December 3rd, 2009 |
Published in
Flowstone
Posted on November 24, 2008 by cavernicoles
Ada satu artikel yang buat saya menarik untuk dikritisi dalam salah satu blog yang
ditulis oleh EFFNU SUBIYANTO seorang MAHASISWA MAGISTER MANAGEMEN UGM
dan PESERTA ISKF I di Yogyakarta, dan tulisannya juga terbit dalam
majalah GAPURA pada tanggal 2 September 2008.
Artikel ini sangat perlu dikritisi agar ada “counter opinion” terhadap beberapa pernyataan dalam artikel tersebut.
Dari tinjauan judul saja yaitu “Karst bukan bahan Baku Semen” sudah
terkesan adanya satu tujuan untuk sebuah pembenaran bagi aktivitas
penambangan di kawasan karst. Definisi Karst sendiri menurut salah satu kamus online adalah “An area of irregular limestone in which erosion has produced fissures, sinkholes, underground streams, and caverns.” Dimana
satu kawasan yang menunjukakn ciri-ciri seperti difinisi tersebut layak
disebut sebagai karst yaitu adanya proses beberapa sistem perguaan,
aliran sungai bawa tanah dan luweng. Nah, di Indonesia mayoritas semua
penambangan batu gamping untuk semen di sekitar lokasi penambangan
terdapat fenomena yang dapat dikategorikan sebagai karst. Salah satu
penambangan di Tuban pun ada di dalam kawasan Karst karena sekitar 500 m
dari kawansan penambangan terdapat gua yang dihuni ribuan kelelawar dan
ada juga sistem sungai bawah tanah yang penting untuk ketersediaan air.
Lantas dimana benarnya Karst bukan bahan baku Semen…, buat saya judul
ini adalah sebuah pembelokan atau malah bisa dikatakan penyesatan. Mari
kita baca lagi buku-buku tentang arti dan definisi karst dan
aspek-aspeknya.
Kalau penambangan dilakukan berdasarkan
ketentuan Kepmen ESDM perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam baik
dari sisi aspek SURFACE maupun UNDERGROUND. Nah dalam kepmen tersebut
saja sudah ditentukan KLASIFIKASI KARST, yang ada Karst Kelas 1, 2 dan
3. Penambangan boleh di Karst Kelas 3 dan Karst Kelas 2 dengan AMDAL
dll. Lantas, mengapa perlu dibuat klasifikasi KARST, kan untuk tujuan
PENGELOLAAN Penambangan untuk bahan baku semen. Terus … kalau Karst
bukan bahan baku semen, terus bahan baku semen ambil dari mana, mungkin
tiu pertanyaan yang perlu di jawab oleh penulis.
Jadi dari sisi judul saja sebenarnya ada
yang kurang pas namun, apapun itu Judul adalah hak prerogratif penulis
sesuai dengan apa tujuan penulis.
Ada hal yang masih perlu ditinjau lagi seperti yang terkutip di bawah ini :
“Disinilah kekurangan para
peneliti ISKF karena tidak memberikan rekomendasi alternatif dua arah
secara berimbang dari sudut pandang peneliti dan kalangan bisnis
sehingga mengurangi bobot penelitian. “
Sebenarnya, sebuah bobot penelitian tidak
hanya ditinjau dari apakah sebuah penelitian tidak berbobot karena
tidak bisa menyelesaikan atau memberikan kontribusi terhadap
permasalahan yang ada. Penelitian adalah sebuah proses dimana setiap
peneliti ingin mencapai sesuatu yang buat peneliti penting untuk
dijawab, sementara peneliti belum menitik beratkan pada permasalah lain
yang muncul.
Terkadang banyak orang menuntut sebuah
penelitian harus bisa menyelesaikan pernmasalahan bangsa, baik itu
ketahanan pangan, energi terbarukan maupun aspek ekonomi kemasyrakatan
bahkan konservasi dan pemanfaatan.
