan konsep pendekatan willingness to pay (WTP).
WTP merupakan cerminan keinginan membayar seseorang seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Dengan demikian pengukuran WTP dalam bahasa ekonomi merupakan suatu upaya untuk menilai ekologis suatu sistem dalam bentuk moneter.
Pendekatan CVM (cotingency valuation) sering digunakan untuk mengukur nilai pasif(nilai non-pemanfaatan) sumber daya alam atau sering dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar(willingness to pay) dari masyarakat. Kedua keinginan menerima WTA (willingness to accept) kerusakan suatu lingkungan. Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak pemilikan. Jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar yang maksimum(maximum willingness to pay) untuk memperoleh tersebut. Sebaliknya jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumber daya, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima (willingness to accept) kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumber daya alam yang dia miliki.
“Still, for New Market is not explained to today. Nor where did the water go in the rocky sodSecara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut sebagai keinginan membayar(willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis sistem bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. Sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran willingness to accept(WTA) yang tidak lain adalah minimum pendapatan seseorang untuk menerima penurunan sesuatu. Dalam praktik pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran yang berdasarkan insentif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi kasus yang berbasis perilaku manusia
People returned, build again, time fades things away. The town returned after almost a year, and life
Went on as before. But I cannot forget, and still. Long to know. Myths and fables are rife. But nothing holds, I am sodden with horror still.”
Penutup
Lalu bagaimana penerapan konsep-konsep di atas untuk lingkungan kars? Timbulnya konflik yang seolah-olah tiada akhir antara pengusaha yang akan mengeksploitasi kars, berhadapan dengan masyarakat yang berusaha mengkonservasinya, menunjukkan konsep di atas mungkin belum dilaksanakan. Kasus-kasus pengembangan tambang untuk industri semen di Pati dan Rembang, Jawa Tengah; di Pangkalan, Karawang, Jawa Barat; atau di Baturaja, Sumatra Selatan, menunjukkan benturan kepentingan yang cukup rumit untuk diselesaikan. Sekalipun kedua konsep VEDL diterapkan, diperkirakan akan banyak ketidaksepakatan dan akan berjalan tidak efektif, apalagi pada kawasan proyek yang bersifat eksploitatif seperti usaha pertambangan dan galian batu.
Konsep VEDL untuk wilayah kars, misalnya, menghitung jumlah burung walet yang akan menghasilkan berjuta-juta rupiah dari penjualan sarangnya. Contoh lain adalah perhitungan ekonomi hasil hutan di wilayah kars, atau harga air bersih yang didapatkan dari sumber-sumber air di wilayah ini jika hasil hutan dan air diasumsikan dapat dijual. Perhitungan ini akan berkali-kali lipat jika dianggap kedua sumber daya itu terjaga keberlanjutannya. Hasil ini kemudian dibandingkan sengan perhitungan jika seluruh kawasan kars tersebut berubah menjadi industri semen dengan nilai devisa yang dihasilkannya.
Pertentangan pun pasti terjadi karena industri semen jelas perhitungan jumlah cadangan batu gampingnya, serta harga-harganya (tangible) dengan waktu yang pasti, sementara VEDL adalah proyeksi ekonomi yang bersifat perkiraan yang intangible dengan waktu yang tidak pasti.
Satu hal yang lebih pasti adalah hasil ekonomi dari industri jelas pembagiannya, sementara VEDL tidak jelas. Apalagi jika hal itu menyangkut fungsi ekologi satu spesies yang hidup di gua seperti codot. Seekor codot dalam satu malam bisa mengkonsumsi serangga (nyamuk) hampir seberat tubuhnya sendiri. Bayangkan jika ribuan codot keluar satu malam, berapa ratus ribu ekor nyamuk yang dimakan mereka. Hal ini jelas mengurangi ancaman bahaya penyakit yang ditularkan melalui nyamuk ke manusia. Hitung-hitungan fungsi ekologis ini jelas abstrak karena mengandung ketidakpastian tinggi.
Hingga saat ini, tidak ada atau belum ditemukan bahan pengganti batu gamping yang merupakan 70 – 80% bahan baku semen. Usaha pengurangan persentase batugamping untuk semen memang sudah dilakukan, tetapi hasilnya kurang efektif dan mengurangi kualitas semennya. Solusinya memang harus menang-menang (win-win solution). Namun, solusi seperti itu disangsikan efektivitasnya oleh rakyat yang berada di pihak yang ‘lemah’ baik dari sisi kekuasaan maupun dari sisi kekuatan ekonomi. Sebagai penutup sekaligus penggugah, mari kita bayangkan jika eksploitasi batugamping untuk semen terus dilakukan sampai suatu saat batugamping musnah dari muka bumi. Jika saat itu adalah sekarang, akan berhentikah pembangunan? Atau, suatu saat ada penemuan bahan bangunan yang bukan batugamping tetapi berfungsi hidraulis seperti batugamping dengan kekuatan yang setara dengan semen dari batugamping? Sementara itu, kepentingan yang lebih tinggi, seperti ketersediaan sumber air semestinya tetap menjadi kriteria konservasi suatu kawasan kars.
Penulis merupakan mahasiswa S1 Rekayasa Kehutanan ITB. Karena kehutanannya itu dia jadi akrab dengan alam liar. Suka dengan filsafat dan kepenulisan. Dia adalah anggota Komune Rakapare yang mengurusi bidang kaderisasi. Pernah dan masih menjadi Kepala Sekolah Rakapare.
___
Referensi
- Hanang Samudra. 2011. Nilai Strategis Kawasan Kars Di Indonesia. Bandung : Pusat Pengembangan Dan Pengembangan Geologi.
- Cahyo Rahmadi. 2012. Ekosistem Karst Dan Gua : Gudangnya Keanekaragaman Hayati Yang Unik. Jurnal LIPI. Halaman 1-9.
- Brinkman, R., Garren, S., J., 2011. Karst and Sustainability. Karst Management. DOI : 10.1007/978-94-007-1207-2_16.
- Suryatmojo, H., 2006. Strategi Pengelolaan Ekosistem Karst di Kabupaten Gunungkidul. Seminar Nasional Strategi Rehabilitasi Kawasan Konservasi di Daerah Padat Penduduk. Fakultas Kehutanan UGM
- http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=1890
- http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-konservasi/subid-konservasi-dan-pemulihan/141-penyelamatan-kawasan-karst-citatah?showall=1
- undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup nomor 32, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (2009). - Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama (2004). - GeoMagz. Vol.5|no.1|Maret 2015
http://communia.id/requiem-karst-dan-valuasi-ekonomi-lingkungan/
0 komentar:
Posting Komentar