Padahal perkembangan ilmu Karst di
Indonesia baru seumur jagung, kalau para penelitinya sudah dituntut
unttuk bisa menyelesaikan bagaimana permasalahan antara konservasi dan
pemanfaatan, sementara kita belum tahu apa-apa tentang karst dan seluk
beluknya. Hal ini dikhawatirkan akan terjadin MISLEADING dalam menjawab
pertnyaan karena menimnya data.
Sekiranya peneliti bisa menjawab
bagaimana konservasi dan pemnafaatan bisa berjalan selaras, mungkinkah
sektor bisnis bisa melakukan seperti yang diamanatkan oleh hasil
PENELITIAN.
Sebagai contoh, dari sisi biologi suatu
kawasan karst terdapat beberapa gua dengan populasi kelelawar, sebagai
data dasar, sebelum dilakukan aktivitas di kawasan tsb dilakukan AMDAL
untuk mengetahui seberapa besar populasi kelelawar dan hewan renik
lainya di gua A.
Hasil AMDAL otomatis menjadi data dasar
sebagai acuan belum adanya dampak, dari sini muncul rekomendasi untuk
RKL/RPL, salah satunya melakukan pemantauan populasi kelelawar dan hewan
renik lainnya di gua A sepanjang tahun sebanyak dua kali perbedaan
musim.
NAh, apakah pelaku bisnis penambangan semen sudah melakukan ini ????
APakah pelaku pertambangan di Tuban sudah
mempunyai data jenis kelelawar dan besaran populasinya tiap jenis dan
bagaimana kecenderungannya sejak AMDAL sampai sekarang ….
kalau hal ini bisa dijawab oleh pelaku
bisnis pertambangan gamping, para peneliti bisa membantu untuk bagaimana
bisa ECO-FRIENDLy. Tapi kalau belum bisa menjawab pertanyaan itu, lebih
baik introspeksi dan mengkoreksi apakah dulu AMDAL-nya benar atau
memang hanya sekedar formalitas.
Kalau memang belum ada data, tentang
biologi maupun aspek lain yang bisa dijadikan BASE LINE STUDY, lebih
baik meninjau kembali rencana untuk membangun di kawasan baru.
Kalau aspek biologi tidak menjadi aspek
yang penting, berarti aspek KESEIMBANGAN EKOLOGI telah diabaikan hanya
untuk kepentingan ekonomi sesaat.
Kalau ditanya, apa pentingnya BIOLOGI.
mari kita bertanya bagaimana kita bisa makan duren, bagaimana kita makan
nasi, bagaimana mangrove sepanjang pantai utara jawa bisa bertahan,
siapa yang menyebarkan biji hingga ke puncak gunung, siap yang memangsa
ngengat dan nyamuk di malam hari,
jangan hanya bertanya berapa uang yang akan kita peroleh dengan peduli aspek biologi.
Hitung saja, berapa uang harus disiapkan
untuk membeli pestisida untuk membasmi 200.000 ekor ngengat, berapa uang
diperlukan untuk membayar orang menyerbuki bunga DLONGOP agar kita bisa
makan duren …, berapa uang harus disiapkan untuk bayar orang nanam
pohon di puncak gunung….,
Mari kita hitung ….,
Ada pernyataan yang buat saya cukup mengganggu, berikut petikannya:
“Semoga saja hasil
penelitiannya benar-benar murni science dan tidak memiliki motif
tertentu, seperti komitmen PTSG selama ini terhadap lingkungan. “
Saya tidak mengerti dengan pernyataan ” semoga saja hasil penelitiannya benar-benar murni science dan tidak memilik motif tertentu …….,
Para peneliti karst, saya yakin semua
murni science dan tidak keracunan oleh “motif ekonomi” atau “penelitian
pesanan”, kecuali oknum-oknum yang lebih mengedepankan ketebalan kantong
dan menebalkan muka.
Penelitian adalah sebuah proses yang
butuh dana tidak sedikit, sebagian dana diperoleh dari pemerintah, dari
lembaga donor, universitas dan BAHKAN KANTONG SENDIRI. Seandainya semua
itu tidak ditujukan untuk science, lantas buat siapa dan buat apa?
Seandainya penulis artikel tersebut
secara terbuka mau berdiskusi lebih jauh, saya yakin banyak hal yang
akan kita pahami bersama.
Saya inget, Penulis, Effnu Subiyanto,
seorang MAHASISWA MM UGM yang pasti tentu apa itu KAIDAH_KAIDAH ILMIAH
dan bagaimana menformulasikan sebuah penelitian untuk menjawab
permasalahan yang ada.
Kalau memang sebuah penelitian bukan buat
SCIENCE lebih baik juga bertanya pada diri sediri sebagai seorang
MAHASISWA MAGISTER MANAGEMEN, buat apa penelitian saya nanti….
Saya, pernah diskusi dengan beliau namun
entahlah, mungkin diskusi itu hanya sebatas menguji sejauh mana
pemahaman saya tentang apa yang saya dalami.
entahlah
Masih ada lagi …. (continued)
Oleh: Cahyo Rahmadi
yang sedang belajar biologi,
mahasiswa entah berantah, peserta/pembicara ISKF, penulis artikel di
jurnal internasional, kuli di lembaga pemerintah, yang lagi bertanya
“buat apa penelitian saya ..??”, dan lagi mikir bagiamana caranya
membukakan nalar ” betapa pentingnya sebuah KESEIMBANGAN”, dan lagi
bingung gimana mau bangun rumah tanpa semen …
Ada satu artikel yang buat saya menarik untuk dikritisi dalam salah satu blog
yang ditulis oleh EFFNU SUBIYANTO seorang MAHASISWA MAGISTER MANAGEMEN
UGM dan PESERTA ISKF I di Yogyakarta, dan tulisannya juga terbit dalam
majalah GAPURA pada tanggal 2 September 2008.
Artikel ini sangat perlu dikritisi agar ada “counter opinion” terhadap beberapa pernyataan dalam artikel tersebut.
Dari tinjauan judul saja yaitu “Karst bukan bahan Baku Semen”
sudah terkesan adanya satu tujuan untuk sebuah pembenaran bagi
aktivitas penambangan di kawasan karst. Definisi Karst sendiri menurut
salah satu kamus online adalah “An area of irregular limestone in which erosion has produced fissures, sinkholes, underground streams, and caverns.”
Dimana satu kawasan yang menunjukakn ciri-ciri seperti difinisi
tersebut layak disebut sebagai karst yaitu adanya proses beberapa sistem
perguaan, aliran sungai bawa tanah dan luweng. Nah, di Indonesia
mayoritas semua penambangan batu gamping untuk semen di sekitar lokasi
penambangan terdapat fenomena yang dapat dikategorikan sebagai karst.
Salah satu penambangan di Tuban pun ada di dalam kawasan Karst karena
sekitar 500 m dari kawansan penambangan terdapat gua yang dihuni ribuan
kelelawar dan ada juga sistem sungai bawah tanah yang penting untuk
ketersediaan air. Lantas dimana benarnya Karst bukan bahan baku Semen…,
buat saya judul ini adalah sebuah pembelokan atau malah bisa dikatakan
penyesatan. Mari kita baca lagi buku-buku tentang arti dan definisi
karst dan aspek-aspeknya.
Kalau penambangan dilakukan berdasarkan
ketentuan Kepmen ESDM perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam baik
dari sisi aspek SURFACE maupun UNDERGROUND. Nah dalam kepmen tersebut
saja sudah ditentukan KLASIFIKASI KARST, yang ada Karst Kelas 1, 2 dan
3. Penambangan boleh di Karst Kelas 3 dan Karst Kelas 2 dengan AMDAL
dll. Lantas, mengapa perlu dibuat klasifikasi KARST, kan untuk tujuan
PENGELOLAAN Penambangan untuk bahan baku semen. Terus … kalau Karst
bukan bahan baku semen, terus bahan baku semen ambil dari mana, mungkin
tiu pertanyaan yang perlu di jawab oleh penulis.
Jadi dari sisi judul saja sebenarnya ada
yang kurang pas namun, apapun itu Judul adalah hak prerogratif penulis
sesuai dengan apa tujuan penulis.
Ada hal yang masih perlu ditinjau lagi seperti yang terkutip di bawah ini :
“Disinilah kekurangan para
peneliti ISKF karena tidak memberikan rekomendasi alternatif dua arah
secara berimbang dari sudut pandang peneliti dan kalangan bisnis
sehingga mengurangi bobot penelitian. ”
Sebenarnya, sebuah bobot penelitian
tidak hanya ditinjau dari apakah sebuah penelitian tidak berbobot karena
tidak bisa menyelesaikan atau memberikan kontribusi terhadap
permasalahan yang ada. Penelitian adalah sebuah proses dimana setiap
peneliti ingin mencapai sesuatu yang buat peneliti penting untuk
dijawab, sementara peneliti belum menitik beratkan pada permasalah lain
yang muncul.
Terkadang banyak orang menuntut sebuah
penelitian harus bisa menyelesaikan pernmasalahan bangsa, baik itu
ketahanan pangan, energi terbarukan maupun aspek ekonomi kemasyrakatan
bahkan konservasi dan pemanfaatan.
Padahal perkembangan ilmu Karst di
Indonesia baru seumur jagung, kalau para penelitinya sudah dituntut
unttuk bisa menyelesaikan bagaimana permasalahan antara konservasi dan
pemanfaatan, sementara kita belum tahu apa-apa tentang karst dan seluk
beluknya. Hal ini dikhawatirkan akan terjadin MISLEADING dalam menjawab
pertnyaan karena menimnya data.
Sekiranya peneliti bisa menjawab
bagaimana konservasi dan pemnafaatan bisa berjalan selaras, mungkinkah
sektor bisnis bisa melakukan seperti yang diamanatkan oleh hasil
PENELITIAN.
Sebagai contoh, dari sisi biologi suatu
kawasan karst terdapat beberapa gua dengan populasi kelelawar, sebagai
data dasar, sebelum dilakukan aktivitas di kawasan tsb dilakukan AMDAL
untuk mengetahui seberapa besar populasi kelelawar dan hewan renik
lainya di gua A.
Hasil AMDAL otomatis menjadi data dasar
sebagai acuan belum adanya dampak, dari sini muncul rekomendasi untuk
RKL/RPL, salah satunya melakukan pemantauan populasi kelelawar dan hewan
renik lainnya di gua A sepanjang tahun sebanyak dua kali perbedaan
musim.
NAh, apakah pelaku bisnis penambangan semen sudah melakukan ini ????
APakah pelaku pertambangan di Tuban
sudah mempunyai data jenis kelelawar dan besaran populasinya tiap jenis
dan bagaimana kecenderungannya sejak AMDAL sampai sekarang ….
kalau hal ini bisa dijawab oleh pelaku
bisnis pertambangan gamping, para peneliti bisa membantu untuk bagaimana
bisa ECO-FRIENDLy. Tapi kalau belum bisa menjawab pertanyaan itu, lebih
baik introspeksi dan mengkoreksi apakah dulu AMDAL-nya benar atau
memang hanya sekedar formalitas.
Kalau memang belum ada data, tentang
biologi maupun aspek lain yang bisa dijadikan BASE LINE STUDY, lebih
baik meninjau kembali rencana untuk membangun di kawasan baru.
Kalau aspek biologi tidak menjadi aspek
yang penting, berarti aspek KESEIMBANGAN EKOLOGI telah diabaikan hanya
untuk kepentingan ekonomi sesaat.
Kalau ditanya, apa pentingnya BIOLOGI.
mari kita bertanya bagaimana kita bisa makan duren, bagaimana kita makan
nasi, bagaimana mangrove sepanjang pantai utara jawa bisa bertahan,
siapa yang menyebarkan biji hingga ke puncak gunung, siap yang memangsa
ngengat dan nyamuk di malam hari, jangan hanya bertanya berapa uang yang akan kita peroleh dengan peduli aspek biologi.
Hitung saja, berapa uang harus disiapkan
untuk membeli pestisida untuk membasmi 200.000 ekor ngengat, berapa
uang diperlukan untuk membayar orang menyerbuki bunga DLONGOP agar kita
bisa makan duren …, berapa uang harus disiapkan untuk bayar orang nanam
pohon di puncak gunung….,